“Bagaimana jika terjadi sesuatu yang mengerikan pada ayah mertuaku?” Emery jadi berburuk sangka.“Jangan bicara seperti itu! Sebaiknya kamu doakan yang terbaik saja untuk pamanku,” saran Sean.“Aku takut sekali. Kudengar dia mengalami komplikasi dari penyakit pneumonianya.” Emery masih menangis meski sedang bercerita pada Sean.“Kita tidak bisa mencegahnya. Itu sudah ketentuan takdir Tuhan, Emery,” hibur Sean. Dia berusaha menenangkan hati Emery yang masih gelisah. Perasaan bersalahnya masih mendominasi hatinya.“Aku tahu itu dan itu yang kutakutkan sekarang.”“Tenanglah! Kita doakan bersama-sama agar kesehatannya segera membaik.”Emery mengangguk. Dia menuruti nasihat Sean.“Apa kamu sudah merasa lebih baik sekarang?” Sean memastikan.“Ya, aku merasa sudah lebih baik. Terima kasih, Sean. Kamu sudah menemaniku malam ini,” ucap Emery.“Sama-sama, Emery. Kembalilah ke ruanganmu. Kamu bisa istirahat di sana. Atau … mau kuantarkan pulang?”“Tidak usah. Aku akan menemani Ruben di sini. Dia
Emery tidak bisa tidur malam ini. Dia terus kepikiran tentang komplikasi penyakit ayah mertuanya itu. Di samping itu, dia juga merasa gelisah karena Ruben tiba-tiba mengubah sikapnya, menjadi sangat dingin terhadap istrinya.“Aku tidak suka dengan keadaan seperti ini. Aku sangat merindukanmu, Ruben,” ucap Emery sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur.“Cepatlah pulang!” harap Emery sambil melihat-lihat kembali layar ponselnya. Sebelum akhirnya dia meletakkan ponselnya di atas meja kecil, samping tempat tidurnya.Emery berusaha memejamkan kedua matanya malam ini. Meski terasa sangat sulit dilakukannya, dia tetap memaksakan untuk menutup matanya. Air mata menetes di pipinya. Dia tidak menyeka dan memilih untuk membiarkannya saja. Malam yang begitu dingin dan terasa sepi sekali.‘Kuharap hari ini segera berakhir. Agar aku bisa kembali lagi besok, bertemu denganmu, Sayang.’***Emery tidak bersemangat bekerja hari ini. Sesampainya di rumah sakit, ketika hendak menjenguk ayah mertuanya,
Emery dan Sean makan siang bersama di ruang kerjanya. Sean melihat Emery makan dengan lahap sekali. Di samping dia kelaparan, dia juga kesal sekali atas perlakuan buruk suaminya. Sehingga dia melampiaskannya pada makanan.“Mer, pelan-pelan makannya!” tegur Sean. “Kenapa kamu makan tergesa-gesa begitu seperti sedang di tempat darurat saja?”Emery menghela napas sembari mengambil jeda. Kemudian, dia makan dengan perlahan-lahan. Dia mengunyah makanannya dengan lembut, tidak tergesa-gesa seperti tadi. Setelah Sean menegurnya.“Seperti ini?” Emery menunjukkannya pada Sean.“Ya, menurutku itu lebih baik dari yang tadi. Lebih tenang kelihatannya,” kata Sean menanggapinya. Dia tersenyum sambil mengunyah makanannya.“Habiskan makanmu!” Emery memerintah.“Tentu. Aku akan menghabiskan makanan ini. Enak banget masakanmu,” puji Sean.“Benarkah? Tapi, bukan aku yang memas
“Dengar Adrian! Aku tidak akan pernah mengizinkanmu memberikan apa pun tanpa seizinku. Kamu mengerti?” tegas Tuan Milano.“Maafkan aku, Ayah,” sesal Adrian. Dia tidak pernah menyangka kejadiannya akan menjadi seperti ini.“Dan kalian berdua … astaga!” Tuan Milano tidak tahu lagi harus melakukan apa pada Emery dan Ruben. Dia terlanjur kecewa pada mereka.Padahal Tuan Milano menyimpan banyak harapan pada Ruben dan Emery. Dia merasa dikhianati oleh keduanya.“Kalian berdua telah mengkhianatiku,” ungkap Tuan Milano sambil memendam kecewa.Tuan Milano meminta salah satu dari mereka untuk segera mengundurkan diri dari rumah sakit. Emery dan Ruben saling beradu pandang satu sama lain. Mereka pun mengajukan banding dan memohon pada Tuan Milano untuk mempertimbangkannya lagi. Sebelum Tuan Milano mengambil keputusan.“Tuan, bukankah Anda juga pernah berjanji pada saya akan menguji kemampuan
“Aku tidak pernah menyangka. Sahabatku ternyata musuhku yang paling nyata. Sekarang aku paham, kenapa aku harus berhati-hati dengan orang-orang terdekatku. Dia berkeliaran di sekitarku tapi dia juga ingin menghancurkan kebahagiaanku,” sindir Emery.“Apa kamu menyesal berteman denganku?” tanya Sienna.“Menyesal?” ulang Emery bergumam bingung. “Yang aku sesalkan adalah sikapmu, bukan persahabatan kita.”“Kenapa? Apa kamu tidak marah padaku? Seharusnya kamu membenciku, Mer,” Sienna sewot.“Dari awal aku memang tidak pernah memercayaimu. Tapi, aku tidak pernah bisa membencimu. Lalu, apakah kamu senang sudah menghancurkan hidupku?” kata Emery menantang Sienna.“Aku … ada alasan lain kenapa aku harus melakukannya?” ujar Sienna. Dia berusaha membela dirinya dan tidak mau disalahkan.“Alasan apa itu? Apa karena kamu iri padaku?” desak Emery. Sienna terdiam beberapa saat.“Katakan padaku! Aku ingin tahu yang sebenarnya darimu.” Emery memaksa Sienna agar mau mengatakannya.Sienna memalingkan wa
Emery terisak. Sean sudah menduga, saat ini mantan kekasihnya itu sedang tidak baik-baik saja. Sean memahami situasi sulit yang tengah dihadapi Emery akhir-akhir ini. Setelah pernikahannya terungkap di hadapan publik, seluruh rekan dokter dan perawat tahu apa yang selama ini dia dan Ruben sembunyikan.“Menangislah, Emery! Jika itu membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak akan mencegahmu untuk meluapkan semua perasaanmu saat ini,” kata Sean bersimpati.Emery menangis sekencang-kencangnya. Setelah Sean mempersilakannya. Sepertinya Emery sudah tidak bisa lagi menahan unek-unek dalam hati dan beban pikiran yang mendominasi seluruh pikirannya.Ketika Emery meluapkan semua rasa sedihnya, Sean hanya duduk diam mendengarkannya saja. Dia tidak akan menyela, mengkritik, atau menyuruhnya berhenti menangis. Dia tidak akan melakukannya.Sesampainya di depan rumah Emery, Sean masih bungkam. Dia menunggu Emery mengatakan sesuatu kepadanya. Emery menyeka air matanya. Sudah waktunya dia turun dari mobil
“Tidak apa-apa, lupakan saja. Ada apa? Sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan denganku. Katakan saja!” Profesor Rudiana bangkit dari tidurnya dan duduk perlahan-lahan sambil menyandarkan tubuhnya di belakang tumpukan bantal.Ruben membantu ayahnya supaya duduknya lebih nyaman lagi. Setelah itu, dia duduk di samping tempat tidur sang ayah sambil menarik napas panjang sebelum berbicara serius dengannya.“Ayah, aku ingin minta maaf padamu,” ucap Ruben memulai pembicaraan. Profesor Rudiana menoleh ke arahnya.“Kelihatannya pembicaraanmu serius sekali,” kata profesor Rudiana menimpalinya. “Apa ini soal pernikahanmu dengan wanita itu?” terkanya.“Iya, itu benar, Yah. Aku sangat mencintainya. Karena itulah aku menikahinya,” ungkap Ruben. Dia mengatakan yang sebenarnya dari lubuk hatinya paling dalam.Profesor Rudiana tersenyum agak sinis. “Kamu hanya mencintai wanita itu. Apa tidak ada wa
Ruben mengikuti Tuan Milano di belakangnya. Pagi ini, Tuan Milano ingin bicara serius dengan Ruben, terkait masalah pernikahannya dengan Emery. Ruben sudah siap menerima dan menanggung segala risikonya.Jika Emery dulu pernah rela berkorban untuknya, apa salahnya Ruben melakukan hal yang sama saat ini untuk istrinya. Agar impas.“Dokter Ruben!” panggil Tuan Milano.“Iya, Tuan,” sahut Ruben dengan tegas.“Kamu tahu, kan, alasan kenapa saya memanggilmu ke sini?”“Saya tahu, Tuan.”“Bagus. Jadi, saya tidak akan menjelaskannya lagi jika kamu sudah tahu maksud arah pembicaraan kita kali ini.”Tuan Milano mengungkit kembali kesalahan Ruben dan Emery yang telah melanggar peraturan rumah sakit. Dalam surat perjanjian antara pegawai dengan pihak rumah sakit tidak diperbolehkan berhubungan atau menjalin asmara dengan sesama rekan kantor. Jika hal itu tidak bisa dihindarkan, maka solusi
“Maafkan aku,” sesal Sean. Dia tak sengaja mencium bibir Sienna.Sean sibuk menjelaskan bahwa insiden ciuman itu benar-benar di luar kendalinya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu pada Sienna. Tapi, keadaan memaksanya.Ketika Sean hendak membenarkan posisi sabuk pengaman, tiba-tiba tangannya tergelincir saking tidak fokus memerhatikan bibir Sienna yang ranum. Dia ingin menahan tubuhnya, namun sudah tidak bisa. Refleks, bibirnya malah menyentuh bibir Sienna.“Tidak perlu meminta maaf padaku.” Sienna agak kecewa mengetahuinya. Dia kira, Sean benar-benar ingin menciumnya. Ternyata tidak.“Aku tidak ingin kamu salah sangka padaku,” sangkal Sean.“Tidak. Aku tidak berkata begitu kok,” bantah Sienna.Keduanya kini dalam posisi canggung. Masing-masing menahan malu dan tidak tahu harus berkata apalagi. Sean lekas duduk di joknya. Lalu, dia melajukan mobilnya menuju rumah Sienna. Sementara itu, jari
“Mau ke mana?” tanya Sienna.“Pokoknya ikut aku dulu aja!” balas Sean agak memaksa.Mau tidak mau Sienna pun akhirnya menuruti perintah Sean. Dia mengikuti Sean, saat dokter spesialis anak itu menarik lengannya dan membawanya pergi menjauhi Emery.“Sean, hentikan!” kata Sienna. “Kamu menarik tanganku dan itu sakit sekali.”“Oh, maafkan aku,” sesal Sean. “Aku tidak sengaja.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menyeretku pergi?” protes Sienna.“Aku ingin bicara.”“Ya udah, ngomong aja. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Aku buru-buru harus memeriksa pasien di bangsal VIP,” kata Sienna beralasan.“Apa Ruben menghubungimu?” Sean mencari tahu. Sienna menggeleng.“Tidak. Kenapa memangnya?” Sienna heran. “Dokter Ruben tidak pernah menghubungiku lagi sejak mereka bercerai.”&ld
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m