Keesokan harinya, Ruben datang menghadap Tuan Milano. Setelah rapat dewan direksi berakhir, dia menghampiri Tuan Milano. Kebetulan sekali ada yang ingin ditanyakan Tuan Milano kepadanya. Terkait pengangkatan Emery menjadi dokter asisten pribadinya.
“Dokter Ruben, kenapa bukan dokter Sienna saja yang menjadi asistenmu? Apa alasanmu menjadikan dokter Emery sebagai asisten pribadimu?” Tuan Milano mulai mencurigai Ruben. Karena rekomendasi Ruben bertentangan dengan keinginan Tuan Milano.
“Dokter Emery sangat kompeten. Dia juga termasuk dokter yang cepat tanggap dan sigap dalam menanggulangi semua permasalahan medis di rumah sakit. Saya menginginkan orang cekatan seperti itu berada di samping saya,” jelas Ruben.
“Apa Anda sudah mempertimbangkannya sekali lagi tentang tanggapan rekan-rekan dokter di sini? Akhir-akhir ini saya sering mendapat laporan tentang kedekatan kalian berdua.” Tuan Milano memastikannya lagi.
“Buka
Pantas saja, sikap Sienna pada Emery berubah sejak beberapa hari yang lalu. Emery merasakannya namun tidak menyadarinya.“Singkirkan tanganmu!” kata Emery memerintah.“Oke. Maaf,” sesal Sean. Dia melepas kungkungannya.Emery berjalan lunglai, menjaga jarak dengan Sean. Dia masih belum memercayainya, kalau Sienna orang yang seperti dikatakan Sean. Dia tidak pernah menduganya sama sekali.“Kamu harus mencari tahu sendiri. Orang macam apa sahabatmu itu,” saran Sean.Emery pergi meninggalkan Sean setelah selesai bicara. Dia masih syok dan terus menyangkalnya dalam hati. Sienna tidak mungkin menusuknya dari belakang, pikirnya.“Emery!” Sienna menepuk bahu Emery dari belakang.Emery kaget, lalu menoleh ke belakang. “Sienna?”“Kamu kenapa? Kaget gitu, kayak baru lihat hantu saja,” kata Sienna sambil tersenyum di hadapan sahabatnya.Emery balas tersenyum mes
Sienna membelalak kaget. Tiba-tiba saja Sean mengajaknya untuk mencicipi makanan yang sudah disajikan oleh Emery. Tidak biasanya. Dia sempat curiga dengan gelagat Sean yang sedang berusaha melindungi Emery dan Ruben.“Ayo!” ajak Sean lagi.“Ah, iya. Baiklah!” Sienna tidak bisa menolak ajakan Sean. Dia mengikuti Sean di belakang.Sementara, Emery dan Ruben berbicara di tempat lain. Ada beberapa hal yang ingin Emery sampaikan pada Ruben.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Emery heran.“Kenapa? Ini juga rumahku, kan?” protes Ruben.“Iya, aku tahu itu. Tapi, kamu datang di saat yang tidak tepat.”“Tidak apa-apa. Aku juga ingin berbaur dengan mereka. Apa aku salah jika ikut bergabung dengan kalian?”“Bukan begitu. Tapi, mereka akan curiga dengan hubungan kita.” Emery khawatir sekali.“Ya, udahlah. Mungkin sudah saatnya mereka mengetahui hu
Sienna terbelalak. Jantungnya berdegup kencang ketika Sean menyudutkannya dengan pertanyaan itu. Dalam hati dia merasa cemas, dari mana Sean tahu bahkan menuduhnya seperti itu?“Kenapa kamu diam saja?” Sean menunggu jawaban Sienn.“Aku … pulang dulu,” Sienna pamit. Dia berusaha menghindari pertanyaan Sean.Sienna membuka pintu mobil dan bergegas pergi. Sean tidak bisa mencegahnya. Sienna pergi begitu saja meninggalkan pertanyaan besar dalam benak Sean. Kecurigaan Sean makin bertambah.“Wanita itu cukup berbahaya bagi Emery. Aku harus melindungi Emery darinya,” pikir Sean.***Sean pergi menemui Emery keesokan harinya. Dia ingin mengatakan sesuatu pada Emery tentang Sienna. Sayangnya, ketika dia pergi ke ruangannya, Emery tidak ada di tempat.“Di mana dokter Emery?” tanya Sean pada perawat.“Dokter Emery barusan pergi. Katanya mau ke rumah profesor Rudiana,” pera
“Sebenarnya, ada hubungan apa di antara kalian berdua?” tanya Sean pada Ruben dan Emery, di sebuah ruangan tertutup. Mereka bicara bertiga di sana. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.“Apa maksudmu?” Ruben pura-pura tidak mengerti maksud ucapan Sean.“Tidak usah berpura-pura lagi denganku. Kalian berdua … hubungan kalian sudah sejauh mana sekarang?” desak Sean.“Maaf, kamu tidak sopan menanyakan hal itu pada kami,” Emery menimpali.Sean menoleh ke arah Emery. “Jawab saja pertanyaanku!”“Apa kamu mencurigai kami berdua?” Ruben agak cemas menanggapinya.“Tadi, kudengar Emery memanggil pamanku dengan sebutan ayah mertua. Aku tidak salah dengar, kan? Pendengaranku masih sangat bagus bahkan mendengar cicak merayap di dinding pun jelas terdengar di telingaku,” jelas Sean.Deg!Ruben menoleh ke belakang. Dia menatap Emery yang berdiri di belakangnya. Emery baru menyadarinya sekarang. Ternyata dia keceplosan bicara di depan Sean.‘Astaga! Ini salahku,’ Emery merasa bersalah.“Kenapa kal
“Bagaimana jika terjadi sesuatu yang mengerikan pada ayah mertuaku?” Emery jadi berburuk sangka.“Jangan bicara seperti itu! Sebaiknya kamu doakan yang terbaik saja untuk pamanku,” saran Sean.“Aku takut sekali. Kudengar dia mengalami komplikasi dari penyakit pneumonianya.” Emery masih menangis meski sedang bercerita pada Sean.“Kita tidak bisa mencegahnya. Itu sudah ketentuan takdir Tuhan, Emery,” hibur Sean. Dia berusaha menenangkan hati Emery yang masih gelisah. Perasaan bersalahnya masih mendominasi hatinya.“Aku tahu itu dan itu yang kutakutkan sekarang.”“Tenanglah! Kita doakan bersama-sama agar kesehatannya segera membaik.”Emery mengangguk. Dia menuruti nasihat Sean.“Apa kamu sudah merasa lebih baik sekarang?” Sean memastikan.“Ya, aku merasa sudah lebih baik. Terima kasih, Sean. Kamu sudah menemaniku malam ini,” ucap Emery.“Sama-sama, Emery. Kembalilah ke ruanganmu. Kamu bisa istirahat di sana. Atau … mau kuantarkan pulang?”“Tidak usah. Aku akan menemani Ruben di sini. Dia
Emery tidak bisa tidur malam ini. Dia terus kepikiran tentang komplikasi penyakit ayah mertuanya itu. Di samping itu, dia juga merasa gelisah karena Ruben tiba-tiba mengubah sikapnya, menjadi sangat dingin terhadap istrinya.“Aku tidak suka dengan keadaan seperti ini. Aku sangat merindukanmu, Ruben,” ucap Emery sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur.“Cepatlah pulang!” harap Emery sambil melihat-lihat kembali layar ponselnya. Sebelum akhirnya dia meletakkan ponselnya di atas meja kecil, samping tempat tidurnya.Emery berusaha memejamkan kedua matanya malam ini. Meski terasa sangat sulit dilakukannya, dia tetap memaksakan untuk menutup matanya. Air mata menetes di pipinya. Dia tidak menyeka dan memilih untuk membiarkannya saja. Malam yang begitu dingin dan terasa sepi sekali.‘Kuharap hari ini segera berakhir. Agar aku bisa kembali lagi besok, bertemu denganmu, Sayang.’***Emery tidak bersemangat bekerja hari ini. Sesampainya di rumah sakit, ketika hendak menjenguk ayah mertuanya,
Emery dan Sean makan siang bersama di ruang kerjanya. Sean melihat Emery makan dengan lahap sekali. Di samping dia kelaparan, dia juga kesal sekali atas perlakuan buruk suaminya. Sehingga dia melampiaskannya pada makanan.“Mer, pelan-pelan makannya!” tegur Sean. “Kenapa kamu makan tergesa-gesa begitu seperti sedang di tempat darurat saja?”Emery menghela napas sembari mengambil jeda. Kemudian, dia makan dengan perlahan-lahan. Dia mengunyah makanannya dengan lembut, tidak tergesa-gesa seperti tadi. Setelah Sean menegurnya.“Seperti ini?” Emery menunjukkannya pada Sean.“Ya, menurutku itu lebih baik dari yang tadi. Lebih tenang kelihatannya,” kata Sean menanggapinya. Dia tersenyum sambil mengunyah makanannya.“Habiskan makanmu!” Emery memerintah.“Tentu. Aku akan menghabiskan makanan ini. Enak banget masakanmu,” puji Sean.“Benarkah? Tapi, bukan aku yang memas
“Dengar Adrian! Aku tidak akan pernah mengizinkanmu memberikan apa pun tanpa seizinku. Kamu mengerti?” tegas Tuan Milano.“Maafkan aku, Ayah,” sesal Adrian. Dia tidak pernah menyangka kejadiannya akan menjadi seperti ini.“Dan kalian berdua … astaga!” Tuan Milano tidak tahu lagi harus melakukan apa pada Emery dan Ruben. Dia terlanjur kecewa pada mereka.Padahal Tuan Milano menyimpan banyak harapan pada Ruben dan Emery. Dia merasa dikhianati oleh keduanya.“Kalian berdua telah mengkhianatiku,” ungkap Tuan Milano sambil memendam kecewa.Tuan Milano meminta salah satu dari mereka untuk segera mengundurkan diri dari rumah sakit. Emery dan Ruben saling beradu pandang satu sama lain. Mereka pun mengajukan banding dan memohon pada Tuan Milano untuk mempertimbangkannya lagi. Sebelum Tuan Milano mengambil keputusan.“Tuan, bukankah Anda juga pernah berjanji pada saya akan menguji kemampuan
“Maafkan aku,” sesal Sean. Dia tak sengaja mencium bibir Sienna.Sean sibuk menjelaskan bahwa insiden ciuman itu benar-benar di luar kendalinya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu pada Sienna. Tapi, keadaan memaksanya.Ketika Sean hendak membenarkan posisi sabuk pengaman, tiba-tiba tangannya tergelincir saking tidak fokus memerhatikan bibir Sienna yang ranum. Dia ingin menahan tubuhnya, namun sudah tidak bisa. Refleks, bibirnya malah menyentuh bibir Sienna.“Tidak perlu meminta maaf padaku.” Sienna agak kecewa mengetahuinya. Dia kira, Sean benar-benar ingin menciumnya. Ternyata tidak.“Aku tidak ingin kamu salah sangka padaku,” sangkal Sean.“Tidak. Aku tidak berkata begitu kok,” bantah Sienna.Keduanya kini dalam posisi canggung. Masing-masing menahan malu dan tidak tahu harus berkata apalagi. Sean lekas duduk di joknya. Lalu, dia melajukan mobilnya menuju rumah Sienna. Sementara itu, jari
“Mau ke mana?” tanya Sienna.“Pokoknya ikut aku dulu aja!” balas Sean agak memaksa.Mau tidak mau Sienna pun akhirnya menuruti perintah Sean. Dia mengikuti Sean, saat dokter spesialis anak itu menarik lengannya dan membawanya pergi menjauhi Emery.“Sean, hentikan!” kata Sienna. “Kamu menarik tanganku dan itu sakit sekali.”“Oh, maafkan aku,” sesal Sean. “Aku tidak sengaja.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menyeretku pergi?” protes Sienna.“Aku ingin bicara.”“Ya udah, ngomong aja. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Aku buru-buru harus memeriksa pasien di bangsal VIP,” kata Sienna beralasan.“Apa Ruben menghubungimu?” Sean mencari tahu. Sienna menggeleng.“Tidak. Kenapa memangnya?” Sienna heran. “Dokter Ruben tidak pernah menghubungiku lagi sejak mereka bercerai.”&ld
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m