Hubungan antara Emery dan Ruben makin lama tambah memburuk. Bukannya semakin membaik, kehadiran janin yang ada dalam kandungan Emery justru menyebabkan renggangnya hubungan mereka.
Ruben bersikap acuh pada Emery. Meski begitu, dia tetap merasa cemburu setiap kali melihat Emery dan Sean jalan bersama di rumah sakit.
Siang ini, ada rapat intern di rumah sakit. Emery dan Sean datang bersama ke ruang rapat. Mereka juga duduk berdampingan. Ruben sempat melirik mereka. Dia tidak bisa duduk berdampingan dengan istrinya. Karena dia yang akan memimpin rapat.
Kondisi tubuh Emery sedang tidak baik-baik saja. Wajahnya juga kelihatan pucat sekali. Sean terus berada di samping Emery. Dia takut Emery tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Jadi, dia yang akan mendampingi Emery selama rapat berlangsung.
‘Sial! Kenapa mereka mengganggu penglihatanku?’ gumam Ruben dalam hati.
“Dokter, Ruben! Silakan untuk memulai rapatnya!” kata salah seorang dok
“Kamu suaminya, Ben. Memalukan sekali jika kamu tidak tahu di mana istrimu berada,” oceh Sean.Sean terlanjur kesal pada sikap Ruben yang begitu dingin pada Emery. Saking cueknya, Ruben sampai tidak tahu kalau Emery sedang sakit dan bedrest di rumah selama beberapa hari.Setelah diberitahu Emery mengajukan cuti, Ruben pun kembali ke ruangannya. Dia pergi begitu saja meninggalkan Sean yang belum selesai bicara dengannya. Dia gelisah dan berjalan begitu cepat. Sampai-sampai, dia tidak memerhatikan sekitar jalannya.Ruben jadi dilema. Apa yang harus dilakukannya pada Emery? Dia baru menyadari, pantas saja kemarin Emery kelihatan tidak enak badan.Tak lama kemudian, pintu ruang kerja Ruben diketuk seseorang dari luar. Setelah dipersilakan masuk, seorang dokter wanita pun masuk ke ruangannya.“Sienna? Ada apa?” tanya Ruben.“Saya datang ke sini menyerahkan laporan bulanan seluruh pegawai di rumah sakit ini, Dokter Ru
“Dengar brengsek! Jika terjadi sesuatu pada Emery dan bayinya, itu semua karena ulahmu. Aku tidak akan segan-segan lagi sekarang. Camkan itu!” Sean memberi Ruben peringatan yang cukup keras.“Apa yang akan kamu lakukan padaku, hah?” tantang Ruben.“Aku akan menghajarmu sampai napasmu berhenti,” Sean tantang balik.Ruben terkekeh mendengar ancaman Sean. Dia malah menertawakan sepupunya yang sedang berjuang membela Emery.“Sudahlah, jangan terlalu mengkhayal! Kamu dan Emery itu sudah tamat. Kenapa kamu begitu bersikeras ingin mendapatkannya? Sadar diri itu penting,” kata Ruben.Ucapan Ruben begitu menyakiti hati Sean. Secara tidak langsung Sean diremehkan oleh Ruben. Kali ini dia tidak akan tinggal diam. Dia akan melawan bahkan menantang Ruben. Jika Ruben berbuat macam-macam pada Emery. Itu janji Sean. Dia sudah bertekad akan melindungi Emery selama wanita itu dalam keadaan hamil.“Aku tida
“Apa maksudmu bercerai, Emery?” Ruben syok sekali mendengar pernyataan Emery.“Jika kamu sudah tidak mencintaiku lagi, aku akan mundur dari hidupmu. Jika kamu masih meragukan bayi ini adalah anakmu, maka tidak ada lagi yang harus kuperjuangkan darimu.”“Jadi, kamu sudah ingin menyudahi pernikahan kita?”Emery terdiam beberapa saat. Sebelum dia melanjutkan kembali pembicaraannya. “Ini kedua kalinya kamu menolak anak dariku.”“Jika hidupku harus memilih antara kamu dan bayi ini … maka aku akan memilih bayi ini. Aku tidak mau kehilangan anak lagi untuk yang kedua kalinya,” tegas Emery.Emery tahu betul prinsip Ruben yang tidak pernah menginginkan seorang anak. Bagi Ruben, karirnya di atas segalanya. Saat ini, karirnya sedang memuncak. Jabatan di rumah sakit juga sangat bagus untuknya. Bahkan, akhir-akhir ini dia sangat sibuk sekali dan nyaris tidak punya waktu untuk keluarganya.
Emery pergi meninggalkan ruangan Ruben. Tadinya dia hendak menemui suaminya di sana. Namun, setelah mendengar suara gaduh di ruangannya, dia pun mengurungkan niatnya. Dia akan kembali nanti setelah amarah Ruben mereda.Tak jadi menemui Ruben, Emery pergi ke ruangan dokter Sesilia. Ada beberapa hal yang ingin dia konsultasikan dengan seniornya itu.“Emery, ada apa? Kudengar kamu akan resign dari sini. Apa itu benar?” Sesilia memastikannya lagi. Dia mendengarnya sekilas dari beberapa rekan dokter yang membicarakannya di ruang HRD.Emery tersenyum sekilas. “Ya, itu benar. Saya akan resign dari sini, Dokter Sesil.”“Lalu, kamu mau bekerja di mana?” Sesilia terlihat sangat mengkhawatirkannya.“Di rumah sakit daerah,” sahut Emery. “Aku mendapat rekomendasi dari Adrian.”“Begitu rupanya. Aku tidak bisa mencegahmu, Emery. Jika itu yang terbaik untukmu, aku akan mendukungmu.”
“Aku akan memberimu waktu untuk membacanya sebentar. Setelah itu, tanda tangani surat perceraian itu secepatnya,” desak Emery.“Emery, kamu ingin kita bercerai?” Ruben memastikannya.Air mata Emery tak tertahankan lagi dan menetes di pipinya. Dengan berat hati dia mengatakannya.“Jika kita sudah tidak bisa bersama lagi, untuk apa dipertahankan?”“Tapi ….”“Bukankah kamu selalu meragukanku? Aku tidak bisa hidup dengan pria yang tidak memercayaiku,” tegas Emery.Ruben terdiam membisu. Semua yang Emery katakan benar. Ruben sendiri masih belum bisa memutuskan apa-apa. Perasaannya masih diliputi rasa penasaran dan keragu-raguan pada Emery.“Aku sudah mengambil keputusan ini. Sebelum Tuan Milano mengetahuinya, biar aku yang keluar dari rumah sakit ini. Seperti biasanya, aku akan melindungimu agar tidak mendapatkan lagi masalah.” Emery sedih sekali saat itu.
“Jadi, kamu tetap memilih bayi itu?” tunjuk Ruben sambil menahan kecewa. Tergambar jelas sekali di raut wajahnya.“Ya. Aku tidak pernah takut kehilanganmu. Aku sudah pernah mengalaminya. Tapi, meski aku pernah mengalami keguguran di kehamilan pertamaku, bukan berarti sekarang aku akan merelakannya juga, Ben. Jika kamu bersikeras tidak mau mengakuinya, aku akan tetap melahirkan dan membesarkanya sendirian,” jelas Emery panjang lebar.“Baiklah, jika itu maumu. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Kita bercerai saja,” kata Ruben pasrah. Dia mengambil surat perceraian itu. Lalu, dia menyerahkannya pada Emery.Emery berdecak kesal melihat sikap Ruben. Rupanya dari awal dia memang tidak menginginkan anak itu. Dia hanya berbelit-belit dan mencari alasan supaya Emery disalahkan atas perselingkuhannya dengan Sean. Perselingkuhan yang tidak pernah dilakukan olehnya.“Kamu memang brengsek, Ben!” umpat Emery.&ldqu
Setelah mendapatkan teguran dan peringatan keras dari Tuan Milano, Emery pun menyanggupinya. Dia akan menemui pemilik rumah sakit itu secara pribadi. Setelah keadaannya nanti membaik.“Emery, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Sean yang begitu mengkhawatirkannya.“Aku sudah merasa lebih baik sekarang,” sahut Emery. “Aku akan segera pulang dan istirahat di rumah saja.”“Tidak! Kamu istirahat saja di sini,” cegah Sesilia. “Kamu harus menjalani perawatan intensif, Emery.”“Tapi, aku merasa lebih nyaman tinggal di rumah saja dibandingkan di sini,” sahut Emery seraya beralasan.“Emery, dengarkan kata Dokter Sesilia!” saran Adrian. “Kesehatanmu lebih penting saat ini.”“Itu benar. Jika ada yang kamu butuhkan, aku akan di sini menjagamu,” tawar Sean.“Terima kasih, kalian semua baik sekali padaku,” ucap Emery. Dia merasa
Adrian ingin kembali pada Emery. Setelah tahu Emery akan bercerai dengan Ruben. Ponsel Emery berdering panjang, ada panggilan masuk dari Sean.“Kamu di mana?” tanya Sean di seberang sana. Nada suaranya terdengar sangat panik.“Aku sedang dalam perjalanan, mau ke rumah sakit daerah,” sahut Emery.“Oh begitu rupanya.” Sean segera mengerti.Emery pergi ke rumah sakit daerah dengan Adrian. Mulai besok, dia sudah resmi menjadi staf pegawai dan dokter tetap di sana. Hari ini dia melihat-lihat sambil memastikan ruangannya bersama Adrian.Tak lama waktu berselang, Emery mendengar suara panggilan untuk Sean di teleponnya. Lantas, Emery pun menyuruh Sean untuk segera menutup teleponnya.“Oh, iya Emery … mengenai tempat tinggalmu. Apa kamu memerlukan rumah dinas atau guest house untuk sementara?” tanya Adrian.“Aku akan mencari rumah kontrakan saja yang lebih murah dan terjangkau,&rdqu
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m
“Aku … tadi sedang menyusui putraku. Jadi, aku tidak memegang ponsel,” kata Emery beralasan.“Tapi, setidaknya kamu bisa memberitahuku terlebih dahulu, kan? Jangan membuatku cemas!” Emosi Ruben meledak-ledak saking khawatir dengan keadaan Emery.“Sejak kapan kamu peduli padaku?” sindir Emery.“Aku selalu peduli sama kamu, kamunya saja yang tidak peka terhadap perasaanku,” ketus Ruben seraya memalingkan wajah. Sesekali dia melirik Emery karena mantan istrinya itu tidak memberi respon apa pun.“Masuklah! Udara di luar sangat dingin,” kata Emery mempersilakan Ruben masuk. “Lagian hujan-hujan begini dan sudah larut malam malah datang bertamu, memangnya nggak bisa besok pagi saja?” gerutunya sambil menutup pintu setelah Ruben masuk ke ruang tamu.Tiba-tiba, kedua tangan Ruben melingkar di pinggang Emery. Pria itu memeluk Emery dari belakang dengan sangat erat.“A
Keesokan paginya, Ruben terbangun dari tidurnya. Ketika dokter akan kembali memeriksa bayi Ben Joshua. Ajaibnya, demam Ben Joshua langsung menurun drastis. Emery makin terharu dengan apa yang telah dilakukan Ruben pada Ben Joshua.“Demamnya sudah turun. Terima kasih banyak, Dokter Ruben. Anda sudah melakukannya dengan baik. Hanya seorang ayahlah yang mampu melakukannya,” puji dokter itu dengan bangga.“Terima kasih. Anda juga sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya,” balas Ruben. Secara tidak langsung dia mengakuinya di hadapan semua orang. Termasuk Emery.“Hari ini bayi Ben Joshua boleh pulang. Tapi, perhatikan perkembangannya lagi. Jangan sampai dia demam kembali,” saran dokter.Emery dan Ruben mengangguk bersamaan. Mereka terlihat kompak sekali saat ini. Setelah itu, dokter pergi meninggalkan ruang inap Ben Joshua. Bayi tampan itu masih tertidur pulas saat Emery memindahkannya ke ranjang pasien.Sementara itu, Ruben mengambil kemejanya. Lalu, dia memakainya kembali sambil mem
Emery masih menggendong bayi Ben Joshua ketika Ruben menghampirinya di kamar. Dia memeluknya sangat erat. Seolah-olah dia sedang mempertahankan Ben Joshua dari Ruben.“Aku ingin melihatnya,” pinta Ruben.Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Apa kamu yakin?”“Tentu. Sean bilang, dia mirip sekali denganku. Jadi, aku ingin memastikannya lagi,” kata Ruben dengan sungguh-sungguh.“Lupakan saja! Kamu masih meragukannya kalau begitu.” Emery nampak kesal sekali. Karena Ruben masih tidak percaya kalau Ben Joshua adalah putranya.“Aku akan memberikan Ben Joshua kalau kamu sudah merasa yakin bahwa dia adalah putramu. Jika hatimu masih setengah-setengah, sebaiknya kamu pergi saja. Tidak ada gunanya kamu berada di sini,” ketus Emery. Dia terlanjur kecewa dengan sikap Ruben.“Kenapa kamu seperti itu padaku, Emery?” Ruben heran.“Kamu yang memulainya, Ruben. Aku tida
“Apa kamu masih meragukan bayi itu?” Sean memastikan lagi.Ruben terdiam cukup lama. Bagaimana tidak, perasaannya yang mudah goyah dan terhasut oleh Sienna dulu menyebabkan dia kehilangan anak dan istrinya. Tidak hanya itu, perasaannya yang terus meragu pada Emery membuatnya merasa menyesal teramat dalam hingga saat ini.Ruben malu bertemu dengan Emery dan bayinya. Dia terus saja beralasan pada Sean. Padahal dia masih sangat gengsi mengakui bayi itu sebagai putranya.“Kamu bodoh sekali dalam cinta, Ruben. Kamu tidak bisa membedakan mana wanita tulus dan mana wanita yang sudah menghasutmu,” kata Sean sambil berlalu pergi.Sean segera bersiap-siap pergi. Lebih baik dia pergi dari pada harus mendengar ocehan sepupunya yang tidak berfaedah. Dia menegaskan kalau Ruben tidak akan ikut dengannya menemui Emery, sebaiknya Ruben pergi saja.Ruben pun pergi meninggalkan rumah Sean tanpa sepengetahuannya. Sepanjang perjalanan pulang, di
Sean lekas menemui Emery. Dia diberitahu oleh perawat di sana bahwa Emery sudah melahirkan putranya. Dia terlihat senang sekali mendengar kabar itu. Tanpa pertimbangan lagi, dia langsung pergi menjenguk Emery.Sesampainya di rumah sakit tempat Emery melahirkan, Sean membawakan banyak hadiah untuk menyambut kelahiran putra Emery. Tadi dia sempat membeli beberapa potong pakaian bayi dan semua perlengkapannya. Khawatir Emery tidak sempat membawanya dari rumah.Benar saja firasat Sean. Perawat yang memberitahunya itu mengatakan kalau proses melahirkannya sangat mendadak. Tidak sesuai dengan prediksi dokter. Jadi, Emery tidak membawa persiapan apa pun saat proses persalinan berlangsung.Sean inisiatif sendiri membawakannya. Dia membelinya secara acak, dibantu oleh pelayan toko perlengkapan bayi itu. Dia tidak tahu apa saja kebutuhannya. Jadi, dia mencari orang yang mengetahuinya.“Emery, bagaimana keadaanmu?” tanya Sean saat menemui Emery di kamar
Adrian segera menemui Emery di ruang persalinan. Dengan raut wajahnya yang panik itu dia berlarian sekuat tenaga sebelum Emery melahirkan bayinya.“Emery!” panggil Adrian.Beruntung, Adrian masih bisa menemui Emery sebelum perawat menutup ruang persalinan. Dia was-was sekali.“Emery, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Adrian.“Sakit sekali,” sahut Emery.“Benarkah? Apa perlu aku mendampingimu?” tawar Adrian.Emery menggeleng, “Tidak usah. Aku akan baik-baik saja nanti.”“Aku mohon … tetaplah bertahan. Aku ingin kamu dan bayimu selamat. Aku akan menunggumu.”“Terima kasih, Adrian,” ucap Emery sambil menahan nyeri akibat kontraksi di perutnya.Perawat akan segera menutup ruang persalinan. Adrian diminta untuk segera meninggalkan ruangan tersebut. Mau tidak mau, akhirnya Adrian pun mengalah. Dia keluar dari ruangan itu dalam keadaan
Dua bulan kemudian. Sejak Ruben dipecat dari rumah sakit, dokter jenius itu menghilang tanpa jejak. Tidak ada kabar lagi tentangnya. Dia menutup semua komunikasi dan tidak ada seorang pun yang tahu keberadaannya.Emery makin gelisah karena tidak menemukan mantan suaminya di mana pun. Sean sudah ikut membantu dan mencari keberadaan Ruben. Namun, mereka tidak berhasil menemukannya.“Di mana dia berada sekarang?” Emery frustrasi sekali.Usia kandungan Emery kini sudah memasuki trimester terakhir. Dokter sudah menyarankannya untuk segera mengambil cuti. Karena kemungkinan hari kelahiran bayinya diperhitungkan bisa lebih cepat dari prediksi dokter Adelina.“Emery, jangan pikirkan apa pun! Kesehatan bayimu lebih penting,” kata dokter Adelina menasihatinya.“Aku masih kepikiran tentang ….” Kalimat Emery terhenti beberapa saat.“Ayahnya, kan?” terka dokter Adelina. Emery mengangguk pelan sambil