Emery mengangguk mantap. “Iya, aku mau.”“Kamu serius mengatakannya, kan?” Ruben antusias sekali. Akhirnya, setelah sekian lama penantiannya membuahkan hasil.“Tentu, aku serius. Aku sudah memutuskan, bukan?” Emery meyakinkannya.Ruben tak bisa membendung lagi perasaan bahagianya malam ini. Refleks, dia memeluk Emery dengan erat. Tangis haru turut mewarnai suasana malam yang dingin saat ini.“Terima kasih, Sayang. Aku akan segera mengurus kepindahanmu,” ucap Ruben seraya mencium kedua tangan Emery dengan lembut.“Ehem!” Sean berdeham di depan pintu. Perhatian Emery dan Ruben pun teralihkan dengan kedatangan Sean.“Maaf, aku mengganggu kalian berdua malam ini. Aku harus memeriksa keadaan pasienku terlebih dahulu,” kata Sean beralasan.“Silakan,” kata Emery mempersilakan. Dia dan Ruben segera menyingkir dari tempat tidur bayi Ben.Sean memeriksa k
“Anda tidak bisa menghalangi Emery untuk pindah. Kami berdua sudah sepakat dan saya bersedia membayar berapa pun dendanya jika itu diperlukan,” tegas Ruben.“Tidak semudah itu, Dokter Ruben. Emery adalah staf pegawai di sini dan sudah menandatangani kontrak dengan pihak rumah sakit. Mau tidak mau dia harus patuh dan tunduk pada peraturan di sini. Denda yang Anda sebutkan tadi, tidak berlaku di rumah sakit kami.” Adrian bersikeras mempertahankan posisi Emery. Dia tidak akan goyah meski Ruben memberinya banyak uang.Adrian tidak akan pernah terpengaruh dengan nominal angka yang ditawarkan Ruben kepadanya. Yang dia inginkan adalah Emery, bukan uang Ruben.‘Sial! Rupanya dia akan menjadi batu kerikil yang menghambat perjalananku,’ batin Ruben.“Maaf, saya akan menghadiri rapat sebentar lagi. Lain kali kita bicarakan lagi tentang hal ini. Permisi,” pamit Adrian. Dia pergi begitu saja meninggalkan Ruben di ruangan
“Ada pasien ibu hamil yang mengalami pendarahan. Cepat ke IGD!” kata salah seorang perawat usai menutup telepon darurat. Setelah diberitahu ambulans akan segera tiba di depan ruang IGD.Emery bersama rekan dokter muda lainnya segera berlari menyambut pasien. Di sana, keadaan semakin genting. Ketika tim medis mengeluarkan pasien dari mobil ambulans. Lalu, memindahkannya ke ranjang transfer pasien.Gawat! Pendarahan yang dialami pasien semakin banyak. Ibu hamil itu tak sadarkan diri dan ada luka lebam di sekitar wajahnya, Emery mengamatinya dengan seksama. Setelah pasien dipindahkan, para perawat dan dokter residen bergegas membawanya untuk diperiksa lebih lanjut oleh dokter spesialis kandungan.“Bagaimana keadaan pasien?” tanya dokter Ruben, senior Emery di rumah sakit pada salah satu rekan Emery yang bernama Sienna.“Sienna!” Emery menyikut rekan yang berada di sampingnya. Koas satu itu bukannya menjawab malah kelihatan gugup, gemetaran ketika dokter Ruben menanyakan analisanya.“Sa-s
“Ma-maafkan saya, Dokter. Saya tidak sengaja,” ucap Emery. Dia menyesali perbuatannya dan terus mengelap area sensitif itu sambil menelan salivanya bulat-bulat.“Sudah-sudah! Hentikan!” kata Ruben mencoba menghindarinya. Namun, Emery terus saja mengusap-usap noda di celana Ruben. Dia masih diliputi perasaan bersalahnya.Ceklek!“Astaga!” Seseorang membuka pintu ruang kerja Ruben tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Orang itu terkejut melihat perlakuan tidak pantas antara senior dan junior itu dalam satu ruangan.Emery menoleh dan buru-buru menjelaskan keadaannya. Sebelum menjadi salah paham dan timbul masalah besar.‘Gawat! Bisa jadi malapetaka ini,’ pikir Emery.“Ruben, kamu ngapain sama koas itu?” tanya Sean, sepupu Ruben. Dia seorang dokter spesialis anak yang sering mengunjungi Ruben di tempat kerjanya.Sean kaget mendapati sepupunya itu tengah bersama seorang wanita dan melakukan adegan tidak senonoh di depannya. Tidak! Bukan seperti itu kejadian sebenarnya, Emery sibuk menjelas
“Tu-tunggu sebentar!” cegah Emery. Dia merasa belum siap jika Ruben menyerangnya tiba-tiba.“Kita tidak saling mencintai,” Emery beralasan semampunya. Dia dalam posisi terjepit saat ini. Dia harus segera melarikan diri sebelum keduanya beranjak lebih jauh lagi.“Bukankah kamu mau melihatnya?” tantang Ruben.“Ah, itu … tidak jadi saja. Saya harus pergi sekarang,” tolak Emery.“Oke. Pergilah!” usir Ruben. Dia tahu jika diteruskan dirinya bisa khilaf.Ruben beranjak dari tempat tidurnya. Begitu pula dengan Emery. Wanita itu akan pergi meninggalkan Ruben. Sementara, Ruben masih memalingkan wajahnya ketika Emery benar-benar pergi meninggalkan kamarnya. Langkah Emery terhenti sejenak.“Dokter Ruben,” ucap Emery sembari membalikkan tubuh.Ruben menoleh. Tatapannya mulai berubah saat Emery mengoceh di hadapannya. Wanita itu sengaja membangkitkan gairah Ruben malam ini dengan memanggilnya lagi.“Berisik sekali wanita ini,” gumam Ruben gemas.“Saya mohon pada Anda, jangan terlalu menekan Sienna
“Dasar pengganggu! Mau tahu aja urusan orang lain,” ucap Ruben agak ketus.Ruben kesal sekali lantaran Sean masih saja mengganggunya. Tidak hanya di rumah sakit, di rumahnya pun pemuda tengil itu masih saja mengusiknya.Sean menoleh sebentar ke arah Ruben. Kemudian, dia menerobos masuk untuk melihat-lihat keadaan⸺seisi rumah sepupunya itu. Siapa tahu dia menemukan sesuatu yang aneh dan mencurigakan di sana. Apalagi setelah tahu Emery buru-buru meninggalkan rumah Ruben. Ish! Kepo sekali dia.Sean pergi ke kamar Ruben. Dia penasaran sekali. Benar saja. Seperti dugaannya. Rupanya mereka sudah menghabiskan malam bersama, pikir Sean sok tahu.“Kamu sama koas itu ada hubungan apa?” tanya Sean. Nada bicaranya langsung berubah dan agak santai. Tidak seperti waktu di rumah sakit yang harus bicara dengan gaya formal. Karena Ruben adalah atasan Sean di tempatnya bekerja.“Ah, apa jangan-jangan kalian udah tidur bareng? Iya, kan?” tuduh Sean mantap.Ruben menoleh ke arahnya dengan tatapan mata se
Sementara, Emery masih memandangi dirinya dalam cermin. Dia merasa bersalah sekali pagi ini karena sudah tidur dengan Ruben semalam. Tanpa sepengetahuan Sienna. Seandainya saja Sienna tahu, habislah dia.Siang itu, Emery sudah berdandan rapi dan hendak menemui Sienna di tempat yang sudah dijanjikan. Namun, ketika keluar dari rumah kosannya, seseorang membunyikan klakson mobil tepat di belakang Emery. Sontak saja, Emery terkejut melihat Ruben yang tengah duduk di jok kemudi memanggil Emery untuk segera masuk ke mobilnya.“Astaga! Mau ngapain lagi dia?” gumam Emery. Dia terpaksa berjalan ke arah Ruben, membuka pintu mobilnya. Lalu, duduk di sebelahnya.“Ada apa?” tanya Emery. Dia masih sebal dengan sikap Ruben tadi pagi.“Kamu masih marah, ya?” Ruben memastikannya lagi. Dia melihat raut wajah Emery yang sedari tadi tidak mau memandang ke arahnya.“Jelas saya marah! Di dunia ini mana ada wanita yang dengan sukarela menyerahkan seluruh harta berharganya untuk pria yang tidak dicintainya,”
“Kalian sudah datang rupanya,” sapa Ruben pada Emery dan Sienna. “Baguslah!”Ruben menampilkan senyum di depan kedua juniornya itu. Sayangnya, yang balas tersenyum hanya Sienna, sedangkan Emery lebih memilih untuk memalingkan wajah ketimbang membalas senyuman palsu yang ditunjukkan Ruben di hadapannya.Pandangan Ruben saat itu tertuju pada Emery. Sienna sempat memerhatikan gelagat mereka yang kelihatan sangat mencurigakan.“Ehem!” Sienna berdeham, membuyarkan lamunan Ruben dan Emery yang sontak menoleh ke arahnya.“Maaf, Dokter. Apa kami terlambat?” tanya Sienna hati-hati.“Tidak. Kalian datang tepat waktu,” sahut Ruben agak cuek. Pandangannya masih tertuju pada Emery seorang. Jadi, dia tidak begitu menghiraukan perkataan Sienna.“Emery, kamu kenapa?” tanya Ruben sok perhatian. “Kelihatannya kamu lelah sekali. Apa tidurmu nyenyak?”Deg!Kenapa senior sialan itu malah menanyakan keadaan Emery? Jelas-jelas hal itu malah makin memperjelas hubungan mereka. Sienna bisa makin curiga pada me
“Anda tidak bisa menghalangi Emery untuk pindah. Kami berdua sudah sepakat dan saya bersedia membayar berapa pun dendanya jika itu diperlukan,” tegas Ruben.“Tidak semudah itu, Dokter Ruben. Emery adalah staf pegawai di sini dan sudah menandatangani kontrak dengan pihak rumah sakit. Mau tidak mau dia harus patuh dan tunduk pada peraturan di sini. Denda yang Anda sebutkan tadi, tidak berlaku di rumah sakit kami.” Adrian bersikeras mempertahankan posisi Emery. Dia tidak akan goyah meski Ruben memberinya banyak uang.Adrian tidak akan pernah terpengaruh dengan nominal angka yang ditawarkan Ruben kepadanya. Yang dia inginkan adalah Emery, bukan uang Ruben.‘Sial! Rupanya dia akan menjadi batu kerikil yang menghambat perjalananku,’ batin Ruben.“Maaf, saya akan menghadiri rapat sebentar lagi. Lain kali kita bicarakan lagi tentang hal ini. Permisi,” pamit Adrian. Dia pergi begitu saja meninggalkan Ruben di ruangan
Emery mengangguk mantap. “Iya, aku mau.”“Kamu serius mengatakannya, kan?” Ruben antusias sekali. Akhirnya, setelah sekian lama penantiannya membuahkan hasil.“Tentu, aku serius. Aku sudah memutuskan, bukan?” Emery meyakinkannya.Ruben tak bisa membendung lagi perasaan bahagianya malam ini. Refleks, dia memeluk Emery dengan erat. Tangis haru turut mewarnai suasana malam yang dingin saat ini.“Terima kasih, Sayang. Aku akan segera mengurus kepindahanmu,” ucap Ruben seraya mencium kedua tangan Emery dengan lembut.“Ehem!” Sean berdeham di depan pintu. Perhatian Emery dan Ruben pun teralihkan dengan kedatangan Sean.“Maaf, aku mengganggu kalian berdua malam ini. Aku harus memeriksa keadaan pasienku terlebih dahulu,” kata Sean beralasan.“Silakan,” kata Emery mempersilakan. Dia dan Ruben segera menyingkir dari tempat tidur bayi Ben.Sean memeriksa k
Emery bergegas menuju daycare, tempat penitipan balita yang dekat dengan rumah sakit. Saat itu, dia berlarian bersama Sean karena khawatir terjadi sesuatu pada bayi Ben Joshua.“Dokter Emery! Syukurlah Anda segera datang.” Salah seorang perawat lekas memberikan bayi Ben pada ibunya.“Apa yang terjadi pada anakku?” tanya Emery.“Seperti bayi Ben demam tinggi,” sahut perawat tersebut. Tangannya gemetaran saat dia menyerahkan bayi Ben pada Emery.“Biar aku memeriksanya sebentar,” kata Sean yang cepat mengambil alih. Dia memeriksa kondisi tubuh bayi Ben yang saat itu mengalami demam, suhu tubuhnya hampir mencapai empat puluh derajat.“Sean, bagaimana hasilnya?” Emery tidak sabaran.“Apa dia mengalami muntah-muntah?” tanya Sean pada perawat.“Ya, tadi dia muntah setelah minum susu ASI yang ada di dalam botol,” sahut perawat.“Apa ASI-ku basi? Padahal, aku menyimpannya dalam keadaan steril.” Emery tidak kepikiran ke sana. Dia merasa ASI perahnya dalam kondisi baik dan steril.“Kita harus se
“Maafkan aku,” sesal Sean. Dia tak sengaja mencium bibir Sienna.Sean sibuk menjelaskan bahwa insiden ciuman itu benar-benar di luar kendalinya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu pada Sienna. Tapi, keadaan memaksanya.Ketika Sean hendak membenarkan posisi sabuk pengaman, tiba-tiba tangannya tergelincir saking tidak fokus memerhatikan bibir Sienna yang ranum. Dia ingin menahan tubuhnya, namun sudah tidak bisa. Refleks, bibirnya malah menyentuh bibir Sienna.“Tidak perlu meminta maaf padaku.” Sienna agak kecewa mengetahuinya. Dia kira, Sean benar-benar ingin menciumnya. Ternyata tidak.“Aku tidak ingin kamu salah sangka padaku,” sangkal Sean.“Tidak. Aku tidak berkata begitu kok,” bantah Sienna.Keduanya kini dalam posisi canggung. Masing-masing menahan malu dan tidak tahu harus berkata apalagi. Sean lekas duduk di joknya. Lalu, dia melajukan mobilnya menuju rumah Sienna. Sementara itu, jari
“Mau ke mana?” tanya Sienna.“Pokoknya ikut aku dulu aja!” balas Sean agak memaksa.Mau tidak mau Sienna pun akhirnya menuruti perintah Sean. Dia mengikuti Sean, saat dokter spesialis anak itu menarik lengannya dan membawanya pergi menjauhi Emery.“Sean, hentikan!” kata Sienna. “Kamu menarik tanganku dan itu sakit sekali.”“Oh, maafkan aku,” sesal Sean. “Aku tidak sengaja.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menyeretku pergi?” protes Sienna.“Aku ingin bicara.”“Ya udah, ngomong aja. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Aku buru-buru harus memeriksa pasien di bangsal VIP,” kata Sienna beralasan.“Apa Ruben menghubungimu?” Sean mencari tahu. Sienna menggeleng.“Tidak. Kenapa memangnya?” Sienna heran. “Dokter Ruben tidak pernah menghubungiku lagi sejak mereka bercerai.”&ld
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme