Sean lekas menemui Emery. Dia diberitahu oleh perawat di sana bahwa Emery sudah melahirkan putranya. Dia terlihat senang sekali mendengar kabar itu. Tanpa pertimbangan lagi, dia langsung pergi menjenguk Emery.
Sesampainya di rumah sakit tempat Emery melahirkan, Sean membawakan banyak hadiah untuk menyambut kelahiran putra Emery. Tadi dia sempat membeli beberapa potong pakaian bayi dan semua perlengkapannya. Khawatir Emery tidak sempat membawanya dari rumah.
Benar saja firasat Sean. Perawat yang memberitahunya itu mengatakan kalau proses melahirkannya sangat mendadak. Tidak sesuai dengan prediksi dokter. Jadi, Emery tidak membawa persiapan apa pun saat proses persalinan berlangsung.
Sean inisiatif sendiri membawakannya. Dia membelinya secara acak, dibantu oleh pelayan toko perlengkapan bayi itu. Dia tidak tahu apa saja kebutuhannya. Jadi, dia mencari orang yang mengetahuinya.
“Emery, bagaimana keadaanmu?” tanya Sean saat menemui Emery di kamar
“Apa kamu masih meragukan bayi itu?” Sean memastikan lagi.Ruben terdiam cukup lama. Bagaimana tidak, perasaannya yang mudah goyah dan terhasut oleh Sienna dulu menyebabkan dia kehilangan anak dan istrinya. Tidak hanya itu, perasaannya yang terus meragu pada Emery membuatnya merasa menyesal teramat dalam hingga saat ini.Ruben malu bertemu dengan Emery dan bayinya. Dia terus saja beralasan pada Sean. Padahal dia masih sangat gengsi mengakui bayi itu sebagai putranya.“Kamu bodoh sekali dalam cinta, Ruben. Kamu tidak bisa membedakan mana wanita tulus dan mana wanita yang sudah menghasutmu,” kata Sean sambil berlalu pergi.Sean segera bersiap-siap pergi. Lebih baik dia pergi dari pada harus mendengar ocehan sepupunya yang tidak berfaedah. Dia menegaskan kalau Ruben tidak akan ikut dengannya menemui Emery, sebaiknya Ruben pergi saja.Ruben pun pergi meninggalkan rumah Sean tanpa sepengetahuannya. Sepanjang perjalanan pulang, di
Emery masih menggendong bayi Ben Joshua ketika Ruben menghampirinya di kamar. Dia memeluknya sangat erat. Seolah-olah dia sedang mempertahankan Ben Joshua dari Ruben.“Aku ingin melihatnya,” pinta Ruben.Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Apa kamu yakin?”“Tentu. Sean bilang, dia mirip sekali denganku. Jadi, aku ingin memastikannya lagi,” kata Ruben dengan sungguh-sungguh.“Lupakan saja! Kamu masih meragukannya kalau begitu.” Emery nampak kesal sekali. Karena Ruben masih tidak percaya kalau Ben Joshua adalah putranya.“Aku akan memberikan Ben Joshua kalau kamu sudah merasa yakin bahwa dia adalah putramu. Jika hatimu masih setengah-setengah, sebaiknya kamu pergi saja. Tidak ada gunanya kamu berada di sini,” ketus Emery. Dia terlanjur kecewa dengan sikap Ruben.“Kenapa kamu seperti itu padaku, Emery?” Ruben heran.“Kamu yang memulainya, Ruben. Aku tida
Keesokan paginya, Ruben terbangun dari tidurnya. Ketika dokter akan kembali memeriksa bayi Ben Joshua. Ajaibnya, demam Ben Joshua langsung menurun drastis. Emery makin terharu dengan apa yang telah dilakukan Ruben pada Ben Joshua.“Demamnya sudah turun. Terima kasih banyak, Dokter Ruben. Anda sudah melakukannya dengan baik. Hanya seorang ayahlah yang mampu melakukannya,” puji dokter itu dengan bangga.“Terima kasih. Anda juga sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya,” balas Ruben. Secara tidak langsung dia mengakuinya di hadapan semua orang. Termasuk Emery.“Hari ini bayi Ben Joshua boleh pulang. Tapi, perhatikan perkembangannya lagi. Jangan sampai dia demam kembali,” saran dokter.Emery dan Ruben mengangguk bersamaan. Mereka terlihat kompak sekali saat ini. Setelah itu, dokter pergi meninggalkan ruang inap Ben Joshua. Bayi tampan itu masih tertidur pulas saat Emery memindahkannya ke ranjang pasien.Sementara itu, Ruben mengambil kemejanya. Lalu, dia memakainya kembali sambil mem
“Aku … tadi sedang menyusui putraku. Jadi, aku tidak memegang ponsel,” kata Emery beralasan.“Tapi, setidaknya kamu bisa memberitahuku terlebih dahulu, kan? Jangan membuatku cemas!” Emosi Ruben meledak-ledak saking khawatir dengan keadaan Emery.“Sejak kapan kamu peduli padaku?” sindir Emery.“Aku selalu peduli sama kamu, kamunya saja yang tidak peka terhadap perasaanku,” ketus Ruben seraya memalingkan wajah. Sesekali dia melirik Emery karena mantan istrinya itu tidak memberi respon apa pun.“Masuklah! Udara di luar sangat dingin,” kata Emery mempersilakan Ruben masuk. “Lagian hujan-hujan begini dan sudah larut malam malah datang bertamu, memangnya nggak bisa besok pagi saja?” gerutunya sambil menutup pintu setelah Ruben masuk ke ruang tamu.Tiba-tiba, kedua tangan Ruben melingkar di pinggang Emery. Pria itu memeluk Emery dari belakang dengan sangat erat.“A
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
“Ada pasien ibu hamil yang mengalami pendarahan. Cepat ke IGD!” kata salah seorang perawat usai menutup telepon darurat. Setelah diberitahu ambulans akan segera tiba di depan ruang IGD.Emery bersama rekan dokter muda lainnya segera berlari menyambut pasien. Di sana, keadaan semakin genting. Ketika tim medis mengeluarkan pasien dari mobil ambulans. Lalu, memindahkannya ke ranjang transfer pasien.Gawat! Pendarahan yang dialami pasien semakin banyak. Ibu hamil itu tak sadarkan diri dan ada luka lebam di sekitar wajahnya, Emery mengamatinya dengan seksama. Setelah pasien dipindahkan, para perawat dan dokter residen bergegas membawanya untuk diperiksa lebih lanjut oleh dokter spesialis kandungan.“Bagaimana keadaan pasien?” tanya dokter Ruben, senior Emery di rumah sakit pada salah satu rekan Emery yang bernama Sienna.“Sienna!” Emery menyikut rekan yang berada di sampingnya. Koas satu itu bukannya menjawab malah kelihatan gugup, gemetaran ketika dokter Ruben menanyakan analisanya.“Sa-s
“Ma-maafkan saya, Dokter. Saya tidak sengaja,” ucap Emery. Dia menyesali perbuatannya dan terus mengelap area sensitif itu sambil menelan salivanya bulat-bulat.“Sudah-sudah! Hentikan!” kata Ruben mencoba menghindarinya. Namun, Emery terus saja mengusap-usap noda di celana Ruben. Dia masih diliputi perasaan bersalahnya.Ceklek!“Astaga!” Seseorang membuka pintu ruang kerja Ruben tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Orang itu terkejut melihat perlakuan tidak pantas antara senior dan junior itu dalam satu ruangan.Emery menoleh dan buru-buru menjelaskan keadaannya. Sebelum menjadi salah paham dan timbul masalah besar.‘Gawat! Bisa jadi malapetaka ini,’ pikir Emery.“Ruben, kamu ngapain sama koas itu?” tanya Sean, sepupu Ruben. Dia seorang dokter spesialis anak yang sering mengunjungi Ruben di tempat kerjanya.Sean kaget mendapati sepupunya itu tengah bersama seorang wanita dan melakukan adegan tidak senonoh di depannya. Tidak! Bukan seperti itu kejadian sebenarnya, Emery sibuk menjelas
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m
“Aku … tadi sedang menyusui putraku. Jadi, aku tidak memegang ponsel,” kata Emery beralasan.“Tapi, setidaknya kamu bisa memberitahuku terlebih dahulu, kan? Jangan membuatku cemas!” Emosi Ruben meledak-ledak saking khawatir dengan keadaan Emery.“Sejak kapan kamu peduli padaku?” sindir Emery.“Aku selalu peduli sama kamu, kamunya saja yang tidak peka terhadap perasaanku,” ketus Ruben seraya memalingkan wajah. Sesekali dia melirik Emery karena mantan istrinya itu tidak memberi respon apa pun.“Masuklah! Udara di luar sangat dingin,” kata Emery mempersilakan Ruben masuk. “Lagian hujan-hujan begini dan sudah larut malam malah datang bertamu, memangnya nggak bisa besok pagi saja?” gerutunya sambil menutup pintu setelah Ruben masuk ke ruang tamu.Tiba-tiba, kedua tangan Ruben melingkar di pinggang Emery. Pria itu memeluk Emery dari belakang dengan sangat erat.“A
Keesokan paginya, Ruben terbangun dari tidurnya. Ketika dokter akan kembali memeriksa bayi Ben Joshua. Ajaibnya, demam Ben Joshua langsung menurun drastis. Emery makin terharu dengan apa yang telah dilakukan Ruben pada Ben Joshua.“Demamnya sudah turun. Terima kasih banyak, Dokter Ruben. Anda sudah melakukannya dengan baik. Hanya seorang ayahlah yang mampu melakukannya,” puji dokter itu dengan bangga.“Terima kasih. Anda juga sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya,” balas Ruben. Secara tidak langsung dia mengakuinya di hadapan semua orang. Termasuk Emery.“Hari ini bayi Ben Joshua boleh pulang. Tapi, perhatikan perkembangannya lagi. Jangan sampai dia demam kembali,” saran dokter.Emery dan Ruben mengangguk bersamaan. Mereka terlihat kompak sekali saat ini. Setelah itu, dokter pergi meninggalkan ruang inap Ben Joshua. Bayi tampan itu masih tertidur pulas saat Emery memindahkannya ke ranjang pasien.Sementara itu, Ruben mengambil kemejanya. Lalu, dia memakainya kembali sambil mem
Emery masih menggendong bayi Ben Joshua ketika Ruben menghampirinya di kamar. Dia memeluknya sangat erat. Seolah-olah dia sedang mempertahankan Ben Joshua dari Ruben.“Aku ingin melihatnya,” pinta Ruben.Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Apa kamu yakin?”“Tentu. Sean bilang, dia mirip sekali denganku. Jadi, aku ingin memastikannya lagi,” kata Ruben dengan sungguh-sungguh.“Lupakan saja! Kamu masih meragukannya kalau begitu.” Emery nampak kesal sekali. Karena Ruben masih tidak percaya kalau Ben Joshua adalah putranya.“Aku akan memberikan Ben Joshua kalau kamu sudah merasa yakin bahwa dia adalah putramu. Jika hatimu masih setengah-setengah, sebaiknya kamu pergi saja. Tidak ada gunanya kamu berada di sini,” ketus Emery. Dia terlanjur kecewa dengan sikap Ruben.“Kenapa kamu seperti itu padaku, Emery?” Ruben heran.“Kamu yang memulainya, Ruben. Aku tida
“Apa kamu masih meragukan bayi itu?” Sean memastikan lagi.Ruben terdiam cukup lama. Bagaimana tidak, perasaannya yang mudah goyah dan terhasut oleh Sienna dulu menyebabkan dia kehilangan anak dan istrinya. Tidak hanya itu, perasaannya yang terus meragu pada Emery membuatnya merasa menyesal teramat dalam hingga saat ini.Ruben malu bertemu dengan Emery dan bayinya. Dia terus saja beralasan pada Sean. Padahal dia masih sangat gengsi mengakui bayi itu sebagai putranya.“Kamu bodoh sekali dalam cinta, Ruben. Kamu tidak bisa membedakan mana wanita tulus dan mana wanita yang sudah menghasutmu,” kata Sean sambil berlalu pergi.Sean segera bersiap-siap pergi. Lebih baik dia pergi dari pada harus mendengar ocehan sepupunya yang tidak berfaedah. Dia menegaskan kalau Ruben tidak akan ikut dengannya menemui Emery, sebaiknya Ruben pergi saja.Ruben pun pergi meninggalkan rumah Sean tanpa sepengetahuannya. Sepanjang perjalanan pulang, di
Sean lekas menemui Emery. Dia diberitahu oleh perawat di sana bahwa Emery sudah melahirkan putranya. Dia terlihat senang sekali mendengar kabar itu. Tanpa pertimbangan lagi, dia langsung pergi menjenguk Emery.Sesampainya di rumah sakit tempat Emery melahirkan, Sean membawakan banyak hadiah untuk menyambut kelahiran putra Emery. Tadi dia sempat membeli beberapa potong pakaian bayi dan semua perlengkapannya. Khawatir Emery tidak sempat membawanya dari rumah.Benar saja firasat Sean. Perawat yang memberitahunya itu mengatakan kalau proses melahirkannya sangat mendadak. Tidak sesuai dengan prediksi dokter. Jadi, Emery tidak membawa persiapan apa pun saat proses persalinan berlangsung.Sean inisiatif sendiri membawakannya. Dia membelinya secara acak, dibantu oleh pelayan toko perlengkapan bayi itu. Dia tidak tahu apa saja kebutuhannya. Jadi, dia mencari orang yang mengetahuinya.“Emery, bagaimana keadaanmu?” tanya Sean saat menemui Emery di kamar
Adrian segera menemui Emery di ruang persalinan. Dengan raut wajahnya yang panik itu dia berlarian sekuat tenaga sebelum Emery melahirkan bayinya.“Emery!” panggil Adrian.Beruntung, Adrian masih bisa menemui Emery sebelum perawat menutup ruang persalinan. Dia was-was sekali.“Emery, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Adrian.“Sakit sekali,” sahut Emery.“Benarkah? Apa perlu aku mendampingimu?” tawar Adrian.Emery menggeleng, “Tidak usah. Aku akan baik-baik saja nanti.”“Aku mohon … tetaplah bertahan. Aku ingin kamu dan bayimu selamat. Aku akan menunggumu.”“Terima kasih, Adrian,” ucap Emery sambil menahan nyeri akibat kontraksi di perutnya.Perawat akan segera menutup ruang persalinan. Adrian diminta untuk segera meninggalkan ruangan tersebut. Mau tidak mau, akhirnya Adrian pun mengalah. Dia keluar dari ruangan itu dalam keadaan
Dua bulan kemudian. Sejak Ruben dipecat dari rumah sakit, dokter jenius itu menghilang tanpa jejak. Tidak ada kabar lagi tentangnya. Dia menutup semua komunikasi dan tidak ada seorang pun yang tahu keberadaannya.Emery makin gelisah karena tidak menemukan mantan suaminya di mana pun. Sean sudah ikut membantu dan mencari keberadaan Ruben. Namun, mereka tidak berhasil menemukannya.“Di mana dia berada sekarang?” Emery frustrasi sekali.Usia kandungan Emery kini sudah memasuki trimester terakhir. Dokter sudah menyarankannya untuk segera mengambil cuti. Karena kemungkinan hari kelahiran bayinya diperhitungkan bisa lebih cepat dari prediksi dokter Adelina.“Emery, jangan pikirkan apa pun! Kesehatan bayimu lebih penting,” kata dokter Adelina menasihatinya.“Aku masih kepikiran tentang ….” Kalimat Emery terhenti beberapa saat.“Ayahnya, kan?” terka dokter Adelina. Emery mengangguk pelan sambil