“Ada apa, Bu Nisa? Tumben ngajak saya ngomong, gak biasanya nih” tanya Wahyu dengan wajah cerah kepada Nisa ketika di kantor sekolah, yang juga disaksikan oleh Deden, serta Riri, sebagai sahabatnya.
Sebenarnya ingin sekali Nisa marah dan mencaci maki lelaki yang ada di hadapannya itu, akan tetapi ia urungkan kembali setelah mengingat pesan lelaki tua yang ia temui kemarin di kereta, agar bersikap baik kepada orang yang menjampi-jampinya. Dengan tujuan, tentu saja, agar lelaki itu rela dan ikhlas jika Nisa menolak cintanya, serta agar lelaki itu pun mau menghentikan niat jahatnya dan mencabut jampi-jampi yang sudah ia lakukan. Nisa mengembuskan nafasnya berat, berulang kali, bukan sekali saja, sebab ia sedang mencoba untuk mengendalikan emosinya, agar tidak berlarut-larut dan meluap. “Saya mau tanya, tapi jawab dengan jujur,” ucap Nisa yang kini terhenti lagi, sehingga menjadikan Wahyu hanya mengerutkan dahinya saja, tak mengerti dengan sikap Nisa yang berbe“Mbah, kok gak bilang-bilang sih sama saya kalau peletnya gagal pada target?” tanya Wahyu bersungut-sungut sebal kepada lelaki setengah tua, yang katanya adalah orang pintar.Lelaki setengah tua itu sedikit terkejut dengan kedatangan Wahyu yang tiba-tiba saja tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, selonong boy begitu saja, tidak punya sopan santun karena saking kesal dan sebalnya.“Kenapa gak mengetuk pintu dulu, Wahyu! Kamu ini kebiasaan sekali,” balas lelaki setengah tua itu yang bernama Mbah Mijan bersungut-sungut pula.Wahyu dan Mbah Mijan memang sudah akrab, keduanya sudah sering kali bertemu, terlebih memang bahwa Mbah Mijan itu adalah salah satu keluarganya pula, keluarga jauh lebih tepatnya.“Saya kesal karena pelet yang Mbah kirimkan untuk wanita yang saya suka itu ternyata gagal, bahkan dia juga tahu kalau saya udah memeletnya,” tutur Wahyu lagi menjelaskan kepada Mbah Mijan dengan wajah yang masih menampakkan rasa kecewa dan kesal.“Mbah sudah
“Ada apa, Bu?” tanya Nisa kepada ibunya, entahlah tiba-tiba saja wanita polos itu dipanggil oleh ibunya, seperti akan membicarakan sesuatu yang sangat penting sekali.“Jadi begini, kemarin siang Bu Wawat ke sini, katanya kamu mau gak dikenalkan dengan keponakannya, anak dari adiknya Bu Wawat,” ucap Ibu kepada Nisa langsung saja, tanpa basa-basi lagi mengatakan maksud dan tujuannya.Nisa masih terdiam, ia masih belum bisa mencerna apa yang dimaksudkan oleh ibunya.“Jadi, keponakannya Bu Wawat itu sedang mencari istri, katanya, orangnya baik, kalem, dan juga sudah haji, jadi udah pasti dia sangat taat agamanya.” Ibu menjelaskan lagi, kini sudah fahamlah dengan apa yang dimaksudkan oleh ibunya itu, ternyata hendak berniat menjodohkan.Bagaimana bisa Bu Aisyah itu mengatakan bahwa lelaki yang akan dijodohkan dengan Nisa adalah orang yang taat beragama hanya karena sudah naik haji? Padahal sudah jelas pada zaman saat ini gelar haji hanya dijadikan sebagai gengsi
“Waalaikumussalam.” Bu Aisyah − Ibunya Nisa pun segera bergegas menuju depan, membukakan pintu dan melihat pula siapa gerangan yang datang bertamu ke rumahnya.“Bu Aisyah,” sapa wanita paruh baya yang usianya sekitar setengah abad.“Eh, Bu Wawat, silakan masuk, ayok!” seru Bu Aisyah, ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya pada malam hari itu adalah Bu Wawat, orang yang memang ia sedang tunggu juga, bahkan awalnya, Bu Aisyah ingin langsung datang ke rumah Bu Wawat, hanya untuk memberikan kabar bahwa Nisa bersedia untuk dijodohkan dengan keponakannya.Kedua wanita paruh baya itu pun langsung masuk ke dalam rumah, yang tentunya di ruang tamu sana ada Nisa dan juga bapaknya, Epi.“Wah, kayaknya lagi kumpul juga, ya,” seru Bu Wawat ketika ia sampai di ruang tamu dan mendapati Nisa di sana, orang yang memang sedang ia tunggu juga jawabannya.“Wah, iya nih, Nisa juga ada di rumah, pas sekali Bu Wawat datang ke sini,” timpal Pak Epi yang kini ikut berkomen
“Jadi ini Haji Eneng, adik saya itu, Bu Aisyah, Pak Epi, dan juga anaknya Reza.” Bu Wawat memperkenalkan adiknya itu beserta dengan suami dan juga anaknya, yang akan dijodohkan dengan Nisa.Ya, keluarga Bu Wawat kini sedang mendatangi rumah Nisa, sebagai pertemuan pertama, dan juga sekaligus sebagai tanda jadi, karena keduanya sudah sama-sama saling menerima perjodohan tersebut.“Oh, iya, Bu Haji,” ucap Pak Epi, yang kemudian semuanya pun kini saling berkenalan satu sama lain, disusul dengan senyuman Bu Aisyah dan juga Nisa.“Jadi adik saya ini memang sejak SMP sudah di kota, gak tinggal lagi di sini, dia sekolah di sana sampai kuliah, dan hingga akhirnya ketemu jodoh di sana juga, si Ayah Toni,” ucap Bu Wawat juga memperkenalkan.“Oh, iya, ya, saya juga ingat bagaimana Haji Eneng itu kecilnya,” timpal Bu Aisyah seraya tersenyum lebar.“Oh, iya, jadi ini anak saya, yang paling ganteng dan baik, Reza namanya, Bu, Pak, Nisa, kalau dia sih gimana saya aja
“Jadi bagaimana, Bun? kapan Reza bisa nikah sama Nisa?” tanya Reza kepada Bundanya, ketika mereka tentu saja sudah sampai di rumahnya lagi, di kota, yang memerlukan waktu sekitar 2 jam lebih saja untuk ke rumah Nisa.“Sabar dong, Za, kamu itu baru juga kenal dan ketemu satu kali, udah ngebet banget kayaknya pengin nikah,” celetuk Toni, Ayahnya Reza seraya terkekeh.“He he he. Reza kan pengin cepat punya istri, Ayah, pengin cepat ada yang ngurusin juga,” jawab Reza lagi berkelakar.Eneng masih diam saja mendengarkan suami dan anaknya itu berbincang, sesekali focus pada ponselnya, entah apa yang sedang wanita itu lakukan.“Si Bunda sibuk banget sih, Za, lagi apa sih dia?” tanya Toni kepada Reza seraya mengangkat kedua alisnya, dan dengan penuh rasa penasaran pun, Reza mencondongkan tubuhnya ke arah bundanya, untuk mengecek apa yang sedang ia lakukan.“Wah, si Bunda lagi stalking Face book Nisa, kayaknya, Yah,” jawab Reza kepada Ayahnya, lalu kembali mena
[Hallo, Nisa sayang, kamu lagi apa, sayang?] tanya Reza kepada Nisa melalui pesan singkat yang dikirimkan oleh lelaki itu dengan tata bahasa yang selalu berulang kali digunakan double. Nisa hanya tersenyum datar saja ketika mendapati pesan dari calon suaminya, ia sendiri sudah pasrah dengan apa yang terjadi kepadanya saat ini, mungkin dengan perjodohan ini akan menghilangkan perasaannya juga kepada Dani. Sebab Nisa cukup yakin dengan dirinya sendiri bahwa ia akan setia kepada lelaki yang menjadi suaminya nanti. Ia pasrah menerima begitu saja untuk menikah dengan lelaki yang baru saja ia kenal beberapa hari lalu, karena memang ibu dan bapaknya sudah percaya penuh kepada mereka. Biarkan saja dulu Nisa menyenangkan hati kedua orang tuanya dengan pernikahan tersebut. Toh ini adalah pilihan mereka, yang dianggapnya tepat, katanya pilihan orang tua selalu tepat, begitu katanya. “Aku lagi rebahan aja,” jawab Nisa singkat
“Eh, kemarin aku lihat ada mobil putih di depan rumahmu, siapa itu, Nis?” tanya Riri kepo kepada Nisa, tanpa memanggilnya dengan gelar ‘bu’ seperti yang lainnya, sebab memang Nisa ada di bawah Riri usianya, hanya selisih 2 tahun saja, terlebih keduanya sudah sangat akrab sekali, bahkan Nisa pun sering juga memanggil nama langsung kepada Riri.Nisa terdiam sejenak, ia tak langsung menjawab, sebab ia pun masih enggan untuk menceritakan masalah perjodohannya tersebut kepada orang lain.“Aku mau dijodohkan dengan keponakannya Bu Wawat yang di kota.” Nisa menjawab dengan singkat, akan tetapi sudah cukup membuat Riri terkejut mendengarnya, bahkan terkesiap, seraya matanya terbelalak.“APA? DIJODOHKAN DENGAN KEPONAKANNYA BU WAWAT?” mulut Riri sedikit terbuka karena saking terkejutnya, menganga dengan mata terbelalak. “Iya, katanya sih keluarga dia yang di Kota berbeda dengan yang di kampung kita, gak songong dan sombong,” ucap Nisa, seperti sudah tahu dengan maksu
“Pak Dani, udah dengar cerita tentang Bu Nisa belum, yang katanya mau menikah?” tanya Siti kepada Dani sekenanya saja kepada Dani, yang mana sekelilingnya ada beberapa guru lainnya pula, yang secara tidak langsung dapat didengar pula oleh rekan guru yang lainnya juga. Dani terkesiap ketika mendengar pertanyaan dari Siti yang tiba-tiba saja membahas Nisa di depan banyak orang, dan hal itu tentu saja menjadikan Dani teringat kembali kepada Nisa, padahal sudah satu bulan lebih tidak saling komunikasi. Kali ini Dani sudah benar-benar insyaf dan tidak lagi menjalin hubungan dengan Nisa setelah untuk kedua kalinya tertangkap basah oleh Rika. “Kok Pak Dani diam aja? Kayaknya udah tahu, ya?” tanya Siti lagi terus menerus kepada Dani, yang sengaja ingin menggoda lelaki itu, yang kini wajahnya nampak pias. “Saya gak tahu apa-apa, Bu. Lagi pula saya juga tidak ingin ikut campur dengan urusan orang lain seperti Bu Siti,” celetuk Dani seken
“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul
[“Jadi benar dengan kabar yang tersebar, Nis? Kamu sudah resmi bercerai?”] isi pesan yang dikirimkan oleh Dani kepada Nisa pada siang hari itu, ketika Nisa sedang berada di kantor sekolah, seperti biasanya.Nisa diam sejenak ketika mendapati isi pesan dari Dani yang kini tiba-tiba datang kembali setelah beberapa bulan ini menghilang, seperti biasaya, datang dan pergi begitu saja karena memang ada istrinya pula yang harus dijaga.Wanita muda itu kini menghela nafasnya panjang, berat, ia tahu dengan kondisinya saat ini jika membalas pesan Dani hanya akan membuat suasananya semakin kacau saja, akan ada salah faham antara Dani dan istrinya lagi.“Kenapa? Kayaknya gabut banget?” tanya Riri kepada Nisa kini sedang menyandarkan tubuhnya itu di sandaran kursi.Nisa tak menjawab, ia tak ingin Riri tahu bahwa dirinya baru saja mendapat pesan dari Dani, ia tak ingin Riri tahu juga jika Dani kembali mengirim pesan, karena memang tak ada gunanya juga, untuk saat ini Nisa ingin menjauhi Da
“Wah, Nis, gila tahu gossip kamu rame banget, emangnya gimana tadinya sampe debat gitu sama Bu Ineu dan Bu Rini si ratu gossip?” tanya Riri kepada Nisa ketika di sekolah, seperti biasa, penasaran, karena memang Riri yang jarak rumahnya hanya sekitar 500 m saja, tentu sudah dapat mendengar desas desus apa yang terjadi kepada Nisa.Nisa hanya mengerutkan dahinya saja, tidak langsung menjawabnya. Dan membuat Riri harus bertanya untuk kedua kalinya.“Dih, kamu kebiasaan deh kalau aku nanya, pasti gak langsung dijawab, harus dua kali nanya aja,” keluh Riri, menggerutu, tidak suka dengan kebiasaan Nisa. Nisa terkekeh saja, sebelum akhirnya ia menjawab.“Ya, merekanya duluan yang lebih dulu marah-marah gak jelas di depan rumah orang, ya aku lawanlah, sekalian orang model begitu harus dikasih pelajaran, biar kapok, mereka pikir, aku akan diam aja kali, ya, gak bakal ngelawan,”“Ha ha ha. Iya juga sih, benar. Banyak yang bilang ibu-ibu, katanya lu adalah orang yang paling berani melaw
“Gimana, Teh? Aman kan semuanya? Udah beres?” baru saja Bu Ineu sampai di rumah Eneng, akan tetapi sang pemilik rumah sudah memberondongi tanya kepadanya, menanyakan hal yang memang ia tugaskan kepada Tetehnya itu untuk menyebarkan gossip mengenai Nisa.Akan tetapi orang yang ditanya kini malah menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas berat, dan diam saja untuk beberapa saat sehingga menjadikan Eneng bertanya-tanya.“Kok lemas gitu sih, Teh? Ada apa memangnya?” tanya Eneng lagi penasaran dengan tetehnya itu, yang ia harapkan tentunya mendapat kabar baik mengenai nama baiknya itu di kampung, meski pada faktanya bertolak belakang dengan keinginan wanita tersebut.“Kenapa kamu gak bilang kalau si Reza itu impoten, Neng?” Bu ineu bertanya langsung saja pada masalah intinya, sehingga menjadikan Eneng tersentak dan hanya membulatkan matanya saja, sempurna, tidak percaya dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh tetehnya itu.“Lho kok Teh Ineu malah nanya itu sih