“Berjuang lah untuk pernikahanmu, Nak, itu lah tugasmu sebagai seorang istri,” kata Nania menatap ibunya. “Seberat apa pun itu, kamu hanya harus melakukan sesuatu yang mungkin dapat merebut suamimu, kamu adalah Wanita dan istri yang sah di mata Allah, dan yang sah akan kalah dengan yang tidak ada hubungannya. Perkara hati mungkin memang miliknya, tapi di mata Allah, semua pahala datang kepadamu.”
Nania sedih mendengar curhatan putrinya, sejak dulu Jingga memang suka curhat pada ibunya. Ia lebih baik curhat kepada ibunya daripada pada orang lain. “Sekarang Fatan sedang kebingungan, jadi tuntun dia pada Allah. Niscaya apa yang kamu inginkan akan kamu dapatkan, Nak.” Nania melanjutkan. “Iya, Bu. Mungkin Jingga terlalu banyak pikiran. Jingga hanya takut suami Jingga masuk ke dalam api neraka.” “Ibu hanya bisa ngasih saran, coba kamu panggil suamimu. Bicarakan ini baik-baik, jika dia tidak menerimanya, kamu bisa mencobanya lagi nanti, tugas istri bukan hanya sekedar memasak, membersihkan dan melayani suami, namun ada kerja sama didalamnya. Jika suamimu tersesat sejenak, panggil dia pulang dengan lembut. Tetap layani suamimu, tetap masak walau tak dimakan, ajak shalat walau dia menolak.” Jingga mengangguk, setiap curhat pada ibunya, Jingga pasti akan lebih baik, ia merasa lebih tenang, ia tidak gundah lagi, baru saja ia merasa seperti laknat pada Allah, namun ketika bertemu ibunya dan curhat kepada ibunya, semua menjadi baik-baik saja. Nania bukan tipe orangtua yang akan ikut marah, yang akan ikut menimpali, yang akan ikut gundah disaat anak-anaknya tak bahagia, namun Nania akan mengajari putrinya sebaik mungkin. “Bu, jangan bilang ke Bapak, ya, nanti Bapak malah kepikiran.” “Iya, Nak. Ibu nggak mungkin bilang ke Bapak.” Nania menjawab.***
Jingga memasak seperti biasanya, mau bagaimanapun juga Fatan tetap suaminya, ia harus memperlakukan Fatan secara hormat terlepas dari sikapnya. Jingga menoleh melihat ke arah jam dinding, hari sudah menunjukkan pukul 7 malam, dan seperti biasa Fatan tidak di rumah, pasti lagi di rumah Elsa. Jingga juga mendengar bahwa Elsa tinggal di lantai ini, Jingga tidak ingin mencari tahu karena sudah pasti akan sakit hati. Menikah memang tak mudah, tapi Jingga tidak pernah berhenti berharap jika suaminya akan mencintainya dan mereka akan bahagia, walaupun suaminya itu belum selesai dengan masa lalunya. Jingga tahu bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya sudah menjadi takdir Allah, ia di beri ujian ini karena Allah tahu ia mampu. Jingga begitu produktif, mau bagaimana pun sikap suaminya, mau suaminya makan atau tidak. Tak lama kemudian, suara bel pintu terdengar, jika yang datang adalah Fatan sudah pasti Fatan akan langsung masuk karena memegang cardlock. Jingga mematikan kompor, lalu melangkah menuju pintu. Ia membukanya dan melihat Elsa bersedekap didepannya. Jingga membulatkan mata, Elsa datang? Disaat Fatan tak di rumah? “Ada apa, ya?” tanya Jingga. “Aku mau bertemu Fatan,” jawab Elsa menerobos masuk. “Mas Fatan tak di rumah. Jadi, saya minta kamu keluar, jangan menerobos masuk ke rumah orang lain tanpa izin.” Jingga melanjutkan. Elsa berbalik dan menatap Jingga. “Apa? Tanpa izin? Rumah orang? Semua yang kamu miliki ini seharusnya menjadi milikku. Kamu hanya istri sementara, sebentar lagi Fatan akan menceraikanmu dan menikahiku. Apa kamu masih berhak mengatakan bahwa ini rumah orang? Rumah kamu maksudnya? Apa pun yang menjadi milik Fatan, adalah milikku.” Jingga merasa sesak ketika mendengar perkataan Elsa barusan, semudah itu menyebut perceraian, apakah benar Fatan mau menceraikannya? “Walau Mas Fatan punya pemikiran mau menceraikan saya, tapi setidaknya saat ini saya masih istrinya dan saya masih berhak mengusir kamu dari sini.” Elsa berjalan memajui Jingga, berdiri tepat didepan Jingga dan berkata, “Kamu jangan sok kuasa di sini.” “Kenapa? Kamu marah? Karena kamu meninggalkan semuanya dan kini saya yang memilikinya? Pasti ada sesal di dalam hatimu, bukan? Kamu pasti mengatakan andai tidak meninggalkan Mas Fatan, semua ini akan menjadi milik kamu. Tapi sayangnya, kamu membuang harga dirimu dengan meninggalkannya, lalu membuang harga dirimu sekali lagi dengan datang di saat dia sudah menikah.” Elsa hendak menampar Jingga, namun dengan cepat Jingga menahan lengannya. “Jangan berusaha mengintimidasi saya di sini, saya berhak mengusir kamu dan saya berhak mengatakan ini,” kata Jingga menghempaskan tangan Elsa. “Kamu jangan sombong hanya karena sekarang kamu memegang predikat istri sah.” “Kalau kamu punya harga diri, jangan datang mencari suami orang ke rumahnya apalagi di sini ada istrinya.” “Kamu ternyata tidak aku sepelekan, ya. Kamu mau sok kuat di sini, okelah. Dengan kamu mengatakan itu, artinya kamu menantangku. Aku pastikan kamu tak akan sanggup.” “Ada apa ini?” tanya Fatan yang baru pulang. “Fatan? Kamu baru pulang? Darimana?” tanya Elsa menghampiri Fatan dan memeluknya. Jingga membuang muka dan tidak mau melihat dosa yang dilakukan Elsa, dengan memeluk suami orang lain. “Aku datang mencarimu.” Elsa melanjutkan. Fatan menoleh melihat Jingga yang melangkah menuju dapur. “Ayo kita ke rumahmu,” ajak Fatan menarik Elsa. Sepeninggalan keduanya, Jingga menumpuh kedua tangannya dimeja makan dan ia mulai mengatur napas. Jika tidak mengatur napas, ia pasti akan kehilangan kesabaran, seorang suami menarik wanita yang bukan mahromnya dan keluar dari rumahnya sendiri. Meninggalkan istrinya yang terlihat bingung. Sebagai istri, bukankah Jingga berhak?Jingga tak habis pikir suaminya tengah di rumah cinta pertamanya untuk menenangkannya, dan mungkin melakukan hubungan diluar batas.Tak butuh waktu lama, Fatan masuk ke apartemennya dan melihat Jingga sedang duduk di sofa menunggunya. Jingga butuh penjelasan hari ini.“Mas, apa Elsa sudah tenang?” tanya Jingga menatap suaminya, seolah pertanyaan itu adalah pertanyaan yang menyinggung.“Maafkan Elsa, ya,” ucap Fatan.“Jangan minta maaf pada saya, Mas, saya yang salah karena masuk di antara kalian,” jawab Jingga menunduk sesaat lalu kembali mendongak menatap suaminya. “Apa yang Elsa katakan memang benar, semua ini memang seharusnya menjadi miliknya.”“Jingga, kamu tidak akan paham perasaan saya.”“Kamu minta saya pahami, Mas? Apa tidak terbalik?”“Iya. Saya tahu, saya salah,” ucap Fatan.“Saya tak akan pernah memaksamu memilih hidupmu, tapi saya harap kamu memilih di antara kami, agar tidak ada yang terluka. Saya siap pergi jika kamu suruh pergi.”“Jingga, bukan kamu yang salah. Tapi pe
Jingga menatap langit dengan tatapan sedih, inikah pernikahan yang dia inginkan? Berat rasanya menerima setiap jengkal langkah kaki Fatan untuk ke rumah Elsa. Ia sudah mengetahui dimana suaminya sering pergi, namun ia tak memiliki keberanian untuk marah ataupun meninggikan suaranya.Masakan yang sering masak jarang sekali di sentuh, kadang di sentuh, kadang juga tidak. Fatan menoleh melihat istrinya itu tengah duduk diam di teras apartemen, Fatan memandang punggung Jingga dan akhirnya pergi meninggalkan Jingga.Fatan menerima kasih sayang Jingga, menerima perhatian Jingga dengan senang hati namun tak bisa memberikan hatinya.*Elsa melihat di sekitar kafe dan mencari seseorang yang memanggilnya kemari, Elsa melihat seseorang melambaikan tangan, gadis itu adalah Fani, adiknya Fatan.Elsa melangkah dengan anggunnya mendekati Fani dan Rista–sang Ibu mertua. Yang ia anggap.“Ma, Fani jadi tahu kalau Abang itu suka sama Elsa yang modis. Sementara Kak Jingga kan penampilannya biasa saja, t
“Mas, kita shalat isya sama-sama yuk,” ajak Nilam.“Apa sih, Jingga, kamu ganggu orang saja kerjaannya.” Fatan begitu marah.“Mas, apa kamu tidak mendengar suara azan, itu artinya kita di suruh shalat mas, lagian tidak memakan waktu lama kok. Hanya beberapa menit saja,” kata Jingga lagi masih tetap keukeuh mengajak suaminya.“Saya bilang tidak ya tidak,” kata Fatan. “Setelah kerjaan saya selesai juga saya akan ke rumah Elsa.”“Mas,” lirih Jingga.“JINGGA!”“Mas, kamu tahu nggak malam ini malam apa?” tanya Jingga menatap suaminya yang cuek, dan tidak menjawab pertanyaannya. “Malam ini adalah malam Nifsu Syaban. Bulan Syaban merupakan salah satu bulan yang istimewa dalam Islam, terletak di antara Rajab dan Ramadan. Di dalamnya terdapat malam Nifsu Syaban, yang diyakini sebagai malam penuh berkah, ampunan, dan pengabulan doa.”Fatan masih cuek dan tidak mengatakan apa pun, ia masih sibuk dengan tab miliknya.“Mas, asal kamu tahu saja umat Islam dianjurkan untuk memanfaatkan momen ini den
Jingga POV.Aku keluar dari kamar karena merasa haus, aku menoleh melihat ranjang disampingku dan Mas Fatan belum pulang, ia pasti sedang bermadu kasih dengan Elsa.Ya Allah … aku tahu ini juga Sebagian dari dosaku karena membiarkan suamiku melakukan maksiat di luar sana, namun apa kah dayaku untuk menahannya? Dia memiliki masa lalu, memiliki kehidupan sebelum bertemu denganku, aku mana tahu akan terjadi hal seperti ini. Bukan menyesali pernikahanku dengan Mas Fatan, namun kehadiran masa lalunya yang membuatku tak bisa berbuat apa-apa.Elsa benar, aku mungkin istri sah Mas Fatan, namun hati, perasaan dan jiwa Mas Fatan di miliki Elsa. Apa yang bisa aku lakukan?Aku meraih air mineral dan meneguknya, aku duduk di kursi depan meja makan dengan helaan napas halus, aku melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 2 malam. Namun, Mas Fatan belum Kembali.Aku memiliki hak untuk marah, bukan? Apalagi melihat maksiat didepanku, sepandai-pandainya aku dalam agamaku, tapi aku akan tetap b
Aku pulang cepat setelah jam mata kuliahku selesai, aku langsung mampir belanja, selama menikah aku tidak pernah diberi uang oleh Mas Fatan, jadi aku gunakan uangku sendiri.Aku belanja kebutuhan rumah dan semua yang Mas Fatan butuhkan, aku juga membeli beberapa obat-obatan untuk persiapan di rumah, agar nanti jika salah satu dari kami sakit, lebih mudah untuk mencegahnya.Sesampainya aku di apartemen, ku lihat Elsa baru keluar dari rumahnya, aku sempat kaget dan tak percaya ketika tahu Elsa tinggal di unit sebelah kami, tepat di sebelah. Mungkin Mas Fatan melakukan itu agar lebih dekat dengan Elsa.Elsa melihat apa yang aku tenteng. “Habis belanja?”“Kelihatannya bagaimana?” tanya Elsa.“Ya sepertinya begitu.”“Ya sudah. Jangan tanya lagi jika sudah jelas.”“Ya ampun, kamu memang tidak pernah menyerah sama sekali, ya. Percuma kamu melakukan semua ini, Fatan tidak akan pernah melihat ke arahmu. Dia hanya mencintaiku,” kata Elsa seolah memberitahu dengan penekanan.“Mau dia cinta sama
Aku menaruh bubur yang sudah ku buat diatas nakas, aku duduk di tepi ranjang, lalu menoleh melihat Mas Fatan yang masih tertidur dengan lelap. Ternyata ketika sakit seperti ini, Mas Fatan tak bisa apa-apa, demamnya tinggi dan ia terus berkeringat.Aku harus sigap bukan? Ini bukan tentang perbuatannya kepadaku, melainkan ini tentang aku yang berstatus istrinya. Terkadang aku berusaha menerima semuanya, tapi terkadang didalam hati, aku tidak menerimanya. Selalu bingung dengan apa yang terjadi.Ku tatap wajahnya, tampan sekali. Siapa yang tak akan menyukainya? Bibirnya di bentuk dengan rapi, kedua bola matanya, warna kulitnya dan rambutnya. Semua terpahat dengan rapi, bukan hanya Elsa atau aku, setiap wanita pasti akan menyukainya.“Mas,” panggilku ketika melihat Mas Fatan bergerak gelisah.Mas Fatan membuka pejaman matanya dan melihatku dengan samar, duduk disampingnya.“Mas, ayo makan, saya sudah buatkan bubur,” kataku.Mas Fatan lalu bangkit dari pembaringannya, aku membantu
Malam itu adalah malam pernikahan Jingga Teresa. Seorang gadis berusia 25 tahun yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan suaminya Fatan Liun Aksara—seorang pengusaha kaya raya, dan kini berusia 30 tahun, ia adalah ahli waris keluarga Aksara.Pernikahan yang harusnya bahagia menjadi malam pernikahan penuh luka, bagaimana tidak jika di malam pertama pernikahan, Fatan meninggalkan rumah dan menemui mantan kekasihnya yang baru datang dari Los Angeles. Elsa namanya, sang mantan kekasih yang sangat Fatan cintai, dan tidak bisa Fatan lupakan hingga saat ini.Ketika mendengar mantan kekasihnya kembali, Fatan rela meninggalkan malam pernikahan mereka.Jingga menatap pemandangan diluar rumah, hujan tak berhenti sejak sore, hujan yang seolah menggantikan Jingga menangis, hujan yang seolah tahu bagaimana perasaan sang Jingga saat ini.Jingga tidak menyalahkan takdir, namun Jingga hanya menginginkan kebahagiaan. Walau sederhana mengatakannya, namun sulit untuk dilakukan. Apalagi menemani pri
Pagi hari berjalan seperti biasanya, Fatan belum pulang ke rumah, Jingga sudah bersiap untuk sarapan bersama keluarganya, ketika hendak keluar dari kamarnya, suaminya masuk dan baru pulang.Jingga hendak meraih tangan Fatan, namun Fatan menghindarinya. Jingga menatap wajah suaminya yang saat ini berganti pakaian.“Mas, kamu baru pulang? Semalam kamu menginap dimana?” tanya Jingga masih dengan suara yang lembut.“Saya menginap di rumah Elsa," ucap Fatan berterus terang.“Elsa? Kenapa kamu menginap di sana, Mas? Apa yang terjadi? Elsa bukan muhrimmu, tapi kamu menginap di sana?” Jingga tak habis pikir, perasaannya memang sudah tidak enak beberapa hari ini, semenjak Elsa datang di tengah mereka.“Kami sudah terbiasa melakukannya.” Fatan kembali menjawab seolah itu tidak penting bagi Jingga.Jingga merasa sesak didadanya, ia mengira pernikahan ini akan menjadi pernikahan yang bahagia, setidaknya diawal pernikahan seperti itu, bukan? Tapi, kenapa berbeda? Fatan bukan orang yang jahat, ia a
Aku menaruh bubur yang sudah ku buat diatas nakas, aku duduk di tepi ranjang, lalu menoleh melihat Mas Fatan yang masih tertidur dengan lelap. Ternyata ketika sakit seperti ini, Mas Fatan tak bisa apa-apa, demamnya tinggi dan ia terus berkeringat.Aku harus sigap bukan? Ini bukan tentang perbuatannya kepadaku, melainkan ini tentang aku yang berstatus istrinya. Terkadang aku berusaha menerima semuanya, tapi terkadang didalam hati, aku tidak menerimanya. Selalu bingung dengan apa yang terjadi.Ku tatap wajahnya, tampan sekali. Siapa yang tak akan menyukainya? Bibirnya di bentuk dengan rapi, kedua bola matanya, warna kulitnya dan rambutnya. Semua terpahat dengan rapi, bukan hanya Elsa atau aku, setiap wanita pasti akan menyukainya.“Mas,” panggilku ketika melihat Mas Fatan bergerak gelisah.Mas Fatan membuka pejaman matanya dan melihatku dengan samar, duduk disampingnya.“Mas, ayo makan, saya sudah buatkan bubur,” kataku.Mas Fatan lalu bangkit dari pembaringannya, aku membantu
Aku pulang cepat setelah jam mata kuliahku selesai, aku langsung mampir belanja, selama menikah aku tidak pernah diberi uang oleh Mas Fatan, jadi aku gunakan uangku sendiri.Aku belanja kebutuhan rumah dan semua yang Mas Fatan butuhkan, aku juga membeli beberapa obat-obatan untuk persiapan di rumah, agar nanti jika salah satu dari kami sakit, lebih mudah untuk mencegahnya.Sesampainya aku di apartemen, ku lihat Elsa baru keluar dari rumahnya, aku sempat kaget dan tak percaya ketika tahu Elsa tinggal di unit sebelah kami, tepat di sebelah. Mungkin Mas Fatan melakukan itu agar lebih dekat dengan Elsa.Elsa melihat apa yang aku tenteng. “Habis belanja?”“Kelihatannya bagaimana?” tanya Elsa.“Ya sepertinya begitu.”“Ya sudah. Jangan tanya lagi jika sudah jelas.”“Ya ampun, kamu memang tidak pernah menyerah sama sekali, ya. Percuma kamu melakukan semua ini, Fatan tidak akan pernah melihat ke arahmu. Dia hanya mencintaiku,” kata Elsa seolah memberitahu dengan penekanan.“Mau dia cinta sama
Jingga POV.Aku keluar dari kamar karena merasa haus, aku menoleh melihat ranjang disampingku dan Mas Fatan belum pulang, ia pasti sedang bermadu kasih dengan Elsa.Ya Allah … aku tahu ini juga Sebagian dari dosaku karena membiarkan suamiku melakukan maksiat di luar sana, namun apa kah dayaku untuk menahannya? Dia memiliki masa lalu, memiliki kehidupan sebelum bertemu denganku, aku mana tahu akan terjadi hal seperti ini. Bukan menyesali pernikahanku dengan Mas Fatan, namun kehadiran masa lalunya yang membuatku tak bisa berbuat apa-apa.Elsa benar, aku mungkin istri sah Mas Fatan, namun hati, perasaan dan jiwa Mas Fatan di miliki Elsa. Apa yang bisa aku lakukan?Aku meraih air mineral dan meneguknya, aku duduk di kursi depan meja makan dengan helaan napas halus, aku melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 2 malam. Namun, Mas Fatan belum Kembali.Aku memiliki hak untuk marah, bukan? Apalagi melihat maksiat didepanku, sepandai-pandainya aku dalam agamaku, tapi aku akan tetap b
“Mas, kita shalat isya sama-sama yuk,” ajak Nilam.“Apa sih, Jingga, kamu ganggu orang saja kerjaannya.” Fatan begitu marah.“Mas, apa kamu tidak mendengar suara azan, itu artinya kita di suruh shalat mas, lagian tidak memakan waktu lama kok. Hanya beberapa menit saja,” kata Jingga lagi masih tetap keukeuh mengajak suaminya.“Saya bilang tidak ya tidak,” kata Fatan. “Setelah kerjaan saya selesai juga saya akan ke rumah Elsa.”“Mas,” lirih Jingga.“JINGGA!”“Mas, kamu tahu nggak malam ini malam apa?” tanya Jingga menatap suaminya yang cuek, dan tidak menjawab pertanyaannya. “Malam ini adalah malam Nifsu Syaban. Bulan Syaban merupakan salah satu bulan yang istimewa dalam Islam, terletak di antara Rajab dan Ramadan. Di dalamnya terdapat malam Nifsu Syaban, yang diyakini sebagai malam penuh berkah, ampunan, dan pengabulan doa.”Fatan masih cuek dan tidak mengatakan apa pun, ia masih sibuk dengan tab miliknya.“Mas, asal kamu tahu saja umat Islam dianjurkan untuk memanfaatkan momen ini den
Jingga menatap langit dengan tatapan sedih, inikah pernikahan yang dia inginkan? Berat rasanya menerima setiap jengkal langkah kaki Fatan untuk ke rumah Elsa. Ia sudah mengetahui dimana suaminya sering pergi, namun ia tak memiliki keberanian untuk marah ataupun meninggikan suaranya.Masakan yang sering masak jarang sekali di sentuh, kadang di sentuh, kadang juga tidak. Fatan menoleh melihat istrinya itu tengah duduk diam di teras apartemen, Fatan memandang punggung Jingga dan akhirnya pergi meninggalkan Jingga.Fatan menerima kasih sayang Jingga, menerima perhatian Jingga dengan senang hati namun tak bisa memberikan hatinya.*Elsa melihat di sekitar kafe dan mencari seseorang yang memanggilnya kemari, Elsa melihat seseorang melambaikan tangan, gadis itu adalah Fani, adiknya Fatan.Elsa melangkah dengan anggunnya mendekati Fani dan Rista–sang Ibu mertua. Yang ia anggap.“Ma, Fani jadi tahu kalau Abang itu suka sama Elsa yang modis. Sementara Kak Jingga kan penampilannya biasa saja, t
Jingga tak habis pikir suaminya tengah di rumah cinta pertamanya untuk menenangkannya, dan mungkin melakukan hubungan diluar batas.Tak butuh waktu lama, Fatan masuk ke apartemennya dan melihat Jingga sedang duduk di sofa menunggunya. Jingga butuh penjelasan hari ini.“Mas, apa Elsa sudah tenang?” tanya Jingga menatap suaminya, seolah pertanyaan itu adalah pertanyaan yang menyinggung.“Maafkan Elsa, ya,” ucap Fatan.“Jangan minta maaf pada saya, Mas, saya yang salah karena masuk di antara kalian,” jawab Jingga menunduk sesaat lalu kembali mendongak menatap suaminya. “Apa yang Elsa katakan memang benar, semua ini memang seharusnya menjadi miliknya.”“Jingga, kamu tidak akan paham perasaan saya.”“Kamu minta saya pahami, Mas? Apa tidak terbalik?”“Iya. Saya tahu, saya salah,” ucap Fatan.“Saya tak akan pernah memaksamu memilih hidupmu, tapi saya harap kamu memilih di antara kami, agar tidak ada yang terluka. Saya siap pergi jika kamu suruh pergi.”“Jingga, bukan kamu yang salah. Tapi pe
“Berjuang lah untuk pernikahanmu, Nak, itu lah tugasmu sebagai seorang istri,” kata Nania menatap ibunya. “Seberat apa pun itu, kamu hanya harus melakukan sesuatu yang mungkin dapat merebut suamimu, kamu adalah Wanita dan istri yang sah di mata Allah, dan yang sah akan kalah dengan yang tidak ada hubungannya. Perkara hati mungkin memang miliknya, tapi di mata Allah, semua pahala datang kepadamu.” Nania sedih mendengar curhatan putrinya, sejak dulu Jingga memang suka curhat pada ibunya. Ia lebih baik curhat kepada ibunya daripada pada orang lain. “Sekarang Fatan sedang kebingungan, jadi tuntun dia pada Allah. Niscaya apa yang kamu inginkan akan kamu dapatkan, Nak.” Nania melanjutkan. “Iya, Bu. Mungkin Jingga terlalu banyak pikiran. Jingga hanya takut suami Jingga masuk ke dalam api neraka.” “Ibu hanya bisa ngasih saran, coba kamu panggil suamimu. Bicarakan ini baik-baik, jika dia tidak menerimanya, kamu bisa mencobanya lagi nanti, tugas istri bukan hanya sekedar memasak, membersihk
Jingga terus menunggu apa yang mungkin bisa Fatan lakukan sebagai suami, apakah ia akan diterkam malam ini, atau hanya angan belaka saja? Jingga harus menerima apa pun itu, jika memang suaminya belum siap, ya tidak ada salahnya untuk menunggu.Jingga tidak merasakan gerakan Fatan, Jingga mendongak melihat suaminya yang saat ini sudah memejamkan mata seolah ia tidak ada di sini , Jingga kecewa tapi masih berpikir bahwa akan ada waktu lain, bagaimanapun sudah menjadi pasangan suami istri yang artinya akan bertemu setiap hari , waktu untuk melakukan malam pertama itu tidak pupus dia juga berusaha tenang dan tidak memaksa keadaan jingga tahu jika saat ini suaminya itu sedang kebingungan karena cinta pertamanya kembali.Akhirnya kantuk menjemputnya.Suara shalawat di masjid terdengar. Jingga bangun untuk shalat subuh. Ia melihat suaminya masih terlelap. Jingga menghampiri Fatan dan duduk di tepi ranjang.“Mas, ayo bangun, kita shalat subuh,” ajak Jingga.Jingga menyentuh lengan suaminya. “
Malam menunjukkan pukul 10, namun Fatan belum kembali, perasaan Jingga campur aduk, ia merasakan sesak didalam sana, tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima semua ini, ia mau marah, ia mau mengamuk, tapi ia merasa tidak berhak melakukan itu.Sebenarnya Jingga istri atau hanya simpanan? Yang akan dituju jika dibutuhkan.Jingga melihat semua makanan yang sudah ia siapkan diatas meja, semuanya menjadi dingin. Entah sudah berapa kali Jingga memanaskannya, ia begitu effort menyambut kepulangan suaminya. Namun, sayangnya ia kembali kecewa dengan effortnya sendiri.Jingga berbaring di sofa seraya menonton tv, ia tidak punya tenaga apa pun untuk ke kamar. Buat apa ke kamar jika penghuninya hanya dirinya, pernikahan yang seharusnya menjadi hal yang membahagiakan malah menjadi hal yang menyedihkan seperti ini.Jingga menunggu suaminya pulang entah akan pulang atau tidak. Jingga meraih ponselnya dan melihat malam menunjukkan pukul 10 lewat, Jingga menyerah, tak perlu menunggu, suaminya akan