Duta pernah jalan bertiga dengan Gilang, juga Kiya ke pusat perbelanjaan kala itu. Agendanya juga tidak jauh berbeda, dari berkeliling dan cuci mata, makan, juga bermain sebentar. Namun, apa yang dilakukannya malam ini sangat-sangat berbeda. Duta masuk ke sebuah butik, dan mendapat pelayanan yang sangat istimewa.“Coba ambilkan satu ukuran di atas yang ini, Mbak,” pinta Gilang saat melihat kemeja putih yang dikenakan Duta terlihat sesak. Saat ini, Gilang tengah mencarikan Duta satu setel tuxedo, yang akan dikenakan pada resepsi pernikahannya nanti.“Banyakin olah raga habis ini, ya,” kata Kiya segera berlutut di hadapan Duta, dan membantu putranya membuka kancing kemeja agar lebih cepat.Duta mengangguk-angguk sambil menggaruk kepala. “Tapi capek, Bun.”Gilang tertawa, tetapi tetap duduk di sofa. “Kalau bisa berenang, nanti olahraganya berenang aja di rumah.”“Duta nggak bisa berenang,” jawab Kiya sambil melepas kemeja yang dikenakan putranya, dan menyerahkan pakaian tersebut pada kar
“Ngapain ke sini?” Elok melirik pada Gilang yang berjalan pelan menghampirinya. Adiknya itu langsung duduk di sebelah Elok, yang tengah mengerjakan sesuatu pada laptop di pangkuan. “Emang sudah ambil cuti?”“Cuti resminya besok.” Gilang menggeser posisi duduknya, agar bisa lebih dekat dengan Elok dan melihat apa yang sedang kakaknya itu kerjakan. Setelah merapat, Gilang mengeluarkan ponsel, lalu menunjukkan beberapa foto yang sempat dikirimkan padanya dengan nomor asing. “Ada yang ngirimin aku beginian.”Elok segera mengambil alih ponsel Gilang, lalu menggeleng sembari berdecak berkali-kali. “Kasihan Kiya. Harusnya dia bisa dapat laki-laki yang lebih baik dari kamu.”“Mbak!”“Sssshh … Rezky baru aja tidur!” desis Elok melotot pada Gilang. Bayi tampannya itu sedang berada di ayunan elektrik, yang Elok letakkan tepat di samping sofa yang didudukinya. “Kalau sampai bangun, kamu yang aku suruh tidurkan lagi!”Lebih baik Gilang menuruti Elok, daripada harus menidurkan seorang bayi. “Memang
“Jangan pernah coba sentuh, calon istri gue!” Mendengar suara Gilang, Kiya segera menoleh kemudian reflek menggeser langkahnya untuk berdiri di antara calon suaminya, dan Restu. Dari wajahnya saja, Kiya bisa tahu Gilang saat ini hendak melepas amarahnya pada Restu. “Calon istri?” Restu berceletuk dan masih berdiam diri di tempatnya. Ia menatap pria yang berjalan cepat dengan tongkat di tangannya, lalu mengernyit. Restu mengingat-ingat sebentar, karena waja pria itu tidak tampak asing di matanya. “Mas, ini pak Restu—“ “Aku tahu siapa dia,” potong Gilang berhenti dengan jarak satu meter dari tempat kiya berdiri. Ia menunjuk Restu dengan tongkatnya, lalu berdecih. “Dia orang yang pernah melecehkan mbak Elok, kan?” Seketika itu juga, Restu langsung mengetahui siapa pria yang saat ini ada di depannya. Gilang Mahardika. Adik laki-laki Elok Mahardika. Namun, ada sedikit hal yang membuat Restu penasaran. “Tadi dia bilang, kamu calon istrinya, Ki?” tanya Restu yang dengan sengaja meletakk
Raissa hanya bisa menjadi pendengar yang baik, ketika putrinya menjelaskan beberapa masalah yang ada di masa lalu. Kiya menerangkan tentang siapa Restu, dan semua pernyataan yang sudah dilontarkan pria itu.“Tapi, Bun, aku nggak percaya yang diomongin pak Restu itu,” kata Kiya setelah menceritakan semuanya pada Raissa. “Ayah nggak mungkin begitu, kan? Aku dari tadi nyoba nelpon Garry, tapi nggak diangkat-angkat. Mungkin lagi kerja, atau … nggak tahulah.”Raissa yang baru merebahkan diri di tempat tidur, tidak bisa berkomentar banyak. Ia juga tidak tahu tentang masalah yang diceritakan oleh Kiya barusan, sehingga tidak bisa mengambil kesimpulan apa pun. “Kita tunggu penjelasan dari Garry aja. Karena Bunda juga nggak tahu apa-apa, Ki.”Kiya menuangkan body serum ke telapak tangan, lalu mengusapnya sebentar. Sembari membalurkannya ke tangan kiri lebih dulu, Kiya kembali berujar, “Tapi, Bun, andai yang dibilang pak Restu itu betul, gimana?”“Nggak gimana-gimana.” Raissa memiringkan tubuhn
“Bun, aku gugup!” Kiya sudah berulang kali menarik napas panjang, dan membuangnya dengan perlahan. Namun, hal yang dilakukannya tersebut, tidak kunjung membuat debaran jantungnya kembali berdetak dengan normal. Kedua telapak tangannya masih juga terasa dingin, dan tidak ada hal yang bisa membuat Kiya tenang seperti biasanya. Raissa segera mengambilkan air mineral yang tersedia di meja bar, lalu membukanya sembari menghampiri Kiya. Ia menyerahkannya pada Kiya, lalu duduk di samping putrinya di tepi tempat tidur. “Habis ijab kabul, gugupnya pasti hilang.”Kiya segera meneguk air mineral dari Raissa, tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama saja. Jantung Kiya masih deg-degan tidak karuan, perutnya terasa mulas, ia juga merasakan tremor yang tidak kunjung reda, dan semua itu terasa menyebalkan. Belum lagi, Kiya masih saja memikirkan masalah Garry dan almarhum ayahnya yang belum mendapatkan kejelasan sama sekali. Garry tidak bisa dihubungi, karena pria itu tidak kunjung meneri
“Mati, kan!” Awan menarik cepat, ponsel dari genggaman Duta karena gilirannya bermain game online akhirnya tiba. Tidak terlalu lama baginya menunggu giliran, karena Duta benar-benar tidak mahir melakukan permainan battle royale.“Dasar nggak sopan.” Kasih tiba-tiba menepuk dahi Awan, karena selalu saja berbuat sesukanya. Sejak tadi, mulut Awan itu terus saja berisik dan mengomentari permainan Duta “Kalau hapenya Nando jatoh, terus rusak, gimana!”“Apa sih!” Awan menendang pelan kaki Kasih yang berdiri di depannya, tetapi fokusnya tetap tertuju pada layar ponsel yang sedang ia pegang. “Kalau rusak, tinggal beli lagi. Nando banyak uang! Iya, kan, Ndo!”Nando yang duduk di samping Duta, hanya meringis sembari menggaruk kepala. Sejak tadi, ia cukup pusing mendengar Kasih dan Awan selalu saja meributkan sesuatu. Padahal, ketika tidak ada Awan bersama mereka, suasana taman benar-benar tenang.“Iya, Nando, banyak uang,” timpal Duta membenarkan. Karena ia tahu, ayah dan ibu Nando merupakan pe
Sambil terus berjalan, Duta menoleh ke arah koridor yang baru ditinggalkannya. Ia menggaruk kepala, lalu melihat satu tangannya yang berada di gandengan Garry. Bukankah, seharusnya mereka tidak melewati koridor sama sekali?Jika ingin menemui Kiya, Garry seharusnya pergi menuju lift yang berada tidak jauh dari restoran. Namun, mengapa ayahnya justru mengajak Duta ke lobi?“Ayah, aku tahu kamarnya bunda.” Duta sempat mengira, Garry sudah tahu di mana kamar Kiya saat ini. Namun, ketika mereka berjalan ke arah yang berlawanan, di situlah Duta mulai kebingungan. “Kita harus naik lift dulu.”“Nggak perlu,” kata Garry lalu menoleh pada Duta dengan senyuman hangat. “Nanti bunda pasti nyusul kita.”“Tapi, bunda, kan, mau nikah bentar lagi, Yah?” Duta semakin bingung, karena ucapan Garry kini berubah. Yang tadinya mengatakan, mereka akan bertemu Kiya dan bertanya tentang kepergian ke Kalimantan. Saat ini, Garry mengatakan Kiya pasti menyusul mereka. “Kalau kita nggak datangin bunda sekarang, b
“Berhenti di situ, Garry.”“Om Lex!” Duta terpaku di tempat, dan tidak jadi masuk ke dalam mobil yang pintunya baru saja dibuka oleh Garry. Dari wajah dingin Lex, Duta bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa.“Siapa tadi?” tanya Garry segera meraih pergelangan tangan Duta, karena merasa terintimidasi dengan kehadiran pria asing yang mengenalnya. Garry menelisik wajah pria itu dengan cermat, dan ia yakin tidak pernah bertemu, atau mengenalnya sama sekali. Lantas, bagaimana bisa pria itu mengenali Garry?“Om Lex, masnya, om Gilang.” Karena Gilang selalu memanggil Lex dengan sebutan mas, maka Duta pun menyimpulkan hal tersebut.Garry menelan ludah, karena kali ini rencananya sudah pasti berantakan dan bubar jalan. Terlebih, ada dua orang security yang saat ini berdiri dan mengapit pria itu.“Duta, kemari,” panggil Lex sembari menyunggingkan senyum tipisnya.“Duta, ayo masuk dulu,” titah Garry agak memaksa, sembari memegang kedua lengan Duta.“Garry, saya Lex, pengacara keluarga Antasena
Setelah melalui minggu-minggu yang cukup berat dan melelahkan, akhirnya hari itu datang juga. Hari di mana kemampuan Gilang akhirnya diakui oleh seluruh dewan direksi dan komisaris Jurnal. Sehingga, hasil Rapat Umum Pemegang Saham akhirnya mengeluarkan satu keputusan, yang benar-benar mengubah hidup Gilang sepenuhnya. CEO. Akhirnya, impian Gilang untuk memegang kendali atas Jurnal terwujud sudah. Meskipun tidak mudah, tetapi semua cobaan yang sudah dilaluinya berakhir sepadan dengan hasil yang diterima. “Bunda ke mana, Ta?” Saat memasuki ruang makan, Gilang hanya menemukan Duta tengah sarapan seorang diri. Biasanya, akan ada Kiya menemani karena hanya Duta saja yang sarapan di pagi hari sebelum berangkat sekolah. “Bunda?” Duta menoleh pada Gilang yang menatap ke area dapur. “Emang nggak ada di kamar Papa?” “Papa kira sama kamu?” Tidak melihat istrinya ada di dapur, Gilang lantas menatap Duta yang sudah terlihat rapi dengan seragam batiknya. “Bunda tadi nyuruh sarapan duluan,” ter
“O!” Suara kecil nan lembut dari Rezky, membuat Gilang yang baru saja menarik kursi di meja makan menoleh. Ia segera berjongkok, lalu melebarkan kedua tangan untuk menyambut bocah yang kini berlari ke arahnya. Saat Rezky sudah berada di pelukan, Gilang berdiri perlahan sembari menggendong keponakannya itu. “Om, bukan O,” ralat Gilang hanya bisa terkekeh bila mendengar panggilan yang disematkan Rezky untuknya. Padahal, Gilang sudah berkali-kali meralat dan mengajari Rezky agar memanggilnya dengan benar, tetapi tetap saja, keponakannya itu memanggilnya dengan kata “O”. Bertemu dengan Rezky hampir setiap hari, setidaknya bisa mengobati kerinduan Gilang akan kehadiran seorang anak. Namun, Tuhan masih berkata lain dan belum menjawab semua doa-doanya. Selama ini, Kiya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, padahal mereka sudah melakukan usaha semaksimal mungkin. “Mama ke mana Sayang?” tanya Kiya yang segera berdiri. Ia memundurkan lagi kursi Gilang, agar sang suami bisa duduk dengan
“Makanya kalau istrinya ngomong itu didengerin, Mas.” Kiya segera menyusul Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju walk in closet. Mereka berdua bangun kesiangan, karena melakukan berbagai hal hingga larut malam.Padahal, pagi-pagi sekali Gilang akan pergi ke luar kota bersama Adi dan Elok untuk menghadiri sebuah undangan formal. Namun, akibat tidak mau mendengarkan Kiya, alhasil mereka harus terburu-buru melakukan segala sesuatunya.“Untung Duta lagi libur, jadi aku nggak bingung ke sana kemari.” Karena asisten rumah tangga mereka tahu sang majikan hendak pergi ke luar kota pagi-pagi sekali, maka sarapan pagi sudah siap lebih awal. Selagi Gilang di kamar mandi, Kiya pun bergegas ke dapur dan mengambilkan sarapan untuk dibawa ke kamar. “Aaak.”Gilang dengan segera menyambar satu suapan nasi goreng seafood, yang baru disodorkan Kiya ke mulutnya. Sembari memakai pakaiannya satu per satu.“Tarik napas, Bun.” Meskipun mereka kesiangan, tetapi Gilang tidak sepan
“Mas.” Kiya mempercepat mendorong trolley belanjaan, sembari memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Berjalan terburu, ketika melihat seseorang yang baru saja melewati ujung lorong di hadapannya. “Telponnya aku tutup dulu, biar cepat belanjanya. Nanti aku telpon lagi kalau sudah sampe di rumah bunda.” Setelah Gilang mengiyakan dari ujung sana, Kiya langsung mengakhiri pembicaraan tersebut. Ia segera menyusul seseorang yang sempat dilihatnya agar tidak kehilangan jejak. “Tante …” Kiya melepas trolley belanjaannya, agar bisa lebih leluasa menghampiri wanita tersebut. Kiya berhenti di samping trolley belanjaan wanita itu, lalu menelan ludah saat melihat tatapan terkejut nan tajam yang diarahkan padanya. “Tante Amel, bisa kita bicara sebentar?” “Pergi, atau mau saya panggilkan satpam?” Amel mengeratkan pegangannya pada trolley belanjaan. “Tante, sepuluh menit.” Kiya memohon dengan sangat, karena mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan yang bisa didapatnya agar bisa bicara deng
Gilang menghela panjang, saat menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Tidak ada yang berubah. Penampilannya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Namun, hari ini adalah hari pertama Elok kembali ke Jurnal dan Gilang akan menghadapi Adi, juga kakak perempuannya sekaligus ketika bekerja.Menghadapi Adi saja, sudah membuat kepala Gilang pusing tujuh keliling. Sekarang, ditambah dengan kembalinya Elok di dalam tim direksi. Bisa-bisa, kepala Gilang langsung berasap seketika, bila kedua orang itu memberinya setumpuk tugas dan pelajaran sekaligus.“Harusnya, cuti bersalin itu diperpanjang jadi 6 bulan.” Gilang kembali menghela napas dan membenarkan dasi yang masih terlihat rapi. “Tiga bulan itu nggak berasa. Kayaknya baru kemaren mbak Elok itu lahiran, tapi, hari ini tahu-tahu sudah masuk. Coba kalau aku jadi presidennya, aku langsung minta—”“Mas, jadi CEO aja dulu.” Kiya ingin tertawa, tetapi ia tahan. “Nanti kalau sudah jadi CEO, baru kita pikirin cara untuk jadi presiden.”Gilang mel
“Sudah minum pilmu, Bun?” Gilang mengingatkan, ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru masuk ke kamar, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Adi di ruang kerja. Setelah berbicara dengan Garry siang tadi, Kiya tampak tidak ceria seperti biasanya. Akibat pembicaraan tersebut, Kiya lebih banyak termenung dan memikirkan tentang perkataan Garry. “Sudah.” Kiya menyingkap selimut yang dipakainya, ketika Garry menghampiri tempat tidur. Hati Kiya memang terasa lega ketika sudah mengetahui semua hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa miris karena semua hal buruk yang terjadi selama ini adalah ulah ayahnya sendiri. Dengan begini, Kiya akhirnya menyadari perasaan Garry pada dirinya ternyata tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam diamnya, Garry terus berusaha keras mencari jalan agar keluarga kecil mereka bisa bersatu kembali. Namun, di saat hal itu hampir terwujud, takdir akhirnya berkata lain. Bahkan, sebenarnya Kiya sudah bisa “move on” lebih dulu daripada
Pada akhirnya, Gilang membiarkan Kiya kembali bicara empat mata dengan Garry. Mereka mengantarkan Duta ke hotel yang ditempati pria itu, lalu menuju ke lounge terlebih dahulu. Sebenarnya, Gilang keberatan bila Kiya masih saja bertemu dan bicara berdua dengan Garry. Namun, karena Kiya ingin sekali menuntaskan beberapa hal agar tidak menjadi beban pikiran, maka Gilang pun menyetujuinya. “Jangan lama-lama,” pesan Gilang yang sudah lebih dulu menyuruh Duta mencari tempat duduk. “Kita masih ada urusan habis ini.” “Iyaaa.” Kiya memberi senyum kecil, sambil mengusap lengan sang suami. “Aku cuma sebentar. Temenin Duta dulu.” “Oke!” Gilang meraih pinggang Kiya, dan menjatuhkan satu kecupan di pipi dengan cepat tanpa memedulikan Garry. Jika tidak ada Duta, Gilang pasti akan menyambar bibir sang istri dengan sengaja. Garry hanya diam. Menatap datar dan tidak berkomentar. Tidak ada juga yang harus dilakukannya, karena Garry benar-benar sudah kehilangan Kiya. “Jadi, Gar, ada yang mau aku bica
Kiya menutup pintu mobil, lalu melihat ke seluruh penjuru sekolah baru Duta. Dahulu kala, ia sempat beberapa kali menjemput Kasih sepulang sekolah, ketika gadis kecil itu rewel, dan Elok maupun Harry tidak bisa datang menghampiri. Karena tidak ingin merepotkan kakek nenek dari kedua belah pihak, maka Elok pasti akan mengutus Kiya ke sekolah Kasih. Kehidupan Kasih dahulu kala, tidak jauh berbeda dengan Duta. Orang tua mereka sibuk mencari nafkah, dan hampir tidak pernah memberi perhatian secara emosional. Baik Kiya maupun Elok, hanya tahu memberi materi, tanpa melimpahkan kasih sayang yang seharusnya. “Ayo ke kantor dulu,” ajak Kiya pada Duta yang baru saja menutup pintu mobil yang berseberangan dengannya. “Habis ketemu wali kelasnya, nanti Bunda tinggal. Berani, kan?” “Beran—” “Enduuut!” Duta berdecak, saat melihat Kasih melewatinya sambil melambai dari dalam mobil. Sudah seringkali Duta mengatakan, jangan memanggilnya dengan sebutan tersebut, tetapi Kasih tetap saja tidak menghir
“Kenapa mau pindah sekolah?” Sebelumnya, Kiya sudah menjelaskan pada Gilang tentang permasalah Duta. Bocah itu mengeluh lelah, dan tidak ingin lagi meneruskan sekolah full day-nya. Duta ingin pindah sekolah dengan jam belajar seperti Kasih, tetapi tidak ingin ikut les apa pun di sore harinya.“Capek.” Duta bertelungkup di kasur, dengan sebuah buku pelajaran yang terbuka di hadapannya. “Aku mau pulang sekolahnya kayak Kasih, Pa.”“Terus les kayak Kasih?” Gilang mendesah panjang, saat merebahkan tubuhnya melintang di hadapan Duta. Meskipun sudah tahu jawabannya, tetapi Gilang ingin mendengar langsung dari mulut Duta sendiri.Duta menggeleng. “Aku belajar sendiri aja di rumah, sama bunda. Nggak mau les, capek.”Tatapan Gilang menerawang. Melihat langit-langit kamar yang sudah jarang ditempatinya sejak kecelakaan. Gilang menempati kamar di lantai bawah, untuk memudahkan semua mobilitasnya, dikarenakan kondisi kaki yang pada saat itu tidak bisa bergerak bebas. Daripada harus naik turun tan