“Berhenti di situ, Garry.”“Om Lex!” Duta terpaku di tempat, dan tidak jadi masuk ke dalam mobil yang pintunya baru saja dibuka oleh Garry. Dari wajah dingin Lex, Duta bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa.“Siapa tadi?” tanya Garry segera meraih pergelangan tangan Duta, karena merasa terintimidasi dengan kehadiran pria asing yang mengenalnya. Garry menelisik wajah pria itu dengan cermat, dan ia yakin tidak pernah bertemu, atau mengenalnya sama sekali. Lantas, bagaimana bisa pria itu mengenali Garry?“Om Lex, masnya, om Gilang.” Karena Gilang selalu memanggil Lex dengan sebutan mas, maka Duta pun menyimpulkan hal tersebut.Garry menelan ludah, karena kali ini rencananya sudah pasti berantakan dan bubar jalan. Terlebih, ada dua orang security yang saat ini berdiri dan mengapit pria itu.“Duta, kemari,” panggil Lex sembari menyunggingkan senyum tipisnya.“Duta, ayo masuk dulu,” titah Garry agak memaksa, sembari memegang kedua lengan Duta.“Garry, saya Lex, pengacara keluarga Antasena
Kiya memeluk Duta, setelah putranya menceritakan semua hal yang terjadi menurut versinya. Sementara itu, Kiya juga sudah mendengar penjelasan dari Gilang, serta Elok sebelum ia bertemu Duta di kamar Raissa.Hari pernikahan yang seharusnya berjalan dengan suka cita, mendadak menjadi runyam karena kehadiran Garry. Kiya tidak tahu lagi, apa jadinya bila Kasih terlambat memberi tahu Elok, dan Lex terlambat bertindak untuk mencegah semuanya. Pernikahannya dengan Gilang hari ini, pasti tidak akan terlaksana, dan Kiya pasti akan semakin serba salah bila Duta sudah berada di tangan Garry.Kiya yakin, Garry sebenarnya ingin membawa Duta pergi ke Kalimantan bersamanya.“Nanti, Duta telpon ayah, ya.” Bagaimanapun juga, Kiya tetap tidak ingin hubungan Garry dan Duta merenggang, karena adanya masalah ini. Namun, mulai saat ini Kiya harus lebih waspada lagi, agar Garry tidak lagi mengambil Duta secara tiba-tiba seperti tadi.Duta mengangguk di pelukan Kiya. Ternyata, bundanya sudah resmi menikah de
“Duta aman, kan?” Kiya kembali mempertanyakan hal tersebut, karena khawatir kejadian pagi tadi akan terulang kembali. Meskipun rasanya tidak mungkin karena Gilang dan Lex telah mengatur dan mengantisipasi semua hal, tetapi hati Kiya tetap saja belum bisa tenang. Terlebih lagi, karena Garry sama sekali tidak bisa dihubungi sejak siang tadi. Ponsel pria itu aktif, tetapi tidak mau menerima panggilan dari Kiya. Walaupun, ia sudah mengirim pesan, yang menelepon adalah Duta, bukan Kiya. “Mas!” “Hah? Apa?” Gilang tidak fokus. Sejak tadi, Gilang menatap Kiya yang terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin yang menutup semua bagian tubuhnya. Gilang tidak terlalu paham dengan jenis-jenis gaun pengantin, tetapi gaun pilihan Kiya sungguh membuat gadis itu semakin anggun. “Duta aman, kan, Mas?” Kiya masih berdiri di samping jendela kaca, setelah sesi foto dan shooting untuk video dokumentasi pernikahan mereka. Mereka hanya tinggal menunggu salah satu pegawai wedding organizer datang, dan mem
“Untung besok masih cuti.” Tangan kiri Gilang memeluk Kiya dari belakang, sementara tangan kanannya tengah memegang secangkir kopi. Mereka berdiri di balkon kamar, sembari menatap hamparan kota yang disinari matahari setelah sarapan pagi.“Tapi, besok sudah pulang ke rumah.” Kiya menyandarkan kepalanya di dada Gilang, yang baru saja mendekapnya. Sampai detik ini, pikiran Kiya masih saja terpecah dengan masalah Garry. Apa yang dilakukan pria itu sekarang? Apa Garry baik-baik saja?“Kenapa? Mau lanjut cuti lagi?”“Bukan.” Kiya terkekeh pelan, sambil mengangkat wajahnya untuk menatap Gilang. “Aku lagi mikirin bunda yang tinggal sendirian.”Gilang menghela panjang, setelah menyesap kopinya. “Kamu minggu depan sudah nggak kerja, kan? Habis antar Duta sekolah, bisalah pulang ke rumah nemani bunda.”“Ah … itu dia.” Gantian Kiya yang menghela. Ia menegakkan tubuh, kemudian berbalik dan bersandar pada pagar balkon. Gilang benar, setelah mengantar Duta ke sekolah, Kiya bisa pergi ke rumahnya. N
Kiya tercengang, ketika memasuki kamar lama Gilang yang berada di lantai dua. Sebelumnya, Kiya memang pernah memasuki kamar tersebut ketika menjadi asisten pribadi Gilang, dan itu sudah cukup lama. Sekarang, kamar tersebut sudah resmi ditempati Duta dan sudah ditata sedemikian rupa. Dari warna cat dinding yang tampak lebih ceria, karpet, tempat tidur, dan beberapa furniture untuk menunjang semua keperluan Duta. Ini semua seperti mimpi. Satu kali pun, Kiya tidak pernah menduga akan mendapatkan seseorang yang benar-benar memperlakukannya dan Duta dengan istimewa. Siapa yang pernah menduga, jika buaya seperti Gilang akan menambatkan hati pada Kiya dan bisa menerima semua yang ada pada dirinya, termasuk Duta.“Nggak takut, kan, tidur di sini sendirian?” Kiya merebahkan diri dengan perlahan di tempat tidur dengan ukuran queen. Tempat tidur baru, yang memang dibelikan khusus untuk Duta. Padahal, tempat tidur milik Gilang dahulu kala juga masih bagus dan masih bisa digunakan. Namun, tetap s
“Sorry, aku telat.” Kiya duduk berseberangan dengan Garry, lalu meletakkan dompet dan ponselnya bertumpuk di meja. Karena kafe tempatnya bertemu dengan Garry tidak terlalu jauh, maka Kiya hanya berjalan kaki menuju tempat tersebut. “Ada kerjaan mendadak.” Garry melambai pada seorang pelayan, kemudian menatap mantan istri yang terlihat semakin manis. Seketika itu juga, Garry mengingat betapa cantiknya Kiya dengan balutan kebaya di hari pernikahannya dengan Gilang. Sayangnya, bukan Garry yang menjadi mempelai lelakinya. “Pesan makan dulu, Ki.” “Oke.” Sambil menunggu pelayan yang baru dipanggil oleh Garry, Kiya melihat daftar menu yang baru saja disodorkan oleh pria itu. “Kamu sudah pesan?” “Sudah.” Kiya mengangguk-angguk, kemudian menyebutkan menu yang akan dipesannya pada pelayan yang baru saja berdiri di sisi meja. Setelah selesai, dan pelayan tersebut pergi, barulah Kiya bertanya, “apa yang mau kamu bicarakan?” “Aku mau bawa Duta ke Kalimantan kalau dia libur sekolah.” Garry sad
“Si Siput itu apa nggak punya otak?” Gemas rasanya saat mendengar permintaan Garry, yang ingin membawa Duta. Setelah bertahun-tahun membiarkan Kiya berjuang membesarkan putranya, kini Garry dengan mudahnya ingin mengambil alih dengan dalih sudah merasa mapan. Memangnya, semapan apa, sampai-sampai pria itu berani mengambil Duta dari Kiya?Apa pria itu belum sadar juga, saat ini sedang berhadapan dengan siapa? Gilang memang sejemawa itu, karena ia memiliki orang-orang hebat di belakangnya. Ia memiliki Adi sebagai seorang ayah, dan Lex sebagai kakak ipar yang pengaruhnya sudah tidak dapat diragukan lagi.“Mas, tolong panggil Garry dengan benar.” Kiya sampai tidak berselera makan, karena Gilang ternyata tidak bisa menenangkannya. Pria itu justru semakin menyulut emosi, yang membuat Kiya akhirnya harus bersikap lebih sabar lagi. “Bagaimanapun juga dia itu ayahnya Duta.”“Ya, ya, Garry, ck!” Gilang berseru tidak ikhlas, karena masih saja merasa kesal dengan mantan suami Kiya itu. “Say—““Is
“Aku …” Duta menghampiri Garry dengan perlahan, lalu memeluknya. Kepalanya terangkat, menatap bimbang sekaligus kasihan pada sang ayah. “Aku ikut bunda.” Masih memeluk Garry, Duta lantas menggeleng. “Aku nggak mau pergi ke Kalimantan kalau nggak sama bunda.”Sejak kecil, Duta memang tidak pernah pisah dari Kiya. Walaupun, terkadang Kiya tidak pulang ke rumah karena bekerja, tetapi sang bunda selalu ada kapan pun Duta membutuhkannya. Bukannya tidak menyayangi Garry, tetapi, ikatan emosional antara Duta dan Kiya jauh lebih besar dari pada dengan sang ayah. Untuk itulah,“Duta.” Wajah Garry mulai memanas. Namun, ia tidak bisa menunjukkan kesedihannya di depan Gilang seperti sekarang. Garry harus tetap tegar, meskipun sudah kalah telak. “Selama ini, kamu sudah tinggal sama bunda.” Garry mengurai pelukan Duta, lalu kembali berjongkok sembari menggenggam kedua lengan putranya. “Jadi, ayo tinggal sama ayah. Paling nggak, sampai kamu lulus SD dan kita bisa balik ke sini lagi waktu kamu SMP na
Setelah melalui minggu-minggu yang cukup berat dan melelahkan, akhirnya hari itu datang juga. Hari di mana kemampuan Gilang akhirnya diakui oleh seluruh dewan direksi dan komisaris Jurnal. Sehingga, hasil Rapat Umum Pemegang Saham akhirnya mengeluarkan satu keputusan, yang benar-benar mengubah hidup Gilang sepenuhnya. CEO. Akhirnya, impian Gilang untuk memegang kendali atas Jurnal terwujud sudah. Meskipun tidak mudah, tetapi semua cobaan yang sudah dilaluinya berakhir sepadan dengan hasil yang diterima. “Bunda ke mana, Ta?” Saat memasuki ruang makan, Gilang hanya menemukan Duta tengah sarapan seorang diri. Biasanya, akan ada Kiya menemani karena hanya Duta saja yang sarapan di pagi hari sebelum berangkat sekolah. “Bunda?” Duta menoleh pada Gilang yang menatap ke area dapur. “Emang nggak ada di kamar Papa?” “Papa kira sama kamu?” Tidak melihat istrinya ada di dapur, Gilang lantas menatap Duta yang sudah terlihat rapi dengan seragam batiknya. “Bunda tadi nyuruh sarapan duluan,” ter
“O!” Suara kecil nan lembut dari Rezky, membuat Gilang yang baru saja menarik kursi di meja makan menoleh. Ia segera berjongkok, lalu melebarkan kedua tangan untuk menyambut bocah yang kini berlari ke arahnya. Saat Rezky sudah berada di pelukan, Gilang berdiri perlahan sembari menggendong keponakannya itu. “Om, bukan O,” ralat Gilang hanya bisa terkekeh bila mendengar panggilan yang disematkan Rezky untuknya. Padahal, Gilang sudah berkali-kali meralat dan mengajari Rezky agar memanggilnya dengan benar, tetapi tetap saja, keponakannya itu memanggilnya dengan kata “O”. Bertemu dengan Rezky hampir setiap hari, setidaknya bisa mengobati kerinduan Gilang akan kehadiran seorang anak. Namun, Tuhan masih berkata lain dan belum menjawab semua doa-doanya. Selama ini, Kiya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, padahal mereka sudah melakukan usaha semaksimal mungkin. “Mama ke mana Sayang?” tanya Kiya yang segera berdiri. Ia memundurkan lagi kursi Gilang, agar sang suami bisa duduk dengan
“Makanya kalau istrinya ngomong itu didengerin, Mas.” Kiya segera menyusul Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju walk in closet. Mereka berdua bangun kesiangan, karena melakukan berbagai hal hingga larut malam.Padahal, pagi-pagi sekali Gilang akan pergi ke luar kota bersama Adi dan Elok untuk menghadiri sebuah undangan formal. Namun, akibat tidak mau mendengarkan Kiya, alhasil mereka harus terburu-buru melakukan segala sesuatunya.“Untung Duta lagi libur, jadi aku nggak bingung ke sana kemari.” Karena asisten rumah tangga mereka tahu sang majikan hendak pergi ke luar kota pagi-pagi sekali, maka sarapan pagi sudah siap lebih awal. Selagi Gilang di kamar mandi, Kiya pun bergegas ke dapur dan mengambilkan sarapan untuk dibawa ke kamar. “Aaak.”Gilang dengan segera menyambar satu suapan nasi goreng seafood, yang baru disodorkan Kiya ke mulutnya. Sembari memakai pakaiannya satu per satu.“Tarik napas, Bun.” Meskipun mereka kesiangan, tetapi Gilang tidak sepan
“Mas.” Kiya mempercepat mendorong trolley belanjaan, sembari memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Berjalan terburu, ketika melihat seseorang yang baru saja melewati ujung lorong di hadapannya. “Telponnya aku tutup dulu, biar cepat belanjanya. Nanti aku telpon lagi kalau sudah sampe di rumah bunda.” Setelah Gilang mengiyakan dari ujung sana, Kiya langsung mengakhiri pembicaraan tersebut. Ia segera menyusul seseorang yang sempat dilihatnya agar tidak kehilangan jejak. “Tante …” Kiya melepas trolley belanjaannya, agar bisa lebih leluasa menghampiri wanita tersebut. Kiya berhenti di samping trolley belanjaan wanita itu, lalu menelan ludah saat melihat tatapan terkejut nan tajam yang diarahkan padanya. “Tante Amel, bisa kita bicara sebentar?” “Pergi, atau mau saya panggilkan satpam?” Amel mengeratkan pegangannya pada trolley belanjaan. “Tante, sepuluh menit.” Kiya memohon dengan sangat, karena mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan yang bisa didapatnya agar bisa bicara deng
Gilang menghela panjang, saat menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Tidak ada yang berubah. Penampilannya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Namun, hari ini adalah hari pertama Elok kembali ke Jurnal dan Gilang akan menghadapi Adi, juga kakak perempuannya sekaligus ketika bekerja.Menghadapi Adi saja, sudah membuat kepala Gilang pusing tujuh keliling. Sekarang, ditambah dengan kembalinya Elok di dalam tim direksi. Bisa-bisa, kepala Gilang langsung berasap seketika, bila kedua orang itu memberinya setumpuk tugas dan pelajaran sekaligus.“Harusnya, cuti bersalin itu diperpanjang jadi 6 bulan.” Gilang kembali menghela napas dan membenarkan dasi yang masih terlihat rapi. “Tiga bulan itu nggak berasa. Kayaknya baru kemaren mbak Elok itu lahiran, tapi, hari ini tahu-tahu sudah masuk. Coba kalau aku jadi presidennya, aku langsung minta—”“Mas, jadi CEO aja dulu.” Kiya ingin tertawa, tetapi ia tahan. “Nanti kalau sudah jadi CEO, baru kita pikirin cara untuk jadi presiden.”Gilang mel
“Sudah minum pilmu, Bun?” Gilang mengingatkan, ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru masuk ke kamar, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Adi di ruang kerja. Setelah berbicara dengan Garry siang tadi, Kiya tampak tidak ceria seperti biasanya. Akibat pembicaraan tersebut, Kiya lebih banyak termenung dan memikirkan tentang perkataan Garry. “Sudah.” Kiya menyingkap selimut yang dipakainya, ketika Garry menghampiri tempat tidur. Hati Kiya memang terasa lega ketika sudah mengetahui semua hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa miris karena semua hal buruk yang terjadi selama ini adalah ulah ayahnya sendiri. Dengan begini, Kiya akhirnya menyadari perasaan Garry pada dirinya ternyata tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam diamnya, Garry terus berusaha keras mencari jalan agar keluarga kecil mereka bisa bersatu kembali. Namun, di saat hal itu hampir terwujud, takdir akhirnya berkata lain. Bahkan, sebenarnya Kiya sudah bisa “move on” lebih dulu daripada
Pada akhirnya, Gilang membiarkan Kiya kembali bicara empat mata dengan Garry. Mereka mengantarkan Duta ke hotel yang ditempati pria itu, lalu menuju ke lounge terlebih dahulu. Sebenarnya, Gilang keberatan bila Kiya masih saja bertemu dan bicara berdua dengan Garry. Namun, karena Kiya ingin sekali menuntaskan beberapa hal agar tidak menjadi beban pikiran, maka Gilang pun menyetujuinya. “Jangan lama-lama,” pesan Gilang yang sudah lebih dulu menyuruh Duta mencari tempat duduk. “Kita masih ada urusan habis ini.” “Iyaaa.” Kiya memberi senyum kecil, sambil mengusap lengan sang suami. “Aku cuma sebentar. Temenin Duta dulu.” “Oke!” Gilang meraih pinggang Kiya, dan menjatuhkan satu kecupan di pipi dengan cepat tanpa memedulikan Garry. Jika tidak ada Duta, Gilang pasti akan menyambar bibir sang istri dengan sengaja. Garry hanya diam. Menatap datar dan tidak berkomentar. Tidak ada juga yang harus dilakukannya, karena Garry benar-benar sudah kehilangan Kiya. “Jadi, Gar, ada yang mau aku bica
Kiya menutup pintu mobil, lalu melihat ke seluruh penjuru sekolah baru Duta. Dahulu kala, ia sempat beberapa kali menjemput Kasih sepulang sekolah, ketika gadis kecil itu rewel, dan Elok maupun Harry tidak bisa datang menghampiri. Karena tidak ingin merepotkan kakek nenek dari kedua belah pihak, maka Elok pasti akan mengutus Kiya ke sekolah Kasih. Kehidupan Kasih dahulu kala, tidak jauh berbeda dengan Duta. Orang tua mereka sibuk mencari nafkah, dan hampir tidak pernah memberi perhatian secara emosional. Baik Kiya maupun Elok, hanya tahu memberi materi, tanpa melimpahkan kasih sayang yang seharusnya. “Ayo ke kantor dulu,” ajak Kiya pada Duta yang baru saja menutup pintu mobil yang berseberangan dengannya. “Habis ketemu wali kelasnya, nanti Bunda tinggal. Berani, kan?” “Beran—” “Enduuut!” Duta berdecak, saat melihat Kasih melewatinya sambil melambai dari dalam mobil. Sudah seringkali Duta mengatakan, jangan memanggilnya dengan sebutan tersebut, tetapi Kasih tetap saja tidak menghir
“Kenapa mau pindah sekolah?” Sebelumnya, Kiya sudah menjelaskan pada Gilang tentang permasalah Duta. Bocah itu mengeluh lelah, dan tidak ingin lagi meneruskan sekolah full day-nya. Duta ingin pindah sekolah dengan jam belajar seperti Kasih, tetapi tidak ingin ikut les apa pun di sore harinya.“Capek.” Duta bertelungkup di kasur, dengan sebuah buku pelajaran yang terbuka di hadapannya. “Aku mau pulang sekolahnya kayak Kasih, Pa.”“Terus les kayak Kasih?” Gilang mendesah panjang, saat merebahkan tubuhnya melintang di hadapan Duta. Meskipun sudah tahu jawabannya, tetapi Gilang ingin mendengar langsung dari mulut Duta sendiri.Duta menggeleng. “Aku belajar sendiri aja di rumah, sama bunda. Nggak mau les, capek.”Tatapan Gilang menerawang. Melihat langit-langit kamar yang sudah jarang ditempatinya sejak kecelakaan. Gilang menempati kamar di lantai bawah, untuk memudahkan semua mobilitasnya, dikarenakan kondisi kaki yang pada saat itu tidak bisa bergerak bebas. Daripada harus naik turun tan