Sunyi merambat pelan layaknya malam yang menghadirkan banyak kemungkinan. Entah kesedihan atau pun kesenangan. Seperti malam ini, Adelia terpekur duduk di atas pembaringan sambil melihat telapak tangan--yang tadi dia gunakan untuk menampar Deyana. Ada sesal yang merambati rongga dada. Seumur-umur, tak pernah sekali pun dia bersuara keras kepada wanita tersebut, apalagi memukul. Justru selama ini Adelia selalu mengalah. Meski pun, perlakuan Deyana tak pernah baik padanya. Sejak Adelia dibawa pulang ke rumah oleh Fairuz, wanita itu sudah menunjukkan sikap permusuhan. Ada saja kesalahannya di mata Deyana. Wanita itu tak mau semobil dengannya, bila terpaksa, Deyana akan menurunkan Adelia di pinggir jalan. Untuk sampai sekolah tepat waktu, gadis tersebut terpaksa menggunakan ojek. Apa pun yang dibelikan sang papa, pasti Deyana akan merusaknya. Hal demikian, terus berlangsung sampai Adelia dibelikan sepeda motor oleh Fairuz diulang tahunnya yang ketujuh belas. Begitupun Andini, Mama Deyan
Deyana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Wajah wanita itu menyiratkan kekesalan yang amat sangat. Sesekali dia menatap pantulan wajah di dalam kaca meja rias. Warna merah bekas tamparan Adelia, memang sudah tak ada lagi di sana, tetapi rasa sakit menikam dalam ke jantungnya. Dia tak habis pikir, bagaimana gadis bodoh itu bisa melakukan hal ini padanya? Dengan sangat berani mempermalukan di depan Bayu dan para asisten rumah tangga. Kedua telapak tangan Deyana mengepal sangat kuat, dia berteriak sekadar melepas sesak yang bergulung-gulung di dadanya. Tidak! Dia tidak akan pernah kalah dari gadis yang dia anggap penghancur rumah tangga sang mama. Sejak kedatangan Adelia, setiap hari mama dan papanya bertengkar. Lalu esoknya, sikap sang papa akan sangat dingin padanya. Seolah-olah dia bukan lagi putri tercinta pria itu. Meskipun, Fairuz tak pernah menunjukkan secara kentara dia mencintai Adelia, tetapi pria itu selalu menatap si gadis dengan sorot penuh kasih sayang, tatapan yan
"Tuan muda, Nona harus dioperasi saat ini juga. Dokter bilang, Nona banyak kehilangan darah, kalau tidak sekarang, mungkin ...." Bayu tak mendengar apa-apa lagi. Dadanya seperti dihantamkan ke batu besar. Suara rintihan Adelia yang menjadi back sound telepon Melinda tadi, memantul-mantul di gendang telinganya. Apa yang terjadi? Tadi pagi gadis itu baik-baik saja. Bahkan, Bayu masih bisa melihat rona kemerahan di pipi Adelia yang chuby. Sejak hamil, berat tubuh gadis tersebut bertambah, alih-alih membuat si gadis terlihat menggemaskan. Melihat Adelia makan, membuatnya ikut berselera. Detik itu juga, Bayu meminta sang asisten meng-cancel tempat yang sudah dia reservasi untuk acara makan malam dengan Adelia. Gadis itu lebih penting saat ini. Pria itu meminta supir melajukan mobil lebih kencang lagi. Memikirkan terjadi sesuatu pada Adelia, membuat dadanya teramat sesak. Begitu mobil memasuki pelataran parkir rumah sakit, Bayu langsung berlari menyusuri selasar menuju ruangan operasi se
Mendengar ucapan Bayu, Deyana mundur dua langkah, hanya untuk memastikan jika yang dia peluk benar-benar pria yang dia cintai. Rasanya, tak mungkin si pria berkata sekejam itu. Dalam hati Deyana, dia bisa merasakan kalau cinta Bayu padanya bukan main-main. "Katakan sekali lagi, Mas ...?" Deyana bertanya ingin memastikan, "Kamu bohong, kan?" lirihnya dengan mata mulai memburam. Bayu menyugar rambutnya dengan kasar. "Aku enggak bohong. Maaf, harusnya aku enggak biarkan semua ini sejak awal. Aku mencintai Adelia." "Enggak!" bantah Deyana, keras, "kamu membencinya. Kamu sangat membencinya, karna dia orang ketiga dalam hubungan kita. Kamu membencinya, karna dia membuatmu bertanggung jawab pada sesuatu yang dilakukan orang lain, ingat itu!" Deyana mencoba memprovokasi Bayu. Dengan mengingatkan hal apa yang membuat pria itu terjebak dalam pernikahan dan pria itu juga yang memberi janji agar dia menunggu. "Aku ingat semua dengan jelas. Maafkan aku Deyana, aku salah padamu. Tapi, jujur ..
Adelia meringis. Jahitan di perut masih basah, membuat dia harus bergerak sepelan mungkin. Sesaat dia terdiam menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Benak gadis itu mengumpulkan ingatan yang terserak. Bayang-bayang wajah marah Deyana, juga raut murka Fairuz, silih berganti mengisi tempurung kepalanya. Refleks Adelia menyentuh perutnya, kempes. Seketika gadis itu dilanda ketakukan. Di mana bayinya? Apa yang terjadi? "Syukurlah Nona sudah siuman." Suara Melinda membuat Adelia menoleh ke samping kiri. Matanya menangkap sosok Melinda mendekat dengan senyum lega di wajahnya. "Di mana anakku, Bi? Apa dia baik-baik saja." Mata Adelia liar mengitari ruangan, berharap menemukan sosok mungil yang telah dia kandung selama hampir tiga puluh dua minggu. Melinda menahan pergerakan Adelia yang ingin duduk. "Tenanglah Nona. Putri Anda baik-baik saja. Dia ada di tangan yang tepat." "Apa ada yang kurang padanya? Atau tubuhnya terluka?" Adelia kembali mencecar Melinda, bayangan Deyana men
Merlion Park sangat ramai sore ini. Maklum saja, setiap akhir pekan banyak wisatawan lokal dan luar negeri mengunjungi tempat tersebut. Beberapa orang tampak berswafoto dengan latar belakang Marlion, patung yang kepalanya seperti singa dan badan ikan, yang merupakan ikon kota Singapura. Orang-orang berkata, belum resmi ke Singapura bila belum berfoto di tempat itu.Tepukan di bahu kiri, membuat Adelia menoleh. Pertama kali yang ditangkap mata si gadis adalah, senyum hangat seorang pria berwajah tampan, bisa juga dikatakan cantik. Kadang, Adelia susah mendefenisikan seperti apa raut Aridanta. Dia perpaduan maskulin dan feminim di saat bersamaan."Udah lama nunggu?" tanya Aridanta sambil menyugar rambutnya pelan.Adelia tersenyum. Tak banyak yang berubah dari pria di hadapan. Gaya khasnya, menyugar rambut. Itu artinya, dia sedang berusaha menunjukkan betapa memesonanya dia. "Lumayan, tapi untuk pria secantik kamu, aku enggak keberatan.""Haiiish! Aku ini wong lanang, eee. Mosok dibilan
"Sepertinya, Anta suka sama kamu." Fairuz menggoda Adelia yang sedang menuangkan kopi ke dalam cangkir untuk pria tersebut. "Lihat, Nika juga terlihat senang sama dia." Adelia melirik sekilas ke arah Anta. Pria itu sedang bermain dengan Nika--putri Adelia-di ruang tengah. Malam ini, dia sengaja mengundang pria tersebut makan malam di rumahnya. Semua itu ide Fairuz, yang penasaran siapa pria yang selalu membuat Adelia tertawa setiap kali berbicara di telepon. Sebagai orang tua yang merasa gagal membahagiakan putrinya, Fairuz merasa bersyukur setelah beberapa bulan pasca melahirkan, ada seseorang yang mampu mengembalikan keceriaan putrinya itu. Anta juga pria yang sangat supel. Dia gampang saja membuat Fairuz jatuh simpati. Biasanya, Papa Adelia itu sangat kritis pada seseorang. Namun. Dalam hitungan jam saja, keduanya berbicara seolah-olah seperti kawan lama. Mungkin kuliah bisnis yang ditekuni Anta, membuat si pria mampu mengimbangi obrolan Fairuz. Bagi Adelia, hal itu lumrah. Siap
Bila mendung sudah bergelayut di langit, jangan larang hujan turun ke bumi. Bila angin meniup keras dahan-dahan pohon, jangan larang dedaunan gugur ke bumi. Begitupun, bila cinta sudah mendiami hati, jangan pernah ragu untuk menggungkapkan. Perihal berbunga atau layu, biarkan semesta yang menjawab.Harusnya, rangkaian kalimat di atas dipahami Bayu, dahulu. Sehingga pria itu tak perlu memendam perasaannya jauh ke relung paling palung. Semestinya, dia tak menerima kekalahan begitu saja, lalu mundur tanpa pernah memperjuangkan Adelia. Andai, andai ... kata pengandaian itu terus saja bergema di tempurung kepalanya.Kini, pria itu hanya bisa melepas kerinduan lewat sosial media Adelia. Ada sesak yang terus menggulungnya dalam rasa bersalah. Meraba wajah cantik nan menggemaskan milik Nika, melalui layar telepon, membuat pandangan pria tersebut memburam. Sesekali, air mata keluar dari sudut mata sang pria. Lalu dengan cepat dia mengalihkan pandangan. Tak sanggup rasanya, melihat wajah bayi y
Adelia melangkah pelan-pelan, seraya melihat dekorasi ruangan tempat pernikahan mereka dilangsungkan. Perubahan tempat yang awalnya akan dilangsungkan di gedung, diganti ke sebuah villa milik keluarga Fairuz di daerah puncak. Semua itu atas permintaan Fairuz yang meminta pernikahan keduanya dipercepat satu bulan, karena pria itu hendak membawa Sarmila ke Singapura untuk berobat. Kabar baik didapat dari kenalannya dokter di sana, bahwa ada pendonor yang cocok dengan sang istri. Fairuz mengatakan, yang penting akad dulu, untuk resepsi nanti setelah Sarmila selesai melakukan transplantasi ginjal. Adelia tak bereaksi apa-apa dengan permintaan sang papa. Toh, cepat atau lambat, pernikahan akan terjadi juga. Dia hanya perlu mempersiapkan hati untuk mulai belajar mencintai Anta.Adelia juga mengurangi pertemuan dengan Bayu. Setiap kali pria itu datang menjemput Nika, Adelia memilih tidak menemui. Dia tak ingin rasa cinta yang susah payah dia matikan, kembali bertunas setelah melihat pria t
Aku tidak tahu sudah berapa lama duduk di atas susunan batu pemecah ombak. Membiarkan kakiku terjuntai ke bawah dijilat air laut yang mulai pasang. Yang pasti matahari sudah tidak segarang tadi. Perlahan-lahan sang surya mulai merangkak turun meninggalkan cahaya kemerahan di ujung cakrawala. Aku mengamati fenomena alam tersebut. Benda besar bersinar itu seolah-olah turun dan tenggelam ke dalam lautan. Aku tersenyum dan berpikir bagaimana bintang terbesar, yang menerangi seluruh dunia, saat waktunya telah selesai tetap harus tunduk kembali ke peraduan untuk memberi jalan pada bulan menjalankan tugasnya.Tanpa bisa dicegah masa lalu kembali berpandang ke tempurung kepalaku. menggali saat-saat bahagia yang tidak pernah bisa aku lupakan. Saat itu aku masih berseragam putih abu-abu. Sebagai senior dan anggota osis, kami diberi tanggung jawab membuat acara menyambut siswa baru. Aku masih ingat, hari itu malam terakhir. Kami mengadakan acara malam hiburan dan kesenian. Hampir semua siswa da
Rumah Fairuz dipenuhi kerabat dan beberapa relasi bisnis. Hari ini keluarganya mengadakan syukuran kepulangan sekaligus sehatnya Sarmila kembali. Keadaan wanita itu sudah lebih baik setelah dirawat sekitar dua minggu. Dokter mengingatkan kondisi Sarmlia belum terlalu baik. Sewaktu-waktu bisa saja kembali kolaps. Dokter menyarankan secepatnya mencari pendonor dan menjaga kondisi pasien agar tak terlalu lelah, apalagi stress. Taman belakang yang luas disulap menjadi tempat berlangsungnya acara. Kursi-kursi disusun sejajar untuk anak-anak yatim yang sengaja diundang. Makanan juga dihidangkan di atas meja dengan aneka macam menu khas indonesia. Ada juga banyak nasi kotak untuk para tamu yang tak sempat hadir lama. Fairuz dan Sarmila tersenyum melihat tingkah Nika yang bergelayut di punggung Bayu. Sejak bertemu dengan ayahnya, bocah kecil itu seolah-olah tak bisa dipisahkan. Dia bahkan berulang kali meminta, agar sang ayah tidur bersamanya. Adelia terpaksa meloloskan keinginan putrinya i
"Aneh, Nika langsung lengket sama kamu?" Bayu tersenyum tipis menjawab celutukkan Fairuz. "Nika bilang, pernah dikasih liat foto aku sana Adelia." Mata kedua pria itu, sedari tadi tak lepas mengawasi Nika yang bermain di taman rumah sakit, ditemani Deyana. Rasa terima kasih tak cukup rasanya dia ucapkan kepada Adelia, gadis itu tak menghilangkan jejaknya di pikiran putri mereka. Terbuat dari apa hati gadis itu? kebaikannya membuat Bayu merasa semakin tak pantas meski hanya memikirkannya saja. "Aku minta maaf kalau menyusahkan Papa." Lanjut Bayu, lagi. Fairuz menggeleng. "Justru Papalah yang harusnya berterima kasih. Kamu sudah merawat Sarmila empat tahun ini. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita dalam lingkaran yang selalu terhubung." "Aku juga enggak mengira, Ibu adalah Ibu Adelia. Selama ini beliau sudah mengijinkan tinggal bersama. Ibu sudah aku anggap sebagai orang tua sendiri." Fairuz menepuk bahu Bayu pelan sebagai ungakapan rasa terima kasihnya. Melihat penampilan Ba
"Udah pulang. Nak?" Mama Anta menyapa ketika melihat putranya pulang dengan wajah lesu. Anta hanya tersenyum sebagai balasan dari pertanyaan mamanya. Dia melonggarkan ikatan dasi di leher, lalu duduk menghempaskan tubuh ke atas sofa. Ratna--Ibu Anta--mengernyitkan dahi melihat wajah Anta yang kusut. Dia meletakkan majalah fashion yang sedang dibaca ke atas meja. "Kok wajahnya seperti kain belum disetrika, gitu?" "Enggak pa-pa, Ma. Aku cuma capek," jawab Anta singkat. "Capek, apa capek?" Ratna menggoda, bibirnya tertarik ke atas melihat Anta yang irit bicara. Bukan kebiasaannya seperti itu. Apalagi belakangan ini. Setiap hari wajah Anta selalu berseri, berdendang setiap melakukan apa saja. Entah sedang mencuci mobil, bersih-bersih, bahkan saat berjalan pun dia juga berdendang. Bukannya menjawab, pria itu malah menerawang, menatap langit-langit rumahnya. Apa yang dia lihat tadi siang, sangat mengganggu fikirannya. Ingin rasanya menutup mata dan berpura-pura tidak mengetahui apa-ap
Adelia duduk mematung di depan ruangan ICU. Tatapan gadis itu kosong, matanya sembab, dan wajah terlihat sangat kusut. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Semua campur aduk di dada. Ada bahagia bisa bertemu kembali dengan sang ibu, sekaligus takut jika harus kembali kehilangan. Dia ingin menangis, ingin seseorang mengusap bahunya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun, Adelia menahan semua kecamuk di dada. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan Bayu yang sering mencuri-curi pandang padanya. Anta juga tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Otaknya mencerna dengan hati-hati, dimulai dari pergerakan Adelia yang tiba-tiba, lalu memeluk seorang wanita dan memanggil, ibu. Dia memang mengetahui jika Adelia bukan saudara kandung Deyana, tetapi tak mengira Ibu kandung si gadis masih hidup. Salah pria itu, dia tak pernah bertanya. Padahal Adelia pernah memberikan selembar foto dan meminta tolong untuk mencari keberadaan wanita itu
Adelia tak bisa menutupi kekagumannya. Mata gadis itu bersinar, senyum tak luntur dari bibirnya saat Anta menunjukkan desain baju pengantin untuknya. Saat ini keduanya berada di butik ternama, yang menjadi langganan para pengusaha, sosialita, dan artis-artis ibukota. Adelia menaksir, harga gaun tersebut lebih dari dua puluh juta. Hanya dengan meraba saja, dia tahu gaun itu terbuat dari sutra plilihan. Kristal swarosky yang menjadi detail di bagian dada dan bawah gaun, membuat gaun tersebut seperti kepunyaan putri bangsawan. Itu baru satu gaun. Ada dua gaun lagi dengan desain lebih sederhana untuk dua pesta lainnya. Anta berkata, pesta pernikahan mereka nanti, akan digelar di tiga tempat. Di Jakarta untuk rekan bisnis dan teman-teman mereka. Di Bogor, kota kelahiran Anta dan yang terakhir di Paris. Adelia bertanya mengapa harus di sana? Pria itu menjawab, Paris adalah kota di mana dia menemukan Adelia kembali. Selain itu, Anta beralasan, banyak teman-temannya tinggal di sana. Pesta se
Udara sabtu pagi terasa sangat segar. Sisa hujan semalam, masih menyebarkan aroma petrikor yang menenangkan. Sisa embun terlihat bergelantungan di ujung-ujung daun. Suara burung perkutut peliharaan Fairuz, bersahutan menyambut matahari yang baru naik sepenggalah. Hari ini Adelia tidak pergi mengajar. Sejak berbicara dengan Deyana, perasaan gadis itu tak karuan. Dia membenak, ada apa dengan wanita itu? Walaupun tak ada lagi aroma permusuhan di antara mereka, tetapi sikap Deyana terasa ganjil. Kakaknya itu seolah-olah tak menyukai keputusannya menerima lamaran Anta. Harusnya, Deyana lega bukan? Empat tahun ini Adelia tak pernah melihat wanita tersebut bersama pria lain. Dia berpikir, mungkin saja Deyana masih mengharapkan Bayu. Sebuah asumsi yang sebenarnya menghantarkan denyut ngilu ke sekujur tubuhnya. Namun, dari pembicaraan keduanya tadi, dia menyimpulkan, seakan-akan Deyana mengetahui perihal Bayu. Apa keduanya sudah bertemu? Atau memang selama ini mereka masih berkomunikasi? Lal
Angin malam berembus menerpa wajah Deyana. Hujan telah reda, tetapi tidak rasa penasaran yang bergumul di dadanya. Empat tahun menghilang, siapa mengira takdir mempertemukannya dengan Bayu di rumah ini. Wanita itu meraih satu tas yang selesai dianyam. Senyum kecil terulas di bibirnya. Hasil buatan tangan sang pria sangat rapi. Benaknya bertanya-tanya, sejak kapan Bayu mahir membuat kerajinan rotan itu? "Maaf, nunggu lama. Aku harus memastikan Ibu minum obat dulu." Bayu meletakkan secangkir teh hangat di atas balai kayu tempat kerajinan disusun. Deyana tersenyum, meletakkan kembali tas itu, lalu duduk di sebelah Bayu. "Kamu apa kabar?" "Baik," jawab Bayu singkat. Deyana mengulum bibirnya. Benaknya berusaha mencari topik pembicaraan agar kekakuan mereka bisa mencair. "Makasih kamu udah ngaterin Ibu pulang," ucap Bayu, lagi. "Iya, kebetulan tadi kecelakaannya di depan kantor. Aku juga enggak tega biarin Ibu itu pulang sendiri." Bayu menatap Deyana sebentar. Ada yang berubah di di