Siang yang sangat panas. Panasnya menembus sampai kehatiku.Aku belum bisa melupakan apa yang Daniel lakukan didepan mataku. Akhir-akhir ini, mulai ada jarak antara aku dan Daniel. Kami hanya bebrbicara jika membahas tentang pekerjaan. Daniel tidak lagi memintaku memasak untuknya. Dia juga tidak pernah lagi mengajakku untuk pulang bersamanya. Harapanku benar-benar pupus.“Mau makan apa, Sofi?” Tanya Rena padaku dikantin kantor.“Nasi opor ayam aja, Ren. Minumnya air mineral aja.” Rena mengangguk dan berjalan menuju ibu kantin untuk memesan makanan. Dari jauh aku melihat kelebat Salman. Dia datang lagi. Sudah seminggu dia rutin datang kesini untuk ikut makan Bersama kami. Aku tidak hanya mulai berdamai dengan Salman, tapi aku juga mengizinkan Salman datang asalkan dia tidak membahas masalah hati lagi. Sapertinya, kami sudah berteman dengan baik.“Haii, Sofi.” Salman menyapaku dan menarik kursi lalu duduk didepanku“Hai, Man.” Jawabku pada Salman. “Kamu enggak mau pesen makan?
Pagi yang sangat cerah. Aku memilih untuk berdiam diri diteras kostan pagi hari.Hari ini, aku izin tidak masuk kantor . Fikiranku masih kacau. Belum selesai aku memikirkan kisah cintaku pada Daniel yang bertepuk sebelah tangan, sekarang Salman menambah serabut dalam kepalaku memikirkan lamarannya. Aku melihat lalu Lalang kendaraan disepan kostanku. Tidak ramai memang, karena kostanku bukan berada dipinggir jalan raya, hanya jalan kecil.Tapi tidak kalah ramai dengan jalan raya. Karena Surabaya adalah kota ramai setelah Jakarta.Aku melirik ponsel yang kugenggam. Lama ia tidak berbunyi menghantar pesan dari Daniel. Namanyapun lama tidak hadir dalam layarku. Kala itu, Daniel pernah mengatakan rindu, apakah ia rindu padaku sama seperti ia merindukan Rena? Tapi rasanya, jangankan untuk mengatakan rindu pada Rena, menghubungi Rena saja Daniel sangat jarang. Lantas kenapa perasaannya harus sama pada kami berdua? Atau memang, Farah masih menguasai hati Daniel? Ah, Aku semakin pelik
Malam ini hujan turun, aku tidak bisa memandang bulan yang indah bersama gemintang yang mengitarinya. Sejak pulang dari kantor, aku malas bangun dari tempat tidur. Fikiranku dipenuhi dengan kekhawatiran pada kondisi Daniel. Aku ingin menjenguknya, tapi Rena melarangku. Katanya, Daniel tidak mengizinkan aku menemuinya. Sebenci itukah Daniel padaku, sampai melihat wajahku saja dia tidak mau.Dua hari sudah Daniel tidak masuk kantor, aku ingin tahu keadaannya. Aku merindukannya.Kring kring..Aku melirik ponselku yang berdering. Layarnya menyala. Aku terkejut melihat nama yang tampil dilayar ponsel, ternyata Bibi menelponku. Padahal, biasanya tidak sekalipun dia menelponku kecuali aku yang menelponnya lebih dulu.“Iya Bi..” Aku menyapanya.“Kamu apa kabar, Sofi?” Tanya Bibi dari dalam posnel.”“Baik, Bi. Bibi apa kabar sama keluarga disitu? Tumben nelpon, Sofi.”“Disini semua baik. Bibi cuma mau bilang, kalau kami udah nerima lamaran Salman seperti yang kamu pesankan.”“Apa?” Ak
Kring kring.. Ponselku berdering. Aku melirik ponselku ditepi ranjang. Aku terperanjat seketika bangun karena melihat nama Daniel terpampang disana. "Hallo.." Aku menjawab telpon Daniel. "Morning, Sofi." Jawab Daniel dari dalam telpon. "Morning, Mas. Gimana kabar Mas sekarang? Udah sehat?" Tanyaku penuh kekhawatiran. "Mendingan. Kamu gimana kabarnya? Nggak main-main kesini?" Aku lega mendengar kabar Daniel. Tapi aku mendadak tidak dapat bersuara. Sadarkah Daniel menanyakan itu padaku. Bukankah Daniel yang tidak mengizinkan aku untuk datang kerumahnya? Atau, ini hanya basa-basi belaka. "Sofi." Panggil Daniel memintaku bersuara. "Iya, Mas." Jawabku. "Bisa dateng kesini hari ini? Bawa file dan document yang harus saya baca dan tanda tangani." Jelas Daniel memerintahku. "Baik, Mas." Jawabku tanpa perlawanan. Sementara mataku melirik jam dinding kamar. Masih jam 06.00 pagi. "Saya akan kekantor jam 07.00, Mas. Dari kantor saya langsung kerumah Mas buat bawa semua yang Mas minta
'Pagi ini, aku melangkah meniti asa. berharap jalan menuju hatimu masih ada.Aku tertatih membawa raga, hampir putus asa.Deru angin pagi ini sangat kencang. Dia memaksaku untuk menyerah. Tapi hati ini terus meronta.Daniel, Kenapa aku dan kamu tidak bisa Bersama?Sekerdil inikah aku, hingga tak mampu menggapaimu.Atau memang, kau yang ingin menjauhiku?Jika iya, betapapun aku merakit tali temali takdiruntuk membersamaimu, ia akan putus oleh tajamnya ketidak perdulianmu pada perasaanku.Haruskah aku melepas semua namamu dialiran darahku, denyut nadiku, jantung yang berpacu, hingga hati yang tak pernah ragu mencintaimu. Ah, kamu terlalu jauh.'Aku masih duduk dengan tatapan kosong. Aku masih berharap semua ini mimpi. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini.Aku tidak mungkin bisa hidup bersama orang yang tidak aku cintai. Sementara Daniel masih menguasai hatiku saat ini.Tapi, ‘Daun Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin’. Judul novel itu yang selalu ku ulang-ulang dalam otakku.
Dua hari sudah aku resmi menerima pinangan Salman untuk jadi tunanganku. Setelah lamaran tipuan hari itu. Aku mempunyai banyak sekali pertanyaan yang sampai sekarang belum aku temukan jawabannya. Aku sudah menelpon Salman dan memintanya datang ketaman dekat kostanku. Aku ingin semua jelas sebelum hari pernikahan kita semakin dekat. Karena aku tidak mau lagi dia berbohong dan melakukan hal-hal konyol yang selalu mengejutkan aku. Toh, Salman sekarang sudah mendapatkan apa yang dia mau, yaitu memiliki aku. “Salman.” Aku melambaikan tangan memanggil Salman yang sedang celingak celinguk mencariku. Salman berjalan kearahku. “Sofi. Balik lagi dong manggilnya kayak dulu. Jangan Salman, Salman. enggak enak didenger. Aku kan calon suami kamu.” Salman duduk disampingku. “Oke. Abang Salman.” “Ada apa kamu ngajak aku ketemuan? Padahal besok kan, kita ketemu buat fitting baju. Udah kangen, ya?” Aku memelototinya kesal. “Oke sorry.” Salman memelas. “Bang, aku langsung aja yah..
Hari ini kepalaku masih sakit. Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku tidak berhenti memikirkan semua cerita Salman. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hubunganku dengannya. Setelah semua yang terjadi, sepertinya kali ini aku harus terlebih dulu mencari kebenaran. Aku mulai ragu dengan semuanya.Aku harus mencari dalang dari semua skenario ini.Aku mengambil tas yang tergantung dibalik pintu dan menjinjingnya dibahu. Aku berjalan keluar lalu menyetop taxi. Aku menaiki taxi dan meminta driver tersebut untuk mengantarkan aku kerumah Daniel. Aku harus meminta penjelasan Daniel sebelum meminta penjelasan dari Rena. Aku harus mendengarkan semua pihak.Atau mungkin dari Daniel aku akan menemukan sedikit jawaban kepada siapa aku harus percaya.Setelah sampai didepan rumah Daniel, aku melihat gerbang rumah Daniel sudah menganga. Aku yakin Daniel sudah bangun. Aku melihat seorang Ibu paruh baya yang sedang menyapu diteras rumah Daniel. sepertinya dia adalah maid baru Daniel lagi. “Selam
Aku berjalan masuk kedalam salah satu Restoran mahal dikota Surabaya. Mahal menurutku yang tidak mampu membeli makanan didalamnya. Aku belum pernah masuk ke Restoran ini.Aku melihat kesekeliling Restoran, mencari sosok yang memintaku untuk datang kesini.“Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang pelayan Restoran berseragam hitam putih penghampiriku. Pelayan itu menanyaiku. Mungkin dia melihatku yang sedang kebingungan.“Oh, iya, Mba. Aku nyari meja pesanan atas nama Salman.” Aku memberi tahu pelayan tersebut.“Mari ikut saya, Bu.” Pelayan itu menunjukkan jalan dengan sangat sopan. Ia berjalan perlahan, dan aku menyusulinya dari belakang. Aku diantarkan kemeja makan tertutup dipojok Restoran ini. “Silahkan duduk, Bu." Pelayan itu menarik kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk. "Ini buku menunya, Bu. Silahkan diliat-liat dulu." Dia menyodorkan buku menu padaku. "Nanti kalau mau pesan bisa pencet bel aja disini.” Pelayan itu menunjuk tombol bel disamping meja.Aku menatap b
“So beautiful, anak Mamah.” Aku memeluk Mamah Daniel. Aku mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. Memeluk mamah Daniel serasa memeluk Ibuku. Aku merasa sedikit damai dalam pelukannya. “Makasih, Mah. Makasih juga udah mau dateng.” Dia melepas pelukanya dan tersenyum sambil menatap mataku. Mata Mamah Daniel berbinar. Terpancar kebahagiaan disana. Ada perasaan kecewa dalam hatiku atas kebahagiaannya. Kecewa, karena Ia bahagia atas pernikahanku yang bukan dengan anaknya. “Mamah pasti dateng sayang. Kan, yang nikah anak Mamah.” Jawab Mamah Daniel teduh. 'Iya. Mamah Daniel bahagia, karena dia menganggapku anaknya. Ah, aku terlalu berlebihan karena kecewa.' “Mas Di nggak dateng?” Dia Kembali melempar senyumnya. “Dateng, dong.. kalau nggak dateng, gimana kamu nikahnya?” Balasnya. Aku mengernyitkan dahiku. Aku memang berharap Daniel bisa datang, tapi kalaupun dia tidak datang, itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada pernikahanku. Aku mengangguk, meskipun aku tidak meng
Untuk Mas Daniel, Daniel, Satu nama yang terpateri dalam hati ini. Terima kasih karena sempat menjadi warna dalam hidupku. Sampai saat ini, aku masih mencintaimu. Sangat. Meski raga ini sudah tak mampu lagi berlari mengejarmu, tapi hati ini senantiasa merindumu. Semua memang sudah terlambat. Aku tidak bisa melawan takdirku.Tapi tak salah bukan, kalau aku berharap, suatu saat takdir berpihak padaku. Aku masih mengaharapkanmu, mas. Meski secuil saja harap adalah sesuatu yang mustahil. Tapi, bukankah berawal dari kemustahilan mencintai dengan derajat yang berbeda sudah kita lewati? Sekarang, aku hampir menjadi isteri orang, dan kamu masih sendiri. Apakah ini juga akan menjadi mustahil? Ah, entahlah! Kamu terlalu dalam untuk aku keluarkan dari lubuk hatiku. Kamu terlalu berkuasa dalam otakku hingga aku tak mampu melupakanmu. Kalau boleh aku bilang ‘aku benci takdirku’. Tapi itu tidak boleh, kan? Karenanya, aku tidak membencinya. Apapun dan siapapun. Selamat tingg
"I love you, Mas." Aku terisak dibahu Daniel. Bahu yang selalu kuharapkan dapat menopang kepalaku saat aku sedih."Love you too, sayang." Jawab Daniel. Malam ini kami sedang duduk bersama diteras rumah Daniel. Aku ingin menghabiskan malamku bersama Daniel.Orang tua Daniel sedang keluar untuk menemui koleganya.Besok, aku harus kembali menjadi Sofi tunangan Salman. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan pernikahanku atas permintaan Daniel.Daniel memberikan alasan yang masuk akal untuk tidak merebutku dari tangan Salman. Daniel bukan tipikle laki-laki curang dan licik.Dan aku harus bertanggung jawab atas semua keputusan yang kuambil. Sebenarnya, bisa saja waktu itu aku menggagalkan pertunanganku.Tapi aku memilih meresmikan pertunanganku dengan Salman."Mas, udah beberapa hari lagi aku akan nikah sama Salman. Aku akan jadi milik dia Mas." Daniel menatapku. Hatiku sakit melihat mata Daniel yang juga meneteskan air mata."Apapun yg terjadi esok, aku harap kamu akan selalu bahagia sayan
“Ada apa Di?” Samar-amar aku mendengar suara Mamah Daniel.“Sofi sakit, Mah.” Jawab Daniel sambil menggendongku dan berjalan terburu-buru. Daniel membawaku kekamarnya. Kamar Dimana aku meninggalkan Daniel saat dia terbaring lemah.“Kamu nggak apa-apa, sayang?” Tanya Mamah Daniel. wajah yang seiras dengan Daniel inipun sama-sama mengkhawatirkanku. Aku melihat ketulusan mereka menyayangiku.“Nggak apa-apa, Mah. Mamah nggak usah khawatir, yah..” Jawabku menenangkan Mamah Daniel.Aku melihat Daniel yang sedari tadi tidak tenang.“Ini buburnya, Pak.” Maid Daniel mengantarkan mangkuk berisi bubur pada Daniel.“Makasih, Bi.” Daniel meraih mangkuk itu dan menghampiriku. “Makan dulu ya, sayang.” Ucap Daniel. Aku melirik Mamah Daniel. Aku malu Daniel memanggilku sayang didepan Mamahnya. Aku mengangguk dan membuka mulutku saat Daniel menyuapiku. Entah kenapa aku bisa jatuh ketangan Salman, padahal begitu lebarnya jalan untukku masuk kekeluarga Daniel.Aku sangat yakin, ini bukan takdir. Mela
Seusai meeting, semua staff keluar dari ruang meeting. Aku tidak benar-benar fokus pada meeting hari ini."Rena nggak masuk lagi, Mas?" Tanyaku pada Daniel. Aku tidak melihat Rena sedari pagi. "Begitulah." Jawab Daniel yang masih sibuk memeriksa kertas-kertas laporan hasil meeting. Aku masih duduk terpaku melihat Daniel sambil berfikir keras bagaimana cara menggagalkan penikahanku tanpa menyakiti dan membuat malu pihak manapun. Selain itu juga, aku teringat bagaimana kemarahan Ayah Salman dan ancamannya terhadapku semalam. Aku takut. Tanganku mulai gematar lagi.Dari semalam aku belum makan. Aku letih memikirkan semuanya.“Sofi.” Daniel menoleh kearahku lalu memanggilku. Aku mencoba menahan semua rasa sakit. “Heii.. kamu kenapa, sayang?” Daniel menghampiriku.Terlihat wajah Daniel nampak khawatir melihat kondisiku. Aku tidak bisa menyembunyikan kondisiku yang lemah. Tapi aku masih berusaha kuat. “Kita pulang, ya.” "Aku nggak apa-apa, Mas. Aku cuma terlalu panik menghadapi semuany
Daniel menghampiriku dan memberikan kotak kecil yang ia ambil dimeja kerjanya. “Buka.” Pinta Daniel. Aku mengambil kotak tersebut dan membukanya. Ada cincin cantik dengan permata hitam diatasnya. Warna favorite kami. “Apa ini?” Tanyaku masih bingung. “Cincin. Cincin ini aku beli buat aku kasih kekamu untuk menyatakan perasaanku sama kamu. Waktu itu, Rena masuk keruangan ini dan dia liat cincin ini. Aku bilang, kalau aku mau melamar kamu. Tapi dia nggak ngizinin aku dengan alasan, kalau kamu nggak suka sama aku. Dia bilang, kamu cinta sama Salman. Dan hampir bertunangan sama dia.” Mataku terbelalak mendengar penjelasan Daniel. sebelumnya, aku sudah bisa menebak, bahwa Rena adalah dalangnya. Tapi aku tidak menyangka, sejauh ini dia menipu kami. “Oke, satu lagi yang masih jadi teka teki dan sampai sekarang Mas belum ngasih tahu aku. Mas inget kan, waktu aku masih kerja dirumah Mas sebagai maid? Waktu itu Mas pergi ke Turki. Dan sepulang Mas dari Turki, Mas marah dan nuduh
Aku sampai dikantor pukul 07.00 pagi ini. Kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Semalaman aku terus menerus memikirkan ancaman Ayah Salman, tapi aku juga harus menyelesaikan masalahku dengan Daniel. Aku sudah janji untuk menemui Daniel pagi ini,dan sebelum Daniel samapi kantor, aku juga harus menyelesaikan laporan untuk persiapan meeting. Aku langsung menghadap komputer dimeja kerjaku. Menyelesaikan semua tugas yang dibutuhkan. Sesekali aku menyeruput kopi yang aku buat sebelum aku duduk dimeja kerjaku.Beberapa staff mulai berdatangan dan menyapaku. Mereka menempati kursi mereka masing-masing.“Temen-temen, kita nanti meeting jam 10.00. Maaf ngasih tahu mendadak. Soalnya Bos baru ngasih tahu kemaren. Jadi sekarang kalian masih punya waktu sampe jam 10.00 buat ngerjain laporan. Okey..“Oke, Mba Sofi.” Jawab mereka Bersama-sama. Aku Menyusun lembaran demi lembaran laporan yang sudah selesai kubuat. Aku menatap pintu ruangan Daniel yang belum juga dibuka oleh tuannya. Aku me
Aku berjalan masuk kedalam salah satu Restoran mahal dikota Surabaya. Mahal menurutku yang tidak mampu membeli makanan didalamnya. Aku belum pernah masuk ke Restoran ini.Aku melihat kesekeliling Restoran, mencari sosok yang memintaku untuk datang kesini.“Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang pelayan Restoran berseragam hitam putih penghampiriku. Pelayan itu menanyaiku. Mungkin dia melihatku yang sedang kebingungan.“Oh, iya, Mba. Aku nyari meja pesanan atas nama Salman.” Aku memberi tahu pelayan tersebut.“Mari ikut saya, Bu.” Pelayan itu menunjukkan jalan dengan sangat sopan. Ia berjalan perlahan, dan aku menyusulinya dari belakang. Aku diantarkan kemeja makan tertutup dipojok Restoran ini. “Silahkan duduk, Bu." Pelayan itu menarik kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk. "Ini buku menunya, Bu. Silahkan diliat-liat dulu." Dia menyodorkan buku menu padaku. "Nanti kalau mau pesan bisa pencet bel aja disini.” Pelayan itu menunjuk tombol bel disamping meja.Aku menatap b
Hari ini kepalaku masih sakit. Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku tidak berhenti memikirkan semua cerita Salman. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hubunganku dengannya. Setelah semua yang terjadi, sepertinya kali ini aku harus terlebih dulu mencari kebenaran. Aku mulai ragu dengan semuanya.Aku harus mencari dalang dari semua skenario ini.Aku mengambil tas yang tergantung dibalik pintu dan menjinjingnya dibahu. Aku berjalan keluar lalu menyetop taxi. Aku menaiki taxi dan meminta driver tersebut untuk mengantarkan aku kerumah Daniel. Aku harus meminta penjelasan Daniel sebelum meminta penjelasan dari Rena. Aku harus mendengarkan semua pihak.Atau mungkin dari Daniel aku akan menemukan sedikit jawaban kepada siapa aku harus percaya.Setelah sampai didepan rumah Daniel, aku melihat gerbang rumah Daniel sudah menganga. Aku yakin Daniel sudah bangun. Aku melihat seorang Ibu paruh baya yang sedang menyapu diteras rumah Daniel. sepertinya dia adalah maid baru Daniel lagi. “Selam