Malam kian larut. Setiap orang mulai menuju ke peraduan masing-masing untuk beristirahat. Galuh dan Alfa pun melakukan hal demikian. Mereka baru saja gosok gigi dan sedang bersiap-siap untuk tidur.Galuh punya kebiasaan menyisiri rambutnya sebelum tidur. Cukup membutuhkan waktu untuk menyisiri rambutnya yang hitam legam dengan panjang sepinggang. Alfa sendiri sedang menata kasur lantai dan mengatur sprei sebagai alasnya.Galuh memperhatikan tingkah suaminya dari balik kaca rias. Alfa sendiri sudah selesai menata kasur lantai. Dia segera berjalan menuju ke arah sang istri lalu berdiri di belakangnya. Keduanya kini saling menatap lewat cermin dan tanpa bisa dicegah keduanya tersenyum lalu sama-sama tertawa. Alfa melingkarkan kedua lengannya hingga memerangkap Galuh dalam rengkuhan. Posisinya kini sedikit membungkuk. Alfa menaruh dagunya di bahu kiri Galuh. Keduanya kembali saling menatap. Lalu tanpa bisa dicegah sesekali Alfa mencium pipi kiri sang istri. CupCupCupGaluh yang diperla
Anjani keluar dari kamarnya tepat pukul tiga pagi, seperti biasa dia akan melakukan sholat malam dulu sebelum berkutat dengan dapur. Saat akan menuju ke kamar mandi, refleks dia menoleh ke pintu kamar Galuh. Anjani tersenyum lalu memilih segera ke kamar mandi juga. Sementara itu, di dalam kamar yang tadi menjadi perhatian Anjani, dua pasutri baru sedang asik berolahraga pagi. Galuh sejak tadi menahan hasratnya untuk berteriak dan mengerang, sementara Alfa tetap fokus dengan usahanya untuk mencapai puncak hingga dia membenamkan wajahnya di ceruk leher sang istri. Berharap geramannya sedikit teredam. Tubuh keduanya bergetar. Sensasi yang selalu membuat keduanya candu kini sedang mereka nikmati. Seperti biasa, setiap memulai dan mengakhiri sesi percintaan Alfa selalu mengecup kening Galuh. Kini malah dia tambahi dengan kecupan-kecupan memabukkan yang membuat Alfa kembali on fire. "Mas!" Galuh shock karena pusaka sang suami kembali on fire. Padahal masih terpenjara dalam kekosongan d
Galuh dan Zahra harus menjalani beberapa pemeriksan dari dokter tulang, dokter saraf, rekam medis dan lainnya. Belum lagi beberapa tindakan lain termasuk rontgen. Kegiatan yang cukup melelahkan tapi terbayar dengan hasil yang mengatakan keduanya baik-baik saja."Kamu tunggu di sini, Bapak mau ambil obat sama Nak Alfa. Zainab, Jani, jagain tuh dua bocah!" ucap Aiman."Aku masih bocah tapi ini bukan bocah lagi, Pak." Zahra menunjuk ke arah Galuh."Masa bocah nikah, ya gak ada. Malah kayaknya bentar lagi bisa bikin bocah."Seperti biasa ucapan Zahra membuat orang-orang tertawa termasuk Alfa. Dalam hati Alfa mengamini semoga saja apa yang setiap malam dan pagi dia lakukan dengan Galuh akan segera menghasilkan bocah. Galuh pun tertawa di balik cadar. Dia hanya berharap kegiatan yang setiap malam akan dia lakukan bersama suami dengan tujuan membuat bocah, tidak terdengar sampai kamar Zahra soalnya bisa gawat kalau Zahra sampai mendengarnya. Melihat gairah sang suami yang sangat menggebu, Ga
Zami melongo, pasalnya Galuh kini menutup wajahnya dengan ujung kerudung. Dia hendak meraih Galuh lagi dan ingin melihat wajahnya tapi keburu rambutnya ditarik oleh seseorang dari belakang. "Dasar lelaki bajingan. Ngapain kamu narik cadarnya Lulu, hah?" Meski badannya masih sakit tapi Zahra memaksa diri berdiri dan menjambak Zami. Zami mengaduh dan dia berbalik dan kini dia malah adu gelut dengan Zahra sampai cadar Zahra lepas dan dia terjatuh dengan bokong menyentuh lantai. "Aduh!" Zahra memekik menyebabkan giginya terlihat. Melihat Zahra jatuh, Galuh otomatis memekik dan refleks mengulurkan tangan menyebabkan ujung kerudungnya menjuntai ke bawah lagi. Zami menggunakan kesempatan ini untuk melihat muka Galuh. Sayang, apa yang dia lihat membuat wajahnya shock. "K-kamu ...!" pekik Zami. Galuh menatap Zami. Kedua matanya dan mata Zami bersiborok. "K-kamu ...." Zami menunjuk wajah Galuh. Galuh kaget. Dia otomatis meraba wajahnya, lalu dengan cepat kembali menutupkan uju
Teungku Zaky hanya menatap Zami dengan wajah kesal."Dimana-mana orang nikah itu seneng. Bukan kayak kamu, malah justru sakit. Lagian kamu itu ngapain sih? Tinggal menikmati pernikahan sama Intan aja bingung amat. Dia cantik, gak kalah sama Aulia. Cuma badannya berisi. Tapi justru itu enaknya cewek berisi. Aku aja sekarang seneng, Aulia yang dulu kurus udah sedikit berisi gara-gara nikah sama aku. Kalau kurang, kamu cari lagi cewek lain. Lelaki boleh nikah empat kali, kayak Abah," ucap Teungku Zaky. Zami tidak merespon ucapan sang ayah. Dia sendiri masih posisi linglung, sesekali masih muntah, jika dia mengingat tompel besar di pipi Galuh dan yang lebih buruk lagi, gigi sumbing milik Zahra."Hoek. Hoek.""Zamiiii!"Teungku Zaky berteriak kesal. Pasalnya Zami muntah di baju sang ayah. "Kamu, agh!"Dia melirik ke arah Intan. "Intan, bersihkan itu."Intan menatap jijik ke arah muntahan Zami. "Gak mau, Abi. Intan ...." Intan justru hampir ikut muntah juga. Intan menggeleng sambil menut
Bu Nyai Khomsah sedang duduk melamun di teras belakang. Beliau saking memikirkan masalah sang putra jadi tidak menyadari sang suami mendatanginya. Kyai Baihaki tersenyum melihat sang istri tengah duduk diam sambil melamun. Beliau pun terus mendekat dan begitu sudah berada di samping sang istri, Kyai Baihaki menepuk pundak istrinya lembut.“Eh, Abah.” Bu Nyai Khomsah terlihat kaget.“Ngelamun?”“Iya, Bah.”“Mikirin Alfa?”“Iya, Bah.”Kyai Baihaki menarik kursi yang lain, beliau ikut duduk dan kini sama-sama melihat ke arah taman belakang rumah. Kedua pasangan yang sudah tak lagi muda sama-sama terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga Kyai Baihaki lah yang bicara duluan.“Umi.”“Ya.”“Tadi malam, abah mimpi.”“Mimpi apa?”“Abah mimpi ambil lima biji kurma dari kebun yang gak tahu kebunnya siapa terus tak bawa pulang buat ditanem di sekitar rumah. Pas sampai rumah udah ada pohon satu.”“Terus?”“Terus abah tetap tanam lah?”“Jadi gak?”“Jadi, mana pohonnya gede-gede.”Bu
Galuh dan yang lain menatap rumah yang hampir dua tahun lebih menjadi tempatnya berlindung dengan mata berkaca."Yah, kita harus pergi."Aiman mengajak semua keluarganya pergi. Dia dan yang lain menyalami para tetangga dan orang-orang yang dia kenal. Galuh dan Zahra juga berpamitan dengan para rekan, sahabat dan murid mereka yang ikut mengantar.Alfa sendiri pamitan dengan Rafly. "Aku pamit ya, Rafly. Makasih untuk semua.""Aku juga terima kasih. Pokoknya kabari aku sama Syifa kalau mau resepsi.""Pasti.""Oh iya, ini yang aku janjikan."Rafly menyerahkan amplop cokelat besar. Alfa tersenyum dan mengucapkan terima kasih.Keduanya berangkulan. Berbasa-basi sebentar lalu Alfa dan yang lain akhirnya masuk ke mobil yang sengaja Alfa sewa untuk mengangkut istri dan keluarganya ke bandara. Mobil pun melaju meninggalkan sebuah kampung yang menjadi tempat Galuh merenda kisah selama dua tahun ini.Tanpa mereka sadari, ada dua pasang mata yang menatap hilangnya mobil dari kejauhan. Salah satu
"Kakuuung, Utiiiiii!" teriak bocah berusia tiga tahunan. Fairuz berlari ke arah kedua kakek neneknya."Utiii, kangen." Fairuz memeluk Bu Nyai Khomsah. Lalu dari sang nenek, Fairuz memeluk kakeknya. Kyai Baihaki tersenyum semringah. Bahkan dia membawa sang cucu dalam gendongan."Cucu Kakung. Kamu sehat?""Sehat dong, Uti sama Kakung sehat?""Sehat."Tak berselang lama, sosok Hanan, Nabila dan Hakim datang. Mereka bertiga menyalami sepasang suami istri paruh baya. Lalu berbincang-bincang sebentar hingga Kyai Baihaki menyuruh semuanya ngobrol santai di ruang tengah.“Alfa udah nyuruh aku bawa Fay pulang, hari ini batas akhirnya. Makanya tak antar, Pakdhe,” ucap Hanan sambil duduk di salah satu sofa.“Dia bilang hari ini sampai, makanya Pakdhe gak kemana-mana, dari tadi nungguin."“Haih, ini anak. Ngapain sih pakai rahasia-rahasia, tinggal kasih tahu aja.”Hanan dan yang lain masih asik berbincang sementara dua balita sibuk bermain. Sambil mengawasi dua bocil, mata Bu Nyai Khomsah beber
Bu Nyai Latifah menatap kesal ke keramaian orang-orang di sekitarnya. Lima belas menit yang lalu baru saja ada acara akad nikah untuk Faris dan Anjani. Faris lah yang meminta akad ulang karena dia dan Anjani terlalu lama berpisah. Faris merasa lebih baik mengucap ijab kabul lagi meski secara negara dia masih sah suami Anjani.Anjani juga tak berkeberatan. Aiman pun terpaksa menyetujui. Namun, sebelumnya dia memberi ultimatum super tegas untuk Faris dan tentu saja Faris menyanggupi.Begitu ijab kabul selesai, Anjani memilih bergabung bersama para wanita dengan duduk lesehan bersama para wanita. Aiman dan Kyai Baihaki menyingkir ke gazebo belakang. Sementara Alfa dan Faris terlihat bicara serius di sofa ruang tengah."Fa, nanti aku minta tolong kamu urusin akte Galuh sama surat pernikahan kalian, pokoknya Galuh harus ada identitas sebagai anakku, catet anakku," ucap Faris menggebu-gebu."Iya Aba. Nanti Alfa urus akte sama kartu keluarga Alfa. Sekalian aku nanti pisah akte dari KK-nya Ab
Semua orang kini duduk di ruang keluarga. Namun sejak setengah jam yang lalu, tidak ada yang membahas apapun. Hanya Alfa yang mondar-mandir memanggil mantri lalu mengurusi Faris yang terluka. Begitu Faris sudah diberikan pertolongan pertama kini Kyai Baihaki mengumpulkan semua orang dalam satu ruangan. Fairuz sendiri kini berada dalam asuhan para mbak santri di pondok. Bu Nyai Latifah sendiri ikutan gabung karena kepo. Tak ada yang mempermasalahkan kehadirannya bahkan seperti kehadirannya dianggap tak ada. "Baiklah. Kita selesaikan masalah hari ini juga." Kyai Baihaki menatap kepada Faris yang mengangguk lalu kepada Aiman yang terlihat masih emosional. "Iman. Aku minta, kamu tahan emosimu. Biarkan Faris bercerita terlebih dahulu." Aiman tak bicara apapun tapi Kyai Baihaki tahu kalau Aiman mengerti akan maksudnya. "Faris. Ceritakan semuanya." Faris mengangguk. Dia pun bercerita bagaimana dia sadar, dan bagaimana dia selalu menanyakan dimana Anjani. Tapi jawaban kedua orang tuanya
Faris terus menarik tangan Anjani. Keduanya entah pergi kemana, mereka pun tak tahu. Pokoknya saat itu, Faris hanya berpikir yang penting mereka menjauh sejauh-jauhnya dari si nenek sihir."Lepas! Lepas! Aku bilang lepas!" teriak Anjani. Dia mencoba melepaskan cekalan Faris dengan kasar. Tapi sulit hingha akhirnya bisa terlepas saat Anjani menggigit lengan kanan Faris."Aaaa!" teriak Faris.Cekalan Faris pun terlepas. Anjani menatap Faris dengan linangan air mata. Dia lalu berbalik hendak pergi meningalkan Faris. Dia berlari secepat mungkin namun Faris mengejarnya."Tunggu Anjani!"Anjani terus berlari tapi Faris berhasil menyusul dan secepat kilat meraih tangan Anjani menyebabkan Anjani sedikit tertarik hingga menubruk dada Faris yang meski sudah tua masih terasa bidang."Tunggu dulu. Jangan pergi.""Lepas!""Gak. Gak akan aku lepas lagi."Anjani berontak. Faris tak mau kehilangan sang istri lagi."Lepas! Lepas brengsek!" teriak Anjani."Gak akan Sayang. Mas gak akan lepasin kamu lag
Sepanjang perjalanan Alfa menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia sedang mencari keberadaan ayah mertuanya. Sama dengan Alfa, Kyai Baihaki dan Hanan juga ikut mengedarkan pandang. Hanan malah sudah mengkode sepupunya itu.“Bapak mertuamu, mana?” bisiknya.“Aku juga lagi nyari.” Alfa juga berbisik.Sampai di rumah, sosok Faris tetap saja tak ketahuan rimbanya. Nomer telepon Faris juga tidak aktif. Bahkan, ketika Alfa menelepon salah satu ustaz yang tinggal di sebelah rumah yang ditinggali Faris, sang ustaz mengatakan kalau Faris sudah tak terlihat sejak dia keluar dari rumah.Alfa ingin mencari tapi dia tak bisa karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus dia urus. Hanan sendiri malah sudah disuruh balik pagi itu juga, karena mau ada tamu sementara sang abah belum bisa pulang karena ada suatu urusan mendesak. Kyai Baihaki juga sama, beliau sibuk dengan jadwal ngajarnya yang padat pun Bu Nyai Khomsah. Galuh bahkan sudah kembali sibuk mengurusi sekolah. Zahra sendiri memilih menghabiskan w
Galuh menggerakkan tubuhnya. Dia kaget dan segera bangun. Galuh mengucek-ngucek matanya. "Mas Alfa?!" pekik Galuh mendapati sang suami sudah di kamar dan tidur di sebelah kirinya seperti biasa. "Mas Alfa. Mas." Galuh mengguncang bahu sang suami, pelan. Alfa seperti tidak merespon. Jadilah Galuh mengguncang lebih keras "Hem." Alfa hanya bergumam dan malah kembali tidur tak lupa dia menarik sang istri agar rebahan lagi. Galuh sedikit memekik tapi dia rebahan juga. Galuh memiringkan badan ke sang suami. Kini keduanya tidur berhadapan. Dia mengguncang bahu Alfa lagi. "Mas. Mas kapan pulang? Kata Abah Mas Alfa mungkin baliknya besok baru OTW dari Tegal. Kok sudah di sini?" Galuh menatap jam di dinding yang menunjuk pukul setengah tiga pagi. Dia lalu menoleh ke arah Fairuz yang masih bobo anteng sambil memeluk gulingnya. "Mas, ish. Jangan tidur, kamu belum jawab pertanyaanku. Mas pulangnya kapan?" Alfa sedikit membuka matanya lalu kembali merem. Lagi, Alfa mengeratkan pelukannya pad
Galuh dan Anjani masih berpelukan. Lalu Galuh tiba-tiba ingat sesuatu."Ibu.""Iya, Nduk.""Bu, berarti Galuh bukan anak hasil zina, kan? Galuh bukan anak haram, kan?" tanya Galuh dengan binar mata penuh ketakutan.Anjani menggeleng. Dia meraih kedua pipi sang putri."Bukan. Ibu menikah saat usia ibu sembilan belas tahun lebih satu bulan. Ibu dan ayahmu menikah resmi, Sayang. Di rumah kakekmu dari pihak ibu. Ada saksi ada buku nikahnya juga. Hanya saja bukunya hilang saat ibu dalam pelarian." Ada raut sedih di wajah Anjani. Galuh jadi ikutan sedih."Bu."Anjani mencoba tersenyum. "Tidak apa. Semua luka dan kesedihan ibu sudah terganti dengan kamu yang tumbuh baik seperti sekarang. Itu sudah cukup."Galuh mengangguk. Lalu antara rasa ragu dan rasa penasaran, rasa penasarannya lebih besar. Jadilah dia bertanya saja perihal ayahnya."Lalu, siapa ayahku?"Senyum yang sejak tadi sudah mulai Anjani keluarkan terganti dengan raut sedih. Galuh merasa bersalah sekali. "Bu, maaf. Galuh cuma ..
Anjani terlihat gelisah. Dia menatap ke seluruh ruangan hingga matanya tertuju pada lemari berkaca bening dengan setumpuk album foto di sana. Anjani menoleh ke kanan kiri. Dia penasaran tapi dia takut dikira tidak sopan. Tangannya tetulur memegang gagang pintu. Dia dilema diantara harus membuka atau meminta ijin.Diantara kebimbangannya, Bu Nyai Khomsah kembali masuk rumah. "Bu Anjani.""Ya," jawab Anjani kaget."Ada apa?""Maaf. Saya cuma ...." Anjani melirik ke arah lemari penuh album foto. Dia malu ketahuan tidak sopan tapi dia juga penasaran. Bu Nyai Khomsah tersenyum. "Diambil saja. Di sana banyak fotonya Galuh. Saya tahu, njenengan katanya sayang banget sama itu anak.""Nggih Bu Nyai. Saya sayang banget sama Lulu. Bahkan saya sudah menganggap Lulu anak saya."Bu Nyai Khomsah terkekeh. "Ya gimana gak sayang ya? Anaknya cantik, gemesin gitu. Saya juga begitu Bu Anjani. Uh, apalagi pas Galuh masih kecil. Nggemesine puol. Lihat aja foto-fotonya.""Apa saya boleh lihat, Bu Nyai?""
Bu Nyai Khomsah terlihat menautkan dua alisnya. Kabar yang dibawa sang suami lewat sambungan telepon membuatnya kaget. Rupanya bukan hanya Bu Nyai Khomsah, Galuh juga sudah menerima berita itu dari sang suami."Iya Mas. Aku gak papa. Tenang aja. Mas selesaikan urusan Mas di sana."Galuh mengangguk beberapa kali lalu menimpali ucapan sang suami. Sambungan pun berakhir setengah jam kemudian. Galuh terlihat menghela napas, dia kembali ke ruang tengah dimana sang umi rupanya baru juga selesai menelepon."Ada apa Bu Nyai? Kok kelihatan sedih begitu?" pancing Zainab. Jujur saja dia penasaran tentang kabar dari Andalusia tapi dia mencoba bermain cantik."Lulu juga kelihatannya habis denger berita yang gak bagus."Galuh yang baru duduk di samping ibu Anjani bercerita kabar yang dia dengar dari sang suami."Astaghfirullah, bisa begitu?""Iya Budhe. Kata Mas Alfa ini bukan yang pertama, tapi pas Bu Nyai Sepuh meninggal juga begini. Putranya bahkan sampai menelepon dan menghubungi banyak orang,
“Dasar anak yatim, anak haram, bisa-bisanya dia balik lagi ke sini. Mana jadi istrinya Alfa lagi, huh! Sebel, sebel!” Bu Nyai Latifah ngomel-ngomel sambil berjalan keluar dari rumah sang kakak. “Huh, padahal sudah bagus dia pergi. Malah balik lagi. Tapi … setidaknya dia gak bakalan bisa gangguin Alwi lagi. Cih, si Alfa ngelepas anak dubes demi anak haram jad---aw!” Bu Nyai Latifah tanpa sengaja menabrak sosok Zahra yang sedang berdiri diam karena menunggu Fairuz. Mereka baru pulang dari arah minimarket. Fairuz minta membeli jajan. “Maaf, Bu Nyai saya tidak se--” “Heh, kau! Punya mata gak sih?!” bentak Bu Nyai Latifah. Zahra yang hendak meminta maaf tak jadi melanjutkan kalimatnya. “Matamu buta ya?!” Zahra yang awalnya ingin menggunakan sikap sopan santunnya jadi terpancing emosi. “Saya sudah meminta maaf, loh Bu Nyai. Lagian Bu Nyai juga salah kok, intinya kita sama-sama salah. sama-sama gak lihat jalan.” “E e e, kamu ya?! Anak muda gak ada sopan santun, berani kamu?