Arya POV “Ada apa dengan Ayda? Kenapa sejak kemarin dia tidak menjawab telepon saya?” tanya Arya yang mulai merasa frustasi saat Ayda tak kunjung memberikan kabar padanya. Sejak keberangkatannya ke luar kota, Arya merasa sangat gelisah karena Ayda tidak menjawab telepon darinya. Pesan yang ia kirim bahkan tak ada satupun yang mendapatkan balasan. Sampai akhirnya, tiba saatnya Arya pulang ke rumah dengan rasa gelisah yang menggerogoti hatinya. Dalam perjalanan pulang, Arya terus memikirkan Ayda. Ia menghela napas panjang dan pandangannya tertuju pada satu buket bunga mawar merah yang berada di tangannya. “Semoga tidak terjadi hal buruk padanya,” lirih Arya mencoba untuk menenangkan dirinya. Rasa rindu yang ada dalam hati sudah tak dapat dibendung lagi. Meski dengan memandangi foto yang terpampang jelas di layar ponselnya. Arya hanya bisa tersenyum saat melihat foto Ayda yang sedang tertidur di lengannya. Ia bahkan dapat mengingat dengan jelas setiap momen yang ia lalui bersama istri
“Kamu harus menceraikan Ayda sekarang juga,” titah Marisa tanpa memahami apa yang kini sedang Arya rasakan.Dengan tatapan tak percaya, Arya pun menjauhkan diri dari Marisa yang terlihat seperti layaknya seorang penjahat. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Namun, Arya tidak yakin itulah yang diinginkan Marisa terhadap dirinya. “Cerai? Itu yang Mamah inginkan, iya? Kalau begitu jawab Arya dengan jujur, Mah. Apa kebahagiaan Arya tidak berarti apapun bagi Mamah?”Marisa terdiam. Ia merasa tersudutkan dengan pembicaraan Arya yang mulai meragukan kasih sayangnya. “Cukup Arya. Apa kamu tidak pernah sadar bahwa Ayda bukanlah wanita yang baik untuk kamu! Dia wanita kampung yang tidak berpendidikan. Apa kamu pernah berpikir bahwa keluarga Ayda tidak sepadan dengan keluarga kita? Cinta Ayda sudah membuat kamu buta Arya!” Marisa mulai menaikkan nada suaranya.Situasi terasa semakin sulit. Arya tersenyum penuh luka dengan mata berkaca-kaca. “Ternyata benar, selama ini
“Ayda!” panggil Lasmi yang baru pulang dari sawah.Sambil membawa sapu di tangannya, Ayda berjalan keluar rumah untuk menghampiri sang nenek yang masih bersemangat di masa tuanya. “Nenek mau Ayda buatkan teh?” tanyanya tanpa diminta.Namun, Lasmi langsung menggelengkan kepala dan menyodorkan beberapa lembar uang pada Ayda. “Nenek tidak suka minum teh, lebih baik kamu belikan nenek minuman susu murni di perempatan jalan. Di sana ada banyak jajanan, kamu bisa membeli makanan yang kamu suka di sana,” ujar Lasmi sambil mengelap bulir keirngat di wajahnya.“Oke siap, Nek. Ayda akan segera kembali,” sahut Ayda dengan semangat.Kurang lebih setengah hari, Ayda menyibukkan dirinya untuk membersihkan rumah dan menyiapkan makan siang untuk Lasmi. Ia tidak mau hanya tinggal diam di rumah saat Lasmi melarangnya untuk pergi ke sawah. Meskipun perasaannya masih belum tenang, tetapi Ayda tak ingin larut dalam masalah.Sambil melihat pemandang sawah yang terbentang luas, Ayda berjalan perlahan. Meni
“Saya … lanjutkan Ayda,” lirih Arya menunggu kelanjutan dari ucapan Ayda yang terlihat sangat mencemaskan dirinya. Dengan gugup, Ayda pun langsung memalingkan wajahnya. “Ti-tidak ada kelanjutannya,” elak Ayda. Arya yang bisa melihat dengan jelas cinta yang Ayda miliki untuknya pun perlahan mendekatinya. “Saya haus, bisakah kita pulang sekarang?” Arya memasang wajah memohon agar Ayda tidak meninggalkan dirinya di desa yang terlihat sangat asing untuknya. “Tunggu di sini, saya akan mengucapkan terima kasih pada warga yang sudah bantu menghentikan perkelahian ini,” urai Ayda dan langsung berjalan mendekati Adam dan warga yang berusaha menenangkannya. Dengan tatapan kesal, Ayda menatap lelaki yang sangat menyebalkan. “Kita anggap masalah ini selesai,” ucapnya berharap tidak akan ada perdebatan lagi. Dengan wajah yang dipenuhi luka memar akibat pukulan, Adam tersenyum sinis. “Tidak semudah itu gadis kota!” ujarnya dan langsung pergi begitu saja. Warga desa yang sudah sangat mengenal si
“Tidak perlu dipaksakan, Mas. Saya sudah tahu jawabannya,” sergah Ayda saat Arya tak kunjung melanjutkan ucapannya. Sebagai anak pertama dan satu-satunya dalam sebuah keluarga, wajar jika Arya sangat dimanjakan oleh seluruh anggota keluarga.Segala fasilitas Arya dapatkan, kemewahan dan harta yang tak luput dalam kehidupan sehari-harinya. Tanpa harus bekerja keras, Arya bahkan sudah menjadi CEO di sebuah perusahaan keluarganya. Ayda yang sudah menduga hal ini akan terjadi pun hanya bisa meneguk salivanya. Dengan tatapan penuh rasa kecewa, Ayda kembali melanjutkan langkahnya untuk menjauh dari Arya.“Saya bersedia! Saya akan melakukan semua yang kamu inginkan, Ayda!” ujar Arya dengan berteriak.Beberapa orang yang berlalu lalang bahkan langsung menatap ke arah Arya dan Ayda yang berdiri di tepi jalan. Dengan senyum lega, Ayda menghentikan langkahnya dan melirik ke arah Arya. “Syukurlah, saya harap Mas Arya tidak menyesal dengan keputusan ini,” imbuh Ayda dan langsung melanjutkan langka
Arya POV“Berada di desa selama tujuh hari dan hidup seperti orang desa tidak akan membuat saya kehilangan nyawa. Asalkan kamu bisa memaafkan saya. Apapun pasti akan saya lakukan Ayda,” urai Arya sambil memandang foto Ayda yang terpampang jelas di belakang pintu kamarnya.Berada di kamar terpisah dengan Ayda membuatnya merasa sedikit tidak nyaman. Dengan alasan itu, ia sengaja meminta foto Ayda dan memajangnya di belakang pintu kamar. Setelah selesai mandi dan mengenakan baju yang telah disiapkan Ayda. Arya berjalan keluar kamar dan tersenyum saat melihat Lasmi sedang bersiap untuk pergi ke sawah.Saat melihat banyaknya barang yang dibawa, Arya pun bergegas untuk membantunya. Hari pertama tantangannya mendapatkan maaf dari Ayda pun dimulai. Ia tidak ingin mengecewakan Ayda dan akan membuktikan bahwa dirinya bisa tinggal tanpa fasilitas mewah.“Arya, kamu yakin bisa melakukannya?” tanya Lasmi yang sudah membawa cangkul di tangannya.Dengan cepat Arya menganggukkan kepala dan membawa ca
“Kenapa nenek harus memelihara kambing? Kenapa tidak binatang lainnya? Seperti kucing misalnya … atau kura-kura seperti kita,” ucap Arya yang terus mengoceh sepanjang perjalanan.“Nenek pelihara kambing bukan untuk dijadikan binatang peliharaan, tapi sebagai tabungan,” sahut Ayda yang berjalan di samping Arya.Sambil membawa satu ikat rumput yang terasa sangat berat, Arya menghela napas panjang. Banyak hal yang belum bisa ia pahami dari kebiasaan orang di desa. Meskipun begitu, Arya tetap berusaha mempelajari banyak hal yang ia temukan. “Cukup sulit untuk dipahami. Saya besar di kota dan baru merasakan hidup di desa. Meski awalnya merasa gugup dan takut, tapi sepertinya ini tidak terlalu buruk.”Ayda yang setia menemnai Arya pun mengembangkan senyumnya setelah mendengar jawaban polos Arya. “Kita hampir sampai. Itu kandang kambingnya,” seru Ayda sambil menunjuk ke arah kandang yang berisi dua kambing.Bentuk kandang yang sangat sederhana membuat Arya membelalakkan matanya. Pasalnya kan
Ayda POV“Hmm, saya belum memikirkannya.” Ayda meneguk saliva dalam-dalam setelah merasa kebingungan saat menjawab pertanyaan yang Arya berikan.Niatnya mengajak Arya pergi ke rumah penitipan bukan untuk membicarakan perihal anak. Meskipun tak dapat dipungkiri Ayda menginginkannya, tetapi ini bukanlah saat yang tepat.“Baiklah. Bagaimana jika dua atau empat? Saya rasa itu jumlah yang cukup,” imbuh Arya memberi saran.Dengan ragu, Ayda pun menganggukkan kepala sebagai sebuah persetujuan. “Memangnya apa yang membuat Mas Arya tiba-tiba memikirkan hal ini?” tanyanya penasaran dengan apa yang sedang Arya pikirkan.“Saya hanya ingin mempersiapkan banyak hal. Saat kamu melahirkan, saya ingin memberikan seluruh waktu saya untuk merawat anak kita. Saya tidak ingin membuat anak saya merasa kesepian karena saya sibuk bekerja. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk anak saya agar tidak merasa sedih seperti yang Boy rasakan,” ungkap Arya yang sudah berpikir jauh ke depan.Sedangkan Ayda yang tid