Sudah dua hari Rio belum sadarkan diri. Sementara itu, Anna dan Robby terus mencoba menghubungi Kayla untuk mencari tahu kondisinya. Mereka sangat khawatir, namun Kayla dan Reynold benar-benar melarang siapa pun menemui Rio.
Kayla tahu, Randu tidak akan tinggal diam. Maka malam itu, ia menitipkan Rio kepada Reynold. Dia sendiri akan pergi keluar kota bersama Robby dan Anna.
“Kenapa bukan aku saja yang membawa mereka, Kay?” tanya Reynold, menatapnya penuh kekhawatiran.
“Hanya aku yang bisa bertemu dengan anak buah Papa di sana. Tolong jaga Rio sampai aku kembali,” jawab Kayla cepat, lalu segera meninggalkan tempat itu.
Beberapa orang suruhan Kayla telah membawa Robby dan Anna keluar dari kota. Mereka berhenti sejenak di sebuah
Suara menggelegar dari balik telepon menggema di dalam ruangan, seperti dentuman petir yang menyambar jantung Rio meski ia tak mendengarnya langsung.“Dewi Fortuna sepertinya masih melindungimu, Rio,” ujar Randu di seberang telepon, suaranya dingin, penuh ejekan.“Tapi, tidak lama lagi. Aku sudah siapkan senjata untuk menghabisimu.”Telepon terputus. Tak lama kemudian, satu pesan masuk. Sebuah foto: pria bertubuh kekar, berdiri kaku di balik jeruji besi dengan tatapan buas.Siang itu, langit mendung menaungi penjara tua di sudut kota tempat yang terkenal dengan reputasi kelam dan bau darah yang seolah menetap di dinding-dindingnya. Dua mobil hitam berhenti tepat di gerbang utama.
Malam itu Andini meminta ijin kepada Lucy untuk kembali ke kampungnya, dia takut jika mantan suaminya itu akan mengambil Raya dari tangan ibunya."Aku akan mengantarmu Andini," kata Reynold lalu segera pergi meninggalkan tempat ini."Bagaimana dia bisa keluar dari sana bang?" tanya Andini heran karena dia tahu jika Axel mendapatkan hukuman selama 2 tahun."Semua ini karena Rio telah membuka luka lama," jawab Reynold dari balik kemudi.Dua jam perjalanan di tempuh oleh keduanya hingga sampai di kampung halaman Andini. Suasana hening di tempat ini membuat malam semakin mencekam.Andini segera turun dari kendaraan lalu mengetuk pintu rumah ibunya."Bu...," teriak Andini sambil mengintip dari balik jendela, terlihat ada celah kecil dari gordyn yang menjuntai ke bawah."Ibu....!" dia kembali memanggil ibunya namun dia tidak mendengar sahutan dari dalam.Jantungnya Andini berpacu, sementara wajahnya justru memudar seperti
Reynold langsung membuka pintu yang tadinya tertutup rapat, dia melihat Rio masih mengenakan baju pasien melekat di tubuhnya."Apa yang terjadi Rio?" tanya Reynold mendekatinya perlahan."Sepertinya perang ini sudah di mulai Rey," dia menyodorkan ponsel yang berisi ancaman dari Randu.Dari balik layar ponsel dia melihat Axel sedang berada di Club Seven Eight sedang berbicara dengan Lucy."Andini sudah berada di tempat yang aman Rio, jadi kau tak perlu kuatir," ucap Reynold menatapnya dari balik ponsel.***Axel bersama anak buah Randu berusaha untuk mengobrak-abrik kediaman Andini untuk mencari tahu keberadaannya. P
Kali ini semuanya benar-benar kacau, Randu tak hanya mengeluarkan Axel dari penjara. Dia melakukan pengrusakan di tempat-tempat yang sering di kunjungi Rio.Tangan Rio mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Amarah merayap cepat, memenuhi dada dan kepalanya, namun tak ada satu pun yang bisa menjadi pelampiasan. Ia hanya bisa berdiri di sana, dihantui kemarahan yang tak punya arah."Rey...kau sudah lihat berita di televisi?" tanya Rio, mengirimkan pesan singkat kepadanya."Aku baru mendapat kabar dari Lucy," balas Reynold.***"Kau sudah menemukan Andini?" tanya Randu menatap Axel dari balik meja kerja."Aku yakin, pria itu sedang menyembunyikan putriku," desis Axel, suaranya dingin namun penuh bara. Ia memutar belati di jemarinya, lalu berdiri perlahan seperti singa yang hendak menerkam.Tawa Randu menggelegar seisi ruangan, "aku pikir kau seorang pemburu yang hebat," kata Randu lalu beranjak dari tempat duduknya.
Saat pintu itu terbuka, Archie terhenti sejenak, matanya membelalak. Di hadapannya, tubuh sahabatnya tergeletak kaku di atas lantai, dengan kedua tangan terikat erat di belakang. Mulutnya disumpal kain hitam yang tampak sudah basah, dan darah menggenang di sekitar kepala—sebuah lubang besar yang mengerikan terlihat di dahi, seolah memberikan jawaban tanpa kata-kata atas nasib tragis yang baru saja menimpa."Ups...!" kata Randu, suaranya terdengar ringan, bahkan sedikit sinis, saat tubuh itu terjatuh dan menimpa kaki Archie."Rupanya aku lupa untuk membuang Doyle ke sungai," sambungnya dengan tawa yang seolah ringan, namun ada kekejaman yang tersirat. Matanya meny
Wajah Axel memucat. Kedua matanya terbelalak, liar menelisik kegelapan, seolah mencari sosok pria yang suaranya menggema di antara bayang-bayang. Suara itu seperti bisikan maut yang menyelinap pelan, menghampiri dengan dingin, tapi yang muncul hanyalah sosok tanpa wajah, membatu di lantai seperti bayang-bayang kenangan yang enggan pergi.“Jangan main api denganku, Archie!” desis Axel, matanya menyala marah. Dalam sekejap, senapan ditarik dari balik jaket, dan diarahkan lurus ke bayangan gelap yang mengintai di hadapannya.Tampak raut wajah pria dengan guratan bekal luka di wajah menggunakan penutup kepala berwarna hitam dengan corak berwarna putih."Apa kau yakin dia orangnya?” tanya anak buah Archie, sorot matanya menatap Axel penuh kepura-puraan, seolah peduli, padahal lidahnya menyimpan racun.Axel mengencangkan cengkeramannya pada senjata. Telunjuknya melingkar di pelatuk, siaga melepaskan peluru yang bisa mengakhiri segalanya dalam sekejap.
Pagi hari Rio pergi menuju kantor untuk menemui Reynold, dia meminta Andini untuk tidak meninggalkan rumah apapun alasannya."Rey, apa kau sudah menemukan Lucy?" tanya Rio saat dia memasuki ruangan sahabatnya."Aku sudah berusaha menghubunginya, Rio. Tapi hasilnya nihil," jawab Reynold memperlihatkan sejumlah panggilan dari balik layar ponselnya."Perasaanku benar-benar tidak enak," kata Rio menatap kendaraan berderet, merayapi kemacetan di jalan layang Kota Velmora.Bayangan masa lalu bersama Randu masih jelas tampak di kedua matanya, seorang pria yang pernah menjadi tempat berlindung sekaligus juga malaikat penjaga keluarga Dinata.MASA LALU RIO DAN RANDUSatu tahun setelah Rio memutuskan pergi dari rumah, dia bekerja di sebuah restoran cepat saja yang berada di keramaian kota Velmora."Kau anak baru di sini?" tanya Randu saat Rio baru saja memulai pekerjaannya sebagai pramusaji. Rio hanya mengangguk lal
"Ah, sudahlah..." Randu berkata sambil menepuk bahu Rio dengan gerakan yang terkesan acuh tak acuh. "Sekarang, lebih baik kita pikirkan masa depan kita dengan uang yang ada," lanjutnya sambil membuka lembaran uang di tangannya, menghitungnya dengan teliti, seolah angka-angka itu adalah satu-satunya hal yang penting dalam hidupnya.Sejak saat itu, mereka tinggal dalam satu atap, berbagi setiap langkah dalam mencari pekerjaan, tak peduli seberapa sulit jalan yang mereka tempuh.Randu tak pernah menolak apapun yang diminta Rio, bahkan saat semua itu bertentangan dengan apa yang ia inginkan. Ia rela mengorbankan dirinya, semua impian, harapan, dan keinginan demi Rio. Meski hati kecilnya kadang meronta, ia tahu, tak ada pilihan lain selain terus mendampingi, meskipun jalan yang mereka jalani tak selalu sejalan."Kau tahu, Rio, kenapa aku selalu b
"Halo Rio!" gelegar suara seorang pria miterius dari balik telepon."Sepertinya kau sedang memelihara api di balik pintu rumahmu," Axel terkekeh pelan, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan racun."Bagaiimana kalau si pirang manis itu tahu… bahwa kau sedang bermain api dengan wanita lain?" Satu detik kemudian, sebuah foto Kayla masuk ke ponsel lawan bicaranya."Brengsek Axel!!" pekik Rio setelah melihat foto Kayla dari balik layar ponselnya.Axel tertawa ringan, penuh kepuasan, begitu mendengar makian dari Rio. Seolah itulah reaksi yang sejak awal ia harapkan."Kau tahu apa yang harus kau lakukan… dan pastikan kau melakukannya dengan benar," ujar Axel dingin, lalu menutup ponselnya dengan penuh kepastian."Arghh!!!" Rio mengeluarkan teriakan kesal, frustrasi karena Axel kini tahu tentang keberadaan Andini.Deng
"Kakak!" teriak Laudya langsung meraih tubuh Rio yang sedang terhuyung.Andini kalah cepat, dia hanya bisa menatap Rio dan tak berani mendekat. Dia mengubah langkahnya mendekati Reynold yang terduduk lemas di atas rumput.Para polisi segera menghampiri Rio dan Reynold untuk meminta keterangan. Mereka mendapat laporan dari Andini bahwa telah terjadi penyerangan di rumah Rio oleh sekelompok orang mencurigakan yang diduga hendak melukai sang pemilik rumah.Setelah para polisi itu pergi, Andini langsung masuk ke dalam rumah."Ini semua gara-gara kau, Andini!" teriak Laudya begitu memasuki ruang tamu. Suaranya melengking, penuh amarah yang tak lagi bisa ditahan. Matanya langsung menyorot tajam ke arah perempuan yang berdiri t
"Ah, sudahlah..." Randu berkata sambil menepuk bahu Rio dengan gerakan yang terkesan acuh tak acuh. "Sekarang, lebih baik kita pikirkan masa depan kita dengan uang yang ada," lanjutnya sambil membuka lembaran uang di tangannya, menghitungnya dengan teliti, seolah angka-angka itu adalah satu-satunya hal yang penting dalam hidupnya.Sejak saat itu, mereka tinggal dalam satu atap, berbagi setiap langkah dalam mencari pekerjaan, tak peduli seberapa sulit jalan yang mereka tempuh.Randu tak pernah menolak apapun yang diminta Rio, bahkan saat semua itu bertentangan dengan apa yang ia inginkan. Ia rela mengorbankan dirinya, semua impian, harapan, dan keinginan demi Rio. Meski hati kecilnya kadang meronta, ia tahu, tak ada pilihan lain selain terus mendampingi, meskipun jalan yang mereka jalani tak selalu sejalan."Kau tahu, Rio, kenapa aku selalu b
Pagi hari Rio pergi menuju kantor untuk menemui Reynold, dia meminta Andini untuk tidak meninggalkan rumah apapun alasannya."Rey, apa kau sudah menemukan Lucy?" tanya Rio saat dia memasuki ruangan sahabatnya."Aku sudah berusaha menghubunginya, Rio. Tapi hasilnya nihil," jawab Reynold memperlihatkan sejumlah panggilan dari balik layar ponselnya."Perasaanku benar-benar tidak enak," kata Rio menatap kendaraan berderet, merayapi kemacetan di jalan layang Kota Velmora.Bayangan masa lalu bersama Randu masih jelas tampak di kedua matanya, seorang pria yang pernah menjadi tempat berlindung sekaligus juga malaikat penjaga keluarga Dinata.MASA LALU RIO DAN RANDUSatu tahun setelah Rio memutuskan pergi dari rumah, dia bekerja di sebuah restoran cepat saja yang berada di keramaian kota Velmora."Kau anak baru di sini?" tanya Randu saat Rio baru saja memulai pekerjaannya sebagai pramusaji. Rio hanya mengangguk lal
Wajah Axel memucat. Kedua matanya terbelalak, liar menelisik kegelapan, seolah mencari sosok pria yang suaranya menggema di antara bayang-bayang. Suara itu seperti bisikan maut yang menyelinap pelan, menghampiri dengan dingin, tapi yang muncul hanyalah sosok tanpa wajah, membatu di lantai seperti bayang-bayang kenangan yang enggan pergi.“Jangan main api denganku, Archie!” desis Axel, matanya menyala marah. Dalam sekejap, senapan ditarik dari balik jaket, dan diarahkan lurus ke bayangan gelap yang mengintai di hadapannya.Tampak raut wajah pria dengan guratan bekal luka di wajah menggunakan penutup kepala berwarna hitam dengan corak berwarna putih."Apa kau yakin dia orangnya?” tanya anak buah Archie, sorot matanya menatap Axel penuh kepura-puraan, seolah peduli, padahal lidahnya menyimpan racun.Axel mengencangkan cengkeramannya pada senjata. Telunjuknya melingkar di pelatuk, siaga melepaskan peluru yang bisa mengakhiri segalanya dalam sekejap.
Saat pintu itu terbuka, Archie terhenti sejenak, matanya membelalak. Di hadapannya, tubuh sahabatnya tergeletak kaku di atas lantai, dengan kedua tangan terikat erat di belakang. Mulutnya disumpal kain hitam yang tampak sudah basah, dan darah menggenang di sekitar kepala—sebuah lubang besar yang mengerikan terlihat di dahi, seolah memberikan jawaban tanpa kata-kata atas nasib tragis yang baru saja menimpa."Ups...!" kata Randu, suaranya terdengar ringan, bahkan sedikit sinis, saat tubuh itu terjatuh dan menimpa kaki Archie."Rupanya aku lupa untuk membuang Doyle ke sungai," sambungnya dengan tawa yang seolah ringan, namun ada kekejaman yang tersirat. Matanya meny
Kali ini semuanya benar-benar kacau, Randu tak hanya mengeluarkan Axel dari penjara. Dia melakukan pengrusakan di tempat-tempat yang sering di kunjungi Rio.Tangan Rio mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Amarah merayap cepat, memenuhi dada dan kepalanya, namun tak ada satu pun yang bisa menjadi pelampiasan. Ia hanya bisa berdiri di sana, dihantui kemarahan yang tak punya arah."Rey...kau sudah lihat berita di televisi?" tanya Rio, mengirimkan pesan singkat kepadanya."Aku baru mendapat kabar dari Lucy," balas Reynold.***"Kau sudah menemukan Andini?" tanya Randu menatap Axel dari balik meja kerja."Aku yakin, pria itu sedang menyembunyikan putriku," desis Axel, suaranya dingin namun penuh bara. Ia memutar belati di jemarinya, lalu berdiri perlahan seperti singa yang hendak menerkam.Tawa Randu menggelegar seisi ruangan, "aku pikir kau seorang pemburu yang hebat," kata Randu lalu beranjak dari tempat duduknya.
Reynold langsung membuka pintu yang tadinya tertutup rapat, dia melihat Rio masih mengenakan baju pasien melekat di tubuhnya."Apa yang terjadi Rio?" tanya Reynold mendekatinya perlahan."Sepertinya perang ini sudah di mulai Rey," dia menyodorkan ponsel yang berisi ancaman dari Randu.Dari balik layar ponsel dia melihat Axel sedang berada di Club Seven Eight sedang berbicara dengan Lucy."Andini sudah berada di tempat yang aman Rio, jadi kau tak perlu kuatir," ucap Reynold menatapnya dari balik ponsel.***Axel bersama anak buah Randu berusaha untuk mengobrak-abrik kediaman Andini untuk mencari tahu keberadaannya. P
Malam itu Andini meminta ijin kepada Lucy untuk kembali ke kampungnya, dia takut jika mantan suaminya itu akan mengambil Raya dari tangan ibunya."Aku akan mengantarmu Andini," kata Reynold lalu segera pergi meninggalkan tempat ini."Bagaimana dia bisa keluar dari sana bang?" tanya Andini heran karena dia tahu jika Axel mendapatkan hukuman selama 2 tahun."Semua ini karena Rio telah membuka luka lama," jawab Reynold dari balik kemudi.Dua jam perjalanan di tempuh oleh keduanya hingga sampai di kampung halaman Andini. Suasana hening di tempat ini membuat malam semakin mencekam.Andini segera turun dari kendaraan lalu mengetuk pintu rumah ibunya."Bu...," teriak Andini sambil mengintip dari balik jendela, terlihat ada celah kecil dari gordyn yang menjuntai ke bawah."Ibu....!" dia kembali memanggil ibunya namun dia tidak mendengar sahutan dari dalam.Jantungnya Andini berpacu, sementara wajahnya justru memudar seperti