"Kang, istri antum habis mukul Azam, ya?! Kasihan anak kecil di kasarin," seloroh anak laki-laki berkoko putih itu. Ia bersama beberapa anak santri baru saja keluar dari toko aneka.
"Hust! Jangan ikut campur urusan orang!" tegur salah satu teman serombongannya. Kemudian mereka beranjak memasuki area pondok laki-laki.Sayyidah mendengus kesal mendengar ucapannya. Ingin sekali ia mencaci maki, akan tetapi di tempat seperti ini ia tak ingin menunjukkan jati diri sebagai wanita yang berani."Udah jangan di ambil hati! Ayo naik!" titah Abbas, ia menarik tangan Sayyidah untuk naik di belakang dirinya.Sesampainya di asrama Abbas melengos begitu saja, tanpa tegur sapa kepada istrinya.Setelah memasuki pintu, ia duduk di meja makan lalu meminum segelas air putih.PLAK! Suara gelas yang di hentakkan ke meja begitu keras terdengar.Sayyidah tersentak kaget saat melewati ambang pintu, manik matanya melihat
Karim menatap langit-langit kamar asrama, pandangannya menerang jauh mengangkasa. Usai menggunakan cream dan lotion malam, Kirani beranjak menghampiri suaminya. "Bang, kok ngelamun? Mikirin apa sih?" ujar Kirani, ia beringsut berbaring di sisi Karim. "Dek ...," ucapnya seraya memiringkan tubuhnya guna menatap wajah sang istri. "Hmmm, kenapa Bang?" ujar Kirani, satu tangannya menyangga kepala. "Apa yang Adek lakukan menurut abang kurang tepat Sayang. Mengingatkan seseorang itu nggak harus menjatuhkan harga dirinya di depan orang-orang," tutur Karim dengan ekspresi yang tidak bisa di artikan. "Maksud Abang?" Kirani meminta penjelasan. "Gini, tindakan Adek yang mengambil foto itu memang kebetulan 'kan?" Kirani menganggukan kepala menjawab pertanyaan suaminya. "Tapi, untuk menyebarkan luaskan foto itu sepertinya bukan hal yang baik Sayang," lanjutnya lagi. Tangan Karim mengelus lengan istriny
"Yes!" seru Sofyan seraya berdiri dari duduknya."Lo kenapa Sof? Girang banget keliatannya," ujar laki-laki yang duduk di sampingnya seraya menaruh puntung rokok di atas asbak."Paling dapet mangsa baru," ucap laki-laki berjaket hitam yang berada di samping kirinya."Gue berhasil bujuk cewe ini," ucap Sofyan girang seraya menujuk layar ponselnya."Tuh 'kan gue bilang apa lo pasti bisa naklukin dia, secara lo buaya darat kelas kakap," cibirnya."Ish! Cabut lo berdua! Gue mau siap-siap pergi jemput dia buat ke sini. Sementara kalian jangan dateng ke sini, ya?! Bisa berabe nantinya," titah Sofyan."Hahaha ... lo mau bersenang-senang?" ujar laki-laki berjaket hitam seraya menyeringai."Pengennya gitu, tapi ini bukan cewe gampangan. Bertahun-tahun gue coba deketin tapi dia sok jual mahal, bikin gue semakin jadi tertantang.""Oke! Gue cabut bro! Semoga berhasil!" tukasnya sembari meninj
Di asramaAbbas mengerjapkan matanya, perlahan ia bangkit dari tempat pembaringan lalu melajukan kaki keluar dari ruangan perpustakaan pribadinya.Jam di dinding menunjukkan angka 04.00 pagi.Abbas berjalan menghampiri kamarnya, sampai di depan pintu ia menghentikan langkah."Sayyidah mungkin masih marah, biarlah dulu!" gumam Abbas, ia mengurungkan niat untuk memasuki kamar.Beberapa detik kemudian ia melanjutkan niat hatinya untuk bermunajat.Satu jam berlalu.Sudah satu jam dan iapun usai melaksanakan sholat subuh jama'ah di masjid.Ia pindai sekeliling ruangan. Namun tak ada tanda-tanda bekas aktivitas Sayyidah di sana.Dengan berani Abbas mencoba membuka pintu kamar."Ya Allah ...!" Kedua pupil Abbas melebar.Sontak ia segera mencari istrinya di setiap sudut ruangan.Abbas diam terpaku menatap sebuah surat yang tergeletak di atas nakas.Ada firasat
"Jadi masalah antum apa Bas? Ana akan berusaha nutupin kalau memang itu privasi. Ana cuman pengen antum ngelepas beban fikiran antum. Kalau memang ana nggak bisa ngasih saran atau solusi barulah antum nanti ngadep aja ke Abuya untuk minta nasehat," titah Karim.Abbas menghela nafasnya panjang, lalu menghempaskannya perlahan."Jadi gini Rim ...." Abbas menceritakan semua kejadian dari awal ia bertengkar dengan sang istri, sampai akhirnya Sayyidah pergi dari asrama."Bas, ana bener-bener minta maaf banget sama antum, kalau memang kejadiannya karena pesan yang di kirim dari istri ana dan karena kelancangan istri ana yang sudah membuka pesan-pesan istri antum." Karim menghiba kepadanya dengan penuh penyesalan."Sebenarnya ana marah besar sama istri antum Rim, nggak seharusnya ia ikut campur dengan urusan pribadi kami, akan tetapi semuanya sudah terjadi, mau gimana lagi?" Abbas tersenyum kecut kepada Karim, sahabatnya."Ana
"Ish! Lo galak bener Say?" protes Sofyan seraya memegangi lengannya. "Ohya sorry!" sesal Sayyidah, tangannya terulur untuk mengusap lengan Sofyan. "Ya salam ini 'kan Sofyan, bukan Abbas yang bebas gue apain aja," batin Sayyidah. "Lo nggak papa Sof? Gue mana bisa pake baju kaya gitu, senakal-nakalnya gue pasti bisa di rem kalau persoalan syariat Sof," ungkap Sayyidah. "Iya tau, gue 'kan cuman bilang aja Say. Nggak gue paksa juga," bela Sofyan. Tangan laki-laki itu mengelus lengannya sendiri. "Hmmm ... sorry, ya?!" pinta Sayyidah. Kata maaf yang mungkin sulit ia ucapkan kepada Abbas, akan tetapi sangat ringan untuk Sofyan, laki-laki yang membuatnya di mabuk asmara. "Ya udah, yuk! Kita masuk! Ngapain berdiri di samping mobil terus, nanti di kira tukang parkir," seloroh Sofyan dengan menyeringai. "Ayo!" Sayyidah menyetujuinya. Sofyan menggandeng tangan Sayyidah erat, netrawanita bergamis
Sayyidah menatapnya dengan penuh tanda tanya, lantas mulutnya menganga, ia ingin melontarkan tanya kepada laki-laki di hadapannya, akan tetapi tiada kata yang bisa ia ucapkan ketika tangan Sofyan mulai membelai lembut lengan sampai kedua bahunya perlahan. Tangan nakal itu merangkak naik ke wajahnya, mengelus pipi mulus Sayyidah.Perlahan tapi pasti tangan satunya sudah siaga membuka hijab yang Sayyidah kenakan. Seketika wanita itu mengibaskan dua tangan laki-laki yang sejak tadi menjalar di tubuhnya di barengi dengan menjauhkan diri dari hadapannya. "Sorry Sof, nggak seharusnya kita kaya gini. Tolong hargai gue!" seru Sayyidah dengan ekspresi yang ketakutan. "Tapi Say, gue sayang sama lo," kilah Sofyan seraya memajukan tubuhnya membuat Sayyidah semakin mundur dan terpojok di tembok. "Caranya bukan gini Sof, kita deket ... fine! Tapi jangan sampe nodai gue sampe halal. Gue mau kita nikah dulu, baru bisa lakuin sepuas lo
Sore HariSayyidah membuka pintu kamarnya yang berhadapan langsung dengan ruang tengah, seketika Bi Sari datang menghampirinya."Neng, menu untuk makan malamnya sudah bibi sediakan di atas meja makan. Bibi sama Pak Rahman pamit dulu, ya, Neng," ujar Bi Sari.Sayyidah melirik Pak Rahman yang berdiri di depan rumah terlihat dari jendala kaca yang tembus pandang. Sepertinya Pak Rahman sedang menunggui istrinya."Baik Bi, terima kasih sebelumnya. Kalau bisa Bi Sari setiap hari dateng ke rumah, ya, soalnya Sayyidah bakal terus butuh bantuan dari Bibi," pinta Sayyidah."Ohgitu. Hmmm ... kira-kira berapa hari atau berapa minggu Neng? Maaf, biar bibi bisa mengatur ulang jadwal di rumah, hehehe." Bi Sari tertawa ringan."Hehehe nggak terbatas Bi, Sayyidah bakal terus tinggal di sini." Jawaban dari Sayyidah merubah mimik wajah wanita paruh baya di hadapanya, ada tatapan bingung. Namun, menit selanjutnya ia menganggukan ke
Tol ... tok ... tok ...Bunyi ketukan pintu yang terdengar berulang kali menyudahi pembicaraan Zahra dengannya.Seketika Sayyidah yang berdiri mematung beranjak menuju pintu.“Say, i miss you so much.” Laki-laki berkulit putih itu langsung menyambar tubuh Sayyidah dengan pelukan.Sontak Sayyidah berusaha melepas pelukannya, membuat ekspresi Sofyan berubah heran.Suara tepukan tangan terdengar dari belakang, ia yakin suara itu berasal dari tangan Zahra.Sayyidah memejamkan matanya, dengan gugup ia sedikit menjauh dari tubuh Sofyan.“Gue kasih aplaus buat lo Sof,” ujar Zahra seraya menyeringai.“Lo ada di sini?” Jari telunjuk Sofyan mengarah ke Zahra.“Lagi nyari mangsa baru Sof? Yakin lo bisa naklukin Sayyidah? Kalau lo berani gue bakal pasang badan paling depan!” Zahra menghalangi tubuh Sayyidah dari hadapan Sofyan.&ld
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt