Sayyidah menatapnya dengan penuh tanda tanya, lantas mulutnya menganga, ia ingin melontarkan tanya kepada laki-laki di hadapannya, akan tetapi tiada kata yang bisa ia ucapkan ketika tangan Sofyan mulai membelai lembut lengan sampai kedua bahunya perlahan.
Tangan nakal itu merangkak naik ke wajahnya, mengelus pipi mulus Sayyidah.
Perlahan tapi pasti tangan satunya sudah siaga membuka hijab yang Sayyidah kenakan.Seketika wanita itu mengibaskan dua tangan laki-laki yang sejak tadi menjalar di tubuhnya di barengi dengan menjauhkan diri dari hadapannya."Sorry Sof, nggak seharusnya kita kaya gini. Tolong hargai gue!" seru Sayyidah dengan ekspresi yang ketakutan."Tapi Say, gue sayang sama lo," kilah Sofyan seraya memajukan tubuhnya membuat Sayyidah semakin mundur dan terpojok di tembok."Caranya bukan gini Sof, kita deket ... fine! Tapi jangan sampe nodai gue sampe halal. Gue mau kita nikah dulu, baru bisa lakuin sepuas loSore HariSayyidah membuka pintu kamarnya yang berhadapan langsung dengan ruang tengah, seketika Bi Sari datang menghampirinya."Neng, menu untuk makan malamnya sudah bibi sediakan di atas meja makan. Bibi sama Pak Rahman pamit dulu, ya, Neng," ujar Bi Sari.Sayyidah melirik Pak Rahman yang berdiri di depan rumah terlihat dari jendala kaca yang tembus pandang. Sepertinya Pak Rahman sedang menunggui istrinya."Baik Bi, terima kasih sebelumnya. Kalau bisa Bi Sari setiap hari dateng ke rumah, ya, soalnya Sayyidah bakal terus butuh bantuan dari Bibi," pinta Sayyidah."Ohgitu. Hmmm ... kira-kira berapa hari atau berapa minggu Neng? Maaf, biar bibi bisa mengatur ulang jadwal di rumah, hehehe." Bi Sari tertawa ringan."Hehehe nggak terbatas Bi, Sayyidah bakal terus tinggal di sini." Jawaban dari Sayyidah merubah mimik wajah wanita paruh baya di hadapanya, ada tatapan bingung. Namun, menit selanjutnya ia menganggukan ke
Tol ... tok ... tok ...Bunyi ketukan pintu yang terdengar berulang kali menyudahi pembicaraan Zahra dengannya.Seketika Sayyidah yang berdiri mematung beranjak menuju pintu.“Say, i miss you so much.” Laki-laki berkulit putih itu langsung menyambar tubuh Sayyidah dengan pelukan.Sontak Sayyidah berusaha melepas pelukannya, membuat ekspresi Sofyan berubah heran.Suara tepukan tangan terdengar dari belakang, ia yakin suara itu berasal dari tangan Zahra.Sayyidah memejamkan matanya, dengan gugup ia sedikit menjauh dari tubuh Sofyan.“Gue kasih aplaus buat lo Sof,” ujar Zahra seraya menyeringai.“Lo ada di sini?” Jari telunjuk Sofyan mengarah ke Zahra.“Lagi nyari mangsa baru Sof? Yakin lo bisa naklukin Sayyidah? Kalau lo berani gue bakal pasang badan paling depan!” Zahra menghalangi tubuh Sayyidah dari hadapan Sofyan.&ld
“Ya udah kita masak yuk! Bahan-bahannya ada?” Sofyan beranjak dari kursi menuju dapur.“Kayanya ada bahannya di kulkas,” tandas Sayyidah, tangannya menekan tombol off remot TV, lalu menyusul Sofyan.“Caranya gimana nih?” tanyanya sembari mengeluarkan butiran jagung ke dalam wajan.“Gue juga lupa Sof, soalnya Mama sama Abbas yang selalu bikinan buat gue,” ucap Sayyidah seraya menuangkan air ke dalam wajan.“Abbas?” Sofyan mengernyitkan dahinya sembari menatap wajah wanita yang polos tanpa riasan itu.“Oh, iya! Dia keponakan gue di Jawa Timur,” jelas Sayyidah dengan kikuk.“Laki-laki bisa masak, ya?”“Hehehe ... iya dia jagonya Sof,” ucap Sayyidah seraya tersenyum canggung.“Jagungnya udah Mateng kayanya, coba di icip Say!” titah Sofyan sembari mengaduk-aduk bulir jagung yang dia re
“Sepertinya Abbas di takdirkan untuk berjodoh dengan antum Hal,” ujar Kirani seraya memeriksa barang satu persatu.“Ana nggak pernah berfikir seperti itu, lebih baik fokus meluluskan pendidikan dari pada mendengarkan ucapan nggak penting kaya gini,” tukas Halimah dengan tegas.“Santai Hal, jangan ngegas! Nggak baik.” Kirani tersenyum simpul menatapnya.“Ana cuman bercanda aja, jangan di anggap serius,” lanjut Kirani lagi.“Sepertinya antum harus belajar menjaga lisan Kir! Afwan, ya, sekedar saran dari ana aja karena kita nggak pernah tau hati seseorang seperti apa, apakah mereka bisa menerima ucapan yang kita anggap gurauan itu atau justru candaan yang kita maksud malah melukai isi hatinya. Jagalah lisan kita dari menyakiti orang lain! Takut, sebab dosanya berat di akhirat,” jelas Halimah panjang lebar.Kirani tersenyum kecut merespon ucapan Halimah.
Perlahan Sayyidah mengerjapkan matanya sembari menahan kepalanya yang terasa berputar.Sofyan menatapnya dengan menyeringai,” Kenapa Sayang? Lo baik-baik aja?” ujarnya seraya menepuk bahu Sayyidah.“Baik Sof, cuman agak pusing sedikit.” Sayyidah tersenyum tipis dengan memegangi kepalanya.“Ohgitu, bentar, ya, Say gue mau nemuin orang dulu di belakang.” Laki-laki itu berjalan meninggalkan Sayyidah.“Hmmm ....” Sayyidah tak begitu memperdulikan lagi, ia berusaha kuat menahan rasa pening dan mengumpulkan kesadarannya yang semakin berkurang.“Siapkan kamar satu!” pinta Sofyan kepada laki-laki berbadan tegap dengan kepala plontos yang duduk di suatu meja.“Siap!” ucapnya menyanggupi.“Hahaha ... kali ini gue pasti berhasil dapetin lo Sayyidah!” Sofyan tertawa lepas.Di luar dugaannya setelah ia kembali mengha
Sofyan menatapnya dengan geram seraya menggertakkan gigi.“Udah Sof, lo pulang aja! Gue ngga papa kok,cuman butuh istirahat aja.” Sayyidah menempelkan tangannya pada bahu Sofyan.“Oke kalau itu mau lo, gue sayang sama lo! Jaga diri baik-baik, ya,” ucapnya lembut, lalu di respon dengan anggukan kepala Sayyidah.Zahra menatapnya dengan mendengus kesal seraya melipat kedua tangannya di dada.Akhirnya laki-laki itu mengalah, ia melenggangkan kakinya pergi di iringi dengan tatapan sengit Zahra.Saat Sofyan sudah menghilang dari pandangannya, Zahra segera menghampiri Sayyidah.“Lo nggak papa Say?” tanya Zahra terlontar, beringsut ia duduk di tepian ranjang seraya menghadap wajah sahabatnya.“Nggak papa Za, cuman masih pusing sedikit,” keluh gadisyang terbaring itu.“Kok lo ada di sini Za? Sejak kapan? Hmmm ... seinget gue
Sesampainya di Pasuruan, Abbas berusaha membiasakan hidupnya tanpa Sayyidah.Abbas tetap tinggal di asrama. Namun, ia hanya tinggal seorang diri.Setiap orang yang menanyakan tentang istrinya, ia akan menjawab bahwa Sayyidah memiliki urusan pribadi yang tidak bisa ia tinggalkan di Jakarta, kecuali untuk orang-orang tertentu saja yang sudah mengikuti jalan ceritanya dari awal.“Bas!” Suara berat laki-laki dewasa menyapanya saat ia sedang memutar kunci pintu asrama. Abbas memutar tubuhnya guna menatap seseorang yang memanggil namanya.“Karim,” jawab Abbas seraya tersenyum simpul.“Assalamuallaikum.” Usai mematikan mesin motornya, Karim berjalan melewati pagar asrama Abbas.“Wa’allaikumussalam, mari masuk Rim!”“Antum baru pulang dari pondok?”“Na’am, tadi sekalian bikin judul sama nyusun skripsi,” ujar Abbas
“Itu Neng ... bibi nggak bisa jelasin.” Wanita paruh baya itu menggaruk kan kepala yang tidak gatal.“Neng Sayyidah harus jaga diri baik-baik! Tugas kami hanya mengingatkan aja," lanjutnya.“Zahra yang merintahkan Bibi dan Pak Rahman?”Bi Sari segera menggeleng cepat untuk merespon Sayyidah.“Lalu?” Gadis itu semakin di buat penasaran oleh Bi Sari.“Neng Sayyidah anak sholehah, anak baik yang selalu di ajarkan nyonya Marwah sejak dulu. Pasti Neng sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, Neng Sayyidah juga bisa menilai orang yang baik dan yang tidak baik. Pakai hati nurani Neng Sayyidah, ya?! Jangan pakai hawa nafsu untuk menilai orang, karena fisik itu nggak menjamin hatinya baik Neng,” ungkap Bi Sari seraya mengelus bahu wanita muda tersebut.“Iya Bibi tenang aja, ya?! Sayyidah bisa jaga diri kok. Terima kasih untuk semua jasa Bib
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt