Ia mematikan layar ponselnya, lalu melangkahkan kaki menuju kamar mengikuti kata hatinya.
Netranya menangkap Abbas yang masih tertidur pulas di atas ranjang. Pelan-pelan ia mendekat, memperhatikan lekat wajah laki-laki yang telah menemani hari-harinya setelah ia di tinggal Marwah, setelah saudara-saudaranya sibuk dengan kehidupannya sendiri dan menyerahkan Sayyidah kepada laki-laki yang belum ia kenali."Kamu manis Bas." Ia pandangi wajah sawo matang suaminya yang terlihat lebih putih, alisnya hitam legam, lebat seperti hendak menyatu. Hidungnya mancung dan bulu-bulu halus di ujung dagunya terlihat lebih banyak yang tumbuh.Jari Sayyidah menyentuh dahinya lembut, turun melalu hidung, lalu ia membelai jenggot Abbas yang begitu menggemaskan baginya.Tiba-tiba manik mata Abbas terbuka."Sayyidah!" Seketika ia segera menarik tangan nakalnya dan menyembunyikan di belakang tubuhnya."Ada apa?" Abbas mengerjap"Hmmm ... iya aku maafin, tapi masih berusaha karena nggak segampang itu mengobati hatiku yang terluka," ungkapnya seraya mengunyah sepotong kue lagi. “Alhamdulillah.” Abbas menerbitkan senyumnya. “Say, gimana kalau kita memberikan dia hadiah?” ujarnya dengan ekspresi yang penuh harap. “What?! Ngasih hadiah ke Kirani? No!” tuturnya spontan. “Memberi hadiah adalah akhlak mulia yang dianjurkan dalam islam. Nabi Muhammad Sholallahu ‘allaihi wassalam merupakan manusia teladan dalam hal ini. Faedah memberi hadiah bisa mendatangkan kecintaan, menumbuhkan kasih sayang, menghilangkan kedengkian dan melembutkan hati.”“Kita harus berusaha membersihkan hati kita dari penyakitnya karena itu salah satu kunci agar kita menjadi ahli surga.” “Iya deh iya,” ucapnya malas, mulutnya penuh dengan kunyahan kue. "Nah gitu dong, ini baru Sayyidah Fatimah istriku yang paling cantik," rayunya. "Tutup mu
Abbas melajukan sepeda motornya menuju kediaman Karim yang berada di ujung deretan asrama, berjarak sekitar 200 meter dari asrama mereka. Tok ... tok ... tok "Assalamuallaikum."Sayyidah bersembunyi di belakang suaminya. "Sini! Jangan ngumpet!" Abbas menarik tubuh istrinya agar berdiri sejajar dengannya. "Aku takut ketemu nenek lampir yang mulutnya kaya sambel terasi," ungkap Sayyidah lirih. "Hust! Nggak boleh ngomong gitu!" Menempelkan telunjuknya di depan bibir. "W*'allaikumussalam," jawab Karim seraya membuka pintu yang tertutup. "Abbas ... sama Mba Sayyidah juga. Mari masuk!" Tersenyum hangat menyambut mereka berdua. "Iya Rim, kita mau silaturahim ke asrama antum yang banyak berkah ini." Menyunggingkan senyumnya. "MasyaAllah ... jangan memuji berlebihan Bas, asrama ana sama kaya asrama kalian, silakan duduk dulu!” tandasnya. "Bentar, ya, ana panggilkan ist
Abbas melajukan kendaraannya dalam diam, Sayyidah yang berada di belakang pun membisu."Kenapa diam saja?” batin Sayyidah bertanya-tanya.Abbas memasukkan sepeda motornya ke dalam garasi yang berlangitkan kanopi, lalu ia melenggangkan kakinya begitu saja tanpa berkata sepatah katapun kepada Sayyidah."Tunggu!" Sayyidah mencegatnya ketika sampai di ambang pintu."Ada apa?" jawabnya datar."Apa respon kamu?" tanya Sayyidah."Respon apa?" Abbas berbalik menanyai istrinya."Kenapa kamu nggak membelaku? Aku 'kan istrimu?" Menempelkan jari telunjuknya di dada Abbas."Apa yang perlu di bela?" Abbas mengangkat kepalanya."Nenek lampir sialan itu udah menyakiti hatiku ....""Stop! Hentikan kata-kata kasarmu itu! Kamu sudah keterlaluan Sayyidah!!!" bentak Abbas seraya melototkan kedua manik matanya, otot-otot wajah dan lehernya terlihat menegang, membuat Sayy
"Ada apa? Bilang! Jangan bikin aku penasaran." Menggoyangkan kedua bahu Abbas."Hmmm ... iya deh, aku minta kamu jangan bilang lagi ingin mati, ya?! Nggak boleh, nggak baik ... kamu harus mensyukuri nikmat kehidupan yang Allah kasih saat ini, apapun keadaannya harus di jalani! Di syukuri! Makanya Allah itu paling benci dengan orang yang bunuh diri, sebab dia sama saja memutus nikmat yang Allah beri. Faham, ya, maksud aku?!" Menautkan kedua tangannya di pipi Sayyidah, ia menatapnya lekat."Semoga saja Sayyidah bisa mengerti dan nggak memanas lagi emosinya," gumam Abbas dalam hati.Sayyidah menganggukan kepalanya."Tapi, kamu milik aku 'kan?" Tiba-tiba Sayyidah memeluk tubuh Abbas dengan manja."Ya salaaam ... dasar wanita nggak pernah bisa di tebak perasaannya," ucapnya dalam hati, Abbas menyunggingkan senyuman."Aku 'kan suamimu ... sudah jelas aku milikmu," tandasnya."Yakin? Kamu nggak akan ninggali
Dengan gamis polos berwarna maroon serta kepalanya di balut hijab berwarna hitam menjuntai sampai bagian pahanya, Sayyidah berjalan menghampiri Halimah yang telah duduk di kursi taman."Assalamuallaikum Kak, maaf kalau menunggu lama," sapa Sayyidah sembari mengukir senyuman manis di bibirnya."Wa'allaikumussalam Dek, nggak papa kok." Tersenyum simpul menyambut kedatangan Sayyidah."Gimana kabar Kaka? Sehat?" Duduk di sisi Halimah."Alhamdulillah seperti yang kamu lihat sekarang.""Maaf Kak, kalau mengganggu waktunya," ujarnya dengan meredah."Laa ba’sa Dek, aku nggak sibuk kok hari ini.""Laa ba’sa?" Melipat dahinya."Hehehe ... maaf, laa ba’sa itu artinya nggak papa.""Ohgitu.""Hmmm ... maaf kamu mau bicara apa, Dek? Aku jadi penasaran nih, bikin deg-degan aja, hehehe." Tertawa ringan menampakkan gigi serinya."Begin
"Antum kenapa lagi? Kok nangis?" Salma mengurungkan niatnya meninggalkan Kirani sendiri dan terpaksa meladeninya lagi."Ana kemaren habis di siram air sama Sayyidah, dia juga mencaci-maki ana Sal, hiks ... hiks ...." Menangis tersedu-tersedu."Hah?! Dimana kejadiannya? Kang Karim tau?" ujarnya spontan."Di asrama ana, dia sama Kang Abbas main, katanya mau silaturahim terus nggak tau kenapa dia nyiram gitu aja waktu ana nyuguhin teh," jelasnya."Masa sih?" ujarnya tak percaya."Emang bejat kelakuan dia Sal! Semoga aja dia akan dapat balasan dari perbuatan buruknya, tapi antum jangan bilang siapa-siapa dulu! Biar Kang Abbas dan istrinya nggak tercemar nama baiknya.""Ya Allah ... antum yang sabar Kir, Insyaallah tanda antum di angkat derajatnya, do’a orang yang terdzalimi di kabulkan, antum berdo’a yang baik-baik, ya?!” Salma mulai percaya.****"Assalamuallaikum." A
"Alhamdulillah," ucap syukur Abbas setelah menghabiskan sisa nasi di piringnya."Say," panggil Abbas kepada istrinya yang sedang berkutat di depan laptop."Apa lagi? Kamu bisa 'kan taruh piring sendiri?" omel Sayyidah."Hmmm ... bukan gitu Say." Menghampiri istrinya di sudut kanan ruangan kamar."Akhir-akhir ini kamu 'kan sering sedih, aku juga ikut pusing ngadepinnya.""Terus? Kamu bosen sama aku? Udah sana pergi aja!" oloknya."Hey! Nggak boleh gitu kalau ngomong sayangku." Menatap istrinya dari samping."Jangan panggil sayang!" Menggertakan giginya."Hehehe ... ya udah. Kalau kita rihlah ke pantai, kamu mau nggak?""Beneran?" Menghentikan aksinya melototi layar laptop."Iya, kamu mau?" ujarnya lembut."Mau ... mau banget," ucap Sayyidah girang."Alhamdulillah.""Kenapa ngucap Alhamdulillah?""Bersyuku
Abbas segera berlari mengejar istrinya, laju larinya yang lebih kencang berhasil mengkap Sayyidah yang sudah menjauh dari bibir pantai. Abbas langsung mendekap tubuhnya."Lepas ... lepasin aku! Jangan mesum kamu!" Sayyidah meronta-ronta dalam pelukan suaminya. "Biarin dulu beberapa menit," jelas Abbas yang masih membelit tubuh istrinya. "Lepasin! Malu tau nanti dilihat pengunjung lain!" perintah Sayyidah. "Oke!" Ia melepas tangannya. "Ih! Nyebelin banget," umpat Sayyidah seraya memperhatikan bajunya yang ikut basah karena baju Abbas. "Hahaha basah 'kan? Lagian kamu yang bikin aku basah, jadi kamu harus ikutan basah." "Nyebelin! Dasar malaikat azab!" omel Sayyidah. "Hahaha kok malaikat azab sih? Kamu lupa namaku? Aku Abbas," jelasnya. "Nggak, sekarang nama kamu malaikat azab, penyiksa hidup orang lain!" makinya. "Hey! Nggak boleh ngomong gitu ih!" "Bi
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt