Seketika Abbas mengangkat kepala dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
“Sayyidah ... aku sangat merindukanmu.” Abbas mendekap tubuhnya dalam pelukan.“Aku merindukan tingkah konyolmu ini bocil.” Sang suami mengusap pucuk kepalanya dengan gemas.“Memangnya aku anak kecil?” protes Sayyidah. Memang ia akui hanya dengan Abbas ia bisa bebas mengekspresikan diri menjadi siapapun. Menjadi anak kecil, gadis manja, wanita rempong, bahkan ibu-ibu galak yang super judes pun bisa.“Bukan, kamu gadis cantikku. Udah kamu jangan nangis lagi, ya?!” Abbas mengusap air mata yang membasahi pipi Sayyidah.“Kita lanjutkan perjalanan?” Sayyidah manggut-manggut mengiyakan.Lalu Abbas kembali membaca do’a Safar dan di aamiinkan oleh sang istri sebelum mobil yang mereka tumpangi melaju lagi.“Sayyidah, boleh akuAbbas tampak merenggangkan pelukannya, sebuah kecupan mendarat di kening Sayyidah.Cukup lama Abbas menikmati perasaanya dalam waktu yang terus berjalan mengitari kedua sejoli itu.“Ukhibuki fillah,” ucap Abbas usai melepas pagutan dari kepala istrinya.Sayyidah merasakan situasi dimana ia pernah membayangkan dulu saat Marwah bercerita.“Kelak jika kamu menikah dengan laki-laki yang sholeh, jika dia mencintaimu maka dia akan mengayomi dan menyayangimu sepenuh hati, kalaupun ia belum mencintaimu ... maka ia akan tetap memperlakukanmu dengan baik selayaknya seorang istri,” ucap Marwah kala itu.“Bas,jangan tinggalin aku! Hiks ... hiks ... hiks ....” Tangis Sayyidah terdengar pilu.“Aku ingin selalu di sisimu," pintanya lagi.Abbas semakin mengeratkan pelukannya dalam tubuh sang istri seiring rasa kebimbangan di hatinya.“Maafkan aku Sayyidah,
Tampak seorang wanita berdiri di depan kompor lengkap dengan sebuah kain celemek yang terikat di pinggul dan menyantel di lehernya.Abbas memicingkan netranya untuk melihat lebih jelas, seketika ia melebarkan pupilnya saat melihat sosok wanita itu adalah istrinya.Ia berjalan menghampiri Sayyidah seraya mengukir senyuman di bibirnya.“Kamu lagi ngapain pagi-pagi di sini?” Tubuh gadis itu memutar, menatap suara laki-laki yang bertanya kepadanya.“Hmmm ... itu, a-aku lagi masak buat sarapan kita,” ucapnya dengan gugup.“Mau aku bantu?” Abbas menawarkan diri.“Nggak usah!” Sayyidah melambaikan kedua tangannya segera.Sontak ia mendorong tubuh suaminya, lalu mendudukkannnya di sebuah kursi yang tersedia tak jauh dari sana.Ia beranjak lagi menuju dapur. Namun, Sayyidah nampak bingung dengan menggarukan kepalanya, lalu menghampiri
Halaman area pondok putri menjadi ramai di siang hari, para santriwati berbaris rapi untuk mengantri mendapatkan seporsi baso sapi.Sayyidah mengembangkan senyumnya saat satu persatu dari santri itu mengucap rasa syukur.“Syukron Mba Sayyidah,” ucap santriwati berseragam putih biru kepadanya.“Sama-sama,” balasnya dengan tersenyum simpul.Hingga habis semua barisan yang mengantri, gadis itu begitu bangga dan bahagia melihat para santriwati makan ramai-ramai di depan teras kamar mereka.“Ya Allah ... ternyata melihat orang lain bahagia, sangat begitu memuaskan ketimbang merasakan kebahagiaan sendirian,” gumam Sayyidah seraya mengusap peluh keringat di dahinya.“Assalamuallaikum Mba Sayyidah,” sapa seorang wanita berdaster hijau kepadanya, kain yang ia kenakan menjuntai panjang hingga menutupi jari kakinya.“Wa’allaikumussalam.&rd
Sahabatnya menghela nafas panjang dengan mata terpejam, nada pasrah berhembus dari ketenangan yang ia tunjukan.“Lo bener-bener nggak papa berbagi dengan Kaka gue?” ujar Zahra. Namun, wanita yang menjadi lawan bicaranya hanya bergeming.“Say, jawab gue!” Zahra mengguncangkan bahunya meminta penjelasan.“Gue nggak tau Za, gue udah lewatin perasaan sama yang lo tanyakan sekarang. Bahkan beberapa hari ini kebimbangan gue udah sampai level akut kayanya, tapi ... dengan sikap tenang Abbas dalam bercengkrama dengan gue, perilaku dia yang sama sekali tidak berubah dari dulu, tetap manis dan menyenangkan,” ungkap Sayyidah.“Jadi sekarang lo udah rela?” tanya Zahra lebih jeli.“Bukan gitu, gue rasa dan gue yakin banget sikap dingin yang terkadang muncul pada diri Abbas akhir-akhir ini mungkin karena dia berfikir keras untuk mengambil keputusan yang tentu berat.” Sayyid
Sayyidah menangkap kehadiran Abbas yang berdiri di depan ruangan. Sayyidah menatapnya dengan bola mata nanar. Namun, bukan kesedihan yang akan tumpah dari sudut matanya, akan tetapi sebuah kebahagian yang tercipta karena rasa cinta yang semakin kuat untuk Abbas. Perlahan Sayyidah mengampiri Abbas, saat lebih dekat ia segera berlari menyambar tubuh suaminya. “Terima kasih Bas, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah menumpahkan semua perasaan yang ia pendam di dada sang suami. “Ehem! Pokoknya habis ini harus bikin ponakan baru buat kita,” kelakar Zahra menyudahi pelukan Sayyidah dan Abbas.Keduanya tertunduk malu di hadapan Zahra, Halimah dan kedua orang tuanya. “Semoga kalian segera mendapatkan momongan, ya, Nak!” Umi Sofia menghampiri Sayyidah, ia mengusap bahu Sayyidah dengan lembut. “Aamiin, terima kasih Umi.” Sayyidah tak bisa menahan perasaannya untuk memeluk siapa saja orang di hadapannya. Ia mendekap wanita dewasa i
“Abi? Nama kamu ‘kan Abbas ... bukan Abi,” protes Sayyidah. Abbas bergegas mendekatkan langkah kaki ke tubuh sang istri yang masih berdiri tak jauh darinya. “Panggil suamimu dengan lebih hormat Sayang, jangan nyebut nama lagi! Nanti di kira kita kaka adik, ya ‘kan?” titah Abbas. “Jadi sekarang aku harus panggil kamu Abi?” “Iya Umi.” “Abi, Umi.” Ia menunjuk dirinya dengan sang suami bergantian. “Memanggil pasangan dengan panggilan romantis itu sunah Sayang. Seperti yang di anjurkan oleh Rosulullah, beliau memanggil Sayyidah Aisyah dengan sebutan Humairah,” jelas Abbas sembari merangkul pundak Sayyidah. “Ohgitu.” Sayyidah manggut-manggut. “Jadi, Umi manggil nama abi ada apa? Masih pagi, suaranya udah menggelegar, nggak baik Sayang! Takut mengganggu orang sekitar.” Abbas memperingati sang istri seraya memencet hidung mancung Sayyidah dengan jari telunjuknya. “Habisnya kamu, eh! A
Walaupun hanya pertanyaan sederhana, akan tetapi terkesan lucu saat keluar dari mulut Abbas. Laki-laki pendiam dan paling jarang membicarakan persoalan tentang suami istri. Mungkin saat ini rasa penasaran Abbas lebih besar ketimbang logika dan ilmunya, pikir Hasan. “Ana serius, antum malah ketawa.” Abbas menepuk bahu Hasan yang naik turun karena tertawa. “Gini Bas, harusnya ‘kan antum yang berpengalaman tentang hal ini. Ternyata ana salah besar, antum jago dalam ilmu fikih tapi nggak jago naklukin istri, hahaha,” kelakar Hasan. “Duh Hasan ... setiap orang ‘kan punya sisi kelebihan dan kekurangannya masing-masing,” elak Abbas. “Oke ... oke.”Hasan menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan untuk menetralisir tawa di mulutnya. “Jadi gini Bas ....” Laki-laki di hadapannya menyimak baik-baik kata yang terucap dari mulutnya. “Kalau pulang antum harus wangi kaya tadi, bebersih ... po
“MasyaAllah, ya?! Sangat besar kekuasaan Allah menciptakan makhluk-Nya. Allah menjadikan dua makhluk saling berpasang-pasangan, lalu dari hubungan halal tersebut bisa menghasilkan keturunan seperti firman Allah dalam Al Quran."“Umi pengen punya anak yang bisa baca Al Quran,” pinta Sayyidah.“Bukan baca aja, menghafal juga kalau bisa," sahut Abbas.“Iya betul, jadi apa yaa ... huffadz!” terka Sayyidah.“Bukan!”“Terus apa dong?”“Hafiz-hafidzoh Sayang ... itu namanya penghafal Al Quran.”“Iyaa betul.”Kedua sejoli itu melewati malam dengan berbincang-bincang. Malam yang mereka rencanakan akan menjadi penyatuan, akan tetapi gagal terhalang fitrah kewanitaan Sayyidah yang datang rutin setiap bulannnya.******Pagi itu Sayyidah sibuk di dapur, sang suami muncul dari pintu kamar
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt