“Abi? Nama kamu ‘kan Abbas ... bukan Abi,” protes Sayyidah.
Abbas bergegas mendekatkan langkah kaki ke tubuh sang istri yang masih berdiri tak jauh darinya.“Panggil suamimu dengan lebih hormat Sayang, jangan nyebut nama lagi! Nanti di kira kita kaka adik, ya ‘kan?” titah Abbas.“Jadi sekarang aku harus panggil kamu Abi?”“Iya Umi.”“Abi, Umi.” Ia menunjuk dirinya dengan sang suami bergantian.“Memanggil pasangan dengan panggilan romantis itu sunah Sayang. Seperti yang di anjurkan oleh Rosulullah, beliau memanggil Sayyidah Aisyah dengan sebutan Humairah,” jelas Abbas sembari merangkul pundak Sayyidah.“Ohgitu.” Sayyidah manggut-manggut.“Jadi, Umi manggil nama abi ada apa? Masih pagi, suaranya udah menggelegar, nggak baik Sayang! Takut mengganggu orang sekitar.” Abbas memperingati sang istri seraya memencet hidung mancung Sayyidah dengan jari telunjuknya.“Habisnya kamu, eh! AWalaupun hanya pertanyaan sederhana, akan tetapi terkesan lucu saat keluar dari mulut Abbas. Laki-laki pendiam dan paling jarang membicarakan persoalan tentang suami istri. Mungkin saat ini rasa penasaran Abbas lebih besar ketimbang logika dan ilmunya, pikir Hasan. “Ana serius, antum malah ketawa.” Abbas menepuk bahu Hasan yang naik turun karena tertawa. “Gini Bas, harusnya ‘kan antum yang berpengalaman tentang hal ini. Ternyata ana salah besar, antum jago dalam ilmu fikih tapi nggak jago naklukin istri, hahaha,” kelakar Hasan. “Duh Hasan ... setiap orang ‘kan punya sisi kelebihan dan kekurangannya masing-masing,” elak Abbas. “Oke ... oke.”Hasan menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan untuk menetralisir tawa di mulutnya. “Jadi gini Bas ....” Laki-laki di hadapannya menyimak baik-baik kata yang terucap dari mulutnya. “Kalau pulang antum harus wangi kaya tadi, bebersih ... po
“MasyaAllah, ya?! Sangat besar kekuasaan Allah menciptakan makhluk-Nya. Allah menjadikan dua makhluk saling berpasang-pasangan, lalu dari hubungan halal tersebut bisa menghasilkan keturunan seperti firman Allah dalam Al Quran."“Umi pengen punya anak yang bisa baca Al Quran,” pinta Sayyidah.“Bukan baca aja, menghafal juga kalau bisa," sahut Abbas.“Iya betul, jadi apa yaa ... huffadz!” terka Sayyidah.“Bukan!”“Terus apa dong?”“Hafiz-hafidzoh Sayang ... itu namanya penghafal Al Quran.”“Iyaa betul.”Kedua sejoli itu melewati malam dengan berbincang-bincang. Malam yang mereka rencanakan akan menjadi penyatuan, akan tetapi gagal terhalang fitrah kewanitaan Sayyidah yang datang rutin setiap bulannnya.******Pagi itu Sayyidah sibuk di dapur, sang suami muncul dari pintu kamar
Zahra, Celline, Rani dan Tasya duduk di ruang tengah sambil bercengkerama. Sayyidah datang menghampiri mereka sembari membawa beberapa makanan. “Nggak usah repot-repot Say, kalau bisa keluarin semua yang ada di dalam, ya?!” seloroh Zahra. “Hahahaha ... nanti gue beli sekalian toko-tokonya buat lo Za,” balas Sayyidah, lalu memberikan toples makanan kepadanya. “Eh liat deh! Ini gemoy banget dede utunnya!” seru Rani tiba-tiba. Ia menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan foto USG janin. “Ini calon debaynya Tina, Ran?” tanya Tasya. “Iya.” “Coba gue liat,” ujar Celline bersamaan Zahra dan Sayyidah yang mengerubungi Rani. “Lucu banget, ya?! Tina udah berapa bulan sih kandungannya?” tutur Celline. “Udah hampir tujuh bulan kayanya,” respon Rani "Alhamdulillah nggak kerasa," sambung Sayyidah. “MasyaAllah Tina banyak berubah, dia sering banget sharing ke gue tentang hukum Isl
Mereka berlima mulai menyusun rencana.Pertama-tama Sayyidah harus membangun komunikasi kembali dengan Sofyan di monitori oleh keempat temannya.Di sebuah apartemen milik orang tua Celline mereka mulai menjalankan aksi yang telah di rencanakan. Di tempat itu pula Celline beserta yang lainnya tinggal, selama berada di tanah Jawa bagian timur ini.Mereka berempat merasa segan untuk menginap di rumah Sayyidah, alasannya tidak lain karena kehadiran Abbas sebagai suaminya.Kelima gadis itu berdiri di sebuah lorong ruangan menghadap sebuah pintu.“Lo kenapa sih nggak mau di unit A3? Kita ‘kan jadinya harus pindah lagi,” ujar Celline sembari memutar tuas kunci di depan pintu unit A4.“Nggak tau nih Sayyidah banyak maunya, bikin repot aja,” keluh Rani seraya menenteng barang bawaan untuk di pindahkan ke tempat baru.Begitu pintu terbuka, Sayyidah dan Celline masuk lebih d
Sofyan[Di rumah lo aja, nanti gue dateng ke situ][Ohya, bibi sama tukang kebun lo nggak tinggal serumah ‘kan sama lo?]“Ish! Ngapain sih dia nanya Bi Sari sama Pak Rahman segala,” cibir Sayyidah.“Biasa Say, ikutin aja alurnya. Nanti kita yang bakal mengendalikan permainannya,” balas Rani.[Jangan Sayang! Kita di Jawa Timur aja yuk! Sekalian mengenang kenangan kita yang dulu!] sendSayyidah geleng-geleng kepala melihat aksi Celline membalas pesan yang seolah-olah itu dirinya.“Hehehehehe.” Celline nyengir kuda meresponnya.Setelah Sofyan setuju dan mengadakan janji waktu, Celline menghela nafasnya lega sembari mengembalikan benda pipih itu pada empunya.“Udah beres, kita tinggal nunggu waktu aja dia dateng ke sini,” ujarnya.“Liburan semester kita bener-bener bermakna,” tutur Rani.&ld
Sayyidah termenung beberapa saat menatap pintu yang tertutup. Namun, tanda-tanda suaminya masuk kembali tak kunjung ia dapati.Hingga akhirnya Sayyidah menghempaskan tubuh di atas ranjang setelah meregangkan tangan dan kepalanya.“Alhamdulillah ya Allah nikmat banget,” ucap syukur Sayyidah saat mendarat di atas kasur.Rasa lelah seharian ingin ia lepaskan dengan tiduran santai. Sayyidah memejamkan matanya perlahan.Ceklek ...Terdengar suara pintu di buka, akan tetapi Sayyidah enggan untuk membuka matanya.Sudah terlanjur nyaman, lagi pula ia sedikit merasa sungkan dengan tingkah Abbas yang meninggalkandirinya begitu saja.Beberapa saat kemudian indra penciuman Sayyidah menghirup aroma wangi semerbak yang masuk ke hidungnya.“Nggak biasanya Abbas pakai minyak misik sewangi ini, kecuali kalau mau majelis atau berangkat ngajar,” batin Sayyidah.Namun, ra
Ucapan istrinya membuat Abbas terkekeh.“Hehehe ... ini baru awal Sayang, nanti kalau melahirkan pasti lebih sakit lagi,” ujar Abbas.“Masa sih Bi?” tukas Sayyidah seraya mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Katanya kalau melahirkan itu sakit banget Mi. Umi sanggup nggak punya anak? Kalau nggak jangan di paksa, abi nggak tega liat umi kesakitan,” ucap Abbas sembari mengusap kepala Sayyidah.“Ya nggak papa lah Bi, kalau wanita nggak mau sakit saat melahirkan pasti nggak ada wanita yang punya anak di dunia ini,” sergah Sayyidah dengan lantang.“Iya Sayang.” Abbas menyeringai.“Umi udah sholat subuh?” sambungnya.“Belum.” Sayyidah menggelengkan kepalanya.“Umi nggak bisa jalan, sakiiit ...,” lanjut Sayyidah dengan manja.“Ayo! Sini abi bantu!”S
“Gimana sama Sofyan?” tanya Sayyidah terlontar.“Harusnya besok dia ke sini, tapi lihat keadaan lo ....” Tasya melirik ke arah Zahra yang berada di sampingnya.“Gimana Za?” lanjutnya.“Di undur aja kali, ya?! Barangkali Sayyidah butuh istirahat dulu sampai pulih,” balas Zahra memindai pandangannya ke wajah Tasya dan Sayyidah.“Hhmmmm ... sorry, emang bener Say, lo baru ngerasain malam pertama? Terus sebelum-sebelumnya gimana?” seloroh Tasya dengan menyondongkan wajahnya ke arah gadis yang telah duduk menyender di kepala ranjang.Sayyidah menggelengkan kepalanya cepat.“Hahahaha ... udah jangan di tanya! Lo belum cukup umur,” sergah Zahra seraya menepuk bahu Tasya.“Ya elah Za, gue ‘kan penasaran aja,” kilah Tasya.Ceklek!Pintu yang terbuka menampakkan Rani dan Celline yang terlihat rempong de
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt