Abbas menyentuh pipinya, kemudian membelainya lembut.
Sentuhan tangan Abbas membuat hatinya merasa bergidik. Sayyidah tak kuasa, perlahan ia memejamkan mata.“MasyaAllah tabarakallah istriku, permataku, bidadariku.”Pujian Abbas semakin melambungkan hati Sayyidah keangkasa. Binar netra Abbas menatap lekat wajahnya.“Boleh aku mencium keningmu?” izin Abbas kembali.Kali ini Sayyidah tak mampu menjawab, hatinya telah di selimuti perasaan bak ratu yang sedang di puji. Ia hanya menganggukkan kepalanya.Cup ...Abbas mencium kening Sayyidah dengan lembut.“Hehehehe ....” Tiba-tiba Abbas terkekeh.“Kamu kenapa?” Netranya terbuka seraya melebarkan pupilnya. “Kalau kamu anggun kaya gini rasanya seperti bidadari, cantik sekali ... tapi kalau kamu lagi marah-marah dan ngambek seperti sebelum-sebelum ini, kamu kayaSelepas sholat isya Abbas mengajak Sayyidah makan malam di luar. “Kamu mau makan apa Say?” tanya Abbas sambil menyetir motor. “Apa? Aku nggak dengar,” teriak Sayyidah di belakang Abbas. “Kamu mau makan apa?” Kali ini Abbas mendekatkan kepalanya. “Oh ... apa, ya? Soto aja,” ucap Sayyidah. “Yang di pinggir jalan aja nggak papa, ya?” “Hmm ... iya nggak papa. Kamu apa?” tanya Sayyidah. “Aku nasi punel.” “Apa itu?” “Nanti kamu juga tau, hehehe.” “Iiih!” Sayyidah meneplak punggung Abbas. **** Setelah menelan habis makanan, Abbas meneguk segelas air, lalu mengucap rasa syukur.“Alhamdulillah,gimana Say rasanya?” ujar Abbas. “Enak ... walaupun kaki lima tapi rasa nggak kalah mantap,” puji Sayyidah dengan mengacungkan kedua jempolnya. “MasyaAllah, walaupun sederhana yang penting rasa syukur kita,” ucap Abbas.
"Ehh tunggu! Aku ambil motor dulu. Kamu tunggu disini istriku!" Ia menuntun Sayyidah kembali ke kursi. Kemudianberjalan menuju tempat motornya yang terparkir.Beberapa menit berlalu ...Abbas mematikan mesin motornya. Ia beranjak menuju tempat duduk Sayyidah.“Khumairahku ... setelah ini mau kemana?”“Menurut kamu?” jawab Sayyidah dengan ekspresi bingung.“Kamu pengen makan apa lagi?”“Uummm ... aku pengen kebab kaya yang di makan Zakiyah sama Azam kemaren pas aku ngajar.”“Oke ... ayo kita beli!”“Ayo!” Sayyidah dengan semangat mengikuti langkah Abbas.Sepeda motor mereka melaju pelan membelah pekatnya malam. Udara yang semakin dingin tak menembus hangatnya suasana hati mereka.“Kamu nggak capek, Bas? Kesana-kemari nyetir motor,” tanya Sayyidah.“Nggak, asalkan sama ka
Jari Sayyidah mengetik balasan untuk Abbas, tetapi belum sampai terkirim Putri kembali menghampirinya. “Mba Sayyidah di panggil abuya di depan, di sana udah ada suami mba juga. Mari ana antarkan!" ajak Putri. “Ohya, baik Putri.”Sayyidah mengikuti langkah Putri melewati lorong-lorong kamar santri. Menurut Putri ini jalan alternatif agar cepat sampai di depan rumah abuya. Sesampainya Sayyidah melihat Abbas duduk menunduk di depan seorang laki-laki dewasa, kira-kira berumur lima puluh tahunan, memiliki beberapa rambut putih di jenggotnya, mengenakan peci dan sorban putih. Pandangannya terfokus di layar ipadnya. Biasanya Sayyidah hanya melihat wajah sejuknya di video ceramah yang ia putar, kini ia harus berhadapan secara langsung, untung saja ada Abbas di sisinya.Jantung Sayyidah berdegub kencang, ini pertama kalinya ia bertemu dengan sosok Abuya yang menurutnya sangat terlihat bijaksana dan berwibawa. Sayyidah sontak
Suara rintikan hujan yang mengenai suatu benda, nyaring di telinga Sayyidah. Perlahan ia mengerjapkan matanya. Sepasang netranya melirik ke arah jendela, hujan begitu deras sampai menimbulkan titik-titik embun di kaca jendela. Ia beringsut dan memandangi tetes hujan yang telah menggenangi halaman asrama. Sedetik kemudian bulir bening mengalir membentuk sungai kecil di pipinya. "Mamaaah ...." ujarnya dengan suara yang parau. "Hiks ... Hiks ... Hiks ... Sayyidah kangen, Mah. Biasanya setiap hujan begini Mamah selalu mendatangi Sayyidah membawa susu coklat dan bubur jagung kesukaan Sayyidah, lalu Mamah menyelimuti Sayyidah dengan pelukan yang hangat. Kini Sayyidah kedinginan, Mah." Mendekapi tubuhnya sendiri. Ceklek! Sontak ia menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Kamu sudah bangun?" Manik matanya menampakkan wajah Sayyidah yang lesu. "Mau mandi? Aku buatkan air hangat dulu, ya?! Biar kamu
Mereka sibuk dengan isi mangkuk dan isi kepala mereka masing-masing. "Bas ...." lirih Sayyidah. "Hmmm?" Menatap istrinya yang terlihat masih mengunyah. "Ada apa?" sambungnya lagi. "Kemaren Umma Aminah sempet bilang katanya gue, eh! Aku maksudnya ... di suruh hadir majelisnya beliau, entah di masjid, atau di manapun," ungkapnya, selama ini ia berusaha menyesuaikan panggilan aku-kamu jika berbincang dengan Abbas. "Bagus itu, aku setuju! Nanti aku anterin kamu," ujarnya. "Kok di anterin sih? Emangnya jauh?" tanyanya dengan penasaran. "Mau dekat, mau jauh tetap diantar. Selagi aku bisa menjagamu karena kamu begitu mulia, Sayang," ungkapnya datar. "Ish! Sayang ... sayang kepala lo peang?! Jangan panggil gitu?!" maki Sayyidah, tapi hatinya bersorak ria mendapat perhatian dan ungkapan kasih sayang dari Abbas. Ini bukan aku! Mana mungkin aku menyukai Abbas, hahaha, tertawa dalam hatinya.
Kendaraan beroda dua membawa sepasang sejoli mengitari jalan dalam kepekatan malam, sejuknya sepoi angin merasuk ke dalam pori-pori. Namun, tak bisa menembus panasnya hati Sayyidah saat ini. "Hey! Kok diam aja," ujar Abbas yang telah memahami suasana hati istrinya. "Nggak,” jawabnya ketus. Abbas menghembuskan nafasnya pelan, sekilas sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Kita makan di luar aja, ya?! Aku lagi males makan di rumah," ujar Abbas. Ajakannya tak di respon Sayyidah, ia harus memutar otak untuk merubah mood istrinya. "Tugas kuliahku hari ini banyak banget, apalagi tugas khidmah, tapi aku ngga boleh menyerah! Aku mau cari makanan yang bisa ngilangin stres," ungkap Abbas, ia membelokkan arah motornya kekanan, beberapa meter setelahnya terlihat lebih ramai di kelilingi para pedagang di sepanjang jalan. Abbas menghentikan motornya di tempat penjual martabak. Ia beranjak, tetapi Sayyidah tak mau
Hari berikutnya ...Selesai dzikir sholat, Abbas melirik istrinya yang terlihat lesu, tetapi wajahnya masih terlihat ayu dengan balutan mukenah gradasi putih abu.Ia memilih sholat jama’ah maghrib di rumah bersama istrinya karena sebelumnya ia sakit perut dan tertinggal jama’ah di masjid terdekat."Kenapa Say?" Abbas mengernyitkan dahinya.Sayyidah tak menjawab, ia terlihat menghembuskan nafasnya pelan."Ya Khumairahku mukamu mengapa masam begitu?" ucapnya lembut."Bas ...." Mulutnya manyun."Kenapa?" Semakin mendekatkan wajahnya, sontak Sayyidah memundurkan tubuhnya kebelakang."Nggak usah deket-deket, aku nggak mau batal wudhu sampe isya.""Baiklah." Abbas menyeringai.Sayyidah menghempaskan nafasnya kasar."Memangnya aku hina karena nggak mengenal hukum agama?" Menitikkan bulir air mata."Aku juga ingin jadi orang baik, wanita sholehah sepe
Sayyidah menatap dirinya di pantulan cermin dalam kamar mandi. Iamemegangi dadanya yang bergemuruh, bisa-bisanya jatuhnya berdebar kencang saat bersama Abbas tadi. "Nggak mungkin aku jatuh cinta sama dia! Sofyan lebih dari segalanya! Lebih ganteng, lebih putih, lebih maco, lebih keren. Abbas?? Ah! Dia mah biasa aja." Sayyidah mencibir pantulan wajahnya sendiri. Ia mendengus kesal. "Hello! Sayyidah lo masih waras 'kan? Inget tujuan lo belajar menjadi manusia yang baik karena perintah mamah, bukan untuk jatuh cinta dengan laki-laki seperti Abbas. Hidup di lingkungan Abbas saja sudah bikin hidup lo seperti di planet lain, belum lagi sikap istri temannya yang menyebalkan. Ini bukan hidup lo! Lo harus sadar!" Sayyidah merutuki diri sendiri. Tok ... tok ... tok ...“Say! Udah selesai belum?” Abbas memanggilnya dari luar. “Belum! Bisa sabar nggak sih?!” Sayyidah merajuk kesal. Ia menghentikan tingkahnya bertaut di cermin dan bergegas
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt