"Ehh tunggu! Aku ambil motor dulu. Kamu tunggu disini istriku!" Ia menuntun Sayyidah kembali ke kursi. Kemudian berjalan menuju tempat motornya yang terparkir.
Beberapa menit berlalu ...
Abbas mematikan mesin motornya. Ia beranjak menuju tempat duduk Sayyidah.“Khumairahku ... setelah ini mau kemana?”“Menurut kamu?” jawab Sayyidah dengan ekspresi bingung.“Kamu pengen makan apa lagi?”“Uummm ... aku pengen kebab kaya yang di makan Zakiyah sama Azam kemaren pas aku ngajar.”“Oke ... ayo kita beli!” “Ayo!” Sayyidah dengan semangat mengikuti langkah Abbas.Sepeda motor mereka melaju pelan membelah pekatnya malam. Udara yang semakin dingin tak menembus hangatnya suasana hati mereka.
“Kamu nggak capek, Bas? Kesana-kemari nyetir motor,” tanya Sayyidah.“Nggak, asalkan sama kaJari Sayyidah mengetik balasan untuk Abbas, tetapi belum sampai terkirim Putri kembali menghampirinya. “Mba Sayyidah di panggil abuya di depan, di sana udah ada suami mba juga. Mari ana antarkan!" ajak Putri. “Ohya, baik Putri.”Sayyidah mengikuti langkah Putri melewati lorong-lorong kamar santri. Menurut Putri ini jalan alternatif agar cepat sampai di depan rumah abuya. Sesampainya Sayyidah melihat Abbas duduk menunduk di depan seorang laki-laki dewasa, kira-kira berumur lima puluh tahunan, memiliki beberapa rambut putih di jenggotnya, mengenakan peci dan sorban putih. Pandangannya terfokus di layar ipadnya. Biasanya Sayyidah hanya melihat wajah sejuknya di video ceramah yang ia putar, kini ia harus berhadapan secara langsung, untung saja ada Abbas di sisinya.Jantung Sayyidah berdegub kencang, ini pertama kalinya ia bertemu dengan sosok Abuya yang menurutnya sangat terlihat bijaksana dan berwibawa. Sayyidah sontak
Suara rintikan hujan yang mengenai suatu benda, nyaring di telinga Sayyidah. Perlahan ia mengerjapkan matanya. Sepasang netranya melirik ke arah jendela, hujan begitu deras sampai menimbulkan titik-titik embun di kaca jendela. Ia beringsut dan memandangi tetes hujan yang telah menggenangi halaman asrama. Sedetik kemudian bulir bening mengalir membentuk sungai kecil di pipinya. "Mamaaah ...." ujarnya dengan suara yang parau. "Hiks ... Hiks ... Hiks ... Sayyidah kangen, Mah. Biasanya setiap hujan begini Mamah selalu mendatangi Sayyidah membawa susu coklat dan bubur jagung kesukaan Sayyidah, lalu Mamah menyelimuti Sayyidah dengan pelukan yang hangat. Kini Sayyidah kedinginan, Mah." Mendekapi tubuhnya sendiri. Ceklek! Sontak ia menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Kamu sudah bangun?" Manik matanya menampakkan wajah Sayyidah yang lesu. "Mau mandi? Aku buatkan air hangat dulu, ya?! Biar kamu
Mereka sibuk dengan isi mangkuk dan isi kepala mereka masing-masing. "Bas ...." lirih Sayyidah. "Hmmm?" Menatap istrinya yang terlihat masih mengunyah. "Ada apa?" sambungnya lagi. "Kemaren Umma Aminah sempet bilang katanya gue, eh! Aku maksudnya ... di suruh hadir majelisnya beliau, entah di masjid, atau di manapun," ungkapnya, selama ini ia berusaha menyesuaikan panggilan aku-kamu jika berbincang dengan Abbas. "Bagus itu, aku setuju! Nanti aku anterin kamu," ujarnya. "Kok di anterin sih? Emangnya jauh?" tanyanya dengan penasaran. "Mau dekat, mau jauh tetap diantar. Selagi aku bisa menjagamu karena kamu begitu mulia, Sayang," ungkapnya datar. "Ish! Sayang ... sayang kepala lo peang?! Jangan panggil gitu?!" maki Sayyidah, tapi hatinya bersorak ria mendapat perhatian dan ungkapan kasih sayang dari Abbas. Ini bukan aku! Mana mungkin aku menyukai Abbas, hahaha, tertawa dalam hatinya.
Kendaraan beroda dua membawa sepasang sejoli mengitari jalan dalam kepekatan malam, sejuknya sepoi angin merasuk ke dalam pori-pori. Namun, tak bisa menembus panasnya hati Sayyidah saat ini. "Hey! Kok diam aja," ujar Abbas yang telah memahami suasana hati istrinya. "Nggak,” jawabnya ketus. Abbas menghembuskan nafasnya pelan, sekilas sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Kita makan di luar aja, ya?! Aku lagi males makan di rumah," ujar Abbas. Ajakannya tak di respon Sayyidah, ia harus memutar otak untuk merubah mood istrinya. "Tugas kuliahku hari ini banyak banget, apalagi tugas khidmah, tapi aku ngga boleh menyerah! Aku mau cari makanan yang bisa ngilangin stres," ungkap Abbas, ia membelokkan arah motornya kekanan, beberapa meter setelahnya terlihat lebih ramai di kelilingi para pedagang di sepanjang jalan. Abbas menghentikan motornya di tempat penjual martabak. Ia beranjak, tetapi Sayyidah tak mau
Hari berikutnya ...Selesai dzikir sholat, Abbas melirik istrinya yang terlihat lesu, tetapi wajahnya masih terlihat ayu dengan balutan mukenah gradasi putih abu.Ia memilih sholat jama’ah maghrib di rumah bersama istrinya karena sebelumnya ia sakit perut dan tertinggal jama’ah di masjid terdekat."Kenapa Say?" Abbas mengernyitkan dahinya.Sayyidah tak menjawab, ia terlihat menghembuskan nafasnya pelan."Ya Khumairahku mukamu mengapa masam begitu?" ucapnya lembut."Bas ...." Mulutnya manyun."Kenapa?" Semakin mendekatkan wajahnya, sontak Sayyidah memundurkan tubuhnya kebelakang."Nggak usah deket-deket, aku nggak mau batal wudhu sampe isya.""Baiklah." Abbas menyeringai.Sayyidah menghempaskan nafasnya kasar."Memangnya aku hina karena nggak mengenal hukum agama?" Menitikkan bulir air mata."Aku juga ingin jadi orang baik, wanita sholehah sepe
Sayyidah menatap dirinya di pantulan cermin dalam kamar mandi. Iamemegangi dadanya yang bergemuruh, bisa-bisanya jatuhnya berdebar kencang saat bersama Abbas tadi. "Nggak mungkin aku jatuh cinta sama dia! Sofyan lebih dari segalanya! Lebih ganteng, lebih putih, lebih maco, lebih keren. Abbas?? Ah! Dia mah biasa aja." Sayyidah mencibir pantulan wajahnya sendiri. Ia mendengus kesal. "Hello! Sayyidah lo masih waras 'kan? Inget tujuan lo belajar menjadi manusia yang baik karena perintah mamah, bukan untuk jatuh cinta dengan laki-laki seperti Abbas. Hidup di lingkungan Abbas saja sudah bikin hidup lo seperti di planet lain, belum lagi sikap istri temannya yang menyebalkan. Ini bukan hidup lo! Lo harus sadar!" Sayyidah merutuki diri sendiri. Tok ... tok ... tok ...“Say! Udah selesai belum?” Abbas memanggilnya dari luar. “Belum! Bisa sabar nggak sih?!” Sayyidah merajuk kesal. Ia menghentikan tingkahnya bertaut di cermin dan bergegas
"Kuliah lo lancar?" tanyanya."Alhamdulillah, lo gimana?""Hahaha ... lo alim bener Ay, sampe ngucap alhamdulillah segala. Apa jangan-jangan bener ya, kalau lo udah jadi alim sekarang?""Masa sih?" Bahkan Sayyidah tak mengerti lidahnya mengucapkan sendiri kalimat-kalimat suci. Kebiasaan di sini memang sudah ia lazimi."Gue liat foto lo sama sepupu lo yang pake peci itu," ungkap Sofyan."Oh, itu," ucapnya datar."By the way gue bener kangen sama lo Ay, apa gue susul lo aja ya ke sana?""Eh, jangan Sof!""Kenapa? Gue sayang sama lo," ucapnya membuat hati Sayyidah berbunga-bunga. Ia mulai terpikat rayuan buaya."Gue juga kangen lo Sof," ujarnya pelan seraya menutupi pipinya yang telah bersemu merah dengan jari-jari lentiknya."Hahaha." Sofyan tertawa menang, akhirnya Sayyidah mengungkapkan isi hatinya. Gampang kok, tinggal di pancing nanti ikannya masuk perang
POV Abbas Kehidupan tenangku tiba-tiba runtuh ketika mendapat kabar kematian umi, apalagi ia berpesan agar nanti aku menikahi wanita yang takku kenali, bahkan namanya pun masih asing di telinga ini. “Nak, umi minta kamu untuk menikahi Sayyidah anaknya Tante Marwah, ya?! Bantu beliau membimbing anaknya,” pesan umi sebelum akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir, setelah mengucap kalimat tauhid. Hari pertama aku bertemu dengannya, Sayyidah namanya, nama yang bagus, sebagus rupanya. Namun, ia terlihat angkuh dan tak menyukaiku.Saat aku menjabat tangan penghulu untuk menjadikan Sayyidah sebagai istriku, itulah saat aku merasa beban pundak tanggung jawabku menggunung. Pernikahan di usia muda tidak pernah aku duga sebelumnya. Di usia kedua puluh aku harus menikahi gadis yang baru lulus SMA, secara ekonomi aku memang belum matang, walaupun peninggalan umi yang di dermakan masih tersisa untuk masa depan, tapi haruskah aku hanya berpangku