Beranda / Romansa / Cinta Cita / Cinta Cita ~ 73

Share

Cinta Cita ~ 73

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Mas, di sekitar perumahan mama, ada nggak rumah yang dijual? Atau ruko kosong di deket-deket situ?”

“Nggak ngerti,” jawab Arya sambil terus bermain game di ponselnya. “Aku nggak pernah merhatiin.”

Cita yang berbaring memeluk Arya, sedang memikirkan lokasi rumah yang mungkin akan dibelinya. Memang tidak sekarang, karena Arya sudah mengontrak sebuah rumah untuk mereka tinggali selama satu tahun ke depan. Namun, Cita mulai memikirkan hal tersebut dan ingin mencari lokasi yang dekat dengan kantor Arya. Kalau bisa, lokasinya juga tidak jauh dari kediaman Arkatama karena Cita tidak memiliki siapa-siapa di Surabaya kecuali keluarga sang suami.

“Nanti kalau pulang ke Surabaya, coba dilihat-lihat, Mas,” ujar Cita sambil memandang televisi yang sejak tadi terus menyala. Mereka masih berada di sofa ruang tamu dan berada dalam selimut yang sama sejak menyelesaikan sarapan pagi. Tidak hanya menyelesaikan sarapan pagi, tetapi juga sudah menyelesaikan kegiatan panas sebagai pengantin baru.

“Mau nga
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (14)
goodnovel comment avatar
Aliefkhan
Arya nya aza yg GK tegas jdi lki2...giliran kehilangan Bru nyesel nangis2 loe ya
goodnovel comment avatar
Susan Manies
yg di rasain cita itu sakit banget...sekalipun dibuat si almira itu mati,tp sakit itu akan tetap ada dan lukanya akan membekas selamanya
goodnovel comment avatar
Callah
udh putus hubungan kerja dan smua yg berkaitan dgn almira deh itu jln satu2nya.... klo msh ada kaitan pekerjaan atau apapun itu pasti ga bakal tenang... kasian sm mental cita... arya jg jd cowo hrs tegas...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 74

    “Bulan madu makan mi instan.” Arya geleng-geleng menatap cup mi instan miliknya di meja makan. “Harusnya—”“Aku nggak mood keluar dan pesan makan,” sela Cita lalu meniup juntaian mi yang baru diangkatnya dari cup. Hatinya masih saja terluka, karena Almira menghubungi Arya siang tadi. Namun, Cita sudah tidak mau lagi membicarakan wanita itu atau mengungkitnya. “Lagian sayang, sudah disediain sama yang ngurus vila, tapi nggak dimakan-makan.”Dari percakapan yang Cita dengar di telepon siang tadi, sangat terlihat jika Almira memang memiliki perasaan pada Arya. Namun, pada akhirnya perasaan itu tidak berbalas karena Arya masih mencintai Cita. Bahkan, Almira sampai memberikan waktu pada Arya, dengan harapan pria itu akan membalas perasaannya.“Kalau mama tahu, pasti aku kena omel.” Arya belum berniat memakan mi instannya karena masih terlalu panas. Ia hanya mengaduk-aduknya dan mengangkat minya sesekali untuk menghilangkan uap panasnya.Sementara untuk perihal Almira, Arya tidak berani men

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 75

    “Kalian ...” Arya menunjuk Duta dan Leoni yang berjalan berdampingan memasuki ruang keluarga. “Sejak kapan? Kenapa aku nggak tahu apa-apa?”“Apanya yang sejak kapan?” sambar Leoni lalu mempersilakan Duta duduk di salah satu sofa di ruang tersebut.“Pacaran!” Arya berdecih dan segera menarik Duta agar duduk di sebelahnya di sofa panjang. “Mas, aku sering nginap di rumahmu, tapi kamu nggak pernah bilang kalau pacaran sama si ikan lele ini!”“Mas Arya!” Leoni menghampiri Arya, lalu memukul lengan sang kakak hingga berkali-kali.Sambil duduk di sofa tunggal yang berjarak dengan Arya, Cita menutup mulut guna menahan tawa. Ternyata, kakak dan adik itu tidak seakur seperti yang biasa terlihat.“Sakit, Le, sakit!” seru Arya tidak membalas dan hanya meringis nyeri dengan pukulan Leoni.“Kamu itu! Bikin malu aja!” Leoni menghempas tubuh di samping Arya. Namun, sebelum itu ia menginjak keras kaki sang kakak karena masih merasa kesal.Sementara Duta, hanya bisa terkekeh kecil melihat pertengkaran

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 76

    Leoni berbalik ketika mobil Leon yang dibawa Duta sudah berlalu dari rumah. Saat mulai berjalan menuju teras, tatapannya tertuju malas pada Arya yang berdiri di teras sambil bertolak pinggang. Gayanya sudah seperti orang tua, yang tengah mengawasi anak perempuan yang sedang bersama kekasihnya.“Apa lagi?” ujar Leoni juga bertolak pinggang dan tidak mau kalah dengan Arya. “Kamu nggak setuju aku nikah sama mas Duta?”“Kapan aku bilang nggak setuju.” Arya mundur satu langkah, ketika melihat Leoni bersikap garang padanya. “Aku cuma ...” Dengan cepat Arya menangkup lengan Leoni ketika gadis itu melewatinya. “Kamu serius nggak ada pacaran sama mas Dut? Masa’ tahu-tahu nikah gitu aja? Kalian backstreet, ya? Ngakulah, Le.”“Nggak.” Leoni melotot pada Arya sembari menginjak kaki kiri pria itu. “Kami nggak pacaran.”“Aduduh!” Arya melepas tangannya lalu menjaga jarak. Namun, ia tidak membiarkan Leoni pergi begitu saja dan kembali menghalangi langkah sang adik. “Terus, kamu langsung bilang iya,

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 77

    “Apa aku harus belajar masak?” gumam Cita sambil menatap telur yang baru dipecahnya di atas wajan anti lengket.Libur bulan madu mereka telah selesai dan sudah waktunya kembali pada kehidupan nyata. Mau tidak mau, kali ini Cita benar-benar menjalankan peran sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga pada umumnya. Tidak ada asisten rumah tangga ataupun sang mami yang menyiapkan sarapan seperti biasanya. Karena itulah, Cita agak terbebani dengan tugas barunya sebagai istri.“Kamu nggak bisa masak sama sekali?” Arya baru ingat, jika Cita selama ini hidup menempel pada Sandra.“Bisa, tuh.” Bibir bawah Cita mencebik ke arah wajan. “Aku bisa goreng telur, masak air, masak mi instan. Terus ... bikin makanan yang dimakan papa.”Arya menghampiri Cita sambil menghela samar. Ia mengambil alih spatula dari tangan sang istri, lalu membalik telurnya. Kalau hanya menggoreng telur, masak air dan mi instan, Arya juga bisa melakukannya.“Ahh ... makanan western ala-ala.” Sempat tinggal bersama keluarga

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 78

    “Rumahnya nggak banyak berubah,” ujar Cita setelah melihat semua sudut rumah yang pernah ditempatinya dahulu kala.Banyak kenangan manis sekaligus pilu, ketika mengingat kondisinya pasca keluar dari rumah sakit. Lumpuh, terluka, tidak percaya diri, dan masih banyak hal lain yang tersimpan rapi di ingatan. Di antara semua luka itu, Cita juga masih mengingat banyak hal manis yang dilakukannya bersama Arya. Di masa-masa terpuruknya dahulu kala, pria itulah yang selalu berada di samping Cita dan tidak lelah menyemangatinya.Jika dipikir lagi, pada dasarnya Arya adalah pria yang baik. Bahkan terlalu baik. Mungkin karena itulah, Arya bisa berempati pada Almira sehingga sempat melupakan perannya sebagai seorang suami kala itu.“Memang nggak ada yang berubah,” ujar Arya memperjelas. “Cuma diisi perabotan kantor sama yang penting-penting. Sisanya masih sama untuk menghemat pengeluaran. Kalau furniture lama, yang nggak dipake di jual dan yang masih bisa dipake di taruh di atas.”Cita mendekat k

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 79

    “Nggak selamanya, baik itu juga membawa hasil yang baik.” Cita masih saja mengingat perihal pembicaraan mereka pagi tadi dengan Almira. “Ih! Aku masih aja kesel kalau inget pagi tadi.”Sambil menyantap gimbab yang dipesan Cita, Arya hanya bisa mengangguk-angguk. Tidak berniat membahas kejadian tadi pagi, karena pasti akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Arya juga sudah berkali-kali mengaku salah dan tidak membela diri, karena sadar dengan perbuatannya dahulu kala.“Aak, Sayang,” ujar Arya menyodorkan satu potong gimbab ke mulut Cita dan langsung dilahap oleh gadis itu. “Barusan, aku minta bu Hana, sekretarisnya mas Qai ubah jadwal penerbangan.”“Apa dia ada ngubungin kamu lagi, Mas?” tanya Cita tidak mengacuhkan perkataan Arya. Sembari mengunyah, Cita tetap saja bicara karena hatinya masih tidak merasa tenang. “Almira?”“Tadi siang, aku sudah minta Ardi hubungi Almira untuk mengakhiri kontrak dan proses semuanya sampai selesai.” Meskipun masih ada rasa tidak tega, tetapi Arya h

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 80

    “Sayang, kenapa kamu mau pindah ke Singapur?” selidik Arya mengikuti saran Gemi. Ia akan bicara baik-baik dengan Cita, agar dapat mengetahui alasan di balik ajakan sang istri kemarin malam. “Kamu tahu, kan, kita sekarang sudah jadi suami istri? Jadi, aku mau kita saling terbuka supaya nggak ada salah paham lagi ke depannya.”Cita tidak langsung merespons pertanyaan dan perkataan Arya. Ada hal yang sebenarnya ingin ia utarakan, tetapi Cita tidak bisa mengolah kata-katanya. Untuk satu hal ini, mungkin hanya Sandra yang bisa mengerti.“Sayang?” tegur Arya karena keterdiaman Cita.Arya bisa melihat segaris beban dari tatapan sang istri. Namun, Cita sepertinya enggan membagi hal tersebut padanya. Atau, mungkin Cita belum siap mengatakan alasan di balik keinginannya pindah ke Surabaya.“Nggak papa kalau kamu nggak bisa bicara sekarang, tapi—”“Aku pengen bebas,” putus Cita yang sejak tadi bersandar pada beanbag di depan televisi. Sementara Arya, masih duduk melantai di meja tamu sambil meman

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 81

    “Tumben Papa di rumah pagi-pagi?” tanya Cita sembari menuruni tangga. “Nggak jalan-jalan?”“Off dulu,” jawab Harry mengalihkan pandangan dari berita yang ditontonnya di televisi. “Arya masih tidur?”Cita menggeleng dan berhenti di sudut tangga. Ia menoleh ke dapur sebentar dan melihat Sandra tengah berdiri di depan kompor. Ingin rasanya Cita menghampiri Harry, tetapi ia urungkan karena akan terasa canggung jika Sandra tidak ada di antara mereka. Selain itu, Cita juga tidak memiliki bahan yang harus diobrolkan sehingga ia masih terpaku di ujung tangga.“Mas Arya sibuk buat persiapan meeting sama pak Pras.”Harry mengangguk kecil sembari menepuk sisi kosong yang masih luas di sampingnya. “Duduk sini sebentar, temani Papa nonton berita.”“Em, nanti,” ucap Cita masih tidak melangkah ke mana pun. Bukannya tidak mau, tetapi Cita pasti merasa canggung jika harus berada bersama Harry tanpa Sandra. “Aku mau bikinin mas Arya susu sebentar.”“Sekalian buatkan Papa.” Harry tersenyum. Mencoba mengh

Bab terbaru

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 95 (FIN)

    Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 94

    “Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 93

    “Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 92

    “Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 91

    Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 90

    “Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 89

    “Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 88

    Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 87

    “Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A

DMCA.com Protection Status