“Kenapa dia tidak mau bangun?” tanya Mia dengan alis berkerut kepada sang manajer.
Tak tega melihat keresahan sang gadis, pria berpakaian rapi itu pun melangkah maju. Tanpa aba-aba, ia menjepit jempol kaki Julian dengan tangannya. Dalam sekejap, sang CEO tersentak dan menendang apa yang telah menariknya kembali dari dunia mimpi.
“Engh!” erangnya sembari menarik pelupuknya. Mata yang teramat merah sontak menyapa gadis yang terbelalak tak percaya.
“Tuan? Anda baik-baik saja?” desah gadis itu, membingungkan sang pria.
Melihat wajah sang kekasih begitu
Begitu membuka pintu, Mia tercengang karena Julian sudah berdiri di hadapannya. Namun, selang satu embusan napas tak percaya, ia menutup pintu dan berjalan tanpa menghiraukan sang pria. “Mia, aku tahu kalau kau masih marah kepadaku. Tapi, tolong jangan menganggap kabar dari Gabriella sebagai suatu kebohongan. No Name memang sedang berkeliaran dan akan lebih aman jika kita terus bersama,” bujuk Julian sambil mengimbangi kecepatan sang gadis. Malangnya, sang sekretaris sama sekali tidak tergerak untuk menjawab. Gadis itu bahkan menganggap Julian seolah tidak ada. Ketika berhenti berjalan, ia hanya menekan tombol segitiga dan menatap pintu dengan raut datar. “Mia ...” desah pria yang tak berani menyentuh kekasihnya. Ia hanya bisa berdiri dua langkah dari sang gadis, jarak yang dianggapnya aman untuk menjaga sekaligus memberikan kebebasan. Sadar bahwa sang sekretaris tidak akan menanggapi, Julian pun mengepalkan jari. “Baiklah. Jika kau tidak mau
Mia berkedip lambat memandangi Pegunungan Alpen yang membentang di hadapannya. Beberapa puncak tertutupi oleh putihnya salju, menambah keindahan yang menyejukkan hati. “Cantik sekali,” desah gadis itu sembari menaikkan sudut bibir. Rasa sesak yang menekan dada telah banyak berkurang. Dengan mata terpejam, Mia menarik napas dalam-dalam. Namun, meski kerongkongan tak lagi tersumbat, alisnya tetap menyisakan kerutan. Patahan pada hati sang gadis masih belum terobati dengan sempurna. “Tidak bisakah kau meninggalkan benakku? Aku ingin menikmati panorama ini,” batin Mia kepada bayang-bayang Julian. Malangnya, semakin lama gadis itu bersembunyi dalam gelap, semakin jelas wajah sang pria dalam ingatan. Tak ingin kembali dikuasai kesedihan, sang sekretaris pun mengembalikan penglihatan. Kini, giliran danau di dekat kaki gunung yang menghiburnya. Tepat pada saat itulah, Mia merasakan kehadiran seseorang di balik punggungnya. “Kenapa Anda masih mengikuti
“Sadarlah, Tuan! Anda sebenarnya ragu untuk meneruskan hubungan ini. Diam-diam, Anda memupuk harapan untuk bisa dekat dengan Nona Johnson,” desah Mia dengan suara yang teramat mengiris. Julian terpaksa menahan napas untuk meredakan kepedihan hati. “Karena itu, berhentilah mengarang kebohongan yang tidak masuk akal. Turuti keinginan Tuan Herbert untuk mendapatkan menantu terbaik. Lanjutkanlah perjodohan Anda dengan Nona Johnson!” Alih-alih menjawab, Julian malah beranjak dari kursi. Dengan gerak lambat, ia mulai menekuk lutut di hadapan sang gadis. Menyaksikan hal yang tak terduga semacam itu, air mata sontak berhenti mengalir. “Apa yang Anda lakukan?” tanya Mia dengan suara pelan dan tertekan. “Aku mohon ... maafkan aku,” ucap Julian dengan kepala tertunduk. “Maaf karena telah mengambil langkah yang tidak semestinya.” Sambil menggeleng, sang gadis mendesah. “Jangan memohon kepadaku. Aku bukanlah Tuhan.” “Tapi hidupku bergantung padamu,
Dengan mata yang tak henti menumpahkan kesedihan, Mia mengulangi pernyataan tulusnya. “Maafkan aku karena telah bersikap egois. Aku hanya memikirkan perasaanku sendiri. Padahal, Tuan jauh lebih menderita.” Mendengar ratapan sang kekasih, kekesalan Julian mendadak lenyap, tergantikan oleh rasa iba yang tak kalah menyesakkan. Sembari mendesah samar, pria itu akhirnya berpindah ke ruang kosong di samping sang gadis. “Mia,” panggilnya sambil menyentuh pundak yang bergetar hebat. “Maafkan aku, Tuan,” ucap sang gadis seraya menyembunyikan wajah di bawah bayang-bayang kepala. Ia malu menunjukkan kerutan di alis yang gagal diuraikan, ataupun hidung yang merah akibat terdesak penyesalan. Dengan lembut, Julian menangkup pipi sang kekasih. Perlahan-lahan, ia mengarahkan pandangan gadis itu untuk bertemu dengan matanya. “Aku tidak apa-apa. Asalkan kau tidak kabur lagi dariku, aku baik-baik saja,” angguk pria itu meyakinkan. “Tapi, aku sudah keterl
Mendapati sang gadis sedang merenung, Julian pun mendesah samar. Ia sadar bahwa perkataannya telah mengacaukan kegembiraan. “Hei, kau tidak perlu khawatir, Mia. Selama kita bersama, tidak akan ada yang terluka. Sekalipun penjahat itu menyerang, aku pasti bisa mengalahkannya.” “Apakah kau yakin? Penjahat itu sangat kuat dan tubuhnya ... jauh lebih besar,” ucap sang gadis diselimut keraguan. Sambil membelai rambut sang kekasih, Julian menarik sebelah sudut bibir. “Apakah kau tahu? Kekuatan pria bisa berlipat ganda saat melindungi seseorang yang dicintainya. Aku memilikimu, sedangkan penjahat itu tidak memiliki siapa-siapa. Aku tentu menang darinya.” “Benarkah?” desah Mia seolah tak percaya. “Ya, kau bisa menemukan artikel tentang pembuktiannya di internet,” celetuk Julian ringan. Tak ingin sang kekasih larut dalam keresahan, pria itu sontak menarik napas panjang dan mengembuskannya cepat. “Bukankah udara di sini sangat segar?” tanyanya,
Begitu memasuki kamar hotel, Julian bergegas memeriksa setiap sudut ruang. Dengan teliti, ia memastikan bahwa tidak seorang pun yang bersembunyi di sana, termasuk dalam lemari, bak mandi, dan juga di balik tirai. Balkon yang menghadap gunung juga tidak luput dari pengamatan. Setelah pemeriksaan selesai, barulah ia mengunci pintu dan mengganjalnya dengan kursi. “Apakah kita harus melanjutkan perjalanan yang menegangkan ini? Rasanya sama sekali tidak seperti liburan,” gumam sang gadis sembari menyeret koper ke sisi lemari. Kerutan kecil telah bersarang di pangkal alisnya sejak panggilan video Gabriella berakhir. “Sekarang tidak ada tempat yang aman, Mia. Sekalipun kembali ke Quebracha, kita juga tidak akan fokus bekerja. Rasa was-was pasti akan menghambat kinerja kita,” timpal Julian sembari mengelus lengan sekretarisnya. Setelah menarik napas panjang, mencoba memadamkan keresahan yang memberatkan jantung, sang sekretaris mengangguk. “Benar,” desahnya kecewa. K
“Apakah kau kedinginan?” bisik Julian sembari merapatkan selimut yang membungkus tubuh mereka. Sedetik kemudian, gadis dalam dekapannya menggeleng dan mengeratkan pelukan. “Tidak. Aku tidak pernah kedinginan saat berada di dekatmu.” “Tapi kita menghabiskan waktu terlalu lama di bathtub,” gumam sang pria, menyelipkan rasa bersalah. “Tidak masalah. Itu menyenangkan,” timpal Mia, sebelum mengulum senyum. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya bisa berbicara sesantai itu dengan sang CEO. “Begitukah?” desah sang pria seraya mengusap lengan kekasihnya agar tidak lagi dingin. “Baguslah.” Sembari menarik napas dalam-dalam, Mia mengulas kenangan yang sejak tadi berseliweran dalam benaknya. “Apakah kau masih ingat dengan semua ulahku dan Tuan Max?” tanya gadis itu setelah gagal menghitung kejahilannya. “Tentu saja. Aku heran kenapa kau mau menuruti perintah Max,” desah Julian setengah menggerutu. “Karena itu seru,” sahut
Begitu membuka mata, Mia langsung disapa oleh sisi ranjang yang hampa. Selang beberapa kedipan, gadis itu pun menegakkan kepala dan mulai mencari-cari. Setelah memeriksa ke beberapa arah, ia akhirnya menemukan sang kekasih sedang termenung di kursi yang menghadapnya. “Pagi sekali kau sudah bangun?” tanya Mia dengan suara serak. Meski pelupuk matanya masih berat, ia tetap beranjak meninggalkan bantal. Mendapat perhatian yang tak terduga, Julian pun tersentak. Begitu melihat sang gadis tersenyum padanya, pria itu ikut menaikkan sudut bibir. “Ya, aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi.” “Sejak kapan?” selidik Mia sembari menoleh ke jam dinding. “Sejam yang lalu,” sahut pria yang melihat ke arah yang sama. Sambil mengerutkan alis, sang gadis turun dari tempat tidur. Selang beberapa langkah, ia tiba di hadapan Julian dan mengusap kantong mata pria itu dengan lembut. “Apakah kau benar-benar tidak bisa tidur atau sengaja ingin berjaga-jaga?
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb