Beranda / Romansa / Cinta CEO dalam Jebakan / S2. 98. Merapatkan Selimut

Share

S2. 98. Merapatkan Selimut

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-08 16:32:45

“Apakah kau kedinginan?” bisik Julian sembari merapatkan selimut yang membungkus tubuh mereka.

Sedetik kemudian, gadis dalam dekapannya menggeleng dan mengeratkan pelukan. “Tidak. Aku tidak pernah kedinginan saat berada di dekatmu.”

“Tapi kita menghabiskan waktu terlalu lama di bathtub,” gumam sang pria, menyelipkan rasa bersalah.

“Tidak masalah. Itu menyenangkan,” timpal Mia, sebelum mengulum senyum. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya bisa berbicara sesantai itu dengan sang CEO.

“Begitukah?” desah sang pria seraya mengusap lengan kekasihnya agar tidak lagi dingin. “Baguslah.”

Sembari menarik napas dalam-dalam, Mia mengulas kenangan yang sejak tadi berseliweran dalam benaknya.

“Apakah kau masih ingat dengan semua ulahku dan Tuan Max?” tanya gadis itu setelah gagal menghitung kejahilannya.

“Tentu saja. Aku heran kenapa kau mau menuruti perintah Max,” desah Julian setengah menggerutu.

“Karena itu seru,” sahut

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 99. Menyimpan Kecemburuan

    Begitu membuka mata, Mia langsung disapa oleh sisi ranjang yang hampa. Selang beberapa kedipan, gadis itu pun menegakkan kepala dan mulai mencari-cari. Setelah memeriksa ke beberapa arah, ia akhirnya menemukan sang kekasih sedang termenung di kursi yang menghadapnya. “Pagi sekali kau sudah bangun?” tanya Mia dengan suara serak. Meski pelupuk matanya masih berat, ia tetap beranjak meninggalkan bantal. Mendapat perhatian yang tak terduga, Julian pun tersentak. Begitu melihat sang gadis tersenyum padanya, pria itu ikut menaikkan sudut bibir. “Ya, aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi.” “Sejak kapan?” selidik Mia sembari menoleh ke jam dinding. “Sejam yang lalu,” sahut pria yang melihat ke arah yang sama. Sambil mengerutkan alis, sang gadis turun dari tempat tidur. Selang beberapa langkah, ia tiba di hadapan Julian dan mengusap kantong mata pria itu dengan lembut. “Apakah kau benar-benar tidak bisa tidur atau sengaja ingin berjaga-jaga?

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-09
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 100. Tanda Cinta

    “Pantas saja Mia sangat peduli kepada Sebastian. Ternyata, mereka memang pernah dekat,” batin Julian di balik raut datarnya. Sembari menghela napas, pria itu melayangkan pandang ke arah bukit-bukit hijau yang memagari rerumputan. Lagi-lagi, pemandangan yang seharusnya mengundang decak kagum, gagal menyita perhatiannya. Jendela kaca yang dipasang di sepanjang gerbong seolah kurang besar untuk memuaskan mata sang CEO. “Bukankah ini sangat indah?” bisik Mia sembari menyandarkan kepala pada pundak sang pria. Dalam sekejap, Julian memaksakan senyum dan mengusap tangan yang kini tak bosan bertengger pada lekuk sikunya. “Ya. Ini sangat menyegarkan,” timpal pria itu menggunakan logika. “Jika Cayden datang ke sini, dia pasti ingin berlari di padang rumput itu mengejar domba-domba. Atau mungkin, dia akan berguling-guling dan membuat ibunya kewalahan,” gumam sang gadis sebelum tersenyum manis. Menyaksikan kebahagiaan sang kekasih, rasa bersalah p

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-09
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 101. Golden Hour

    “Wah,” desah gadis yang tak bisa memalingkan mata dari gunung berbentuk piramida dengan selimut salju di puncaknya. “Bukankah itu sangat indah?” gumamnya sambil menempelkan telapak tangan pada dinding kaca di hadapannya. “Bagaimana, Mia? Apakah gunung itu sama persis dengan yang ada di bungkus cokelat favoritmu?” bisik Julian sembari membungkus punggung sang kekasih dengan tubuhnya. “Ya,” angguk gadis itu dengan mata berkaca-kaca. “Orang yang menggagasnya pasti sangat cerdas.” Sambil tertawa kecil, Julian mengecup kepala sang kekasih. “Apakah kau sudah tidak sabar ingin naik ke atas sana?” “Ya. Sepertinya, malam ini aku tidak akan bisa tidur karena saking antusiasnya,” timpal gadis yang masih belum melepas puncak lancip Matterhorn dari pandangan. “Bagaimana kalau kita tunda saja keberangkatan kita ke Gornergrat? Besok pagi, kita langsung ke atas sana,” usul Julian, sontak membuat Mia berbalik menghadapnya. “Apakah kau serius?” d

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-10
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 102. Mari Berbuat Dosa

    Dengan tangan yang gemetar, Julian memperlihatkan isi kotak kepada sang gadis. Setelah menghela napas, mengurangi kegugupan yang menggelitik hati, ia berkata, “Mia Sanders, mengenalmu adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidupku. Kuharap, kau tidak keberatan untuk terus menjadi alasanku tersenyum di pagi hari, bersemangat saat bekerja, dan berdebar saat malam tiba.”Dengan mata berkaca-kaca dan mulut yang kebingungan memilih kata, Mia menggeleng-geleng tak percaya. Tidak tahu harus melakukan apa, gadis itu akhirnya menghela napas pendek dan memiringkan kepala, menatap Julian dengan penuh keharuan.“Aku tahu lamaran ini memang sedikit terlambat. Tapi, aku ingin kau tahu bahwa Julian Evans sungguh ingin menjadi laki-laki yang terbaik untukmu. Aku rela menjadi apa saja untuk membuatmu bahagia. Pria yang romantis, penuh perhatian, pemberani, dan dapat diandalkan. Aku akan selalu berusaha, Mia.”Melihat kesungguhan Julian, sang gadis pun

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-11
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 103. Pagi yang Membara

    Ketika membuka mata, lagi-lagi Mia tidak melihat keberadaan Julian. Sambil mengerutkan alis, gadis itu meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. “Kenapa badanku sakit semua?” pikirnya, belum sadar penuh. Tepat saat ia hendak mengangkat kepala mencari sang kekasih, ingatan tentang semalam tiba-tiba melintas dalam benaknya. Dalam sekejap, mata gadis itu terbelalak dan mulutnya pun terbuka lebar. “Astaga! Kami benar-benar melakukannya?” batin Mia dengan alis terangkat maksimal. Selang satu kedipan, gadis itu mengintip ke balik selimut. Tubuh yang penuh dengan jejak cinta sang CEO sontak membangkitkan rasa malu. Tanpa berpikir panjang, ia mencengkeram selimut dan menariknya hingga menutupi setengah wajah. Sambil membenamkan diri lebih dalam pada ranjang, Mia mengulas apa saja yang mereka lakukan sebelum terlelap. Ia ingat betapa gagahnya Julian, betapa tak berdaya dirinya, dan betapa aneh suara yang ia keluarkan setiap laki-laki itu melambungkan

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-13
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 104. Terlalu Keras

    “Julian,” bisik Mia ketika mereka baru beberapa langkah keluar dari hotel, “apakah cara berjalanku aneh?” Dengan alis berkerut, sang pria menundukkan kepala, memperhatikan gerak kaki gadis di sampingnya. Selang beberapa saat, ia menggeleng samar. “Tidak. Ada apa?” “Aku merasa ... sedikit tidak nyaman,” ujar Mia sambil meringis kecil. Mengerti dengan apa yang dimaksud oleh sang kekasih, Julian sontak mengulum senyum. “Apakah aku terlalu keras padamu?” tanyanya tepat di pintu telinga sang gadis. Dengan pipi yang agak menggembung, Mia berkedip-kedip mengatasi kecanggungan. “Tidak juga,” jawabnya pelan. “Tapi, entah kenapa ... rasanya agak aneh.” Gemas dengan tingkah kekasihnya, Julian pun mendenguskan tawa. Sambil mengusap lengan sang gadis, pria itu kembali mendekatkan bibirnya. “Sepanjang pengetahuanku, hal itu memang wajar bagi wanita yang baru pertama kali melakukannya.” “Apakah kau lupa? Sebelum ini, kita sudah pernah melakukannya. S

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-13
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 105. Seindah Salju Abadi

    “Apakah kau takut?” bisik gadis yang menyadari bahwa wajah sang kekasih sudah mulai memucat. “Tidak,” sahut Julian datar, tanpa bergerak sedikit pun. Kepalanya terlalu tegang untuk bisa digelengkan. Sembari mengulum senyum, Mia pun menggenggam tangan sang pria. “Cobalah untuk tidak menghitung ketinggiannya! Fokus saja pada pemandangan yang tidak akan pernah dijumpai di tempat lain,” ucap gadis itu, menanamkan sugesti. Sedetik kemudian, ia menunjuk ke luar jendela. Mereka baru saja melewati daun tertinggi dari sebatang pohon. “Lihatlah! Kapan lagi kita bisa sejajar dengan puncak pinus? Bukankah ini sangat keren?” Alih-alih memperhatikan arah telunjuk sang kekasih, Julian hanya melirik sekilas dan mengangguk. “Ya. Sangat keren,” desah pria yang harus hemat oksigen. Ia sadar bahwa tempat yang mereka tuju akan lebih tinggi dari gondola beberapa waktu lalu. Merasa dirinya gagal menenangkan Julian, Mia pun menghela napas samar.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-14
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 106. Pertemuan Tak Terduga

    Usai mengamati setiap bentuk pahatan es di istana gletser, Julian dan Mia akhirnya kembali menyapa alam terbuka. Dari peron yang memiliki ketinggian 3.883 meter di atas permukaan laut, pemandangan puncak pegunungan bersalju tampak lebih jelas. Hal itu sontak memukau sang gadis sekaligus menghambat peredaran darah sang pria. “Ini sangat luar biasa, Julian,” desah Mia sembari merentangkan tangan dan menghirup udara dalam-dalam. Gadis itu sama sekali tidak terdampak pada atmosfer yang lebih tipis dari biasanya. Sementara itu, Julian masih berjuang mengusir rasa takut. Dengan tangan terkepal erat, ia memaksa keceriaan untuk tetap melekat pada wajahnya. “Benar. Kalau saja kau masih memiliki cincin, aku pasti akan melamarmu lagi,” gurau pria itu, berusaha mengalahkan kekakuan dalam sel-sel tubuhnya. Selang satu tawa kecil, Mia menggeleng lambat. “Tolong jangan lakukan itu lagi. Hatiku bisa melambung menembus awan saking terharunya,” celetuk gadis itu sambil

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-15

Bab terbaru

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

DMCA.com Protection Status