“Amber?” desah Mia, tak menyangka jika mantan kekasih suaminya itu berani bergabung dalam percakapan mereka.
“Tidak perlu terkejut begitu, Mia. Kau membuatku merasa tidak layak berada di sini” gerutu sang tamu seraya mengerutkan alis.
Tak ingin wanita bergaun cokelat muda itu tersinggung, Mia sontak menggelengkan kepala dan melambaikan tangan. “Bukan begitu. Tentu saja Anda pantas berada di sini. Kau adalah teman kami,” ucapnya dengan mata lebar.
“Begitukah?” timpal Amber seraya memiringkan kepala. Sedetik kemudian, senyum manis terukir di wajahnya. “Terima kasih karena telah menganggapku sebagai teman.”
Selang keheningan sesaat, wanita itu mengalihkan pandangan kepada sang kepala pelayan. Dalam sekejap, sorot matanya berubah lebih hangat. “Maaf telah memotong pembicaraan Bibi. Tapi, bolehkah aku berbicara dengan Mia dan Julian? Aku tidak bisa berlama-lama di acara ini.”
Tak menduga akan mendengar ucapan sopan dari seorang Amber Lim, Minnie sp
“Apakah kau sedih karena ditinggal oleh teman-temanmu?” tanya Julian kepada wanita yang berjalan lambat di sampingnya. “Ya. Kemarin Amber sudah berangkat dan hari ini Gaby sekeluarga. Satu-satunya teman yang tersisa hanyalah model yang super sibuk itu. Kau tahu? Dia kebanjiran proyek sejak digosipkan denganmu,” sahut Mia seraya melirik ke arah sang suami dengan ekspresi datar. “Apakah saya bukan teman Anda, Nyonya?” sela seorang pelayan muda yang memunculkan kepala dari balik pundak sang majikan. Melihat mata bulat yang memancarkan kekecewaan, Mia sontak mengembuskan tawa. “Tentu saja kau temanku, Lena. Kalau tidak ada dirimu, aku pasti semakin kesepian, apalagi saat Julian sedang menghadiri rapat bersama Alice.” Mendapat jawaban yang melegakan, raut wajah sang pelayan seketika kembali cerah. “Saya juga kesepian jika tidak ada Nyonya. Kalau Anda sedang berduaan dengan Tuan, saya hanya ditemani oleh ponsel.” “Bukankah kau memiliki banyak teman
“Apakah Anda gugup, Nyonya?” tanya sang dokter dengan tatapan fokus pada layar di hadapannya.Berbeda dengan sebelumnya, Mia kini dapat menggeleng tanpa beban. “Tidak, Dok. Kami sudah sepakat untuk tetap bersemangat apa pun hasilnya.”Dengan lengkung bibir semringah, wanita berjas putih mengangguk. “Baiklah ..., kalau begitu, mari kita lihat,” gumamnya seraya mempertajam fokus.Tanpa mengucap apa-apa, Julian menggenggam tangan Mia lebih erat. Begitu sang istri menoleh, pria itu hanya mengembuskan napas cepat.“Apakah kau gugup?” bisik si wanita hamil dengan alis terangkat tak percaya.“Entah kenapa, jantungku berdebar sangat cepat,” sahut sang pria dengan volume suara yang sama. “Mungkin karena terlalu senang. Ini anak pertama kita.”Sambil mendesahkan tawa samar, Mia mengelus tangan sang suami dengan ibu jari. Setelah mendekatkan bibir ke telinga pria di sampingnya, wan
“Juyan? Miya?” sahut sang bayi dengan suara kecil yang melengking. Mendapat respon yang sangat menggemaskan, si wanita hamil sontak melepas tawa. “Apa kabar, Cayden?” “Fine ...” jawab Pangeran Kecil sembari mengangguk hingga hampir membentur kamera. Mendengar kemajuan bicara sang bayi, Julian otomatis mendesah. “Astaga, keponakanku sungguh pintar.” Merasa dirinya dipuji, Cayden otomatis tertawa. Dengan kedua tangan memegang ponsel, ia tidak bisa menutupi deretan gigi mungil yang menambah kesan lucu pada dirinya. “Di mana Mama dan Papa-mu, Pangeran Kecil?” tanya Mia sembari mengangkat alis. Ia bingung karena Gabriella tak kunjung mengambil alih ponsel dari sang bayi. Bukankah Cayden dilarang menatap layar yang menyala tanpa pengawasan demi menjaga kesehatan mata? “Mama Papa piping,” jawab sang bayi seraya melihat ke arah lain. Mendapat jawaban yang kurang jelas, Julian sontak bertatapan dengan istrinya. “Apa katan
“B-bukankah itu peramal yang dulu?” gumam si wanita hamil dengan napas tertahan. Matanya bergetar selagi kengerian melingkupi pikiran. Sadar bahwa sekujur tubuh Mia telah berubah tegang, Julian sontak memindahkan tangannya untuk menggosok lengan dingin sang istri. “Ya, dia memang peramal waktu itu. Tapi, kau tidak perlu khawatir. Kali ini, kita tidak usah menggubris omongannya. Ayo berjalan seolah menganggapnya tak ada.” Mendengar sugesti sang suami, Mia pun menelan ludah. Setelah menghirup napas dalam-dalam, ia mengangguk. “Baiklah,” desahnya sembari mengeratkan genggaman. Sedetik kemudian, pasangan itu lanjut melangkah. Keduanya sama-sama menghindar dari tatapan si peramal. Julian memandang ke arah samping, sedangkan Mia berpura-pura sibuk mengamati gerak kaki. Paham dengan apa yang sedang dilakukan oleh majikannya, Lena pun turut menyibukkan mata. “Siapa sebenarnya perempuan itu, Nyonya?” bisik si pelayan muda selagi mengatur ulang tas yang ditente
“Kenapa kau tidak mengajak Lena ke sini?” tanya Julian sembari menoleh ke arah wanita yang berjalan di sisinya. Dalam sekejap, Mia berhenti memperhatikan susunan mawar kuning dan putih di tangannya. Sembari menaikkan sudut bibir, ia membalas tatapan teduh sang suami. “Aku sedang membutuhkan privasi. Tanpa Lena, kita bisa berbincang lebih bebas dan menyampaikan apa saja kepada Papa,” ucap wanita itu, sukses menerbitkan rasa bangga dalam hati sang pria. “Kau memang istri yang sangat pengertian, Mia,” puji Julian sembari mengusap punggung si wanita hamil. Seraya melebarkan senyuman, Mia mengalungkan sebelah lengan ke pinggang sang pria dan menyandarkan kepala sejenak di pundak lebar suaminya itu. “Aku tahu, kau pasti malu jika Lena melihat air matamu.” Tak menduga sang istri dapat meledek seperti itu, tawa hambar spontan terlepas dari mulut Julian. “Kau berpikir aku akan menangis tersedu-sedu, hm?” Ditemani tawa kecil, Mia mengangguk. “Ya
“Tidak apa-apa. Kau masih dalam proses belajar. Suatu saat nanti, kau pasti akan menjadi sangat tegar,” bisik sang wanita, menanamkan sugesti. Sembari mengangguk, Julian memejamkan mata dan menghirup napas dalam. Aroma rambut Mia selalu berhasil menenangkan kegundahan hati. Namun, belum sempat pasangan itu mengendurkan dekapan, ponsel dalam saku sang pria tiba-tiba berdering. Merasa terusik, Julian sontak meringis. “Siapa yang menelepon di saat yang tidak tepat seperti ini?” gerutu sang CEO, membuat Mia mengulum tawa. Namun, begitu mata sang wanita menangkap nama yang muncul pada layar, keheranan sontak membebani alisnya. Keceriaan tidak lagi terukir di wajahnya. “Kenapa Alice menelepon di akhir pekan begini?” bisiknya tanpa berkedip. Setelah menggeleng samar, Julian menerima panggilan. “Ada apa, Alice?” tanya CEO itu di bawah kerutan alis. “Selamat pagi, Tuan. Maaf mengganggu waktu santai Anda,” sapa si sekretaris kedua dengan nada cemas. “Ad
“Siapa itu, Nyonya?” bisik Lena, penasaran dengan ponsel Mia yang baru saja berdering. “Gabriella,” sahut sang wanita sambil mengangkat alis. Seketika, si pelayan muda menyedot udara dari mulutnya. “Apakah mereka diam-diam sudah kembali?” desahnya penuh harap. Sembari menaikkan bahu singkat, Mia menerima panggilan. Ia tidak ingin terlalu berharap. “Ada apa, Gaby?” sapanya ramah. “Mia, apakah kau sedang di kantor?” tanya wanita dari seberang ponsel dengan nada ceria. “Ya. Kami baru saja kembali dari membeli makan siang. Jadi, kenapa kau menelepon di jam ini? Bukankah di sana sudah hampir tengah malam?” selidik si wanita berperut buncit sambil melirik ke arah pelayan yang menanti kabar darinya. Tiba-tiba saja, suara tawa Gabriella terdengar renyah. “Tengah malam? Di sini matahari sedang terik. Cayden bahkan senang masih sempat melihat bunga-bunga musim ini.” Dalam sekejap, helaan napas lega berembus dari mulut si wanita hamil. “T
“N-nyonya Evans?” desah wanita yang mendadak pucat. Keringat dingin mulai membutir di keningnya. “Apakah kau yakin bahwa kinerjamu bagus?” tanya Mia dengan nada menantang. Semua yang mendengar suara lantangnya spontan menelan ludah. Mereka belum pernah melihat Nona Sekretaris segarang itu. Bukankah Mia Sanders adalah wanita pendiam yang anggun? Apakah semenjak mengganti nama menjadi Mia Evans, wanita itu tertular kegalakan sang CEO? “T-tentu saja, Nyonya. Saya tidak pernah mendengar keluhan dari atasan ataupun mendapat teguran. Semua tugas selalu saya kerjakan tepat waktu dengan hasil yang memuaskan,” jawab wanita yang mendadak ciut. Dagunya sudah tidak menantang langit, sementara pundaknya turun terbebani kekhawatiran. Tanpa mengubah sorot mata tajamnya, Mia menggeser pandangan menuju karyawan yang berambut lebih panjang. “Apakah yang dia katakan benar? Belum pernah ada yang menegurnya?” Sambil meringis, wanita yang bergeser menjauhi rekannya