“Tidak apa-apa. Kau masih dalam proses belajar. Suatu saat nanti, kau pasti akan menjadi sangat tegar,” bisik sang wanita, menanamkan sugesti.
Sembari mengangguk, Julian memejamkan mata dan menghirup napas dalam. Aroma rambut Mia selalu berhasil menenangkan kegundahan hati. Namun, belum sempat pasangan itu mengendurkan dekapan, ponsel dalam saku sang pria tiba-tiba berdering. Merasa terusik, Julian sontak meringis.
“Siapa yang menelepon di saat yang tidak tepat seperti ini?” gerutu sang CEO, membuat Mia mengulum tawa.
Namun, begitu mata sang wanita menangkap nama yang muncul pada layar, keheranan sontak membebani alisnya. Keceriaan tidak lagi terukir di wajahnya. “Kenapa Alice menelepon di akhir pekan begini?” bisiknya tanpa berkedip.
Setelah menggeleng samar, Julian menerima panggilan. “Ada apa, Alice?” tanya CEO itu di bawah kerutan alis.
“Selamat pagi, Tuan. Maaf mengganggu waktu santai Anda,” sapa si sekretaris kedua dengan nada cemas. “Ad
“Siapa itu, Nyonya?” bisik Lena, penasaran dengan ponsel Mia yang baru saja berdering. “Gabriella,” sahut sang wanita sambil mengangkat alis. Seketika, si pelayan muda menyedot udara dari mulutnya. “Apakah mereka diam-diam sudah kembali?” desahnya penuh harap. Sembari menaikkan bahu singkat, Mia menerima panggilan. Ia tidak ingin terlalu berharap. “Ada apa, Gaby?” sapanya ramah. “Mia, apakah kau sedang di kantor?” tanya wanita dari seberang ponsel dengan nada ceria. “Ya. Kami baru saja kembali dari membeli makan siang. Jadi, kenapa kau menelepon di jam ini? Bukankah di sana sudah hampir tengah malam?” selidik si wanita berperut buncit sambil melirik ke arah pelayan yang menanti kabar darinya. Tiba-tiba saja, suara tawa Gabriella terdengar renyah. “Tengah malam? Di sini matahari sedang terik. Cayden bahkan senang masih sempat melihat bunga-bunga musim ini.” Dalam sekejap, helaan napas lega berembus dari mulut si wanita hamil. “T
“N-nyonya Evans?” desah wanita yang mendadak pucat. Keringat dingin mulai membutir di keningnya. “Apakah kau yakin bahwa kinerjamu bagus?” tanya Mia dengan nada menantang. Semua yang mendengar suara lantangnya spontan menelan ludah. Mereka belum pernah melihat Nona Sekretaris segarang itu. Bukankah Mia Sanders adalah wanita pendiam yang anggun? Apakah semenjak mengganti nama menjadi Mia Evans, wanita itu tertular kegalakan sang CEO? “T-tentu saja, Nyonya. Saya tidak pernah mendengar keluhan dari atasan ataupun mendapat teguran. Semua tugas selalu saya kerjakan tepat waktu dengan hasil yang memuaskan,” jawab wanita yang mendadak ciut. Dagunya sudah tidak menantang langit, sementara pundaknya turun terbebani kekhawatiran. Tanpa mengubah sorot mata tajamnya, Mia menggeser pandangan menuju karyawan yang berambut lebih panjang. “Apakah yang dia katakan benar? Belum pernah ada yang menegurnya?” Sambil meringis, wanita yang bergeser menjauhi rekannya
“Apa yang tadi kalian diskusikan, Julian? Kenapa wajah Alice masam begitu?” tanya Mia dengan senyum yang dipaksakan. Sang suami tidak boleh tahu bahwa ia sedang tidak nyaman dengan tekanan dalam perutnya. Mendapat pertanyaan semacam itu, Julian cepat-cepat mengalihkan tatapan dari tablet dan memasang tampang lugu. “Aku tidak memarahinya—hanya memberi saran untuk bekerja sedikit lebih teliti,” jawabnya datar. Sambil berjalan menuju meja sang suami, Mia menaikkan alis. “Bukankah Alice sudah banyak berkembang? Kerjanya jauh lebih cepat dan rapi.” “Ya, tapi masih belum cukup teliti. Masih ada berkas yang tidak dia susun sesuai dengan skala prioritas,” sahut sang CEO seraya beranjak dari kursi. Setelah mengitari meja, ia mendaratkan kecupan hangat di kening Mia. “Jadi, apa yang kau beli untuk siang ini?” Sembari menekan pinggang, si wanita hamil melirik ke samping. Tanpa aba-aba, Lena menunjukkan isi tentengan. “Kami membeli roti lapis,” ujar Mia s
“Bagaimana detak jantung janin?” tanya sang dokter dengan alis berkerut. “Masih aman, Dok.” Selang satu kedipan, wanita berpakaian hijau itu mempertemukan pandangan dengan wanita yang sudah sangat pucat. “Apakah Anda masih kuat, Nyonya?” Di sela desah yang tak beraturan, Mia mengangguk lemah. “Ya.” “Kalau begitu, mari kita coba sekali lagi. Kali ini, kerahkan seluruh tenaga Anda,” ujar sang dokter diiringi anggukan meyakinkan. “Anda pasti bisa.” Selagi si petugas medis kembali duduk di kursi, Julian membelai rambut sang istri yang telah basah oleh keringat. Mata pria yang juga berpakaian hijau itu telah terlapisi air mata. “Ayo, Mia. Aku tahu kau kuat. Putri Kecil sudah tidak sabar ingin bertemu kita.” Sedetik kemudian, Mia menjawab lewat gerak kepala. Ia harus menghemat energi untuk bisa mengeluarkan bayi yang terus menekan panggulnya. “Mulai atur napas lagi,” tutur sang dokter, mengeratkan kepalan tangan pasiennya. “Tarik nap
“Grace memiliki mata yang sangat indah, Julian,” desah Mia kagum. Sebelumnya, ia menduga bahwa sang bayi akan bermata gelap seperti dirinya. “Tunggulah sampai warnanya berubah menjadi hazel. Kau akan semakin terpukau,” gumam sang pria sambil tersenyum simpul. “Kau sedang memuji Putri Kecil atau dirimu sendiri?” selidik wanita yang kini menyipitkan mata. Setelah tertawa ringan, Julian kembali mengecup kepala istrinya. “Aku tidak mengatakan kalau Grace mewarisi mataku.” “Kau menyatakannya secara tersirat,” protes Mia sebelum mengembalikan fokus kepada putrinya. Selang satu tarikan napas panjang, lengkung bibir wanita itu kembali melebar. “Tapi aku senang Putri Kecil memiliki warna mata yang sama denganmu.” “Kenapa?” tanya sang pria sembari meninggikan alis. “Warna hazel selalu berhasil mencuri hatiku,” sahut Mia, sukses mengundang desah tawa suaminya. Tanpa mereka ketahui, tiga orang yang mengintip ikut tersenyum. Tak ingin mengg
“Kenapa kau menatap Grace seperti itu, Pangeran Kecil?” tanya wanita yang tidak bisa berhenti tersenyum. Wajah putranya terlalu menggemaskan dengan mata bulat yang berbinar dan mulut mungil yang terbuka tanpa kata.Selang satu kedipan, Cayden akhirnya mengalihkan pandangan dari sepupunya. Kini, kedua alis bayi laki-laki itu terangkat penuh semangat di hadapan sang ibu yang juga duduk di tepi kasur.“Ace kecil,” bisiknya, seolah takut membangunkan sang adik.Mendengar pernyataan itu lagi, Gabriella sontak mendesahkan senyum. “Ya, Grace kecil karena dia baru berumur satu minggu. Karena itu pula, kau harus menjaganya dengan baik. Mengerti?”Masih dengan ekspresi yang sama, Cayden kembali menjatuhkan mata pada bayi yang mengenakan baju putih bermotif bunga-bunga dan matahari. Selang keheningan sejenak, ia tiba-tiba tertawa kecil.Menyaksikan keceriaan yang begitu mendadak, Mia sontak melengkungkan bibir dan mengerutk
Cayden tertawa cekikikan ketika berhasil lolos dari tangkapan Max. Bayi mungil itu tidak peduli dengan wajahnya yang memerah ataupun keringat yang mengucur dari sela anak rambutnya. Ia hanya ingin terus berlari, membiarkan butiran pasir menggelitik telapak kaki. Selagi angin membawa aroma laut yang melekat pada kulit, Pangeran Kecil tidak akan bosan menggetarkan udara dengan keceriaan. “Cacacaca!” pekiknya mengalahkan deburan ombak. Mendengar seruan gembira itu, seorang wanita berpakaian tipis yang sedang duduk di atas tikar pun ikut tertawa. Ia senang menyaksikan semangat putranya yang tak pernah padam. “Pangeran Kecil, kemarilah! Saatnya menambahkan sunscreen di kulitmu,” seru Gabriella, sukses mengubah arah laju sang bayi. Selang beberapa saat, Cayden akhirnya berhenti menggerakkan kaki-kaki kecilnya dan membenamkan diri ke dalam pelukan sang ibu. Menyaksikan hal itu, Max langsung menjatuhkan diri ke sisi sang istri. Sambil berselonjor, ia
“Woah!” desah Cayden saat menapakkan kaki di rumah kedua. Itulah pengalaman pertamanya memasuki bangunan berdinding transparan dengan pemandangan laut lepas. Sambil tersenyum lebar, bayi mungil itu melangkah cepat menuju salah satu sudut ruangan. Setelah menempelkan telapak tangan dan jidat ke kaca, ia mengamati nuansa biru yang sangat berbeda dengan tempat asalnya. “Kurasa, keputusanmu untuk menginap di hotel terlebih dahulu sangatlah tepat, Max. Jika kita langsung datang ke sini dalam keadaan jetlag, Pangeran Kecil tidak akan seantusias ini,” bisik Gabriella seraya menyandarkan kepala pada pundak suaminya. “Aku selalu menginginkan yang terbaik untuk kalian, Gaby,” sahut sang pria seraya menggosok lengan istrinya dan meninggikan sudut bibir. Selang satu helaan napas, sang wanita mendongakkan wajah dan menunjukkan ekspresi penuh cinta. “Kau tahu? Aku juga senang karena kau sudah menyewa seseorang untuk membersihkan rumah ini sebelum kita data
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb