“Jadi, kabar tentangmu dan model terkenal itu tidak benar?” selidik Amber sembari menarik cangkir berisi cokelat hangat ke hadapannya.
“Ya, itu hanya kesalahpahaman,” angguk Julian sembari meninggikan alis sekilas.
“Percaya atau tidak, sejak awal aku sudah curiga dengan kebenaran berita itu. Mengingat betapa setianya kau kepadaku dulu membuatku ragu kalau kau tega mengkhianati Mia seperti itu,” celetuk sang wanita, sama sekali tidak mempertimbangkan konsekuensi dari ucapannya.
Meski Amber sudah mengikhlaskan masa lalu, sang sekretaris masih belum memandangnya begitu. Sembari menahan kekhawatiran, gadis itu memaksakan bibir untuk melengkung.
“Aku memang bodoh sempat meragukan kesetiaan Julian padaku,” gumam Mia, menyamarkan kecemburuan yang baru bertumbuh.
Sedetik kemudian, Amber mendengus seolah mencemooh ucapan sang sekretaris. “Kau hanya akan membuang energi jika mencurigai Julian seperti itu. Dia bukanlah laki-laki yang gampang berpindah ke
“Kau sangat mencintai gadis itu, hm?” gumam Amber, menyita perhatian. Setelah menggeser tatapan ke arah sang wanita, Julian mengangkat sebelah sudut bibir lebih tinggi. “Sangat,” sahutnya sambil kembali duduk. “Melebihi cintamu kepadaku dulu?” tanya Amber, terdengar jelas menyelipkan kekecewaan. “Ya,” angguk Julian tanpa ragu. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman lagi di antara mereka. Sambil menjaga bibir tetap melengkung, sang wanita mengangguk-angguk. “Tentu saja. Gadis itu tidak pernah menyakitimu,” ujarnya, kental dengan penyesalan. Selang satu helaan napas cepat, Amber kembali mengangkat dagu. “Sekarang, karena Mia tidak di sini, kau bisa menjawab dengan jujur. Seandainya saat itu, kau tahu bahwa aku memang mencintaimu, apakah kau akan memberiku kesempatan terakhir?” Dalam sekejap, keheningan mengudara. Lewat tatapannya yang datar, Julian mengamati raut wajah sang mantan kekasih. “Apakah kau diam-diam berharap dapat menggeser posisi
Dengan napas yang bergemuruh, Julian melihat ke sana kemari. Pria itu berharap dapat melihat calon istrinya di sekitar situ. Malangnya, berapa kali pun ia memeriksa setiap wajah, tidak ada satu pun yang mampu meredakan kekhawatiran. “Tidak,” desahnya sembari menggeleng samar. Sang pria masih berusaha menyangkal kenyataan bahwa Mia telah lolos dari pengawasannya. Mengetahui kepanikan si mantan kekasih, Amber sontak memiringkan kepala. “Ada apa, Julian? Kenapa kau ketakutan seperti ini?” Dengan bola mata bergetar hebat, sang pria membalas tatapan yang penuh tanya itu. “Mia,” sahutnya samar. Setelah menelan ludah, ia akhirnya melangkah maju dan mencengkeram lengan sang wanita. “Kita harus segera menemukannya. Dia sedang berada dalam bahaya!” “Apa maksudmu?” tanya Amber tanpa berkedip. Matanya jelas memancarkan keheranan. “Jangan panik dulu, Julian! Mungkin saja, dia sedang—” “Mia tidak mungkin pergi tanpa mengabariku!” hardik Julian, tida
“Hentikan omong kosong Anda, Nyonya! Istriku bukan penculik. Kenapa tidak kau tenangkan dulu putrimu itu agar kita bisa mendengar keterangan darinya?” tanya Julian lantang. Mendapat tantangan semacam itu, si ibu muda sontak menelan ludah dengan susah payah. “Anakku menangis karena takut pada perempuan ini. Apa lagi yang ingin kau ketahui? Semuanya sudah jelas,” sangkalnya dengan suara serak. Sedetik kemudian, wanita itu berlutut di hadapan putrinya. Setelah mengalungkan kamera di leher, barulah ia membelai kepala sang anak. “Tenang saja, Audrey. Ibu tidak akan membiarkan orang jahat mendekatimu lagi. Sekarang, berhentilah menangis.” Alih-alih mereda, isak tangis si gadis kecil malah semakin membahana. Tanpa menurunkan tangan dari depan mata, ia menggeleng-geleng. “Lihatlah betapa takutnya putriku ini! Bagaimana mungkin kalian bisa percaya kalau perempuan ini bukan penculik?” seru si ibu muda dengan mata yang membara. “Tentu saja anak itu ketak
Mengetahui alasan paniknya laki-laki itu, Mia pun termenung. Selang keheningan sejenak, ia akhirnya menghela napas samar. “Maaf, aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu panik.” Dengan senyum minim, Julian mengangguk. “Tidak apa-apa. Aku tahu kalau kau hanya ingin menolong gadis kecil tadi. Tapi,” ucap pria itu sambil mengacungkan telunjuk, “mulai detik ini, jangan pergi tanpa kabar. Aku tidak mau menggila lagi karena takut kehilanganmu.” “Baiklah, aku akan mengingatnya baik-baik,” sahut Mia seraya berkedip tegas. “Jangan hanya diingat, Mia, tapi dilaksanakan,” celetuk sang pria sembari membetulkan topi sang kekasih. Lewat lengkung bibir yang tipis, sang gadis mengekspresikan penyesalan. “Ya, aku tidak akan pergi ke mana-mana tanpamu lagi.” “Bagus,” desah Julian sebelum menarik kepala sang gadis untuk bertemu dengan bibirnya. Selagi pasangan itu saling mengusap punggung, seorang wanita yang sedari tadi menyimak percakapan mereka tiba-
“Sayang sekali Nona Amber tidak ikut turun bersama kita. Padahal, kita bisa berbincang lebih lama di cable car,” gumam Mia sembari menoleh ke arah pria yang berjalan di sampingnya. “Mungkin, dia tidak ingin mengganggu kita lagi. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan salju di atas sana,” timpal Julian seraya menaikkan sudut bibir dan mengusap lengan gadis yang tidak lagi mengenakan topi rajut. Udara sudah tidak sedingin di istana gletser. “Sekarang, kita kembali ke hotel?” sambung pria itu meminta konfirmasi. Alih-alih mengangguk, sang gadis malah berkedip datar. “Kalau aku ingin ke toko cokelat, apakah masih sempat? Aku sudah berjanji untuk membawakan cokelat yang banyak untuk Cayden.” Sembari mengerucutkan bibir, Julian mengerutkan alis sejenak. “Kurasa tidak masalah. Selagi kau berbelanja, aku bisa mencari tiket untuk kita berdua.” “Baiklah. Kalau begitu, ayo bergegas ke sana! Kita masih harus mengemas koper dan kereta menuju ban
“Apakah semua sudah siap?” tanya Julian setelah menurunkan koper dari tempat tidur dan menarik gagangnya. “Ya,” sahut Mia seraya menutup ritsleting, “sudah. Tasku jadi lebih penuh dibandingkan dengan saat berangkat kemari.” Sambil membantu sang kekasih menurunkan koper yang menggembung, Julian menyunggingkan senyum. “Aku yakin, Cayden akan senang ketika melihatmu membuka koper.” “Kuharap begitu. Jika tidak, aku akan sangat kecewa,” gurau sang gadis sebelum menghela napas cepat. “Mari kita pulang!” ucapnya sembari mengangguk yakin. Ia enggan menunjukkan kerinduan yang mulai tumbuh dalam hati. Mengetahui perasaan yang disembunyikan oleh Mia, sang pria spontan melebarkan senyum. “Setelah menikah nanti, mari kita kembali ke sini untuk berbulan madu. Kita bisa melanjutkan perjalanan yang terputus ini.” “Itu ide yang sangat bagus, Julian,” gumam sang gadis seraya membentuk lengkung kecil dengan bibirnya. “Ya, aku tahu,” desah sang pria semba
“Apakah kau gugup?” bisik Julian saat mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki area bandara. Sambil mengeratkan genggaman, Mia menelan ludah. “Sedikit,” sahut gadis itu dengan suara lemah. Menyadari betapa dingin dan berkeringat jemari sang kekasih, Julian pun memiringkan kepala dan memasang tatapan teduh. Seraya mengelus punggung tangan kekasihnya dengan ibu jari, ia berkata, “Tenang saja, Mia. Semua akan baik-baik saja. Keamanan bandara sudah diperketat dan polisi pun berjaga di beberapa tempat.” “Maaf, Julian,” desah gadis yang tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. “Mustahil aku bisa meredakan ketakutan ini. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu.” Sebelum sang pria menyanggah, Mia melanjutkan omongan. “Jadi, biarlah ketegangan mengisi sarafku. Aku membutuhkannya untuk lebih waspada.” Sadar bahwa ucapan sang kekasih memang benar, sudut bibir Julian terangkat walau berat. “Kau tahu? Aku sudah tidak sabar ingin melihatmu mengen
Sambil membasahi kerongkongannya yang terbakar keresahan, Julian mengusap keringat dingin di wajah putih kekasihnya. “Mia,” panggilnya dengan suara serak. “Maafkan aku. Maafkan aku karena tidak menjagamu dengan benar.” Alih-alih menjawab, sang gadis bergeming dengan tatapan menerawang. Sama sekali tidak ada pergerakan yang ia lakukan. Pelupuk mata yang terangkat maksimal itu bahkan enggan membuat satu kedipan. “Mia?” panggil Julian dengan suara yang lebih mengiris. Tak kunjung mendapat jawaban, pria itu akhirnya menurunkan pandangan ke arah lubang di baju sang kekasih. Meski tidak ada darah yang mengucur, ia tetap saja merasa tak tenang. “Apakah kita sudah boleh membukanya?” tanya Julian kepada pria yang sibuk menyimak suara dari speaker kecil di telinga. “Sebaiknya kita pindahkan dulu istri Anda ke tempat yang lebih aman,” jawab petugas itu disertai anggukan meyakinkan. “Baiklah,” desah sang CEO sembari menempatkan lengannya d
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb