“Bagaimana, Cayden? Apakah kau menyukai masakanku?” tanya Greta sambil menaikkan alis. Ia merasa gembira melihat sang balita makan dengan lahap.
“Ini sangat lezat, Greta. Terima kasih karena telah memasaknya untukku,” sahut Cayden dengan mulut penuh. Sembari lanjut mengunyah, ia meruncingkan telunjuk ke arah bayi yang duduk di seberang meja. “Lihatlah! Bahkan Ace sangat menyukai bubur buatanmu.”
“Oh, terima kasih, Cayden. Kau sangat pandai memuji,” tutur si tuan rumah sembari menempatkan telapak tangan di atas hatinya yang berbunga-bunga.
Setelah menelan, Pangeran Kecil memasang senyum lebar. “Sama-sama, Greta.”
Menyaksikan keceriaan sang balita, Tuan Hunt tiba-tiba mengembuskan napas cepat. Setelah meletakkan sendoknya di atas piring, pria tua itu mengerutkan alis. “Berapa umurmu, Anak Kecil?”
Mendapat pertanyaan tak terduga, Cayden tidak jadi mengangkat garpu plastik ke mulut. “Tiga,” sahutnya dengan mata bulat.
“Tiga apa, Pangeran K
“Cepat kemari, Ace! Lihatlah betapa banyak kuda di dalam sini,” ujar Cayden sembari melambai ke arah bayi perempuan yang digendong oleh Mia. Seolah mengerti makna dari panggilan itu, Grace sontak mengangkat tangan dan meruncingkan telunjuk ke arah kandang. Lewat satu kedipan mata, ia mengisyaratkan kepada sang ibu untuk berjalan lebih cepat. “Baiklah, Putri Kecil. Mari kita susul kakak sepupumu,” bisik Mia seraya melangkah lebih lebar. Sambil melompat-lompat, Cayden menunggu kehadiran teman bermainnya. Setelah sang bibi melewati pintu, barulah ia kembali berjalan, menyeret Gabriella yang tak pernah melepas tangannya. “Ayo, Mama! Kita sapa setiap kuda milik Kakek Hunt,” ajak Pangeran Kecil sembari bergerak menuju kandang terdekat. Dengan bibir melengkung tipis, Gabriella mengimbangi semangat putranya. Energi Cayden memang tidak pernah surut. Bahkan, ketika mengetahui jendela untuk mengintai berada jauh dari jangkauannya, balita itu tetap berusa
“Mengunjungimu bukanlah hal yang sia-sia, Kek. Justru, waktuku terasa jauh lebih berharga ketika berada di sisimu,” ujar Julian sembari mengusap-usap pundak bungkuk Tuan Hunt. Namun, bukannya terhibur, si pria tua malah melambai-lambaikan telapak tangan. Tampak jelas bahwa ia tidak sepakat dengan pernyataan sang cucu. “Perjalanan dari rumah kalian kemari sangat memakan waktu, Julian. Kalian bisa melakukan beragam hal yang jauh lebih penting dengan menit sebanyak itu. Mengurus pekerjaan yang tertunda, berkumpul dengan teman-teman, dan bahkan berpiknik ria di taman dekat rumah. Terlalu sering kemari hanya akan menyita akhir pekan kalian,” sanggah si pria tua dengan suara serak yang menyayat. Sekali lagi, Julian mempertegas gerakan kepalanya. Ia ingin menunjukkan bahwa ucapannya bukan basa-basi belaka, melainkan tulus dari lubuk hati terdalam. “Apakah Kakek tahu? Seseorang baru-baru ini menasihatiku. Dia berkata bahwa aku sangat beruntung memiliki kakek
Setelah menunggu beberapa saat, Julian tidak juga mendapat jawaban. Sembari mengelus pundak sang kakek, ia kembali bertanya, “Apakah ada masalah?”Selang satu tarikan napas panjang, Tuan Hunt menyeka wajah. Ia baru sadar bahwa air mata sudah hampir menitik.“Tidak ada apa-apa, Julian,” sahutnya dengan volume suara yang sama. Sambil berusaha mengukir senyum, pria tua itu menunjuk balita yang masih bersemangat meluapkan kegembiraan. “Mari kita simak cerita dari Cayden.”Mengerti bahwa sang kakek enggan mengungkap perasaan, Julian pun mengatupkan rahang. Setelah mengangguk-angguk sejenak, ia menarik napas cepat dan mengalihkan pandangan.“Baiklah,” ujarnya pelan, seraya mengusap punggung yang terasa dingin meski suasana sedang hangat.“Ada apa, Julian?” tanya wanita yang sedang mendekatkan bibir ke telinga sang suami.Setelah mempertemukan pandangan, Julian menggeleng. &l
“Apalagi setelah menyimak kisah cinta kalian ..., bayangan nenekmu menjadi semakin jelas dalam ingatan. Itu membuatku bertambah rindu padanya,” ucap Tuan Hunt sebelum menelan ludah yang amat pahit.“Aku ingin sekali bertemu dengan nenekmu lagi, Julian. Mengecupnya lembut dan mendekapnya hangat,” desah sang kakek seraya mengangkat jemarinya yang keriput dan menjatuhkan pandangan di sana. Selang satu embusan napas yang merana, pria tua itu meraba udara. “Andai saja tangan ini masih bisa membelai wajahnya, kebahagiaanku pasti sempurna.”Tak tahu harus berkata apa, Julian pun berkedip menahan air mata. Dengan gerak canggung, ia memberi tepukan ringan pada punggung yang terlihat begitu kesepian.“Kau tahu? Nenekmu itu adalah orang yang sangat ceria. Jika kau berpikir bahwa Greta mewarisi sifatku, maka kau salah. Binar matanya, senyum lebarnya, nada bicaranya yang penuh semangat ... setiap hal yang memancarkan kegembiraan dari
“Kenapa kau mendadak panik? Tenang dulu, Julian. Aku belum selesai bicara,” timpal Tuan Hunt sebelum menepuk-nepuk punggung tangan sang cucu dengan jemarinya yang lain.“Lalu apa?”Sembari melukiskan senyum misterius, si pria tua memicingkan mata. “Ya, aku sering menerka-nerka kapan hidupku akan berakhir. Ya, aku terkadang berharap dapat bertemu dengan nenekmu secepatnya. Tapi ..., jika mengingat tentang anak dan cucu-cucuku, pemikiran itu buyar.”Sedetik kemudian, Tuan Hunt mencondongkan badan agar Julian dapat mendengar ucapannya dengan lebih jelas.“Percaya atau tidak, aku masih memiliki banyak impian. Salah satunya adalah melihat Grace tumbuh dewasa. Aku bahkan ingin menghadiri pernikahannya. Jika harus mencapai umur ratusan tahun, aku akan mengusahakannya. Kau tahu kalau pola hidupku sangat sehat bukan? Satu-satunya hal yang kurang dari diriku hanyalah ingatan. Entah apa yang harus kulakukan untuk membuatnya
“Menurutmu, apakah Grace akan heran jika kita membawanya ke sana?” bisik Julian sembari memperhatikan wajah putrinya yang terlelap. “Kurasa tidak. Kita sudah pernah mengajaknya mengunjungi makam ayahmu. Kau ingat responnya?” timpal Mia sambil melirik dengan lengkung bibir kecil. Seraya memasang ekspresi yang serupa, sang pria mengangguk. “Ya. Tidak biasanya Grace ingin turun dari gendongan.” “Mungkin saja, dia bisa merasakan kasih sayang Papa kepadanya. Karena itulah, Putri Kecil merengek ingin menyentuh kakeknya,” tutur Mia seraya mengangkat bahu. Rasa kantuk telah membuat imajinasinya melampaui batas. Merasa gemas dengan pemikiran sang istri, Julian spontan mengecup kepala wanita itu lembut. “Mari kita lihat apakah besok Grace juga bisa merasakan kasih sayang dari nenek buyutnya.” “Ya,” angguk Mia sebelum tertawa kecil dan mendekap suaminya lebih erat. *** “Selamat pagi, Mia, Greta. Apakah kalian melihat ibuku?” sapa balita y
Setelah berkedip-kedip sesaat, Mia mulai melihat ke segala arah. Sambil memeriksa di balik lemari, di bawah tempat tidur, dan di bawah meja, wanita itu terus memanggil putrinya. “Grace? Grace?” Malangnya, beberapa detik berlalu, ia belum juga menemukan sang bayi. Tak mampu mencerna situasi, Mia pun memegangi kepalanya yang mendadak berdenyut-denyut. “Ck, kenapa bisa begini?” gumamnya lirih. Mengetahui keresahan sang istri, Julian bergegas memegangi kedua pundak wanita itu. “Jangan panik, Mia. Grace tidak mungkin ke mana-mana. Dia pasti masih di rumah ini. Sekarang, mari kita mulai mencari!” tutur pria itu, berusaha meredam detak jantung agar tidak menekan pita suara. Belum sempat sang wanita memaparkan logika, Max sudah lebih dulu masuk ke ruangan bersama putranya dan menyela. “Apakah ada masalah? Kenapa kalian terlihat gusar?” Melihat keberadaan balita yang menatapnya dengan mata bulat, Mia sontak mendesah samar. Tanpa menghiraukan pe
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb