Share

114. Menata Hati

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-16 10:32:47

Ketika pelupuk mata Gabriella mulai bergetar, Max langsung beranjak dari kursi. Dengan lengkung bibir yang menenangkan, ia menyambut istrinya.

“Bagaimana keadaanmu, Gaby?” tanyanya sambil membelai wajah yang masih pucat itu.

Selama beberapa detik, sang wanita hanya berkedip lambat di bawah kerut alis. Setelah menarik napas panjang, barulah ia menjawab, “Apa yang terjadi?”

“Semalam kau demam tinggi, tapi sekarang sudah membaik. Apakah kau pusing?” tanya Max seraya menaikkan alis.

“Sedikit,” sahut Gabriella dengan suara serak.

“Lalu, apakah punggungmu masih sakit?”

Dengan gerak lemah, sang wanita menggeleng. “Sudah jauh lebih baik.”

Selang satu embusan napas, senyum sang pria mengembang. Dengan penuh perhatian, ia mengecup kening wanita yang tak pernah lolos dari pandangannya itu.

“Kalau begitu, apakah kau mau keluar dari sini?” bisik Max sebelum kembali menunjukkan keceriaan.

Mendapat ajakan tak terduga itu, alis

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cinta CEO dalam Jebakan   115. Memupuk Harapan

    Gabriella berbaring dengan mata sendu tertuju pada matahari terbenam. Napasnya kini setenang lautan. Tidak ada lagi gemuruh yang mencekik kerongkongan. Tekanan yang mengimpit dadanya telah menghilang bersama tangis. “Apakah kau yakin Pangeran Kecil akan segera kembali?” gumam wanita itu sambil terus mendengar detak jantung suaminya. “Ya, tentu saja. Kita tidak benar-benar melepasnya. Dia pasti akan kembali,” sahut Max sambil mengelus rambut Gabriella. “Bagaimana kalau yang kembali adalah jiwa yang berbeda? Kita tidak boleh meminta maaf pada pangeran yang salah,” celetuk sang wanita sebelum mengerutkan alis dan menarik napas berat. Merasakan perubahan pada ritme paru-paru sang istri, Max pun menaikkan alis. “Apakah kau mau mengadakan ritual agar Pangeran Kecil kita tidak tersesat ketika kembali?” Perlahan-lahan, Gabriella mengangkat kepala hingga pandangannya menemukan mata sang suami. “Ritual apa?” Dengan hati-hati, Max membantu wanita

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16
  • Cinta CEO dalam Jebakan   116. Kunjungan yang Tak Diharapkan

    Langkah Max dan Gabriella terhenti ketika mata mereka menangkap bayangan seseorang yang tak terduga. Suasana yang sebelumnya hangat seketika berubah beku. Tidak ada lagi percakapan ataupun desah tawa yang mengudara. Keheningan telah menemani pasangan yang berdiri diam menyambut sang tamu. “Apa kabar, Max?” sapa orang itu dengan sudut bibir yang terangkat kaku. Mendengar nada sok akrab itu, pria yang masih menggandeng tangan istrinya sontak mendengus. “Ada apa kau datang kemari? Apakah kau dikirim oleh ayahmu untuk membunuhku secara langsung?” balasnya sinis. Dengan raut bersalah, tamu yang tidak diundang itu menggeleng. “Bukan begitu. Aku datang ke sini atas kemauanku sendiri.” “Untuk apa?” tanya Max seolah tak mengenal kata ramah. Bukannya mengutarakan maksud kedatangan, pria dengan kerut alis resah itu malah berkedip-kedip mencari keberanian. Lelah menunggu, Max akhirnya menarik tangan sang istri untuk ikut melangkah bersamanya. “Jik

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-17
  • Cinta CEO dalam Jebakan   117. Penawaran dan Depresi

    Begitu pintu kamar tertutup rapat, Max akhirnya melepas tangan sang istri. Pria itu terlihat kesulitan mengatur napas. Sesak dalam dada telah menjadi duri bagi jantungnya. “Max, apakah kau baik-baik saja?” tanya Gabriella dengan penuh keraguan. Bahkan, tangannya pun maju mundur hendak menyentuh lengan sang suami. Setelah membasahi kerongkongannya yang gersang dan mendongak menahan air mata, pria itu menarik napas cepat. “Rasanya sakit sekali, Gaby,” sahutnya sambil memukul dada, berharap jika paru-paru dapat kembali normal. Malangnya, udara di sekitar malah semakin berat, mendesak kesedihan untuk tumpah dari pelupuknya. “Kita sudah menjauh dari mereka, tapi kenapa mereka malah meminta kita kembali dengan alasan yang tidak masuk akal seperti itu? Apakah mereka tidak bisa membiarkan kita hidup damai?” “Max,” desah Gabriella dengan mata yang ikut berkaca-kaca. Wanita itu dapat merasakan kesakitan suaminya. Sang pria telah bersusah payah menata hati yang

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-17
  • Cinta CEO dalam Jebakan   118. Kakak dan Adik

    “Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Gabriella sembari mengintip pekerjaan suaminya. Mendapat perhatian dari sang istri, pria yang semula mengerutkan alis pun langsung tersenyum. “Mengurusi hal-hal yang sempat tertunda,” sahut Max sebelum mengecup kening istrinya. “Ada apa?” Bibir sang wanita perlahan mengerucut. “Bisakah kau meninggalkan pekerjaanmu lagi hari ini? Mia sedang berada di sini. Bagaimana kalau kita mengajaknya berjalan-jalan? Itu akan menyenangkan.” Hanya dalam sekejap, lengkung bibir Max berubah kaku. Setelah memiringkan kepala, ia menyipitkan mata. “Apakah dia yang mengusulkan ide ini kepadamu?” “Kenapa kau jadi mudah curiga seperti ini? Tentu saja tidak. Ini sepenuhnya ideku. Kasihan dia jika jauh-jauh datang kemari hanya untuk memasak,” celetuk Gabriella dengan tampang lugu. Melihat kejujuran di mata sang istri, sang pria sontak bersandar di kursi dan mendesah. “Memangnya, kau mau mengajaknya ke mana?” Bola ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Cinta CEO dalam Jebakan   119. Menumpahkan Penyesalan

    “Akulah anak haram yang sesungguhnya, Max. Bukan kau,” ucap Julian sebelum menelan ludah yang sangat tajam. “Karena takut akan dibuang, aku mengarang cerita yang membuat Papa percaya bahwa kau bukan anaknya.” Usai memberi pengakuan, pria itu terisak semakin hebat. Kerongkongannya yang menyempit kini terasa membara. “Maafkan aku, Max. Aku tidak menduga kalau kebohonganku akan melaju sampai sejauh ini.” Di tengah tangis sang kakak, Max tiba-tiba tertawa hambar. Dengan mata berkaca-kaca, ia membuang muka. “Dasar bodoh,” gumamnya sukses membuat kedipan mata Julian tertahan. “Kenapa kau tertawa? Aku tidak berbohong, Max. Kau adalah anak kandung Herbert. Kaulah bagian dari keluarga Evans yang sebenarnya,” terang sang kakak dengan suara serak. “Aku sudah tahu.” Mendengar pernyataan tersebut, tangis Julian mendadak terhenti. Setelah beberapa kali menarik napas, mengirim oksigen untuk menjernihkan pikiran, pria itu menggeleng-geleng meminta penjelasan.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Cinta CEO dalam Jebakan   120. Masih Keluarga

    “Menyingkirlah, kau menghalangi jalanku,” ucap Max dingin dan datar. Mendengar suara yang tak terduga itu, Julian pun mendongak dan menaikkan alis. Tanpa membuang waktu, pria itu berlutut di hadapan sang adik. “Aku tahu kalau kesalahanku terlalu besar untuk bisa dimaafkan. Tidak apa-apa jika kau tidak mau memberi maaf. Tapi kumohon, untuk satu kali ini saja, dengarkan perkataanku. Pulanglah, temui Papa! Dia sangat ingin bertemu denganmu.” Alih-alih membalas tatapan sang kakak, Max malah membuang muka dan mendengus. “Sungguh tidak konsisten. Sepuluh detik yang lalu, kau memohon maaf dariku. Sekarang, kau malah meminta hal lain?” “Karena kondisi Papa sangat kritis, Max. Aku tidak mau dia pergi tanpa sempat memandangmu sebagai anak kandungnya. Aku tidak akan sanggup menanggung penyesalan itu,” terang Julian dengan tangan terkepal erat. Untuk pertama kalinya, Max menyaksikan sang kakak mengesampingkan ego. Untuk pertama kalinya pula, pria pengecut

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Cinta CEO dalam Jebakan   121. Selalu Menemanimu

    “Max?” panggil Gabriella saat mendapati rumah yang sepi. Dengan mata terbuka waspada, wanita itu masuk memeriksa meja kerja sang suami. Alih-alih mendapati Max, ia malah disambut oleh isak tangis Julian. Melihat pria bermata merah itu meratapi penyesalan, jantung sang wanita seketika berdebar. “Di mana Max?” tanyanya dengan mata bulat dan napas menderu. Alih-alih menjawab, Julian malah menumpahkan air mata lebih deras dan menjatuhkan lutut ke lantai. “Maafkan aku, Gabriella. Aku sungguh menyesal atas kemalangan yang menimpamu.” “Kemalangan apa?” tanya wanita dengan suara yang lebih tinggi. “Aku menyesal telah mendukung rencana ayahku untuk menjatuhkan Max. Jika saja aku menentangnya, Max tidak akan diusir dari perusahaan dan mengalami kecelakaan. Kalian tidak akan pindah ke sini dan masih bisa bersama buah hati kalian.” Gabriella menatap Mia yang juga mengerutkan alis. Setelah membaca kebingungan yang sama, ia kembali menghadap kakak i

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Cinta CEO dalam Jebakan   122. Mengulas Kenangan

    Sambil menahan gemuruh dalam dada, Max melangkah cepat menuju ruang ICU. Sepanjang jalan, ia terus memikirkan kalimat apa yang harus dikatakan ketika tiba di hadapan sang ayah. Haruskah ia menyapa, mengatakan semua akan baik-baik saja, atau memberi maaf? Tidak ada yang terasa tepat untuk mewakili perasaannya. “Tuan,” panggil Minnie saat menyadari kedatangan sang pria. Dengan mata yang berkaca-kaca, wanita itu menunjuk ke arah pintu. “Ayah Anda sudah menunggu.” Tanpa sempat mengucap terima kasih, Max mengangguk dan bergegas menuju pintu. Langkahnya begitu cepat. Ia tidak pernah menghadapi momen yang semenegangkan itu seumur hidup. Namun, saat pintu terbuka, gerak kakinya tiba-tiba melambat. Udara di sekitar telah bertambah berat. Butuh usaha lebih untuk Max mampu menembusnya. Setelah menarik napas cepat dan mengepalkan tangan erat-erat, barulah ia menjejaki kamar Herbert. Pada detik pertama matanya menangkap bayangan sang ayah, napasnya mendadak tertah

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20

Bab terbaru

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

DMCA.com Protection Status