“Mbak Rindu!”
Rindu yang baru membuka pagar kosannya untuk memasukkan motor, segera menoleh. Sepulang kerja barusan, ia sama sekali tidak memerhatikan, kalau ada mobil yang menjemputnya siang tadi, tengah parkir bersebrangan dengan kosannya.
Rindu lantas menutup pintu pagarnya kembali, lalu menghampiri pria yang siang tadi telah mengantar jemputnya untuk memeriksakan diri di dokter kandungan.
Ternyata, Rindu sudah salah sangka kepadan Dewa. Pria itu sudah berada di dalam klinik dan menunggu Rindu untuk memeriksakan kehamilan yang akhirnya tidak terjadi. Sebenarnya, ada sedikit rasa sesal karena telah menolak ajakan Dewa untuk pergi ke rumah pria itu sepulang kerja. Padahal, pria itu membuka satu kesempatan lagi pada Rindu untuk lebih dekat dengan impiannya.
Namun, karena rasa gengsi, harga diri, serta rasa sakit hati Rindu pada Dewa yang tidak mengacuhkannya, maka ia menolak semua itu.
“Mas Dani ngapain sampai datang ke sini?” tanya Rindu yang
“Bapak nggak tokcer kali.” Satu kalimat itu, selalu terngiang di kepala Dewa sejak Rindu meninggalkannya siang tadi. Dewa sangat mengerti kalau mulut Rindu itu memang tidak bisa direm sama sekali jika berucap. Hanya saja, dari sekian banyak kalimat yang dimuntahkan gadis itu setelah Dewa mengenalnya, baru kali ia merasa tersinggung dan harga dirinya sebagai seorang pria seolah diobrak abrik oleh Rindu. Perasaan kesal itu pun bertambah ketika ia melihat undangan Hening yang masih tergeletak di sofa. Dewa mengingat ucapan Riko yang mengatakan, bahwa mantan tunangannya itu akan pindah ke rumah yang lebih besar, karena tengah mengandung kembali. Itu berarti, jika Dewa menghitung kembali ke belakang, Hening sudah hamil sebanyak tujuh kali. Sekali keguguran, lima kali melahirkan dan ditambah, satu lagi yang masih berada di dalam perut wanita itu. Sungguh tidak bisa dipercaya, jika Dewa tidak mengetahui hal tersebut secara langsung. Memangnya, harus berapa k
Suara ketukan di daun pintu kamar kosannya, membuat Rindu langsung beranjak malas dari kasur lalu membuka pintu."Ada cowok yang nyari di bawah," ujar pria yang setiap hari ditugaskan untuk menjaga kosan tempat Rindu berada. "Namanya Dewa."Rindu mengetatkan dagu dengan bibir yang mengerucut maju. Untuk apa lagi pria itu datang menemui Rindu. Bukan … bukan itu yang seharusnya menjadi pertanyaan Rindu. Akan tetapi, kenapa pria itu datang sendiri dan tidak meminta orang suruhannya untuk menemui Rindu.Apa mungkin, pria itu marah karena Rindu sengaja tidak mengangkat telepon darinya?Ah … tapi, masa' sampai seperti itu?"Iya, Mas, tolong bilang tunggu sebentar, ya," pinta Rindu lalu keduanya sama-sama berbalik arah dengan tujuan yang berbeda.Rindu buru-buru melihat pantulan dirinya di depan cermin. Mengambil lip gloss untuk menyapu bibirnya yang kering. Lalu, sedikit parfum yang ia labuhkan pada leher, tepat di bagian bawah
“Loh … ini bukannya jalan ke rumah Pak Dewa?” tanya Rindu menegakkan tubuh seraya menoleh ke sekeliling untuk memastikan dengan benar. Setelah, sepanjang jalan tidak dihiraukan dan hanya didiamkan oleh Dewa, Rindu akhirnya kembali membuka suara untuk melayangkan protesnya.Sampai akhirnya mobil yang dikendarai Dewa berhenti di depan pintu pagar, pria itu tetap mengunci rapat mulutnya. Karena jika sekali Dewa membuka mulut untuk menanggapi ocehan Rindu, sudah bisa dipastikan kepalanya akan bertambah pusing.Ternyata, berdebat dengan Rindu lebih merepotkan, daripada saat Dewa berdebat dalam rapat kerja ataupun sidang paripurna di Senayan dengan rekan seprofesinya.“Diam di situ,” titah Dewa lalu keluar dari mobil untuk membuka pintu pagar rumahnya. Sebenarnya, Dewa bisa saja meminta salah satu dari bodyguard sang ayah untuk menjaga rumah agar ia tidak perlu repot-repot untuk membuka dan menutup pagar seperti sekarang. Namun, setelah
Rindu terhenyak diam, ketika Dewa menutup pintu kamar pria itu. Meninggalkan Rindu seorang diri, dan tidak mengerti harus melakukan apa.Setelah memberi titah untuk tidur di kamar tamu, Dewa langsung saja keluar tanpa menghiraukan protes Rindu sama sekali. Ia masuk ke dalam kamarnya, lalu segera menutup pintu sebelum Rindu merangsek masuk. Menguncinya, dan membiarkan gadis itu berada di luar sana.“Pak Dewa!” Rindu yang tidak bisa membuka pintu karena dikunci dari dalam itu, terus saja menggedor pintunya. “Pak Dewa buka,” rengek Rindu yang masih tidak mengerti dengan sikap Dewa kepadanya. Kenapa ia harus tidur di rumah pria itu malam ini, sedangkan mereka sudah tidak punya keterkaitan apapun lagi.“Pak Dewa!”Lima menit.
Rindu menggeram karena tidak memiliki pilihan. Dewa sama sekali tidak menanggapi permintaannya untuk memesankan taksi, ataupun ojek on-line agar Rindu bisa kembali ke kosan. Pria itu bahkan langsung menutup mata, dan tidak lagi memedulikan Rindu yang duduk di tepi tempat tidur.Karena hari juga telah larut, dan Rindu terjebak tidak tahu harus pergi entah ke mana, ia pun akhirnya menarik selimut lalu merebahkan diri di samping Dewa. Melipat kedua tangan di atas perut, sembari melarikan maniknya menyusuri sisi kamar yang bisa Rindu jangkau.Membingungkan.Apa yang diinginkan Dewa dari Rindu sebenarnya.“Pak …” panggil Rindu yang tidak kunjung bisa melelapkan pikirannya. “Kenapa Pak Dewa nggak tidur di kamarnya sendiri, kayak malam itu?”
Riko bengong menatap Reno yang kini tengah menahan tawa, dengan menggembungkan pipi. Ia baru saja diminta Dewa untuk menjelaskan sekali lagi, perihal kegiatan Rindu selama Riko mengawasi gadis itu. Entah di mana letak kesalahannya, tapi Riko rasa, semua yang diceritakannya sama saja seperti yang sudah-sudah. “Bos, lo, udah gila, Rik!” seru Reno dengan santainya. Menyilang kaki, sambil menyandarkan satu tangannya pada lengan sofa. Reno tidak menduga, kalau kedatangannya kali ini ke apartemen Dewa ternyata membawa ‘berkah’ tersendiri. Akhirnya, setelah sekian tahun berlalu, Reno bisa melihat Dewa kembali memikirkan seorang wanita. “Harusnya dia senang karena si Rindu itu nggak jadi hamil anaknya,” lanjut Reno. “Tapi ini, malah uring-uringan!” Riko hanya bisa memberi kekehan hambar dengan terpaksa untuk menanggapi Reno. “Berani sumpah, Pak,” kata Riko menatap wajah datar Dewa, yang sangat jarang ditampilkan jika pria itu tidak dalam keadaan kesal. “Laporan yang
“Rindu, kan?” tanya seorang pria dengan suara beratnya.Rindu yang tengah memilih beberapa cemilan untuk dibawa ke kosan, kemudian menoleh pada pria yang sudah berdiri tepat di sampingnya. Sedikit mendongak, lalu memiringkan kepala sebentar untuk mengingat-ingat.“Panji,” ucapnya memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangan. “Kita belum sempat kenalan waktu itu.”“Oh!” Rindu membalas jabat tangan pria itu sebentar dengan mengulas senyum yang begitu manis. Akhirnya, Rindu bisa mengingat pria tersebut meskipun hanya sempat berjumpa beberapa saat. “Anak, temennya bapak yang waktu itu ke rumah, kan?”“Ya,” ujar Panji lalu berdecak. “Akhirnya, bisa ketemu. Aku sempat ke rumahmu lagi waktu itu, tapi ibumu bilang kamu lagi sibuk di kantor.”Mulut Rindu itu reflek mengeluarkan tawa masamnya. “Ibuku bilang begitu?” tanya Rindu tanpa ingin bertanya mengenai kedat
Pintu ruang divisi iklan itu terbuka, ketika briefing pagi baru saja hendak di mulai. Seorang office boy berdiri di bibir pintu dan maniknya berlari pada setiap orang yang berada di dalam sana.“Maaf, Bu Fila,” kata sang office boy pada manajer iklan yang berada di sana. “Ada ibunya Mbak Rindu di depan.”Semua mata peserta rapat yang ada di dalam ruang, reflek tertuju pada Rindu. Sementara itu, Rindu reflek mengumpat kesal di dalam hati. Untuk apa sang ibu datang ke kantor di pagi hari seperti ini, pikir Rindu.Dengan terpaksa, Rindu meminta izin pada Fila untuk menemui ibunya, lalu bergegas keluar ruangan. Manik Rindu langsung mengarah pada seorang wanita paruh baya, yang saat ini duduk di kursi lobi. Ibunya itu menatap Rindu, tanpa menampilkan senyum sama sekali.
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l