Sejak melihat kotak persegi yang tergeletak di atas rak, yang berada di gudang kecil pada kamar Dewa, pikiran Rindu selalu saja terusik. Tidak tenang.
Rindu mengerti, kalau benda persegi yang ada di sana bukanlah satu-satunya yang ada di dunia. Hanya saja, semua tiba-tiba mengingatkan Rindu tentang beberapa hal yang terjadi di masa lalu. Rindu mendadak mulai tergelitik, untuk mencari informasi tentang kematian sang ayah yang sampai sekarang tidak kunjung ditemukan jasadnya.
Mengapa Rindu tiba-tiba berpikir, kalau ayahnya saat ini sebenarnya masih hidup, tapi ada di suatu tempat yang tidak bisa dijangkau mata. Namun, di mana itu dan apa yang harus Rindu lakukan agar bisa menguak misteri yang kini menggantung di kepalanya.
Di lain sisi, dengan melihat kotak berbahan fiber tersebut, Rindu jadi mengetahui sisi lain y
Haluuh semuaa ...Ada total 2000 koin gratis dari Sang Sekretaris dan Cinderella Hot Story untuk 10 pembaca yang beruntung. It means 200 koin untuk 1 pembaca. Caranya gampang dund, yaitu : 1. Kasih komen bintang ***** di salah satu novel on going yang saia sebut di atas. NOTE : Bukan komen di bab yakk, tapi di luar bab yang ada bintangnya.2. Follow igeh saia @kanietha_ Gampang, kan ~~ Bagi yang beruntung, akan diumumkan tanggal 4 April yakk.Makasiy banyak buat yang sudah sabar menunggu update dari saia yang belakangan ini rada riweuh dengan dunia nyata. Kisseeedd .... PS : Bakal ada hadiah plus-plus untuk 3 orang pemberi gems terbanyak di masing-masing cerita, dan akan diumumkan setelah tamat yakk. ¡Buena suerte!
Setelah membuka mata, kepala Rindu reflek menoleh pada sisi tempat tidur yang ada di sebelahnya. Kosong, dan tidak ada jejak kusut yang terlihat pada sprei, maupun bantal yang ada di sampingnya. Itu berarti, Dewa tidak pulang ke apartemen tadi malam.Rindu sempat menahan kantuk hingga hampir tengah malam, karena ingin menunggu Dewa pulang. Namun, karena kelopak matanya sudah tidak sanggup terbuka, akhirnya Rindu pun terlelap. Hingga baru saja bangun, ketika bias mentari mulai merasuk melewati kaca jendela.Rindu buru-buru bangkit lalu meraih ponselnya di atas nakas untuk menghubungi Dewa. Rindu menunggu nada sambungnya terhubung, dengan jantung yang mulai berdetak tidak nyaman. Apa hanya karena Rindu sedang mendapatkan jadwal bulanannya, Dewa langsung berubah sedemikian rupa?“Halo, Yank.” Rindu buru-bur
Kaki Rindu baru saja melangkah keluar pagar rumah, saat ponsel yang belum ia masukkan ke dalam tas tiba-tiba berdering. Bibirnya mencebik melihat nama Dewa terpajang di sana. Tidak biasanya, pria itu menelepon Rindu di jam seperti itu.Tidak … Dewa memang tidak pernah punya inisiatif menelepon Rindu, jika tidak ada hal penting yang ingin disampaikan. Bayangan romantis sebagai sepasang suami istri, benar-benar tidak tercermin dalam hubungan mereka. Yang ada, hanyalah hasrat duniawi yang tidak pernah cukup dan terpuaskan sama sekali. Di luar itu, Rindu merasa hubungan mereka terasa adem ayem dan sangat hambar, karena ikatan emosional itu sepertinya masih belum tercipta.Rindu berdecak sebentar, sebelum ia mengangkat teleponnya dengan rasa malas yang luar biasa.“Halo,” sapa Rindu dengan datar untuk
“HEEEI!” Rindu berteriak protes setelah terdiam beberapa saat, untuk mencerna ucapan Dewa yang sangat menusuk. Ia memang bukan siapa-siapa, dan tidak memiliki apa-apa. Namun, bukan berarti Dewa bisa merendahkannya, hanya karena pria itu sudah membiayai, dan menjamin hidup Rindu. Dewa yang sudah berbalik dan meninggalkan Rindu itu, seketika menghentikan langkahnya ketika ia baru berada di bibir pintu. Dewa berbalik pelan, seraya menenggelamkan satu tangannya di saku celana. Satu alisnya terangkat santai dan menatap tanya, tanpa mengucap kata. “Menjamin hidupku, katamu! Jaga sikap, katamu! Tahu diri, katamu!” Dada Rindu sudah bergerak naik turun tidak menentu. “Anggap, uang yang sudah aku habiskan kemarin itu sudah impas dengan pelayananku selama ini sama kamu! Dan sisanya, sebentar lagi aku transfer langsung ke rekeningmu, Pak Dewan yang terhormat!” Dengan semua harga diri yang masih tersisa, Rindu menahan panas yang menjalar di sekujur wajahnya. Ia merogoh
Rindu terbangun dengan sakit kepala yang begitu berat. Terlalu lama berlinang air mata, membuat tubuhnya terasa lemas dan enggan beranjak pergi ke mana pun. Ruang yang terlihat gelap, pun dengan jendela yang tidak lagi membiaskan cahayanya, menandakan mentari di luar sana sudah tenggelam dengan tenang di peraduan.Rindu berbalik, lalu menarik napas panjang. Mengerjap dalam gelap, dan kesunyian yang kini menemaninya. Entah pukul berapa jarum jam saat ini tengah berdetak, tapi Rindu yakin, kalau malam ini Dewa tidak akan pulang ke apartemen.Merasa tidak nyaman dengan pembalut yang belum ia ganti karena ketiduran, Rindu dengan terpaksa harus beranjak dari tempat tidur. Pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dari semua penat yang sudah menyelimuti hati. Setelahnya, Rindu menghampiri tempat tidur lalu duduk di tepi ranjang, dan masih setia berteman dengan ke
Rindu sangat sadar, kalau perutnya saat ini sudah terasa sangat lapar dan butuh asupan makanan. Namun, satu kotak pizza berikut dengan spaghetti yang sudah berada di depannya, tidak juga mampu untuk menggugah nafsu makannya.Saat ini, kepala Rindu sibuk memikirkan tentang keselamatan dirinya sendiri. Jika ingin kabur, Rindu harus benar-benar merencanakan semuanya dengan sempurna. Tidak boleh ada celah sedikit pun, agar Dewa tidak mengetahui ke mana pun dirinya pergi.Namun, apa bisa?Sementara selalu ada anak buah Dewa yang mengawasinya selama 24 jam. Ditambah, Dewa juga sudah berani mengancam Tiara. Jadi, Rindu benar-benar sudah tidak bisa pergi ke mana pun saat ini. Dirinya terjebak dengan permainan yang telah Rindu ciptakan sendiri.Rindu tidak pernah menduga, kalau w
Pagi itu, Rindu hanya duduk terpaku di balkon kamar. Setelah mandi, Rindu hanya duduk merenung dan tidak mengerti apa yang tengah berputar di kepalanya saat ini. Apa yang Rindu cari jika semuanya berakhir seperti ini? Rindu bisa membeli apapun yang ia inginkan, tapi hidupnya berakhir seperti burung yang berada di dalam sangkar emas. Tertekan, dan tidak tahu ke mana harus pergi mengadu. Apa Dewa akan benar-benar menghabisi nyawanya, jika Rindu pergi menjauh dari pria itu? Tidak … Rindu tidak boleh mati dulu sebelum teka teki yang kini berputar di kepalanya terjawab. Ada satu hal yang harus Rindu pastikan terlebih dahulu, yakni, tentang kotak berwarna cokelat, yang sungguh membuatnya penasaran. Untuk itu, Rindu harus berad
Sejak Dewa pergi, dan mengatakan bahwa pria itu akan berada di luar kota, Rindu lebih banyak menghabiskan waktunya di apartemen. Ia enggan beranjak dari kamar, dan hanya berguling-guling untuk menghabiskan waktu, sembari terus saja mencari jalan untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang ada di dalam kepala.Rindu juga sudah bertanya pada sang ibu mengenai alamat lengkap rumah ayahnya dahulu kala. Namun, Tiara tidak pernah membalas, maupun memberitahu Rindu, di mana letak rumah tersebut.Sebuah chat dari Dewa yang mengatakan bahwa pria itu akan datang malam ini, semakin membuat Rindu frustrasi.Rindu sempat bertanya-tanya, sebenarnya, bagaimana perasaan Dewa terhadap dirinya? Jika Dewa memang menginginkan Rindu menjadi miliknya, mengapa sikap Dewa justru terlihat sangat mengerikan, sampai berani mengancamnya
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l