Nora terdiam sepanjang jalan, dia masih mencerna perkataan Tian, seakan di sambar petir di siang bolong, Nora tidak percaya bahwa Tian akan menceraikannya, Tian tidak bertanya apapun mengenai kepergiannya berlibur dengan Tomi, Nora merasa lebih baik Tian membentaknya dan memarahinya dari pada diam seperti ini dan ingin menceraikannya. “Istirahatlah, besok kita berangkat jam delapan pagi,” kata Tian setelah mereka sampai di hotel. Nora menurut, dia hanya mengangguk tanpa mengatakan sepatah katapun, dia tidak berani menatap mata Tian, wajah Nora telihat lesu, sekuat tenaga dia menahan air matanya tumpah. Nora masuk ke kamar tidurnya, Tian menyewa kamar suite dengan dua kamar tidur, Nora mengurung dirinya di kamar, ponselnya dia biarkan tergeletak di samping tempat tidurnya, sesekali dia melihat layar ponselnya, Tomi, Dion dan Adeline bersamaan mengirimkan pesan untuknya, namun Nora hanya menarik selimutnya, mencoba memejamkan matanya, lelahnya sudah di titik terendah. “Apakah
Nora dan Tian berangkat menuju Jakarta pukul sepuluh pagi, perjalanan tiga jam di dalam pesawat mereka habiskan dengan pikiran masing-masing, Nora tidam bertanya sepatah katapun pada Tian, begitupun sebaliknya, dalam pikiran Tian dia masih membayangkan wajah Nora semalam, namun dalam pikiran Nora dia berusaha tidak melibatkan Tian di dalamnya, Nora masih belum berani menatap mata Tian setelah yang dilakukannya pada Tian semalam. Sore hari, Nora dan Tian sampai di rumah mereka, di depan pintu terlihat Almeera berdiri menunggu kedatangan mereka berdua, Nora tidak memperdulikan Almeera yang berdiri di hadapannya, dia langsung masuk dan menuju ke kamarnya. “Bagaimana bisa dia melewatiku begitu saja?” tanya Almeera pada Tian. “Sudahlah, mungkin dia lelah,” jawab Tian singkat. Almeera menghela napas, “Padahal aku sudah berniat baik menyambutnya pulang,” kata Almeera ketus. Tian hanya menoleh sebentar ke arah Almeera, lau naik ke lantai atas, “Aku ingin istirahat,” katanya pada
Tian masih memandang Nora yang berdiri di depan pintu kamarnya, kata-kata yang di lontarkan Nora barusan entah mengapa seakan menusuk hati Tian, “Menghargai?” batin Tian, “Beberapa jam lalu padahal dia masih di sana dengan pria lain,” kata Tian lagi dalam hati. “Kita bicara di luar,” kata Tian sambil melangkah keluar, Nora tidak mengerti apa yang Tian lakukan. “Aku ikut,” kata Almeera, memandang Nora sambil tersenyum sinis. “Aku mau berbicara empat mata dengan Nora, kamu tunggulah di kamar,” kata Tian tegas pada Almeera. Almeera menghentikan langkahnya, dia mengerucutkan bibirnya, dan berbalik masuk ke kamar, pintu kamar di tutup keras oleh Almeera membuat Nora sedikit terkejut. “Mengapa tidak disini saja bicaranya,”kata Nora dengan nada yang sedikit kesal. “Turunlah, akum au bicara empat mata denganmu,” kata Tian yang melangkah pergi, Nota mengikutinya di belakang. Tian dan Nora duduk berhadapan di ruang depan, Tian diam sejenak sebelum berbicara pada Nora. “A
Almeera menatap tajam kepada Nora yang berdiri dengan wajah sama terkejutnya dengan dirinya, kepalanya berpikir cepat dan keras untuk menemukan jalan keluar akibat dari kebohongannya. Almeera berjalan mendekati Nora, dengan santainya dia tersenyum sinis, “Bila kau berani bilang apa yang kau lihat dan ketahui, lihatlah apa yang bisa aku lakukan untuk menyeretmu keluar dari sini secara tidak terhormat,” kata Almeera. “Maksudmu?” tanaya Nora. “Yahh, kau tidak akan bisa membayangkan apa yang bisa aku perbuat, aku masih mengkasihani dirimu, karena itu aku membiarkanmu masih disini, tapi aku pastikan kau tidak akan senang bila tahu apa yang akan ku lakukan bila kau bertingkah,” ancan Almeera. Nora hanya menelan ludahnya, dia tahu Almeera tidak main-main dengan ucapannya, dan itu terlihat dari matanya yang menatapnya tajam, “Kau wanita yang mengerikan Almeera, teganya kau membohongi Tian,”kata Nora. “Sudahlah lebih baik kau jangan banyak bicara, lebih baik kau keluar dari kam
“Apa maksudmu berbicara seperti itu?” tanya Tian pada Nora. Nora terdiam sejenak lalu menatap Tian, “Ehmm, a-aku tidak sengaja masuk ke kamar Almeera dan melihat kain yang dijahit untuk…” kata Nora tergagap. “Sudahlah Nora, mengapa kau tega membawa kehamilan Almeera untuk alasan perceraian kita,” potong Tian. Nora tidak percaya dengan apa yang dia dengar, Tian menuduhnya berbohong tentang kehamilan Almeera, “Kau menuduhku berbohong?” kata Nora masih dengan wajah terkejut. “Bukan begitu, aku tahu kau membenci Almeera, tapi aku melihat bukti USGnya saat dia memberitahukanku bahwa dia hamil,” kata Tian. “Tapi aku melihat dengan kepala mataku sendiri kalau dia…” kata-kata Nora terpotong lagi. “Kita akan bicarakan ini di rumah,” kata Tian sambil melirik Tomi. “Tapi..aku belum selesai bicara,” kata Nora sambil menarik tangan Tian dengan wajah panic. Tian mencoba melepaskan genggaman Nora, “Aku sudah bilang, kita akan bicara di rumah,” kata Tian lagi sambil berjalan meni
Nora masih memandangi surat yang dia ambil dari amplop coklat itu, satu persatu Nora baca surat yang Tian suruh untuk dia tanda tangani, berulang-ulang Nora baca dari awal sampai akhir “Surat Perjanjian Cerai Antara Bastian Abimana Winata Dengan Lairana Nora” judul surat itu. Surat yang dibikin Tian di hadapan pengacaranya seperti sudah di rencanakan Tian jauh-jauh hari untuk dirinya, isinya sesuai dengan yang Tian katakana tempo hari padanya, saat bercerai Tian akan memberikan Rumah, salah satu anak perusahaannya dan sejumlah uang yang lebih dari cukup untuknya sebagai kompensasi, namun persyaratannya adalah bahwa Nora tidak boleh memberitahukan siapapun termasuk orang tuanya atas perceraian mereka selama dua tahun, Nora tersenyum putus asa membacanya, “Bagaimana bisa mereka melakukan ini padaku,” batinnya dalam hati. “Tok..tok..tok,” pintu kamar Nora di ketuk seseorang, Nora berjalan dengan enggan, membuka pintu kamarnya dan melihat Almeera berdiri di depan kamarnya dengan m
Nora keluar dari ruang dokter dengan wajahnya yang pucat, di tangannya masih tergenggam hasil tes lab yang dia lakukan tadi, hasil dengan tanda “Positif” di hasil pemeriksaannya. “Ada apa Nora? kenapa wajahmu pucat sekali?” tanya Tomi saat melihat Nora keluar dari ruangan dokter. Nora tertunduk, dia memandangi amplop di tangannya, air matanya tak kuasa dia tahan, dia mendongak menatap Tomi. “Aku hamil,” kata Nora sambil mengelus perutnya. Tomi tak kalah terkejutnya, dia duduk kembali di samping Nora, mereka terdiam sejenak, “Apa kau baik-baik saja?” tanya Tomi. Nora mengangguk, “Aku baik-baik saja, hanya..” kata-kata Nora tercekat di tenggorokannya. “Hanya apa?” tanya Tomi berusaha menenangkan Nora. “Hanya saja aku kasihan dengan anak ini, dia akan tumbuh tanpa ayahnya,” kata Nora. Mereka terdiam lagi, Nora tidak bisa berpikir jernih, dia memang memutuskan untuk membesarkan anaknya dan tidak akan memberitahukan Tian bahwa dirinya hamil, Tian sudah yakin dengan pendiri
Ketukan palu cerai talak Tian terhadap Nora terdengar seperti hantaman palu di dada Nora, dia menahan tangisnya agar tak tumpah di persidangan, sesekali Nora mengelus perutnya diam-diam, “Maafkan mama nak, dan maafkan ayahmu,” batin Nora dalam hati. Nora bangkit dari tempat duduk, dia bersiap pergi, semua barang-barangnya telah dia siapkan dan akan di antar oleh supir rumah ke apartemen yang di pinjami Tian untuknya, sebelum Nora pindah ke rumah yang diberikan Tian untuknya sebagai kompensasi perceraian. “Nora?” suara Tian memanggil namanya membuat langkah Nora berhenti, Nora berbalik badan menatap Tian, dia bisa melihat raut wajah Tian yang sedikit iba padanya. “Kau tak perlu khawatir, aku tidak akan memberitahukan keluarga, lagipula setelah aku di Australia mereka tidak akan bertemu denganku dalam waktu yang lama,” kata Nora pada Tian. “Bukan karena itu aku memanggilmu Nora,” balas Tian, Nora mengernyitkan dahi, di wajahnya tersirat tanda tanya meskipun bibirnya tak berkata
Almeera terbangun dari tidurnya, kepalanya terasa sangat berat, entah berapa gelas wine yang dia minum semalam, tapi seingatnya semalam dia minum di sofa ruang tengah apartemennya bukan di kamar, saat menyadari itu Almeera langsung terduduk di tempat tidur sambil memegang kepalanya, dia mencoba mengingat-ingat tentang semalam, apakah dia sendiri yang berjalan ke kamar. “Tenryata kau sudah bangun,” suara laki-laki membuat Almeera terperanjat, dia melihat Luki berdiri di depan pintu kamar tidurnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Kau, sejak kapan kau ada disini?” tanya Almeera sambil menahan sakit kepalanya. “Semalam,” jawab Luki singkat. “Kau yang membawaku ke kamar?” tanya Almeera lagi, Luki hanya mengangguk. “Tenang saja, aku tidak berbuat sesuatu terhadapmu,” kata Luki sambil memandang Almeera. Almeera mencoba membuar dirinya sadar penuh, tapi kepalanya benar-benar berat, “Ah sial, kepalaku sakit sekali,” kata Almeera setengah berbisik. “Kau menghabiskan dua bot
Almeera berdiri di balkon apartemennya sambil sesekali meneguk wine dan memikirkan rencana untuk membuat Tian tetap bersamanya, dia mulai merasakan Tian terganggu dengan kedatangan Nora kembali ke Jakarta. “Seharusnya aku sudah mempertimbangkan hal ini, bagaimana aku bisa lengah,” kata Almeera dalam hati, dia masih memikirkan cara untuk mempertahankan hubungannya dengan Tian. “Bagaimanapun juga Tian tidak boleh kembali pada wanita kampungan itu,” kata Almeera lagi dalam hati. Dia masuk ke dalam apartemen mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu nomor kenalannya, entah apa yang di pikirkan Almeera tapi saat ini dia hanya butuh teman bicara, mungkin saja orang ini bisa memberikanku solusi. “Halo?” jawaban dari seberang sana saat panggilan Almeera di respon “Hai..apa kabar?” jawab Almeera, orang itu terdiam cukup lama. “Hmm..kabarku baik, bagaimana denganmu, apakah sudah sangat menikmati peranmu sebagai nyonya winata junior?” kata orang itu lagi. “Nadamu sepert
Almeera mengendarai mobilnya menuju kantor Tian, pagi-pagi sekali dia sudah siap untuk melaksanakan rencananya, semalaman Almeera berpikir tentang Tian, dia yakin Tian bukanlah pria yang bodoh, tapi Almeera bisa membuat seorang Tian bertekuk lutut kepadanya, lagi pula Tian memang pria yang sangat tampan, wangi parfumnya sangat berkelas, penampilannya sangat maskulin, sekilas pikiran Almeera melayang nakal. “Sudah kuputuskan, dia akan jadi milikku,” kata Almeera dalam hati sambil menginjak gas, hari ini Almeera akan membuat Tian mengahbiskan waktu dengannya. “Tok..tok..tok,” Sekretaris Tian mengetuk dan membuka pintu ruangan Tian yang saat itu baru selesai meeting dengan klien. “Pak. Nona Almeera sudah menunggu di depan,” kata sekretarisnya, Tian terdiam sebentar. “Bagaimana pak, apa saya perbolehkan nona Almeera masuk ke ruangan bapak?” tanya sekretarisnya lagi. “Suruh dia masuk saja, lalu siang nanti tolong reservasikan restoran untuk makan siang,” jawab Tian. “Baik pa
“Hey..kau tidak berangkat ke kantor,” suara Tomi membuat tidur Tian terganggu, dia melihat arloji di tangannya, jam menunjukan pukul delapan pagi, Tian langsung terbangun dari sofa dan mencari kunci mobil yang semalam ditinggalkan supirnya. “Kenapa lo gak bangunin gue lebih pagi,” jawab Tian setengah terhuyung dan melihat Tomi sudah rapih dengan baju kerjanya sambil menyeruput kopi. “Sudah, kau tak bangun,” kata Tomi sambil mengambil jasnya lalu mengambil kunci mobil. Tomi dan Tian sama-sama pergi keluar apartemen, hanya yang satu sangat terlihat rapih dan yang satu terlihat baru bangun tidur dengan wajah bantal. Mereka masuk ke mobil masing-masing, Tian akan langsung ke kantornya, dia sudah mengirimkan pesaan kepada sekretarisnya untuk menyiapkan baju kerjanya di ruangannya, dan menahan siapapun yang ingin masuk ke dalam ruangannya. “Sampai nanti,” kata Tomi sambil meninggalkan Tian dengan mobilnya, Tian hanya menganggukan kepala. Sesampainya di kantor, Tian bergegas masu
“Al, lo udah siap tampil?” kata salah seorang kru di backstage tempat para model bersiap untuk penampilan fashion show tahun ini. “Yang lo lihat gimana, masa gue udah dandan kaya gini masih dibilang belom siap,” jawab Almeera sambil melirik ke arah kru. “Beruntung lo hari ini, direktur utama Winata Grup gak bisa hadir,” kata kru itu lagi. “Loh kok beruntung, lo kan tau gue lagi berusaha promosiin diri gue untuk jadi model tetap perusahaan mereka, kalo direktur utamanya gak datang, rencana gue bubar dong,” kata Almeera sambil mengernyitkan dahi. “Direktur Utamanya emang gak datang, tapi dia di wakilin sama anaknya, Bastian Abimana,” kata kru itu lagi sambil tertawa seakan mengisyaratkan sesuatu. “Oh, baguslah meskipun bukan bapaknya, seenggaknya kesempatan gue gak hilang kan,” kata Almeera lagi. “Lo kenapa sih, kok ketawanya begitu?” tanya Almeera. “Duh tuan putri, harusnya lo bisa berpikir jauh ke depan, kalo lo mau promosiin diri lo, sekalian gaet anaknya dong, dua
Mobil Tomi berjalan masuk ke dalam pekarangan rumahnya, dia melihat Nora dan Bian tertidur di sampingnya, Nora tertidur sangat lelap saat itu karena malam tadi dia tidak bisa memejamkan mata hingga dini hari. “Sayang kita sudah sampai,” kata Tomi perlahan membangunkan Nora. Nora perlahan membuka matanya, dia melihat ke sekeliling, rumah yang indah dan halaman yang asri. “Ini rumah kita, kita akan tinggal disini sementara,” kata Tomi yang lekas turun dari mobilnya, dan menyuruh supirnya untuk menurunkan barang-barang bawaan mereka. Nora mengikuti Tomi turun dari mobil sambil menggendong Bian, dia belum pernah melihat rumah yang akan mereka tempati selama di Jakarta. “Apakah kau membelinya?” tanya Nora pada Tomi. “Tidak, ini adalah rumahku, aku hanya sedikit merenovasinya sebelum berangkat ke Australia,” jawab Tomi. Nora mengikuti Tomi masuk ke dalam rumah, meskipun rumah ini lama tidak di tempati oleh Tomi namun rumah ini terlihat sangat bersih dan tidak berbau khas ru
Tian terus menerus menatap ke arah Nora dan Tomi, meskipun dia tahu ada Almeera di sebesarng sana yang juga ikut memperhatikannya, namun Tian tidak dapat melepaskan pandangannya dari Nora, terlebih anak itu yang sedang Nora gendong yang membuat rasa penasaran Tian makin memuncak. Semalaman Tian tidak bisa tertidur, dia memilih untuk turun kebawah bersama para tamu yang datang melayat ke rumahnya, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, setelah perpisahannya dengan Nora dua tahun lalu, Tian masih merasa bersalah jauh di dalam hatinya, dia tahu saat itu dia sudah mempunyai perasaan sedikit pada Nora, namun kehamilan Almeera membuatnya teralihkan dari Nora. “Apakah saat itu Nora sedang mengandung anakku?” kata Tian dalam hati. “Apakah dia anakku?” kata Tian lagi, seakan-akan pertanyaan di kepalanya tidak ada putusnya. Tian berjalan di samping ibunya, mengantar jenazah Tuan Winata, keadaan rumah sangat ramai, para pelayat yang terdiri dari kolega-kolega bisnis per
Malam itu Nora tidak bisa memejamkan matanya, dia melihat ke samping tempat tidur, sudah pukul satu dini hari, dia masih mengingat perkataan Almeera tadi, dia tahu Almeera tidak main-main dengan perkataannya. “Kau belum tidur?” tiba-tiba suara Tomi mengagetkan Nora. “Ada yang sedang kau pikirkan sayang?” kata Tomi lagi. Tomi memandang wajah Nora, dia melihat ada kegelisahan di wajahnya, Tomi tahu ada sesuatu yang membuat Nora tidak nyaman saat itu. “Tidak, aku hanya tidak bisa tertidur saja, mungkin karena malam pertama di tempat yang baru,” jawab Nora mencari alasan. Tomi hanya mengangguk, namun dia tidak eprcaya apa yang Nora katakan, dia tahu Nora bukanlah orang yang susah beradaptasi, saat pindah ke Australia, Nora tidak mempunyai masalah bergaul atau kesulitan tidur, dia tahu istrinya seperti itu bila ada sesuatu yang di pikirkannya. “Tidurlah, besok pagi kita akan pergi setelah pemakaman Om Winata, lagipula di bawah masih banyak tamu, mungkin aku akan tidur 2-3 ja
“Brakkk,” Almeera membanting pintu kamarnya, wajahnya terlihat gusar campur marah, dia berjalan mondar mandir di dalam kamar, berpikir keras sambil menggigit ibu jarinya. “Sialan, kenapa perempuan itu datang kesini,” kata Almeera pelan, dia berkali-kali melirik ke arah pintu kamar. “Beraninya dia datang kesini membawa anak Tian,” katanya lagi. “Aku harus memikirkan cara agar dia tidak merebut posisiku lagi,” kata Almeera sambil duduk di tepi tempat tidur. Saat Almeera sedang berpikir keras, pintu kamar terbuka dan Tian berjalan masuk ke dalam kamar, wajahnya terlihat tidak biasa, keningnya berkerut dan sepertinya dia tidak sadar ada Almeera di sana “Kau dari mana?” suara Almeera mengagetkan Tian. “Bertemu para tamu, tapi sebagian dari mereka sudah pulang,” jawab Tian sambil menyandarkan badannya di sofa lalu memejamkan mata. “Tamu dari mana?” kata Almeera sambil memancing. “Apa maksudmu?” tanya Tian. Almeera terdiam, dia duduk di samping tempat tidur, dia ingin