Sampai di Bali, Sarlita langsung ke rumah sakit. Dia Ngurah Rai Sarlita di jemput supir Wiryawan. Raut wajah Sarlita tidaklah cerah, kekecewaannya terhadap Jody tergurat jelas diwajahnya. Di dalam mobil, Sarlita memandang keluar jendela. Tatapannya kosong, antara kecemasan terhadap kondisi Mamanya dan perilaku Jody saat ditinggalkannya. “Bapak tahu bagaimana kondisi Mama?” tanya Sarlita pada supir Wiryawan. “Saya tidak banyak tahu, Non Sarlita. Yang saya tahu, ibu sudah sakit sejak pulang dari Jakarta.”“Oh ya? Dari mana bapak tahu?”“Waktu saya jemput di airport, ibu sudah kurang sehat. Di mobil juga sering muntah.”Itulah yang tidak diketahui Sarlita. Seruni tidak menceritakan apa yang dialami Mamanya. Seruni hanya katakan kalau Mamanya sakit sejak dua hari yang lalu. “Papa sendiri gimana? Saat tahu Mama sakit?”“Pak Wiryawan ya gitu, beliau tetap bersikap tenang. Alasannya, agar tidak bertambah yang sakit.”Sarlita sangat kenal watak Papanya, selalu menjadi benteng pertahanan t
Jody tidak berhenti merayu Dissa, dan berusaha mengikuti irama Dissa. Sehingga dia tahu kelemahan Dissa yang mudah disanjung. Jody selalu mencari celah untuk menaklukkan Dissa, yang di matanya sangat mudah untuk ditaklukkan. Di sela itu, Jody terus suguhi Dissa dengan minuman keras. Di Cafe tempat mereka bertemu memang menyediakan minuman beralkohol. Dalam kondisi ‘play’ Dissa semakin mabuk sanjungan. Momen itu dimanfaatkan Jody untuk mengajak Dissa kencan di hotel. Dissa seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, mudah mengikuti keinginan Jody. “Kamu jangan salah, Jod! Aku gak pernah menolak kencan dengan kamu.” itu diucapkannya dalam posisi ‘play’ dan giting. “Iya.. Dis, aku tahu kalau sikap kamu itu bukan penolakan. Okey.. sekarang kita harus pergi dari sini, Dis.” bisik Jody“Hayyuuk.. atuh, siapa takut!?” Jody membopong Dissa yang mulai terhuyung-huyung. Jody merasa usahanya hampir berhasil. Sepanjang jalan Dissa terus nyerocos hal-hal yang tidak dimengerti Jody. Dalam pikiran
Jody selalu punya akal untuk meyakinkan Sarlita. Jody telepon teman dekatnya di kampus untuk memotret suasana di ruang kuliah. Setelah mendapatkan kiriman foto, dia mengedit sedemikian rupa seakan dia sedang berada di ruang kuliah. Foto-foto itu dikirimkan Jody ke Sarlita dengan memberikan pesan, [Sorry Sar.. Aku lagi kuliah..] Setelah mengirimkan foto dan pesan tersebut, Jody melanjutkan kencannya dengan Dissa. “Dis.. kamu kok mlehoy gitu? Belum juga diapa-apain?”“Kepalaku berat banget Jod, kamu sih terlalu lama serangannya..” jawab Dissa dengan malas-malasan. Jody sangat terganggu dengan adanya telepon dari Sarlita, seketika moodnya untuk bercinta hilang. Sementara, Dissa pun keburu kehilangan gairah. Jody terus mencoba melakukan foreplay, namun tidak ada respon dari Dissa. Jody sudah hopeless dan merasa gagal untuk kedua kalinya. Padahal, ibarat seorang strikers Jody tinggal hanya menentang bola ke gawang. Hasratnya tak tersalurkan, Jody merasa pusing. Dia hanya bisa bertin
Saat Sarlita masuk ke dalam rumah, dia melihat Wiryawan—Papanya sedang berbicara dengan koleganya. Seorang pemuda yang tergolong Eksekutif Muda dan Sarlita memberikan salam, “Selamat sore Pa.. “ ucap Sarlita“Sore Sar.. Lho? Kok kamu pulang? Ada apa?”Sarlita jelaskan pada Papanya kalau dia disuruh pulang sama Mamanya, agar bisa istirahat. “Oh ya Sar, kenalin ini Marchiano relasi Papa dari Jakarta.”Sarlita pada awalnya tidak terlalu peduli dengan kehadiran Marchiano. Tapi, karena disuruh kenalan Sarlita pun pada akhirnya memperhatikannya dan memperkenalkan diri, “Sarlita.. “ Ucap Sarlita sembari mengulurkan tangannya. Marchiano pun menyambut uluran tangan Sarlita, “Marchiano.. panggil aja Kiano.”Sarlita membayangkan sosok Marchiano yang ada dihadapannya adalah Jody. Tapi, bayangannya seketika pudar. Jody dan Marchiano jauh panggang dari api. “Yaudah Pa.. Sarlita masuk ke kamar dulu ya.”“Ya sayang.. kamu istirahat aja ya. Nanti Papa mau bicara sama kamu.”Sarlita meninggalkan W
“Salah satu alasannya itu, tapi kalau kamu sudah gak mau ketemu aku juga gak masalah sih. Aku butuh kamu untuk curhat aja.”Windi mencoba jujur dengan dirinya sendiri, bahwa sesungguhnya dia tidak bisa melupakan Jody. Bahkan, dia pernah sanggup berbagi cinta dengan Sarlita. “Kamu mau curhat soal apa Jod? Aku siap menjadi pendengar yang baik.”“Soal perasaan itu memang susah ya, semakin kita lari dari kenyataan, semakin pula susah untuk dihilangkan.”Windi tidak memahami arah pembicaraan Jody, dia tanyakan pada Jody. “Kamu ngomong apa sih? Aku gak ngerti, Jod!” dahi Windi berkerut. “Ini tentang perasaan aku sama kamu, Win. Semakin aku lari dari kamu, semakin menggebu aku mengejar kamu. Mungkin kamu anggap bullshit apa yang aku katakan.”“Ya memang bullshit! Kamu katakan itukan hanya pelarian dari perasaan kamu pada Sarlita?”Jody terus berusaha meyakinkan Windi, berbagai dalih dia kemukakan. Bahkan, dia berani bersumpah pada Windi kalau dia berkali-kali berusaha menghindari Windi.
Dissa cerita bagaimana dia dari awalnya yang tidak ingin di foto nude, dengan kepiawaian photographernya merayu Dissa akhirnya difoto dalam keadaan nude. “Kamu gak risih di lihat mas Kristo dan mas Heruko?”“Itu dia.. mas Kristo dan mas Heruko akhirnya keluar dari studio.”“Lho? Kamu suka? Dan kamu menikmatinya?”“Ya gitu deh, Sar, mau gimana lagi udah terlanjur.”Dissa tidak hanya cerita tentang hasil pemotretan, dia juga menceritakan pertemuannya dengan Jody di sebuah Cafe. Entah apa tujuan Dissa menceritakan hal itu pada Sarlita. Padahal, dia sendiri tidak respek pada Jody. “Sar.. kamu masih mau dengar cerita aku gak?”“Kamu mau cerita apa lagi, Dis? Cerita deh.. aku ingin tahu aja.”“Kemarin aku gak sengaja ketemu Jody di Cafe, Sar, dia lagi suntuk gitu deh.”Dissa cerita panjang lebar tentang pertemuannya dengan Jody. Bahkan, dia cerita kalau Jody cekokin dia miras. Tapi, Dissa tidak ceritakan kencannya dengan Jody. “Kelanjutan ceritanya aku gak mau dengar, Dis! Kenapa sih kam
Kali ini Jody tidak bisa berkutik, menjawab apa adanya tanpa bisa lagi untuk berkelit.“Windi Ma, mantan aku.. dia butuh materi kuliah untuk besok.” jawab Jody tanpa berani menatap wajah Mamanya.“Kamu gak usah bohongi Mama, Jod! Mama sudah tahu apa yang kalian lakukan di kamar.”Jody mati kutu, ternyata Mamanya lebih pintar bsrsiasat dibandingkan dirinya. Dia tidak menyangka kalau Mamanya tahu apa yang dilakukannya dengan Windi.“Jody nyerah deh.. kalau Mama tetap gak percaya. Mama bantu Jody dong, Jody malas ke Bali.”“Soal itu Mama gak bisa bantu, Jod, kamu harus ikuti apa kata Papa kamu.”Mama Jody terus mencecar Jody terkait kehadiran Windi di kamar Jody. Namun, Jody tetap pada argumentasinya.“Itu yang membuat kamu malas ke Bali? Karena kamu punya mainan di Jakart? Kalau sampai Papa kamu tahu, dia akan sangat murka, Jody!!”“Yaudah Ma, besok Jody berangkat ke Bali, sekarang biarkan Jody sendiri.”Mama Jody meninggalkan Jody di kamarnya. Dalam kesendiriannya, Jody tidak
Tiba-tiba Jody seperti ayam sayur, kecut tak berkutik dihadapan Mama Sarlita. Sarlita melihat kondisi itu tidak tega, dia menyela pembicaraan Mamanya dan Jody, “Ma.. istirahat dulu ya, Mama belum boleh banyak pikiran. Jody juga baru sampai.” sela SarlitaSarlita tidak ingin Jody nantinya jadi kurang aja pada Mamanya, dia juga tidak ingin Mamanya bukannya sembuh malah tambah parah. “Mama perlu Ingatkan ini pada kalian berdua, Mama katakan itu karena Jody sudah Mama anggap anak sendiri.”“Jody terima nasihat Mama, apa pun yang Mama katakan demi kebaikan kami berdua.” Jody menimpali. Kekhawatiran Jody benar, dia akan berhadapan dengan Mama Sarlita yang tidak terlalu menyukai kehadirannya. Namun, dia harus bisa menahan diri, baginya itu bagian dari resikonya ke Bali. Sarlita ajak Jody keluar dan duduk di bangku depan ruang rawat, Sarlita tanyakan kebenaran cerita Dissa. “Jod! Kemarin Dissa telepon aku, dia cerita ketemu kamu di Cafe.”Jody berusaha untuk tetap tenang, meskipun dia kh