Ketegangan begitu terasa saat Serena bergabung dengan Robin dan yang lainnya. Debby terkesan menarik diri meski tetap bersikap ramah seperti biasa. Vivian mendadak pendiam dan duduk dengan gelisah di tempatnya. Hanya Robin yang berusaha bersikap santai dan mencoba mengobrol dengan Serena yang baru dikenalnya.
“Halo, Tante. Saya Robin, temannya Vivian,” katanya saat memperkenalkan diri.
Serena memandang Robin dengan penuh perhatian. Bibir perempuan itu menyunggingkan senyum ramah. Serena menyambut uluran tangan Robin sembari balas menyebutkan jati dirinya.
Perempuan itu masih sangat menawan meski usianya sudah tidak muda lagi. Ada kerutan halus di beberapa titik, tapi justru membuat kecantikannya kian menonjol. Serena mengaku baru datang dari Bali sore tadi dan sengaja menuju ke Super Bakery untuk menemui putrinya.
“Tadi Tante sampai Cengkareng sekitar jam setengah lima. Setelah ke apartemen untuk naruh koper dan mandi, Tante langsung ke
“Aku pulang dulu, ya? Cobalah ngobrol dikit sama mamamu. Jangan cuma diam aja dan baru ngomong pas ditanya. Anggap aja sebagai penghargaan karena mamamu baru datang dari jauh,” saran Robin dengan hati-hati.“Oke,” angguk Vivian sembari menegakkan tubuh.Esoknya, Robin sengaja mendatangi ruangan ayahnya dengan senyum lebar. “Pa, aku punya berita bagus.”“Apa? Rancangan terbarumu akan memecahkan rekor penjualan?” gurau Ariel“Bukan soal kerjaan,” Robin tertawa. “Kemarin, aku ketemu idola Papa. Bisa menebak siapa orangnya?” Dia berteka-teki.Ariel yang sedang mencari sesuatu di laci mejanya, menjawab tanpa mengangkat wajah. “Idola Papa? Siapa, ya? Hmmm, kayaknya Papa nggak punya idola, deh. Kamu ngarang atau sok tau?”“Yakin, nggak punya idola?”“Yup,” angguk Ariel.Robin duduk di depan ayahnya. “Aku pernah ngeliat fot
Vivian hanya punya waktu sekitar 24 jam untuk merasa lega karena Serena setuju memberinya ruang. Tidak berkali-kali datang ke Jakarta untuk melunakkan hati Vivian, setengah mendesak agar gadis itu bersedia makan malam dan menghabiskan waktu berdua dengan ibunya. Vivian senang karena tampaknya Serena berkenan mengalah dan tak memaksakan kehendak pada putri tunggalnya.“Makasih Ma, karena ... paham alasanku,” kata Violet pada ibunya, sebelum Serena meninggalkan Super Bakery. Serena mengangguk sambil tersenyum.“Mama yang harus bilang makasih karena kamu mau ngasih kesempatan,” sahut Serena. Perempuan itu mengelus lengan kiri Vivian sekilas.Kala itu, betapa ingin Vivian kembali ke masa lalu, saat dia masih kecil dan selalu berusaha mendekati ibunya. Andai sikap Serena seperti ini, menyambut Vivian dengan penuh kasih sayang, tentu hubungan mereka akan jauh lebih indah.“Papa senang karena kamu bersikap lebih dewasa, Vi,” p
Vivian ingin mengutuk dirinya sendiri. Karena tak bisa menaklukkan rasa takut yang dominan di kepalanya. Dia selalu menjadi pihak yang meminta Robin menunggu dan bersabar. Dia takkan heran jika suatu saat cowok itu akhirnya menyerah dan membalikkan badan. Namun, di sisi lain, Vivian memang tak bisa memaksakan diri.Kedekatan mereka memang sudah mulai meyakinkan Vivian bahwa dia membutuhkan Robin, jatuh cinta pada cowok itu yang bukan termasuk dalam kategori iseng. Akan tetapi, hubungan masa lalu antara Serena dengan Ariel tentu saja membuat segalanya berubah. Di saat Vivian hampir siap membuat keputusan, situasi malah berbalik.Kembali ke Super Bakery, Vivian berjuang untuk menyibukkan diri agar konsentrasinya tidak tercurah pada perbincangan dengan Robin tadi. Dia mengecek dapur tapi tidak ada kesibukan berarti karena semua pekerjaan sudah dituntaskan sebelum magrib. Tidak ada yang bisa dilakukan Vivian untuk menghabiskan waktu dengan aktivitas yang bermanfaat.
Robin menatap Nania dengan putus asa. Setelah sekian lama dia mengira gadis itu menyerah mencoba menarik perhatiannya, Nania muncul lagi. Sejak Robin kembali rutin mengunjungi Fit dan Bugar, dia kembali bertemu Nania dalam beberapa kesempatan. Lalu, gadis itu pun mulai melakukan aksi-aksi yang membuat Robin kesal.“Na, jangan begini. Aku jadi merasa canggung dan tidak nyaman kalau kamu terus bersikap begini.” Itu kalimat ulangan yang sudah diucapkan Robin entah berapa puluh kalinya. Namun Nania tak peduli dan mengabaikan protes cowok itu.Nania berusaha keras menggodanya, menggelayuti lengan Robin ketika ada kesempatan. Jika cowok itu sedang duduk di sofa panti rehabilitasi, sudah pasti Nania akan berusaha menempel di sebelahnya. Saking gerahnya, Robin pernah sengaja duduk di sofa tunggal. Sayang, cowok itu melupakan lengan sofa yang lebar dan bisa dijadikan tempat duduk darurat. Maka, di situlah Nania bertahan. Hingga Robin pun kembali mengingatkan gadis i
“Ini semua soal perasaan, Na. Bukan soal salah atau kekurangan yang kamu punya. Nggak ada yang bisa maksa kalau udah berkaitan sama masalah yang satu itu. Contohnya, bisa nggak kalau kamu diwajibkan untuk jatuh cinta sama Rudi atau Alex? Pasti nggak bisa, kan? Urusan hati itu nggak ada rumusnya, nggak bisa diprediksi.”Robin terdiam. Dipandanginya Nania dengan kepala yang kian berat saja rasanya. Namun dia berjuang untuk menyabarkan diri meski sebenarnya Robin begitu kesal dengan gadis ini. Karena Nania tak tahu cara menempatkan diri dengan baik, tak bisa melihat situasi yang tersaji di depan matanya. Gadis ini benar-benar tidak peka alias bebal.Nania tak langsung menjawab, malah menatap Robin dengan mata menyipit. “Jatuh cinta sama Rudi atau Alex?” gumamnya nyaris tak terdengar. Lalu, kepala gadis itu menggeleng. “Aku nggak punya perasaan apa pun sama mereka. Kamu kok aneh-aneh aja, sih? Ngapain kamu nyuruh aku jatuh cinta sama mereka?&r
“Stop deh nyebut nama cewek lain. Aku nggak kenal Cynthia sebelum ketemu dia di panti. Kejadiannya nggak lama setelah Eric ditangkap polisi.” Robin mendesah. “Sekarang, udah jelas jawabannya, kan? Kenapa kamu bisa ngajuin pertanyaan itu, sih? Apa masih nggak percaya kalau aku jatuh cinta sama kamu?”“Aku nggak tau,” jawab Vivian, kali ini suaranya tak sekaku tadi.“Apanya yang nggak tau?” Robin kebingungan.“Nggak tau jawaban dari pertanyaanku tadi. Kalau sebaliknya, aku nggak mungkin datang ke sini.” Gadis itu mendesah lalu memandang ke sekeliling. “Aku juga nggak ngerti kenapa nekat ke sini untuk nanyain semua ini sama kamu. Jujur, aku kaget waktu Rudi bilang Nania masih getol nempel sama kamu. Hebat banget dia, nggak juga putus asa setelah sekian lama. Beneran patut diacungi jempol.”“Hah? Serius Nania patut diacungi jempol?” ulang Robin.Vivian tak menj
Robin membuka sabuk pengaman sebelum keluar dari dalam mobil. Vivian mengikutinya dengan wajah datar tanpa senyum. Robin mendekati Vivian, meraih tangan kiri gadis itu sebelum berderap menuju ruang praktik dokter umum yang tidak terlalu ramai. Untungnya Vivian menurut dan tidak berusaha melepaskan tangannya.“Hari ini, aku nggak akan ngebiarin kamu pulang sebelum masalah kita kelar. Pokoknya, semua harus jelas hari ini juga,” ucapnya dengan nada tegas.“Kamu lagi sakit, masalah kita bisa ditunda nanti-nanti. Yang—”“Nggak ada penundaan lagi,” potong Robin. “Aku nggak bisa kalau harus nunggu lebih lama lagi. Mungkin keburu balik ke Aussie dan ngelanjutin sekolah.”Vivian berhenti di ambang pintu. “Kamu mau balik ke Aussie?” tanyanya dengan pupil mata membesar. “Kapan? Ini udah direncanain lama atau gimana?”“Nanti aja ngebahas soal itu. Sekarang, aku mau ke dokter du
Vivian terdiam lama sebelum akhirnya menyerah, ditandai dengan anggukan. “Aku juga mikirnya kayak gitu. Nggak ada bagian masa lalu Mama dan papamu yang bisa kuubah. Tapi kalau apa yang terjadi dulu malah ngefek ke masa sekarang dan bikin aku nggak bahagia, memang rasanya nggak masuk akal.”Robin cukup kaget dengan kalimat gadis itu. Namun dia belum sempat merespons karena Vivian sudah keluar dari mobil. Robin masih sempat menyambar obatnya sebelum menyusul gadis itu. Dia memutari mobil, memegang kedua bahu Vivian. Gadis itu mendongak kaget, menghentikan gerakan membenahi posisi tas selempangnya.“Vi, aku mau tanya sekali lagi,” suara Robin melembut. “Aku jatuh cinta sama kamu, nggak pengin cuma jadi temenmu doang. Maaf kalau aku bukan tipe cowok romantis yang diidamkan cewek-cewek. Maaf juga karena aku nggak pinter ngerayu. Tapi yang pasti, aku cintanya nggak main-main ke kamu.” Robin mengambil napas sejenak. “Vivian, kamu mau
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat