"Mama kembar." Here we go, panggilan alam akhirnya datang, seperti biasa trio Ibu Nuri, Yuli, Yuni menghampiri ketika aku menjemput Hiro dan Naga di sekolah. "Gimana si kembar jadi ikut jalan-jalan ke kebun binatang atau nggak? Saya belum nerima transferan." Aku meringis, mencoba mencari alasan untuk menolak, aku takut bahwa Hiro dan Naga sedih karena di antara teman-teman lain, mereka tidak ikut, sementara biayanya di luar kemampuanku saat ini. "Itu... apa menurut Ibu-Ibu biayanya nggak terlalu kemahalan?" "Loh, kan udah dijelasin ya tempo hari sama Ibu Nuri," kata Ibu Yuli. "Pulang dari kebun binatang anak-anak juga dapat goodie bag, lagian di sana nanti mereka bukan cuma lihat-lihat binatang tapi sekalian belajar." "Kita malah belum kasih tau soal seragam anak-anak loh Mom." Ibu Yuni menimpali. "Seragam?" "Iya biar gampang dikoordinasiinnya, anak-anak kan rawan hilang dari rombongan, makanya kita butuh seragam, jadi mudah dicari dan dibedain dari rombongan TK lain." Penjel
Gelisah, ada alasan kenapa aku menyembunyikan kehamilan pada Gun, salah satunya karena karier laki-laki itu sedang berada di puncak ketika ini terjadi, kedua ibunya nggak menyukaiku. Beliau menganggap aku sebagai penghambat kesukesaan Gun, dan kehamilanku hanya membawa bencana. Lalu kalau ditanya apakah aku menyesali keputusan itu? Jawabannya tidak, aku justru akan menyesal kalau dulu menuruti keinginannya, sesuatu yang tidak akan termaafkan. Meski sulit, tapi aku menikmati setiap proses mengandung anak-anakku. Sakit, pusing, mual, kram, semua kulalui dengan hati gembira, dan hasilnya aku rasa anak-anakku tumbuh menjadi anak yang riang, saking riangnya kadang aku berpikir mereka melewati batas. Aku mulai meragukan diri sendiri, apakah mungkin saja apartemen memang diacak-acak oleh mereka dan bukannya debt collector? Sial, karena julukan banyak orang mereka liar dan nakal aku jadi terkontaminasi. "Hiro, Naga, kalian nggak boleh ngatain orang lain bodoh, itu sangat kasar," kataku be
"Asisten Chef?" Aku tergagap di saat dia langsung masuk ke ruangan lalu dengan wajah puas duduk di kursi kebesarannya. "Terus gimana dengan kerjaan saya? Bukannya dwi jabatan sama nggak diperbolehkan? Saya nggak mungkin double jadi manajer dan asisten chef juga, Pak." "Siapa yang bilang kamu akan punya dua jabatan?" katanya santai. "Kamu nggak perlu jadi manajer saya, saya nggak butuh itu sekarang, semua pekerjaan syuting sudah ditangani Ed, dan kamu sepertinya lebih cocok jadi asisten chef." "Bapak bahkan nggak tau saya bisa masak atau nggak!" kataku melotot. Tapi alis Gun terangkat, kutelan kembali semua kalimat protesku. Tentu saja Gun tahu, pernah menjalin hubungan selama tiga tahun, jelas sedikit banyak dia sudah mengenalku. Dia tahu, meski bukan profesional dan tidak pernah sekolah masak sepertinya, aku diam-diam memiliki passion pada dunia kuliner. Dan Gun sepertinya sedang berusaha memanfaatkan impian yang sudah kupendam itu dalam-dalam. "Memang ada perbedaan besar menja
"Diam sebentar." Dia meremas pinggulku supaya aku berhenti bergerak-gerak di atas tubuhnya. Laki-laki itu mengerang lagi. Ya Tuhan. Aku benar-benar ngeri, tubuhku yang mungil mungkin tidak ada apa-apanya bagi Gun, tapi posisi jatuhnya mengkhawatirkan. Aku takut bahwa dia akan cedera. "Saya udah boleh bergerak?" "Belum." Gun merebahkan kepala, kedua matanya terpejam, keningnya mengernyit samar. Dari jarak sedekat ini, aku bisa memindai dengan jelas wajahnya. Pada bulu matanya yang lentik, rahangnya yang mulus dan sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus. Hidungnya yang bangir, lalu bibirnya yang ranum dan merah muda. Tanpa sadar pipiku terasa merona. Aku pun bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, atau itu adalah detak jantungku sendiri? Aku tidak yakin, tapi tubuh kami yang menempel, membuatku bahkan bisa merasakan sebagaian tubuhnya. Wajahku semakin gosong. "Pak? "Hm? "Saya sudah boleh bangun?" "Belum." "Kita harus cari bantuan." "Benar." "Bapak bisa bergerak
Aku penasaran apa sekiranya jawaban Gun, tapi sayang pendengaranku terinterupsi dengan Hiro yang mendorong kursi lalu melompat turun. Hingga tidak ada yang bisa kudengar selain gumaman. Namun Naga pun diam saja, dia cenderung tidak merespon, dan seperti orang yang mematung menatap perempuan itu. "Aku mau ngerjain tugas," kata Hiro melenggang masuk ke kamar. "Naga sebaiknya kita selesain PR hari ini." Naga masih ragu-ragu di depan pintu. "Naga, ayo cepat." "Hallo?" Prily menyapa, dia menaiki undakan lalu dengan gemas mengacak rambut Naga diikuti Gun di belakangnya. "Siapa nama kamu, anak manis?" Naga segera menepisnya. "Duh, gemasnya. Jangan malu-malu ya, kamu bisa panggil Aunty Prily." "Mohon maaf saya nggak punya Uncle yang menikah sama kamu." "Uhm." Prily tampak terkejut karena sikap lancang Naga. "Memanggil orang lain Aunty bukan berarti harus karena menikah dengan Uncle kok, kamu bisa—" Naga langsung melengos, berlari masuk, menabrak tubuhku yang melangkah mendekati mer
Aku benci bagaimana Gun selalu punya dampak seperti ini tiap kali dia menyebutkan namaku. Tubuhku akan merespon dengan getaran halus, dan detak jantungku langsung melonjak. Masalahnya dia kini berdiri di depan pintu ruangan tempat menyambut Prily. Laki-laki itu masih menggenakan kacamata baca. Dengan pakaian yang sama. Selain kemampuan memasaknya yang di atas rata-rata, Gun juga suka sekali membaca. Aku ingat dia punya ruang khusus perpustakaan di apartemennya dulu. Laki-laki ini sebenarnya adalah seorang nerd, atau lebih tepatnya hot nerd. Kalau bukan karena harus serumah, aku pasti tidak akan memiliki kesempatan untuk melihatnya seperti ini lagi. "Ini baru mau tidur, Pak." "Kenapa kamu malah berkeliaran? Kamu tahu jam berapa sekarang?" "Saya abis temenin anak-anak ngerjain tugas sekolah buat besok." Alisnya terangkat, lalu perlahan berjalan mendekat. "Mereka sudah tidur?" "Iya." "Biar saya lihat." "Sebaiknya jangan." Gun mengernyit karena aku menahan knop pintu.
Kenapa identitas suamiku sangat penting untuk Gun? Beberapa waktu lalu dia menanyakan kapan dan kenapa suamiku bisa meninggal. Sekarang dia menanyakan masalah pekerjaannya. Lantas aku harus jawab apa? Masalahnya aku ngeri, menumpuk satu kebohongan di atas kebohongan lain, akan menimbulkan kekacauan. Jadi dengan sangat terpaksa aku lagi-lagi harus memutar otak mencari sebuah nama. "Mita? "Abi..." sebutku akhirnya. Memilih satu nama yang mudah. "Abi Las." "Abi Las?" Gun mengulangi, hidungnya mengernyit, seolah nama tersebut meninggalkan aroma tidak sedap di udara. "Kenapa kamu harus tanya ini Gun?" "Kamu nggak memberikan informasi ini di resume profil kamu." "Apa itu penting?" "Saya perlu memastikan dia memang ada dan bukan hanya sekedar halusinasi." Mulutku membuka menutup, tangan berkeringat. Apakah entah bagimana dia bisa membaca pikiranku? "Kamu pikir Hiro dan Naga anak siapa kalau aku nggak punya suami? Kamu nggak berpikir aku melendung sendiri, kan?" "Mu
"Aku janji akan ajarin Dimas lagi, kalau dia udah bisa, aku akan suruh dia ngerjain tugas-tugas di buku cetak Chef Gun." Aku hanya bisa meringis ketika dengan semangat Naga membawa buku-buku milik Gun, lalu melompat turun dan berlari ke gerbang TK, sementara Hiro dengan santai mengekori adiknya. Di sisi lain aku senang mereka nurut, tapi perasaan was-was karena mereka berada di sekitar Gun semakin menggebu-gebu. Kuputuskan untuk cepat-cepat ke De Luca. Setelah semalam menolak Gun dengan terang-terangan, aku yakin mood laki-laki itu kini dalam keadaan berantakan. Maksudku, hei... dia kan punya Prily, bagaimana dia bersikap kurang ajar padaku sementara memiliki hubungan dengan perempuan lain? Mohon maaf, aku belum mau dicap sebagai pelakor. Dapur sangat hethic, baru masuk, aku langsung dilempar berbagai pekerjaan. Mulai dari membuat risotto, sampai harus gesit berada di sisi Gun ketika dibutuhkan. "Kurang seasoning," komentarnya ketika aku mengambil alih ravioli dan menyajikan maka
"Kamu bilang, mereka nggak bisa didakwa dengan tuntutan pengerusakan?" "Saya sudah bilang, kalau untuk menyerahkan semuanya pada Jerikho, dia sudah terbiasa mengurus kasus seperti ini." Jujur, aku merasa lega sekaligus bertanya-tanya. Sayangnya pertanyaan itu tidak bisa terjawab karena Gun tidak mengizinkan aku untuk menemui pelaku. "Setidaknya aku harus tau gimana orang-orang yang udah nyaris mencelakakan aku," kataku beralasan setelah kami beradu argumen. "Untuk apa Mita? Yang penting mereka sudah ditangkap, terbukti melakukan pengrusakan dan penyalahgunaan wewenang dengan bertindak semena-mena. Itu sudah lebih dari cukup." Gun membalas tegas. "Untuk apa kamu harus menemui mereka lagi? Hanya menghabiskan waktu." Gun benar, dan tidak benar di saat yang bersamaan. Aku kesal, ingin melihat bagaimana tampang seseorang yang sudah membuat si kembar ketakutan. Tapi pendapat Gun juga tidak salah. "Itu berarti, apa aku dan anak-anak udah bisa pulang ke apartemen sekarang?" Hiro dan Na
"Aku janji akan ajarin Dimas lagi, kalau dia udah bisa, aku akan suruh dia ngerjain tugas-tugas di buku cetak Chef Gun." Aku hanya bisa meringis ketika dengan semangat Naga membawa buku-buku milik Gun, lalu melompat turun dan berlari ke gerbang TK, sementara Hiro dengan santai mengekori adiknya. Di sisi lain aku senang mereka nurut, tapi perasaan was-was karena mereka berada di sekitar Gun semakin menggebu-gebu. Kuputuskan untuk cepat-cepat ke De Luca. Setelah semalam menolak Gun dengan terang-terangan, aku yakin mood laki-laki itu kini dalam keadaan berantakan. Maksudku, hei... dia kan punya Prily, bagaimana dia bersikap kurang ajar padaku sementara memiliki hubungan dengan perempuan lain? Mohon maaf, aku belum mau dicap sebagai pelakor. Dapur sangat hethic, baru masuk, aku langsung dilempar berbagai pekerjaan. Mulai dari membuat risotto, sampai harus gesit berada di sisi Gun ketika dibutuhkan. "Kurang seasoning," komentarnya ketika aku mengambil alih ravioli dan menyajikan maka
Kenapa identitas suamiku sangat penting untuk Gun? Beberapa waktu lalu dia menanyakan kapan dan kenapa suamiku bisa meninggal. Sekarang dia menanyakan masalah pekerjaannya. Lantas aku harus jawab apa? Masalahnya aku ngeri, menumpuk satu kebohongan di atas kebohongan lain, akan menimbulkan kekacauan. Jadi dengan sangat terpaksa aku lagi-lagi harus memutar otak mencari sebuah nama. "Mita? "Abi..." sebutku akhirnya. Memilih satu nama yang mudah. "Abi Las." "Abi Las?" Gun mengulangi, hidungnya mengernyit, seolah nama tersebut meninggalkan aroma tidak sedap di udara. "Kenapa kamu harus tanya ini Gun?" "Kamu nggak memberikan informasi ini di resume profil kamu." "Apa itu penting?" "Saya perlu memastikan dia memang ada dan bukan hanya sekedar halusinasi." Mulutku membuka menutup, tangan berkeringat. Apakah entah bagimana dia bisa membaca pikiranku? "Kamu pikir Hiro dan Naga anak siapa kalau aku nggak punya suami? Kamu nggak berpikir aku melendung sendiri, kan?" "Mu
Aku benci bagaimana Gun selalu punya dampak seperti ini tiap kali dia menyebutkan namaku. Tubuhku akan merespon dengan getaran halus, dan detak jantungku langsung melonjak. Masalahnya dia kini berdiri di depan pintu ruangan tempat menyambut Prily. Laki-laki itu masih menggenakan kacamata baca. Dengan pakaian yang sama. Selain kemampuan memasaknya yang di atas rata-rata, Gun juga suka sekali membaca. Aku ingat dia punya ruang khusus perpustakaan di apartemennya dulu. Laki-laki ini sebenarnya adalah seorang nerd, atau lebih tepatnya hot nerd. Kalau bukan karena harus serumah, aku pasti tidak akan memiliki kesempatan untuk melihatnya seperti ini lagi. "Ini baru mau tidur, Pak." "Kenapa kamu malah berkeliaran? Kamu tahu jam berapa sekarang?" "Saya abis temenin anak-anak ngerjain tugas sekolah buat besok." Alisnya terangkat, lalu perlahan berjalan mendekat. "Mereka sudah tidur?" "Iya." "Biar saya lihat." "Sebaiknya jangan." Gun mengernyit karena aku menahan knop pintu.
Aku penasaran apa sekiranya jawaban Gun, tapi sayang pendengaranku terinterupsi dengan Hiro yang mendorong kursi lalu melompat turun. Hingga tidak ada yang bisa kudengar selain gumaman. Namun Naga pun diam saja, dia cenderung tidak merespon, dan seperti orang yang mematung menatap perempuan itu. "Aku mau ngerjain tugas," kata Hiro melenggang masuk ke kamar. "Naga sebaiknya kita selesain PR hari ini." Naga masih ragu-ragu di depan pintu. "Naga, ayo cepat." "Hallo?" Prily menyapa, dia menaiki undakan lalu dengan gemas mengacak rambut Naga diikuti Gun di belakangnya. "Siapa nama kamu, anak manis?" Naga segera menepisnya. "Duh, gemasnya. Jangan malu-malu ya, kamu bisa panggil Aunty Prily." "Mohon maaf saya nggak punya Uncle yang menikah sama kamu." "Uhm." Prily tampak terkejut karena sikap lancang Naga. "Memanggil orang lain Aunty bukan berarti harus karena menikah dengan Uncle kok, kamu bisa—" Naga langsung melengos, berlari masuk, menabrak tubuhku yang melangkah mendekati mer
"Diam sebentar." Dia meremas pinggulku supaya aku berhenti bergerak-gerak di atas tubuhnya. Laki-laki itu mengerang lagi. Ya Tuhan. Aku benar-benar ngeri, tubuhku yang mungil mungkin tidak ada apa-apanya bagi Gun, tapi posisi jatuhnya mengkhawatirkan. Aku takut bahwa dia akan cedera. "Saya udah boleh bergerak?" "Belum." Gun merebahkan kepala, kedua matanya terpejam, keningnya mengernyit samar. Dari jarak sedekat ini, aku bisa memindai dengan jelas wajahnya. Pada bulu matanya yang lentik, rahangnya yang mulus dan sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus. Hidungnya yang bangir, lalu bibirnya yang ranum dan merah muda. Tanpa sadar pipiku terasa merona. Aku pun bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, atau itu adalah detak jantungku sendiri? Aku tidak yakin, tapi tubuh kami yang menempel, membuatku bahkan bisa merasakan sebagaian tubuhnya. Wajahku semakin gosong. "Pak? "Hm? "Saya sudah boleh bangun?" "Belum." "Kita harus cari bantuan." "Benar." "Bapak bisa bergerak
"Asisten Chef?" Aku tergagap di saat dia langsung masuk ke ruangan lalu dengan wajah puas duduk di kursi kebesarannya. "Terus gimana dengan kerjaan saya? Bukannya dwi jabatan sama nggak diperbolehkan? Saya nggak mungkin double jadi manajer dan asisten chef juga, Pak." "Siapa yang bilang kamu akan punya dua jabatan?" katanya santai. "Kamu nggak perlu jadi manajer saya, saya nggak butuh itu sekarang, semua pekerjaan syuting sudah ditangani Ed, dan kamu sepertinya lebih cocok jadi asisten chef." "Bapak bahkan nggak tau saya bisa masak atau nggak!" kataku melotot. Tapi alis Gun terangkat, kutelan kembali semua kalimat protesku. Tentu saja Gun tahu, pernah menjalin hubungan selama tiga tahun, jelas sedikit banyak dia sudah mengenalku. Dia tahu, meski bukan profesional dan tidak pernah sekolah masak sepertinya, aku diam-diam memiliki passion pada dunia kuliner. Dan Gun sepertinya sedang berusaha memanfaatkan impian yang sudah kupendam itu dalam-dalam. "Memang ada perbedaan besar menja
Gelisah, ada alasan kenapa aku menyembunyikan kehamilan pada Gun, salah satunya karena karier laki-laki itu sedang berada di puncak ketika ini terjadi, kedua ibunya nggak menyukaiku. Beliau menganggap aku sebagai penghambat kesukesaan Gun, dan kehamilanku hanya membawa bencana. Lalu kalau ditanya apakah aku menyesali keputusan itu? Jawabannya tidak, aku justru akan menyesal kalau dulu menuruti keinginannya, sesuatu yang tidak akan termaafkan. Meski sulit, tapi aku menikmati setiap proses mengandung anak-anakku. Sakit, pusing, mual, kram, semua kulalui dengan hati gembira, dan hasilnya aku rasa anak-anakku tumbuh menjadi anak yang riang, saking riangnya kadang aku berpikir mereka melewati batas. Aku mulai meragukan diri sendiri, apakah mungkin saja apartemen memang diacak-acak oleh mereka dan bukannya debt collector? Sial, karena julukan banyak orang mereka liar dan nakal aku jadi terkontaminasi. "Hiro, Naga, kalian nggak boleh ngatain orang lain bodoh, itu sangat kasar," kataku be
"Mama kembar." Here we go, panggilan alam akhirnya datang, seperti biasa trio Ibu Nuri, Yuli, Yuni menghampiri ketika aku menjemput Hiro dan Naga di sekolah. "Gimana si kembar jadi ikut jalan-jalan ke kebun binatang atau nggak? Saya belum nerima transferan." Aku meringis, mencoba mencari alasan untuk menolak, aku takut bahwa Hiro dan Naga sedih karena di antara teman-teman lain, mereka tidak ikut, sementara biayanya di luar kemampuanku saat ini. "Itu... apa menurut Ibu-Ibu biayanya nggak terlalu kemahalan?" "Loh, kan udah dijelasin ya tempo hari sama Ibu Nuri," kata Ibu Yuli. "Pulang dari kebun binatang anak-anak juga dapat goodie bag, lagian di sana nanti mereka bukan cuma lihat-lihat binatang tapi sekalian belajar." "Kita malah belum kasih tau soal seragam anak-anak loh Mom." Ibu Yuni menimpali. "Seragam?" "Iya biar gampang dikoordinasiinnya, anak-anak kan rawan hilang dari rombongan, makanya kita butuh seragam, jadi mudah dicari dan dibedain dari rombongan TK lain." Penjel