Tatapan khawatir yang berasal dari mata Bu Dewi membuat Airin merasa bahwa sepertinya ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Dan ya.. Sekaligus juga menambah alasan ketakutan Airin pada firasat buruknya. Ia sudah kehilangan hasrat untuk hidup saat melihat wajah Bu Dewi yang pucat walau dengan riasannya yang mencolok. Ini adalah saat-saat yang paling menakutkan baginya.
Dia benci berencana karena yang ada di pikirannya hanya akan ada firasat buruk saja. Dan sialnya, dia punya takdir yang membuat firasat buruknya selalu saja jadi kenyataan.
Seolah-olah dia bisa melihat hal buruk yang akan terjadi di depan matanya.
Airin bersama dengan ketakutannya, berjalan mundur, berharap ia tak akan mendengar apapun yang keluar dari mulut Bu Dewi sebentar lagi,
"Rin, Zahra.. Rombongan.. Kecelakaan.."
Airin menelan ludahnya berat.
Dia melangkah mundur dengan gontai. Bu Dewi juga ikut jatuh, terduduk di bawah. Orang-orang di sana berekspresi tidak sesuai dengan riasan mereka sejak kalimat Bu Dewi berakhir tadi. Riasan mereka nampak memancarkan terang kebahagiaan, sementara ekspresi wajah sudah banyak yang lesu, berkeringat dingin, ada juga yang menghampiri Bu Dewi dan Airin yang mundur tidak beraturan, hampir jatuh juga.
Airin sebisa mungkin menyangga dirinya pada meja di belakangnya. Dia masih belum sepenuhnya meyakini sepatah kalimat Ibunya Raihan tadi. Ia menghampiri beliau dan ikut duduk di bawah lalu mengambil ponsel Raihan dari tangan Bu Dewi.
Airin melihat riwayat panggilan terakhir yang berasal dari nomer tak dikenal. Ia menekan tombol dial kembali,
“Halo .. apakah ini dengan pihak keluarga korban?” Ucap suara wanita, tegas, di seberang..
Airin kembali mematung mendengar kata-kata ‘korban’.
“Halo ? Jika benar, tolong segera ke lokasi yang sudah dikirimkan, ya. Ada beberapa korban selamat dan kami juga membutuhkan beberapa perwakilan dari keluarga korban.
Secercah harapan.
***
Tanpa menunggu lagi. Airin langsung menancap gas menuju lokasi yang dimaksud wanita, yang sepertinya seorang polwan, itu tadi. Bisa saja Zahra yang selamat, apapun, kondisinya, ia yakin bisa menyelesaikannya nanti.
Pernikahan ditunda? Tidak masalah. Yang terpenting adalah memastikan Zahra selamat dari kecelakaan dan masih hidup saat ini. Airin tidak punya pandangan apa yang akan dilakukannya nanti jika hal buruk terjadi. Bagaimana Raihan, juga?
Dengan belibet kebaya dan sanggul yang sudah sedikit berantakan, riasan rambut yang hampir terlepas karena tersangkut atap mobil, Airin sedikit berlari, dengan high-heels nya juga, menuju kerumunan yang terlihat sedang berkumpul di tepi jurang.
Iya, jalan menuju rumah utama Raihan melewati jurang di sisi kanan, dibawahnya terdapat hutan hujan yang rimbun, sehingga walaupun pagi, suasanya tetap gelap.
Sepertinya tambang itu menarik sesuatu yang cukup berat? Pikirnya.
Ia menoleh ke kanan kiri, melihat ada sekumpulan orang yang duduk di atas aspal, memegangi dada. Mereka juga memakai riasan dan bajunya terlihat rapi dna formal. Di benak Airin ia menduga, mungkin saja itu salah satu rombongan keluarga Zahra.
Pupil matanya terus mencari seseorang yang dimana jika belum melihat dia, ia tak akan tenang. Zahra. Airin tiba-tiba teringat takdir hidup buruknya, dimana ia percaya, bahwa jika firasat buruknya terus menerus membuatnya tak tenang, maka itu pasti akan terjadi.
“Arghh..” Airin memegang kepalanya sakit. Bagaimana tidak? Kekhawatiran dan menyalahkan diri sendiri sedang berlangsung di dalamnya sekarang.
Ternyata tidak ada seseorang yang ia harapkan ada di sana. Segerombolan orang yang dia duga adalah keluarga Zahra, hanya melihatnya, tidak berkata apapun. Dari mereka bahkan ada yang menangis.
Airin menoleh ke kiri, menuju sekumpulan orang yang mengerumuni jurang yang mengeluarkan asap. Sebenarnya dia sudah tidak kuat mental untuk melangkah kesana. Dari mata dan pandangan mereka semua, sudah jelas apa yang ada dalam pikirannya sepertinya benar-benar terjadi.
Airin kembali menyalahkan dirinya sendiri.
Padahal sudah jelas ia punya firasat buruk, kenapa tidak ia perjuangkan firasat itu sebelum benar-benar terjadi?
***
Airin melangkah lunglai. Ia kembali ke rumah Raihan, sengaja menuju kesana daripada menuruti polisi untuk menuju ruangannya dan pasti akan ada wawancara panjang setelahnya. Dilihatnya suasana altar yang tidak hidup walau banyak orang dan makanan yang dihias di atas meja.
Semua mata di sana mulai tertuju kepadanya. Hanya dia satu-satunya orang yang mampu untuk melihat kenyataan pahit yang tidak perna disangka akan datang sebelumnya. Sementara Airin sendiri, hanya ada satu orang di pikirannya sekarang.
Raihan.
Diteruskannya berjalan, hingga sampai di dalam rumah. Dilihatnya Bu Dewi mengetuk pintu kamar pengantin, yang sudah jelas di dalamnya ada Raihan. Ia bisa menebak bahwa Raihan sudah mendengar kabarnya.
Syukurlah, dia tidak perlu menghancurkan mentalnya lagi dengan membuat dirinya harus menyampaikan kabar buruk kepada sahabat yang sangat ia sayangi.
Tapi.. sepertinya tidak ..
Bu Dewi tergesa melangkah menuju arahnya.
Tidak .. jangan bilang dia yang harus menemui Raihan sekarang. Dia tidak kuat mental. Pikirannya sudah berkecamuk menyalahkan diri sendiri atas firasat buruk yang tidak diturutinya, ditambah kabar buruk yang baru saja dia terima.
‘Kumohon jangan sekarang. Aku tidak sanggup jika harus melihat Raihan saat ini.’
.
.
“Rin, Raihan nggak percaya. Dia masuk kamar gitu aja. Kamu tolong bujuk dia ya, masuk aja ke kamarnya. Mama takut ada apa-apa, Rin.”
‘Percuma’ Batin Ariin.
Airin akhirnya ingin menangis. Tubuhnya menggertak, matanya mengeluarkan air, alisnya mengerut, bibirnya membentuk ekspresi sedih.
“Kenapa.. Kenapa harus aku yang harus bicara pada Raihan? Mama ibunya, kan? Airin nggak kuat ngadepin Raihan sekarang.” Airin menangis sambil badannya bergetar, protes pada Bu Dewi.
Bu Dewi yang paham betul bahwa Airin yang selalu merasa tidak enak hati dan tidak terlalu tegaan ini terlihat ikut menangis bersama dengan Airin. Tapi dia juga tak berdaya, dia dan sang suami sama-sama tidak akan mendapat kesempatan Raihan cuntuk masuk ke dalam.
Berbeda dengan Airin.
Bagaimanapun kondisi Raihan, dia sama sekali tidak marah jika Airin datang padanya. Ikatan orang ua dan anak memang kuat, tapi saat membutuhkan teman, hanya yang terbiasa bersama seseoranglah yang akan paling berkesan. Dan seperti itulah Raihan.
Bu Dewi tak berdaya, dia ikut membungkuk bersama Airin. Mencoba memohon pada anak itu sekali lagi. Dirinya merasa menjadi ibu yang pengecut. Dia tak sanggup melihat keadaan putranya yang mungkin sedang sangat hancur sekarang, tapi malah menyuruh orang lain yang sedang sama hancurnya alih-alih berangkat sendiri.
“Mama mohon, Rin. Mama minta tolong sama kamu kali ini.” Lanjutnya masih menangis.
Airin yang juga diselimuti keingintahuan dan rassa khawatir pda kondisi Raihan, memutuskan mengikuti arahan Bu Dewi untuk memaksa masuk ke kamar Raihan. Tiba-tiba ada firasat buruk lagi yang terlintas dalam kepalanya.
Segera berdiri dan tergesa berlari dia ke kamar Raihan.
Ada satu hal yang unik dari Airin. Dia punya kemampuan untuk membuka kunci pintu dengan penjepit rambut. Hal satu itulah yang membuat Raihan tidak bisa mengaling dari Airin hanya dengan masuk kamar saja.
Segera masuk ia ke dalam kamar Raihan. Dicarinya keberadaan pria itu di seluruh ruangan yang gelap.
‘Masih terlihat rapi.’ Pikir Airin. Berarti Raihan belum mengamuk dan memberantakkan isi kamar.
‘Kamar mandi ?’ Airin berlari kesana.
Tidak ada.
Saat keluar dan berbalik, ia melihat Raihan yang berada di samping kanan pintu kamar mandi, di dalam walk in closet yang terletak di balik dinding ranjang tidurnya.
Airin berlari cepat setelah tau apa yang dipegang Raihan saat itu.
PISAU
“WAH GILA YA LO!” Airin berteriak sembari menarik ujung pisau langsung dengan genggaman tangannya, dan itu adalah sama saja dengan mencoba untuk memotong telapak tangannya sendiri.
Raihan masih berusaha untuk mengambil pisau itu lagi. Tapi dengan cepat Airin menendangnya menjauh. Darah dari telapak tangan Airin yang digunakan untuk menggenggam pisau tadi sudah mulai bercucuran di lantai.
Raihan tetap kekeh ingin mengambil pisau itu langsung diraih lehernya oleh Airin dan menjatuhkan diri mereka berdua di atas ranjang putih yang turut terciprati darah segar Airin.
Dengan sekuat tenaga, Airin membekap Raihan agar tidak keluar dari rangkulannya. Dia sama sekali tidak merasa kesakitan atas tangannya yang terluka. Hal yang paling penting saat ini adalah Raihan tidak melakukan hal bodoh yang mungkin akan disesalinya nanti.
Cukup hanya Zahra yang pergi, Raihan jangan. Airin tidak sanggup menyalahkan dirinya sendiri lagi.
Raihan mencoba melepaskan diri. Tapi Airin terus membekapnya, bersama air mata yang kini ikut tertahan. Agar tak membuat Raihan merasa dia lemah dan mendukungnya melakukan hal bodoh seperti tadi.
Mendengar keributan di dalam, Bu Dewi an beberapa orang masuk, melihat posisi Airin dan Raihan yang mungkin menimbulkan salah paham, beberapa dari mereka langsung menunduk. Bu Dewi yang mengerti kondisi, menyuruh mereka semua keluar dan sengaja memberikan ruang untuk Raihan sedikit mengatasi kesedihan bersama dengan Airin.
.
.
Suasana hening.
.
.
Airin membawa kepala Raihan yang menangis, bersembunyi di tengkuk lehernya, duduk di atas ranjang.
‘Pria ini benar-benar.’
Raihan sepertinya enggan menunjukkan tangisannya kepada Airin. Tapi wanita itu terus memaksanya untuk menunjukkan wajahnya.
“NGAPAIN SIH LO GOBLOK” Umpat Airin bersama dengan tonyoran di kepala Raihan.
“MO MATI LO? Ha?”
Airin terus mengumpat sambil mengomel dan menangis kepada Raihan.
“Goblok lu goblok tau nggak sih?” Airin terus menangis sembari mengomel. Kecewa.
Raihan yang rupanya tak bisa menahan tangisnya, akhirnya sesenggukan hebat di depan Airin. Wanita itu yang memiliki hati penuh ketidaktegaan, pada akhirnya ikut menangis di depannya.
Saat akan mengusap air matanya, barulah Airin sadar dan merasa sedikit perih di sana. Dilihatnya, lukanya melebar dan darahnya masih belum berhenti.
Raihan memegang luka di tangan Airin.
Tetapi langsung ditepisnya tangan itu.
“Nggak penting. Lo barusan mau mati. TOLOL! Mau mati.” Umpat Airin lagi.
Airin kembali memeluk Raihan. Mereka menangis bersama-sama.
Dalam posisi saat ini, Raihan seakan melepas segala beban di pundak Airin. Dia yang dikenal sebagai pria yang tak kenal menangis, pada akhirnya tunduk melimpahkan segala takdir buruk yang baru saja dialaminya di pundak Airin.
Hatinya sakit. Harinya hancur. Air matanya tak bisa berhenti. Asanya putus. Harapannya tiba-tiba hilang. Dan Airin di depannya, seakan memberi kelegaan besar di tengah itu semua.
Raihan, tidak ragu menangis sekeras mungkin di pundak Airin. Begitu pula Airin, sama seperti biasanya.
Situasi seperti Raihan dan ia saling membutuhkan seperti saat ini, selalu menjadi waktu ternyaman yang sering ia rindukan, walau jarang ia dapatkan.
***
Di lain sisi, ibu Raihan, Bu Dewi, mendapat tatapan miring dari para tamu undangan sejak keluar dari kamar Raihan tadi. Hal seperti itu mungkin bisa ditelaah dan diterima alasannya bagi Ibu Raihan, karena dia mengenal keduanya dengan baik.
Dia tau bagaimana hubungan sang putra dengan Airin sejak 20 tahun lalu, dan gadis itu juga bukan orang lain dalam keluarganya. Apalagi dalam kondisi saat ini, dimana dia juga mengandalkan Airin untuk sementara mengawasi Raihan yang kondisinya sudah bisa jelas ditebak sehancur apa.
Dia tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Bukan karena calon pacarnya nanti mungkin risih dengan keberadaan Airin dalam hidupnya, seperti cerita pasangan di luar sana yang tidak terima pacarnya punya teman dekat lawan jenis. Tapi memang benar-benar baru Zahra yang berhasil membuatnya begitu yakin untuk menjalin hubungan dan itu langsung ke arah yang serius.
Airin, tentu saja, adalah teman suportif yang jangankan jadi musuh, Zahra malah menjadikan Airin sebagai teman dekat kesangannya. Mereka berdua juga sering pergi berdua tanpa Raihan, dan ya, mungkin saja ada beberapa rahasia Zahra yang tidak diketahui Raihan tapi Airin tahu itu dengan pasti.
Posisi Bu Dewi saat ini cukup terpojok.
Pertama adalah tentang pandangan orang-orang yang tadi juga sempat ikut masuk ke dalam kamar Raihan--dan melihat pandangan salah paham juga--- yang kedua adalah kondisi putranya, dan juga Airin saat ini.
Sekarang, semua keluarga Raihan yang awalnya berkumpul untuk merayakan pernikahan p**a keluarga, berakhir dengan hanya duduk terdiam di ruang keluarga. Semuanya dari mereka juga bingung, tentang apa yang harus mereka lakukan selanjutnya?
Pukul 13.50
Zahra-- atau mungkin jenazah Zahra (?) --- belum ditemukan hingga saat ini. Sementara orang tuanya, dua-duanya ditemukan di kedalaman jurang 80 m, dengan kondisi terpental keluar mobil, Ibu Zahra ditemukan meninggal ditempat, sementara ayahnya tersangkut, tertusuk ranting pohon, dan untungnya berhasil terselamatkan hingga sampai di rumah sakit.
5 jam sejak menerima kabar kejadian naas itu, seluruh keluarga Raihan hanya terdiam. Makanan yang awalnya disiapkan untuk acara pernikahan, hanya tersaji menjadi pajangan di bawah tirai-tirai kecil, kondisinya sudah sangat dingin, tidak memunculkan nafsu makan sama sekali.
Tiba-tiba, pintu kamar yang menjadi pusat perhatian semua orang sejak tadi terbuka.
Dua orang yang keluar dari dalamnya, membuat semua orang lebih terkejut lagi. Terlebih Airin dengan riasan wajahnya yang luntur dan hairstyle yang sudah tak terlihat rupanya.
‘Apa yang mereka lakukan selama berjam-jam di dalam sana ?’
“Nikahkan saja mereka berdua.”
Celetukan salah satu kerabat Raihan, terdengar jelas walau dalam bisikan.
Melihat Airin dan Raihan keluar dari kamar setelah berjam-jam, menimbulkan dua perasaan yang bertolak belakang dalam hati Bu Dewi, Ibunda Raihan. Satu sisi ia lega, putranya tidak melakukan hal buruk, namun di sisi lain, ia juga khawatir.Setelah ada celetukan kerabatnya untuk menikahkan mereka berdua, dia khawatir. Khawatir karena dalam keputusan hatinya yang paling dalam, ia setuju dengan kerabatnya itu, tapi kondisi saat ini juga begitu mengkhawatirkannya.Tapi .. Jika Airin jauh dari Raihan, Bu Dewi tidak tahu hal apa yang akan terjadi nanti karena Raihan jelas akan menjadi penyendiri. Dia tidak tahu harus mengandalkan siapa lagi, karena hingga saat ini, hanya Airin yang dapat diandalkan untuk mempercayakan Raihan padanya.Dia memutuskan untuk keluar, mengikuti Raihan dan Airin.
“Raihan bukan orang yang baru kenal kemarin sore, tapi juga tidak kamu siapkan untuk hidup bersama dia selamanya sebelum ini. Tapi kami, tidak akan menanyakan kenapa kamu memilih keputusan ini” Rabu, 16 Juni 2021, Rumah keluarga Raihan, Puncak. “Kamu yang bakal jadi pengantinnya Raihan.” Airin menatap ibu Raihan makin serius sekaligus terkejut. “Apa maksud Mama?” “Acara pernikahannya nggak jadi batal hari ini. Cuma pengantinnya yang diganti.” Airin mengerutkan kening, menyatukan alisnya. Wajar saja, siapa yang tidak terkejut dengan kalimat itu? Sahabatnya baru saja kehilangan calon istri dan batal menikah, tiba
Kamis, 17 Juni 2021, Rumah keluarga Raihan, Puncak. Airin membuka matanya berat. Dilihat samping ranjangnya kosong dan suara shower kamar mandi terdengar kencang, mungkin Raihan di sana. Dia beranjak duduk, sadar bahwa dirinya tak memakai apapun, Airin mengeratkan selimut, memutari tubuhnya. Ia bangkit mencari bajunya yang berserakan di lantai untuk dipakainya lagi. Belum selesai memungut, tiba-tiba saja Raihan keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk berwarna putih melingkar menutupi pinggang. Dia dan Airin sama-sama terkejut saat melihat satu sama lain. Lalu berakhir canggung setelah Airin reflek mengalihkan pandangan sesaat melihat ke arah badan Raihan yang atletis sedang terbuka jela
Kamis, 17 Juni 2021, lt.17 gedung kantor bersama, ruangan Consultant Engineering, Airin Wijaya.Airin hanya diam menatap pemandangan gedung-gedung tinggi dari jendela kantornya pada pagi hari menjelang siang ini. Sejak keluar dari rumah Raihan tadi pagi, yang harus melalui 2 jam perjalanan naik turun bukit menuju apartemennya, hingga perjalanan menuju kantor tempat ia bekerja, pikirannya hanya mengarah pada satu hal,“Seberapa rendah posisinya saat ini?”Pagi ini, sebenarnya bisa saja dia tidak pergi ke kantor karena tidak ada hal mendesak yang harus diurus secara langsung. Tapi juga sangat tidak menyenangkan jika Raihan kesanan nantinya. Kantor di lantai 17 ini adalah satu-satunya tempat dimana
Jum’at, 18 Juni 2021Meja makan rumah Raihan yang terletak di dataran tinggi dan bersebelahan dengan kebun teh keluarga itu terlihat penuh dengan perintilan soto. Raihan yang baru datang dan melihat makanan itu tiba-tiba teringat pada Airin. Entah dimana wanita itu berada sekarang.“Kamu mu ngurus berkas nikah kapan? Nggak baik ditunda terus meskipun sah agama.” Bu Dewi bertanya pada Raihan.“Hari ini, ma.” Spontan saja ia menjawab, karena ia membatalkan cuti dan akan mulai masuk kerja esok hari. Tidak ada perbincangan lagi, Raihan mengetik pesan singkat pada Airin.Hari ini ke kantor sipil&m
“Percuma saja menikah, jika mereka sama-sama tidak bahagia.”Kesalahpahaman sudah tidak lagi dapat dicegah diantara Raihan dan Airin. Saat sampai di rumah, Raihan melanjutkan untuk tidak terlalu memperdulikan Airin sehingga membuat wanita itu makin salah paham.Pintu kamar ditutup begitu saja dengan keras di depan Airin tanpa mempersilahkannya masuk terlebih dahulu. Hl itu sukses membuat Airin berpikir keras mengulang kejadian sehari ini, apakah dia ada kesalahan?Suasana rumah sepi dan hari sudah gelap. Badan Airin benar-benar meminta untuk diistirahatkan tapi masih banyak masalah yang harus dia hadapi sekarang.Dia mengurungkan diri masuk ke kamar dan melangkahkan kakinya ke dapur. Sejenak meluruskan punggung dan meneguk beberapa tegukan air yang melegakan te
“Rasa yang ia miliki dengan Airin berbeda. Rasa aman, lega, dan tenang melangkah ke depan, sebagai sahabat yang selalu ada, belum dimiliki pada diri Zahra.”Pasangan muda yang baru saja ‘berbaikan’ kemarin itu sibuk menata perabot yang baru datang dari mobil pick up di depan rumah mereka. Candaan dan saling melempar godaan tak henti keluar dari mulut mereka.Sungguh begitu beruntung jika diberi kesempatan untuk hidup bersama dengan orang yang sudah lama kita kenal. Ada banyak yang sudah kita ketahui tentang orang tersebut, dan pula banyak alasan untuk memahami sifatnya yang membuat kita cepat luluh.Situasi yang sama terjadi pada Raihan dan Airin.
Rumah baru Airin dan Raihan, atau lebih tepatnya adalah rumah yang sebelumnya disiapkan Raihan untuknya dan Zahra, terletak agak jauh dari rumah orang tua Raihan, tapi lebih dekat ke tempat kerja mereka.Hanya perlu berjalan kaki melewati 2 lampu merah untuk sampai ke tempat kerja Raihan, dan satu kali naik metromini ke tempat kerja Airin. Memang, rumah ini terletak di perumahan elit yang rimbun di tengah kota metropolitan.Mobil bisa langsung masuk ke depan lobi dan menurunkan penumpang tepat di depan teras yang bernuansa warm white itu. Setelah insiden sofa tadi siang, Raihan malas membangkitkan dirinya untuk beraktivitas. Dia lebih suka seperti saat ini, berbaring, melihat Airin mondar-mandiri di depannya. Apalagi ia sedang dicampakkan, maka makin semangat ia mencari
Sepasang sahabat yang sudah saling mengenal selama 20 tahun, yang tanpa diduga dalam suatu hari, diiringi kejadian klise dan sangat tak bisa diterima logika kebenarannya, hanya berdiri mematung, saling berpandangan dalam diam. Tak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka walau pandangan mata mereka saling berebut dan mencoba untuk mengatakan banyak hal dari sana.Airin tak pernah memandang Raihan selama ini. Sejak dahulu, gadis itu enggan untuk menatap mata siapapun terlalu lama, kemalangan yang sering ia terima di sepanjang hidupnya membuat dia memiliki rasa empati berlebihan yang menganggap bahwa semua orang punya banyak masalah dan tak seharusnya menjadi penopang masalahnya. Tapi pada orang lain, dia melakukan kebalikannya.Kepada Raihan contohnya.Airin menjadi orang yang tahu betul bagaimana Raihan struggling menjalani hidupnya sendiri, yang baginya nampak lebih berat daripada apa yang ia rasakan. Menjadi korban perundungan hanya karena kondisi lahiriyah manusia, sungguh tida
“Harus banget, ‘mas yang nganterin?” Tanya Raihan kala sedari tadi pagi, Tito yang sejak kembali ke rumah seminggu lalu itu hanya mendiamkan dan sesekali mendengus sinis padanya, memaksa untuk mengikuti dirinya entah kemana.Pertanyaan Raihan tentang tujuan kemana sang adik hendak membawanya pergi sama sekali tak digubris. Pria muda yang gerak geriknya sangat jelas masih menaruh kesal pada sang kakak itu hanya mengatakan satu kalimat ‘hari ini ikut adek.’yang bagi Raihan terasa seperti perintah.Ia tak mampu menolak maupun mengabaikan permintaan sang adik, karena jujur, di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah karena membiarkan hal yang tak normal terus terjadi seolah tak ada apa-apa di sana. Melihat sang adik mau untuk setidaknya meminta suatu hal, walau tak jelas maksudnya, membuat Raihan sedikit bisa bernafas lega.“Aku nggak pernah minta apa-apa sebelumnya, ‘kan? Setelah ini, semuanya aku pasrahin ke mas, gimanapun mau mas Raihan.” Tito sedikit menambahkan clue setelah mereka s
Entah keberuntungan atau kemalangan yang menimpa Tito saat ini. Dia mendapat kesempatan untuk berdinas di pelabuhan di dekat rumahnya selama 2 bulan ke depan, harusnya dia bahagia karena tak lagi jauh dengan keluarga, tapi di sisi lain, dia harus terus menerus menghadapi fakta bahwa di hadapannya, kebingungannya tentang kepulangan Zahra dan kepergian Airin masih belum terjawab.Seperti hari ini contohnya. Walau Tito tahu pasti Zahra lagi yang akan menyambut kepulangannya, dia tetap saja masih terkejut dan terheran-heran, ditambah lagi dengan kelakuan sang kakak yang entah dia benar tidak peka atau pura-pura tidak tahu akan sikap risih yang jelas ditunjukkan di tengah keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.“Mas.” Sapa Tito tegas, saat ini secara kebetulan mereka datang bersama dari tempat kerja, dan hanya ada mereka berdua di tambah Zahra yang menyambut seperti biasa di daun pintu.Kali ini dengan berdalih melepas tali sepatu, Raihan masih seperti hari kemarin, selalu menghindar
Sepulang dari mengantarkan Airin kembali ke rumah 2 bulan yang lalu, Tito yang disambut dengan kabar mengejutkan akan kembalinya Zahra, sama sekali tak dapat hidup tenang di tengah penugasannya.Tito tak sempat meminta penjelasan apapun saat itu, karena ia harus buru-buru kembali ke pelabuhan sebelum kapal tempat ia bertugas kembali berlayar. Alhasil, dua bulan belakangan, pikirannya tak bisa fokus pada penugasan, karena dipenuhi akan banyak pertanyaan yang ingin ia segera temukan jawabannya. Apalagi saat itu, dia kembali ke penugasan dengan keputusan sang kakak ipar yang bersikukuh ingin berpisah, segera saat ia melihat Zahra berdiri di rumahnya.Tito yang mengetahui bahwa sang kakak kesayangannya itu tengah berbadan dua, tak tenang kala membayangkan bagaimana ia harus hamil sendirian karena bercerai, dan calon keponakannya lahir dengan kedua orang tua yang sudah berpisah.Pertanyaan itu yang paling menghantui kepalanya hingga sekarang.Tetapi, di luar dugaannya, dimana dia berharap
Kembalinya Zahra (dari sisi Raihan)Dengan kembalinya Zahra di tengah kehidupan kami, tak mengartikan bahwa keadaan akan kembali seperti semula, seperti hari-hari sebelum pernikahan.Tidak sama sekali. Jika ditanya apakah saya bahagia? Tentu, sangat bahagia. Gadis yang sangat saya cintai di lima tahun belakangan itu, yang sama sekali masih belum saya terima kepergiannya. Ketika ia kembali, dalam keadaan bugar, di hadapan saya, belum mati, tentu saja saya sangat bahagia.Hal itu seolah mengembalikan semua kebahagiaan yang menyingkir dari hidup saya sejak 3 bulan ke terakhir. Tak ada yang mampu saya katakan selain bersyukur dan merangkul dia dalam pelukan hangat, menenangkan Zahra yang sedang menceritakan keadaan pilu, yang berhasil ia lewati selama 3 bulan pasca kecelakaan tragis itu.Bagaimana saya tega dan tak terharu tentang bagaimana Zahra mungkin ketakutan, sendiri melewati masa kritis di tempat dimana tak satu orang pun mengenalnya.Zahra adalah anak tunggal kesayangan orang tu
Airin, (masih) dari sisi Raihan (II)Sudah saya bilang kan, bahwa saya yang bodoh disini. Saya yang menjadi saksi Airin tumbuh bersama luka, saya juga yang menabur garam di atas lukanya.Membuat panas dan perih luka lama, serta menimbulkan luka baru yang menganga basah.Airin mencoba untuk tetap membuat saya nyaman sebagai suaminya, saya sadar itu. Walau mimpi buruk masih dialaminya tiap malam, dia masih bisa tersenyum di pagi hari sembari menyiapkan sarapan, padahal saya tahu, Airin benci menyiapkan makanan untuk orang lain sebelum dia sendiri makan dan buru-buru berangkat bekerja pula.Dia juga yang menyadarkan saya akan eksistensinya, kala dengan bangsatnya saya memikirkan orang lain saat kami berada dalam peluh di atas ranjang, padahal itu adalah sarana pelampiasan segala emosi saya.Bodoh, ‘kan? Memang.Dosa? Jangan ditanya. Mungkin karma untuk saya sedang dibuat list nya sekarang.Tapi bodohnya lagi, saya tak menyesal. Hanya setelah berhubungan badan itu lah, saya bisa memeluk A
Airin, dari sisi Raihan Saya dan Airin bersahabat sejak lama. Lama sekali, 20 tahunan mungkin. Dahulu, Papa saya, seorang pamong di desa kami. Alasannya klasik, karena kami dari keluarga berada katanya. Saya waktu itu masih berumur 5 tahun, tidak paham apa yang mereka maksud dengan berada, mengapa mereka kekeh menjadikan papa saya pamong desa. Sampai akhirnya saya sadar, ada efek dari ‘ketergantungan’ disana. Fakta sosial yang baru saya pelajari saat menginjak remaja. Saya tau, bahwa sejak dahulu, papa membayar orang yang membantunya memetik pucuk teh, mencabut rumput yang menghalangi jalan, penyapu latar rumah menuju gerbang depan, juga kepada sopir mobil pick up yang membawa puluhan, hingga ratusan karung daun teh menuju ke distributor lain atau pabrik yang sudah mengontrak salah satu hasil tanah di kebun teh, bapak bahkan membayar orang yang membantu menimbang sebelumnya. Dari situ saya tahu, ada suatu bentuk ‘ketergantungan’ para warga kampung terhadap papa saya. Airin meru
Airin seolah hilang harapan kala percobaan keduanya untuk datang menemui Raihan dan menanyakan kejelasan hubungan mereka berdua kembali terhalang, saat pria itu bahkan tak muncul sama sekali di rumahnya. Wanita itu berusaha untuk menemui Raihan yang ia rasa selalu menghindarinya akhir-akhir ini. Hampir sebulan, sejak Airin terang-terangan meminta cerai dari dirinya, mereka sama sekali tak berbicara. Airin pikir mungkin karena dirinyalah yang meminta, jadi ia sendiri yang pergi untuk mendapatan surat pengajuan perceraian. Tapi setelah itu, tak ada lagi tindakan lanjut dari pihak Raihan. Sebulan lalu, saat dia mengangkut sedikit demi sedikit barang-barang pribadinya, baik dari rumah Raihan maupun dari rumah orang tuanya, pria itu masih membantu Airin, bahkan membantu menata barang di apartemen pribadi wanita itu. Namun lama kelamaan, Raihan seolah menghindari Airin. Dia mulai memotong pembicaraan Airin, tak lagi mengantar jemputnya bekerja seperti perjanjian awal mereka saat akan b
Airin benar-benar menganggap serius perkataannya pada Raihan hari itu. She’s exactly ready to take the worst risk that might happen in her future. Keputusannya sudah bulat untuk memutus hubungan dengan sang sahabat dari status suami dan istri mereka.Airin bahkan sudah memikirkan skenario bagaimana hidupnya akan sepenuhnya berubah setelah ini. Ia tak lagi dapat mengandalkan Raihan dan keluarganya, di antara kerapuhan internal keluarga Airin sendiri, dia juga tak dapat lagi menjadikan Raihan sebagai sahabat yang sama, hubungan mereka akan berbeda, bahkan jauh lebih berbeda sebelum pernikahan dadakan mereka.Sebagai langkah pertama, wanita itu beranjak keluar dari rumah keluarga Raihan, barang-barang pribadi yang ada di kamarnya di rumah Raihan –dimana kamar itu memang dikhususkan untuknya– mulai dipindahkan ke apartemen pribadinya.Barang-barangnya yang ia bawa dari rumah Raihan ke apartemen pribadinya juga tak dikembalikan, membuat rumah Raihan kian sepi dari suasana Airin. Mengenai