1 Hari yang lalu, H-1 Hari Pernikahan
“Hai hai hai!!” Sapa Airin heboh sambil tangannya bersandar ke pintu atas, ia menuju dapur di belakang rumah Raihan, tempat para ibu-ibu yang sedang memasak untuk persiapan pernikahan Raihan.
Seorang wanita paruh baya, Bu Dewi, ibu dari Raihan tersenyum melihat gadis yang sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri itu datang dengan tumpukan kantong belanja di tangannya.
“Sini, Rin! Ambil nasi, makanannya sudah matang!” Ajaknya pada Airin.
“Mama barusan anak mama udah bikin aku makan banyak, sekarang mama juga?”
Airin memang terbiasa memanggilnya mama, karena Raihan adalah seorang anak tunggal dan mamanya pernah memiliki anak perempuan sebelum Raihan yang wafat saat masih bayi. Jadilah Airin sudah jadi seperti anaknya sendiri.
“Full..” Ucap Airin sambil memegangi perutnya.”Ini pesenan mama tadi, ma.” Airin memberikan 3 kantong kresek besar kepada Bu Dewi.
Beliau menerima kantong dari Airin sementara Airin nya fokus pada sate yang baru saja selesai dipanggang. Sepenuh apapun perutnya, jika ada makanan, pasti masih bisa masuk. Itulah Airin. Bu Dewi hanya bisa tersenyum sambil mengelus puncak kepala Airin. Sayang.
“Hari ini jadi nginep disini, kan?”
“Iya, jadi. Tas ku udah aku taruh di kamar depan ya. Aku liat nggak ada pernak-pernik di sana tadi.”
“Iya, mama emang bersihin kamar itu soalnya kamu bilang H-1 bakal nginep. Bapak Ibu nggak dateng?”
“Oh iya, lupa mau bilang. Bapak Ibuk baru bisa dateng lusa. Besok masih di perjalanan. Tadi titip salam sambil bawain bingkisan udah aku taruh di kamar tadi.” Jelas Airin sambil memakan sate nya.
Acara pernikahan diputuskan digelar di rumah Raihan. Awalnya mereka akan menyewa gedung, namun karena Raihan dan Zahra memutuskan untuk menghemat biaya demi membeli perabot rumah, acara pernikahan diputuskan hanya akan diadakan satu hari, sekaligus resepsinya di pelataran rumah Raihan yang dikenal sebagai komplek sultan.
Akad nikah esok hari akan diadakan di sore hari dan setelah petang, acara resepsi akan dilaksanakan.
“Mama..” Panggil Airin kepada Ibu Raihan.
“Iya?”
“Kenapa Zahra tidak datang kesini hari ini saja agar persiapan tidak terburu-buru?”
“Mereka bilang lebih nyaman berangkat dari rumah saja karena banyak kerabat yang ikut. Mama ya ndak bisa maksa.”
Airin mengangguk paham. Jujur saja saat ini, di dalam pikirannya, ada yang ia rasa masih belum ‘tepat’. Ia selalu merasa ada yang harus dilakukan, tapi ia tidak tahu apa itu. Hanya pikiran yang membulat-bulat saja.
Ia akan mengalihkan pikirannya ke lain hal ketika suatu perasaan aneh itu muncul di kepalanya lagi. Ia tidak ingin berlarut-larut pada perasaan ragu di tengah hari kebahagiaan sahabatnya.
***
Ddakkk..
Suara pistol mainan yang mengeluarkan kertas-kertas bertuliskan,
Raihan besok nikah
Raihan besok lepas lajang
Ada yang mau praktek adegan dewasa besok
Ciye mau halal
bersama dengan latar belakang kertas bergambar aib Raihan, ditembakkan Airin ke atas ruangan yang cukup riuh oleh teman-teman mereka. Malam ini Raihan diberi kejutan pesta bujang oleh teman-temannya.
Di pimpin Airin, yang mulai menembakkan pistol kertas lalu yang lain mulai mengaibkan Raihan. Mulai dari mendandani wajahnya dengan konsep yang nyeleneh, mengalungkan barang-barang tak biasa, dan saling bernyanyi satu sama lain.
Teman satu circle Airin juga adalah teman satu circle Raihan. Mereka semua bertemu dan saling kenal di tempat yang sama. Hampir tidak ada yang tidak diketahui Raihan tentang Airin maupun sebaliknya. Karena itulah mereka sangat nyambung dan selalu sepemahaman hingga sekarang karena tumbuh dewasa bersama-sama di lingkungan yang sama.
Satu persatu dari mereka menghampiri Raihan, mengucapkan selamat, memberi hadiah, menggoda, dan bersenang-senang di hari terakhir lajangnya ini. Airin maju menghampiri Raihan, menyentil kepalanya keras. Seperti yang biasa Raihan lakukan kepadanya.
“Semoga lancar ya besok, bestie!” Ucap Airin sambil memoleskan glitter body painting hijau ke wajah Raihan.
“Lo juga ayok segera! Parjo udah ngajak lo alesan mulu!” Airin melengos dan menendang kaki Raihan.
dia tau betul topik pernikahan adalah topik yang paling dihindari Airin.
“Waktu lo nggak akan terbuang sia-sia hanya karena nggak nanyain pertanyan itu sih, kampret!”
Untuk topik pernikahan, Raihan dan Airin adalah tipe yang sangat berbeda. Raihan adalah laki-laki yang tidak terlalu mengambil pusing masalah dalam pernikahan dan pernak-perniknya. Sementara Airin adalah orang yang paling tidak percaya bahwa hanya karena kita menikah, kita akan bahagia.
Salah satu penyebabnya adalah lingkungan tempat tinggal mereka berdua. Raihan tumbuh dalam keluarga yang harmonis, jarang terjadi cekcok internal dalam keluarganya, ditambah dirinya berasal dari keluarga yang berkecukupan, sehingga sangat jarang terjadi masalah ekonomi dalam keluarganya.
Sementara Airin harus berjuang lebih keras untuk mencapai titik saat ini dalam hidupnya. Dia berasal dari keluarga menengah ke bawah yang hampir separuh hidupnya dihabiskan untuk tinggal di permukaan kumuh nan sempit. Orang tua yang selalu bertengkar, mendengar masalah keluarga tetangganya yang hanya terlapisi tembok tipis rumahnya.
Orang tua yang menyalahkan kehadiran anak yang padahal mereka sendiri yang mendatangkannya, ditambah berbagai macam masalah yang ia jumpai di sekitarnya semasa ia tumbuh. Menjadikan sosok Airin sebagai sosok yang antara benci, takut dan menghindar ketika membahas pernikahan.
Banyak timbul keraguan dalam hatinya seketika saat membicarakan pernikahan. Mendatangkan manusia baru (anak) ke dunia, masalah ekonomi, masalah hubungan, apalagi norma sosial, dan yang lainnya.
Karena itu, saat dia sudah bisa menghidupi dirinya sendiri dengan pekerjaannya, ia memilih tinggal sendiri di apartemen tengah kota. Walau orang tuanya sudah jarang berselisih, tetap saja luka-luka yang tergores saat ia bertumbuh akan selalu membekas. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa akan selalu berhati-hati saat akan melangkah ke pernikahan kelak.
Parjo, alias Farhan, kekasih Airin, yang juga teman sekolah Raihan dan Airin, beruntungnya memahami keadaan sang kekasih itu. Walau dia sudah mengode pernikahan sejak lama, ia tetap bersikap dewasa dengan tidak memaksakan kehendaknya kepada Airin.
Beruntungnya dia tahu betul bagaimana kondisi keluarga tempat sang kekasih tumbuh dan mengerti darimana asal sifatnya berasal.
Saat ini, Airin lebih memilih tinggal sendiri dan berpisah dari orang tua serta adiknya. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang mandiri. Jarang sekali ia meminta bantuan orang lain, kecuali merepotkan Raihan tentunya. Wanita yang sangat menikmati waktu saat ia bekerja.
Workaholic? Bisa jadi.
Walau terkadang Raihan menggodanya dengan mengatakan,
‘Ngapain sih sok kuat kaya gak butuh pasangan.’
‘Nikah aja lah. Udah punya pacar setia banget dari lama, uang juga nggak susah, umur udah mapan. Takut apa lagi.’
‘Takut punya anak apaan sih? Ya kalo ada anak dirawat lah nanti.’
Tentunya juga dengan menyelipkan candaan seperti,
‘Kalo lo tiba-tiba miskin kan bisa hutang dulu sama gue. Kan orang tua gue kaya’
‘Eh kan si Parjo ada tunjangan anjir!’
Khas sekali candaan mereka berdua. Dark jokes.
Raihan tetap menghormati segala keputusan sahabat kesayangannya itu. Tentu saja, dia hanya menggoda tanpa ada maksud untuk memaksakan dia melakukannya. Dia bersahabat dengan airin tanpa alasan apapun. Dan seperti itulah mereka bertahan sejak 20 tahun terakhir.
.
Airin memasuki ruangan dengan membawa nampan full berisi kue manis. Dia tertawa lebar sambil menenteng nampan menuju ke tengah-tengah ruangan tempat teman-temannya mengerumuni Raihan.
“Makan yang banyak ya kampret! Lo mesti kuat buat besok!” Canda Airin.
“Eh diem lo ya! Kaya udah pengalaman aja!” Sewot Raihan.
“Kenapa? Lo mau dikasih tau sama yang pengalaman aja?” Sahut salah satu teman mereka, Sigit.
Mereka semua menggelak tawa keras. Menghabiskan malam terakhir Raihan sebagai lajang dengan sangat bahagia.
Di ujung ruangan, airin mundur perlahan. Tiba-tiba saja ada perasaan haru dalam hatinya. Tak hanya saat ini, saat menghadiri pernikahan orang lain, Airin seringkali ingin mematahkan presepsi bahwa menikah tidak semenyeramkan yang ia pikirkan.
Ia Selalu tiba-tiba muncul pikiran untuk menelpon Farhan, sang kekasih, lalu berkata,
‘Ayo menikah sekarang juga!’
Sebelum pikiran buruknya tentang pernikahan datang lagi menggerogoti pikirannya.
Terlebih lagi saat melihat sahabatnya, Raihan, orang yang paling dekat dengannya yang akan menikah.
Airin menangis dalam diam di ujung ruangan memperhatikan Raihan yang tertawa bersama-sama temannya lebar.
Saat itu, tidak ada yang tau bahwa malam itu adalah malam terakhir bagi Airin juga.
“Benar-benar tidak akan ada yang menyangka kapan datangnya kematian. Dia bisa datang saat kau sedang bahagia, sedih, bahkan juga ketika kau tidak melakukan apapun.” Pagi hari. Hari-H pernikahan Raihan dan Zahra Airin yang sudah rapi memakai kebaya putih yang senada dengan seluruh teman dekat dan keluarga yang sudah hadir untuk acara akad Raihan hari ini terlihat masih khawatir dan sudah mondar-mandir dari depan ke dapur berkali-kali. Melihat Airin seperti itu, Ibu Raihan, Bu Dewi, menghampirinya, “Kenapa, Rin? Ada yang kamu cari?” Tanya beliau. Airin tidak menjawab, hanya menelan liurnya berat. Dia sudah bangun jauh sebelum subuh, perasaannya sudah tidak enak sejak kemarin malam. Ada pengantin yang mau akad esok hari tapi masih belum
Tatapan khawatir yang berasal dari mata Bu Dewi membuat Airin merasa bahwa sepertinya ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.Dan ya.. Sekaligus juga menambah alasan ketakutan Airin pada firasat buruknya. Ia sudah kehilangan hasrat untuk hidup saat melihat wajah Bu Dewi yang pucat walau dengan riasannya yang mencolok. Ini adalah saat-saat yang paling menakutkan baginya.Dia benci berencana karena yang ada di pikirannya hanya akan ada firasat buruk saja. Dan sialnya, dia punya takdir yang membuat firasat buruknya selalu saja jadi kenyataan.Seolah-olah dia bisa melihat hal buruk yang akan terjadi di depan matanya.Airin bersama dengan ketakutannya, berjalan mundur, berharap ia tak akan mendengar apapun yang keluar dari mulut Bu Dewi sebentar lagi,
Melihat Airin dan Raihan keluar dari kamar setelah berjam-jam, menimbulkan dua perasaan yang bertolak belakang dalam hati Bu Dewi, Ibunda Raihan. Satu sisi ia lega, putranya tidak melakukan hal buruk, namun di sisi lain, ia juga khawatir.Setelah ada celetukan kerabatnya untuk menikahkan mereka berdua, dia khawatir. Khawatir karena dalam keputusan hatinya yang paling dalam, ia setuju dengan kerabatnya itu, tapi kondisi saat ini juga begitu mengkhawatirkannya.Tapi .. Jika Airin jauh dari Raihan, Bu Dewi tidak tahu hal apa yang akan terjadi nanti karena Raihan jelas akan menjadi penyendiri. Dia tidak tahu harus mengandalkan siapa lagi, karena hingga saat ini, hanya Airin yang dapat diandalkan untuk mempercayakan Raihan padanya.Dia memutuskan untuk keluar, mengikuti Raihan dan Airin.
“Raihan bukan orang yang baru kenal kemarin sore, tapi juga tidak kamu siapkan untuk hidup bersama dia selamanya sebelum ini. Tapi kami, tidak akan menanyakan kenapa kamu memilih keputusan ini” Rabu, 16 Juni 2021, Rumah keluarga Raihan, Puncak. “Kamu yang bakal jadi pengantinnya Raihan.” Airin menatap ibu Raihan makin serius sekaligus terkejut. “Apa maksud Mama?” “Acara pernikahannya nggak jadi batal hari ini. Cuma pengantinnya yang diganti.” Airin mengerutkan kening, menyatukan alisnya. Wajar saja, siapa yang tidak terkejut dengan kalimat itu? Sahabatnya baru saja kehilangan calon istri dan batal menikah, tiba
Kamis, 17 Juni 2021, Rumah keluarga Raihan, Puncak. Airin membuka matanya berat. Dilihat samping ranjangnya kosong dan suara shower kamar mandi terdengar kencang, mungkin Raihan di sana. Dia beranjak duduk, sadar bahwa dirinya tak memakai apapun, Airin mengeratkan selimut, memutari tubuhnya. Ia bangkit mencari bajunya yang berserakan di lantai untuk dipakainya lagi. Belum selesai memungut, tiba-tiba saja Raihan keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk berwarna putih melingkar menutupi pinggang. Dia dan Airin sama-sama terkejut saat melihat satu sama lain. Lalu berakhir canggung setelah Airin reflek mengalihkan pandangan sesaat melihat ke arah badan Raihan yang atletis sedang terbuka jela
Kamis, 17 Juni 2021, lt.17 gedung kantor bersama, ruangan Consultant Engineering, Airin Wijaya.Airin hanya diam menatap pemandangan gedung-gedung tinggi dari jendela kantornya pada pagi hari menjelang siang ini. Sejak keluar dari rumah Raihan tadi pagi, yang harus melalui 2 jam perjalanan naik turun bukit menuju apartemennya, hingga perjalanan menuju kantor tempat ia bekerja, pikirannya hanya mengarah pada satu hal,“Seberapa rendah posisinya saat ini?”Pagi ini, sebenarnya bisa saja dia tidak pergi ke kantor karena tidak ada hal mendesak yang harus diurus secara langsung. Tapi juga sangat tidak menyenangkan jika Raihan kesanan nantinya. Kantor di lantai 17 ini adalah satu-satunya tempat dimana
Jum’at, 18 Juni 2021Meja makan rumah Raihan yang terletak di dataran tinggi dan bersebelahan dengan kebun teh keluarga itu terlihat penuh dengan perintilan soto. Raihan yang baru datang dan melihat makanan itu tiba-tiba teringat pada Airin. Entah dimana wanita itu berada sekarang.“Kamu mu ngurus berkas nikah kapan? Nggak baik ditunda terus meskipun sah agama.” Bu Dewi bertanya pada Raihan.“Hari ini, ma.” Spontan saja ia menjawab, karena ia membatalkan cuti dan akan mulai masuk kerja esok hari. Tidak ada perbincangan lagi, Raihan mengetik pesan singkat pada Airin.Hari ini ke kantor sipil&m
“Percuma saja menikah, jika mereka sama-sama tidak bahagia.”Kesalahpahaman sudah tidak lagi dapat dicegah diantara Raihan dan Airin. Saat sampai di rumah, Raihan melanjutkan untuk tidak terlalu memperdulikan Airin sehingga membuat wanita itu makin salah paham.Pintu kamar ditutup begitu saja dengan keras di depan Airin tanpa mempersilahkannya masuk terlebih dahulu. Hl itu sukses membuat Airin berpikir keras mengulang kejadian sehari ini, apakah dia ada kesalahan?Suasana rumah sepi dan hari sudah gelap. Badan Airin benar-benar meminta untuk diistirahatkan tapi masih banyak masalah yang harus dia hadapi sekarang.Dia mengurungkan diri masuk ke kamar dan melangkahkan kakinya ke dapur. Sejenak meluruskan punggung dan meneguk beberapa tegukan air yang melegakan te
Sepasang sahabat yang sudah saling mengenal selama 20 tahun, yang tanpa diduga dalam suatu hari, diiringi kejadian klise dan sangat tak bisa diterima logika kebenarannya, hanya berdiri mematung, saling berpandangan dalam diam. Tak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka walau pandangan mata mereka saling berebut dan mencoba untuk mengatakan banyak hal dari sana.Airin tak pernah memandang Raihan selama ini. Sejak dahulu, gadis itu enggan untuk menatap mata siapapun terlalu lama, kemalangan yang sering ia terima di sepanjang hidupnya membuat dia memiliki rasa empati berlebihan yang menganggap bahwa semua orang punya banyak masalah dan tak seharusnya menjadi penopang masalahnya. Tapi pada orang lain, dia melakukan kebalikannya.Kepada Raihan contohnya.Airin menjadi orang yang tahu betul bagaimana Raihan struggling menjalani hidupnya sendiri, yang baginya nampak lebih berat daripada apa yang ia rasakan. Menjadi korban perundungan hanya karena kondisi lahiriyah manusia, sungguh tida
“Harus banget, ‘mas yang nganterin?” Tanya Raihan kala sedari tadi pagi, Tito yang sejak kembali ke rumah seminggu lalu itu hanya mendiamkan dan sesekali mendengus sinis padanya, memaksa untuk mengikuti dirinya entah kemana.Pertanyaan Raihan tentang tujuan kemana sang adik hendak membawanya pergi sama sekali tak digubris. Pria muda yang gerak geriknya sangat jelas masih menaruh kesal pada sang kakak itu hanya mengatakan satu kalimat ‘hari ini ikut adek.’yang bagi Raihan terasa seperti perintah.Ia tak mampu menolak maupun mengabaikan permintaan sang adik, karena jujur, di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah karena membiarkan hal yang tak normal terus terjadi seolah tak ada apa-apa di sana. Melihat sang adik mau untuk setidaknya meminta suatu hal, walau tak jelas maksudnya, membuat Raihan sedikit bisa bernafas lega.“Aku nggak pernah minta apa-apa sebelumnya, ‘kan? Setelah ini, semuanya aku pasrahin ke mas, gimanapun mau mas Raihan.” Tito sedikit menambahkan clue setelah mereka s
Entah keberuntungan atau kemalangan yang menimpa Tito saat ini. Dia mendapat kesempatan untuk berdinas di pelabuhan di dekat rumahnya selama 2 bulan ke depan, harusnya dia bahagia karena tak lagi jauh dengan keluarga, tapi di sisi lain, dia harus terus menerus menghadapi fakta bahwa di hadapannya, kebingungannya tentang kepulangan Zahra dan kepergian Airin masih belum terjawab.Seperti hari ini contohnya. Walau Tito tahu pasti Zahra lagi yang akan menyambut kepulangannya, dia tetap saja masih terkejut dan terheran-heran, ditambah lagi dengan kelakuan sang kakak yang entah dia benar tidak peka atau pura-pura tidak tahu akan sikap risih yang jelas ditunjukkan di tengah keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.“Mas.” Sapa Tito tegas, saat ini secara kebetulan mereka datang bersama dari tempat kerja, dan hanya ada mereka berdua di tambah Zahra yang menyambut seperti biasa di daun pintu.Kali ini dengan berdalih melepas tali sepatu, Raihan masih seperti hari kemarin, selalu menghindar
Sepulang dari mengantarkan Airin kembali ke rumah 2 bulan yang lalu, Tito yang disambut dengan kabar mengejutkan akan kembalinya Zahra, sama sekali tak dapat hidup tenang di tengah penugasannya.Tito tak sempat meminta penjelasan apapun saat itu, karena ia harus buru-buru kembali ke pelabuhan sebelum kapal tempat ia bertugas kembali berlayar. Alhasil, dua bulan belakangan, pikirannya tak bisa fokus pada penugasan, karena dipenuhi akan banyak pertanyaan yang ingin ia segera temukan jawabannya. Apalagi saat itu, dia kembali ke penugasan dengan keputusan sang kakak ipar yang bersikukuh ingin berpisah, segera saat ia melihat Zahra berdiri di rumahnya.Tito yang mengetahui bahwa sang kakak kesayangannya itu tengah berbadan dua, tak tenang kala membayangkan bagaimana ia harus hamil sendirian karena bercerai, dan calon keponakannya lahir dengan kedua orang tua yang sudah berpisah.Pertanyaan itu yang paling menghantui kepalanya hingga sekarang.Tetapi, di luar dugaannya, dimana dia berharap
Kembalinya Zahra (dari sisi Raihan)Dengan kembalinya Zahra di tengah kehidupan kami, tak mengartikan bahwa keadaan akan kembali seperti semula, seperti hari-hari sebelum pernikahan.Tidak sama sekali. Jika ditanya apakah saya bahagia? Tentu, sangat bahagia. Gadis yang sangat saya cintai di lima tahun belakangan itu, yang sama sekali masih belum saya terima kepergiannya. Ketika ia kembali, dalam keadaan bugar, di hadapan saya, belum mati, tentu saja saya sangat bahagia.Hal itu seolah mengembalikan semua kebahagiaan yang menyingkir dari hidup saya sejak 3 bulan ke terakhir. Tak ada yang mampu saya katakan selain bersyukur dan merangkul dia dalam pelukan hangat, menenangkan Zahra yang sedang menceritakan keadaan pilu, yang berhasil ia lewati selama 3 bulan pasca kecelakaan tragis itu.Bagaimana saya tega dan tak terharu tentang bagaimana Zahra mungkin ketakutan, sendiri melewati masa kritis di tempat dimana tak satu orang pun mengenalnya.Zahra adalah anak tunggal kesayangan orang tu
Airin, (masih) dari sisi Raihan (II)Sudah saya bilang kan, bahwa saya yang bodoh disini. Saya yang menjadi saksi Airin tumbuh bersama luka, saya juga yang menabur garam di atas lukanya.Membuat panas dan perih luka lama, serta menimbulkan luka baru yang menganga basah.Airin mencoba untuk tetap membuat saya nyaman sebagai suaminya, saya sadar itu. Walau mimpi buruk masih dialaminya tiap malam, dia masih bisa tersenyum di pagi hari sembari menyiapkan sarapan, padahal saya tahu, Airin benci menyiapkan makanan untuk orang lain sebelum dia sendiri makan dan buru-buru berangkat bekerja pula.Dia juga yang menyadarkan saya akan eksistensinya, kala dengan bangsatnya saya memikirkan orang lain saat kami berada dalam peluh di atas ranjang, padahal itu adalah sarana pelampiasan segala emosi saya.Bodoh, ‘kan? Memang.Dosa? Jangan ditanya. Mungkin karma untuk saya sedang dibuat list nya sekarang.Tapi bodohnya lagi, saya tak menyesal. Hanya setelah berhubungan badan itu lah, saya bisa memeluk A
Airin, dari sisi Raihan Saya dan Airin bersahabat sejak lama. Lama sekali, 20 tahunan mungkin. Dahulu, Papa saya, seorang pamong di desa kami. Alasannya klasik, karena kami dari keluarga berada katanya. Saya waktu itu masih berumur 5 tahun, tidak paham apa yang mereka maksud dengan berada, mengapa mereka kekeh menjadikan papa saya pamong desa. Sampai akhirnya saya sadar, ada efek dari ‘ketergantungan’ disana. Fakta sosial yang baru saya pelajari saat menginjak remaja. Saya tau, bahwa sejak dahulu, papa membayar orang yang membantunya memetik pucuk teh, mencabut rumput yang menghalangi jalan, penyapu latar rumah menuju gerbang depan, juga kepada sopir mobil pick up yang membawa puluhan, hingga ratusan karung daun teh menuju ke distributor lain atau pabrik yang sudah mengontrak salah satu hasil tanah di kebun teh, bapak bahkan membayar orang yang membantu menimbang sebelumnya. Dari situ saya tahu, ada suatu bentuk ‘ketergantungan’ para warga kampung terhadap papa saya. Airin meru
Airin seolah hilang harapan kala percobaan keduanya untuk datang menemui Raihan dan menanyakan kejelasan hubungan mereka berdua kembali terhalang, saat pria itu bahkan tak muncul sama sekali di rumahnya. Wanita itu berusaha untuk menemui Raihan yang ia rasa selalu menghindarinya akhir-akhir ini. Hampir sebulan, sejak Airin terang-terangan meminta cerai dari dirinya, mereka sama sekali tak berbicara. Airin pikir mungkin karena dirinyalah yang meminta, jadi ia sendiri yang pergi untuk mendapatan surat pengajuan perceraian. Tapi setelah itu, tak ada lagi tindakan lanjut dari pihak Raihan. Sebulan lalu, saat dia mengangkut sedikit demi sedikit barang-barang pribadinya, baik dari rumah Raihan maupun dari rumah orang tuanya, pria itu masih membantu Airin, bahkan membantu menata barang di apartemen pribadi wanita itu. Namun lama kelamaan, Raihan seolah menghindari Airin. Dia mulai memotong pembicaraan Airin, tak lagi mengantar jemputnya bekerja seperti perjanjian awal mereka saat akan b
Airin benar-benar menganggap serius perkataannya pada Raihan hari itu. She’s exactly ready to take the worst risk that might happen in her future. Keputusannya sudah bulat untuk memutus hubungan dengan sang sahabat dari status suami dan istri mereka.Airin bahkan sudah memikirkan skenario bagaimana hidupnya akan sepenuhnya berubah setelah ini. Ia tak lagi dapat mengandalkan Raihan dan keluarganya, di antara kerapuhan internal keluarga Airin sendiri, dia juga tak dapat lagi menjadikan Raihan sebagai sahabat yang sama, hubungan mereka akan berbeda, bahkan jauh lebih berbeda sebelum pernikahan dadakan mereka.Sebagai langkah pertama, wanita itu beranjak keluar dari rumah keluarga Raihan, barang-barang pribadi yang ada di kamarnya di rumah Raihan –dimana kamar itu memang dikhususkan untuknya– mulai dipindahkan ke apartemen pribadinya.Barang-barangnya yang ia bawa dari rumah Raihan ke apartemen pribadinya juga tak dikembalikan, membuat rumah Raihan kian sepi dari suasana Airin. Mengenai