Sinar matahari pagi mencoba masuk di sela-sela kelambu yang masih tertutup rapat. Mencoba mengingatkan dua insan yang saling berangkulan di atas ranjang bertutup selimut warna soft blue itu agar segera bangun dan memulai hari mereka.
Tapi apalah daya, tidak ada satupun dari mereka yang berkutik atas peringatan mentari pagi. Wajar saja, mungkin mereka kelelahan oleh aktivitas yang seharian tanpa henti di kemarin hari. Pagi hingga petang, Raihan dan Airin disibukkan dengan urusan perpindahan rumah, perabot, hingga mengunjungi orang-orang penting di komplek perumahan mereka untuk sekedar bertegur sapa.
Bukan dengan maksud tertentu, hanya saja agar mereka bisa full seharian tidur dan berbaring
Benar saja.Saat ini, mereka berakhir di atas Sofa dengan Raihan yang bertelanjang dada, dan Airin yang memakai oblong longgar milir Raihan.Flashback Dua Jam yang LaluRaihan mengeratkan pelukan Airin, lalu membawa gadis itu ke atas pangkuannya. Dia semakin membenamkan kepalanya di ceruk leher bawah Airin dan mencari kehangatan di sana. Setiap kepalanya bergelut dengan keadaan yang memaksanya harus menerima semuanya, pelukan dan sentuhan fisik Airin selalu menjadi obat yang paling manjur untuk mengembalikan kesadaran dan tekanan darahnya.Tangan pria itu mencari celah di bawah kaos yang Airin kenakan, mencoba menerobos masuk menyentuh kulit yang sudah memanas mengikuti keadaan di antara mereka sekarang. Sang empunya hanya bisa mengeratkan dek
Airin bangkit, wajahnya memanas melihat ekspresi Raihan yang mencoba mengalihkan pandangan dari tubuhnya yang nyaris telanjang jika kain yang menutup itu bergeser lagi. “Kayak lo belom lihat semua, aja!” Ucap Airin mencoba santai.Raihan menyetujui pernyataan Airin barusan. Dia toh sudah melihat setiap lekuk tubuh sahabatnya itu. Setelahnya, badan Raihan masuk di sela-sela kaki Airin yang membuat wanita itu memelukkan kakinya di pinggang Raihan. Airin yang awalnya kaget, mencoba menetralisir rasa malu dan salah tingkahnya, seperti yang ia katakan, Raihan sudah lihat semuanya.
“Can we continue to the next discussion topic?” Ucap Airin di tengan-tengan saat Raihan ‘belajar’ memeluknya. “Hmm..” Raihan melepaskan rengkuhannya lalu mengeratkan dress yang asal dililitkan untuk membantu menutupi pinggang Airin.Mereka berdua duduk di sofa. Raihan memandangi netra teduh yang tak pernah ia bosan menatap selama 20 tahun terakhir. Ia tidak tahu ini bagian dari bab pembelajaran untuk menerima takdirnya yang baru bersama Airin, atau hanya nafsu yang sekedar lewat lalu tak pernah permisi untuk pergi.Netra itu, tempa
“‘Sampai kapan’ Terkadang Airin melontarkan kalimat itu, bukan lagi pertanyaan, tapi sudah berupa sebuah pernyataan, karena sepertinya itu adalah kalimat berita, bukan lagi suatu hal yang perlu dijawab.”Benar saja, di pagi hari, kejadian tidak terencana datang menghampiri hidup pasutri dadakan yang –berusaha– damai. Ibu Raihan, satu-satunya orang yang punya akses melewati satpam rumah Raihan dan Airin selain diri mereka sendiri, datang berkunjung di pagi hari.Lebih tepatnya, posisinya saat ini adalah mengomel di depan pintu masuk utama, karena tuan rumah tidak kunjung membukakan pintu untuk dia. Padahal teriakan mereka sudah disaut dari tadi.Bagaimana membukakan pintu, saat tahu sang ibu berada tepat di pintu depan rumahnya, Raihan dan Airin y
“HAAHH!”Pukul 2 dini hari, di kamar utama rumah Cempaka, nama komplek perumahan Raihan, Airin terbangun secara tiba-tiba. Nafasnya terengah-engah dan keringatnya deras melewati dahi hingga turun menetes di dagunya.Ia bermimpi buruk.Ada seseorang menangis dalam mimpinya, mengejarnya dengan penuh permohonan. Sementara dirinya berusaha menghindar. Anehnya adalah dalam mimpi itu, dia tidak takut dengan sosok yang mengejarnya, melainkan takut dengan orang-orang yang melihatnya. Melihat orang-orang melihatnya dengan tatapan penuh tanda tanya dan berusaha menghentikan langkah kakinya, membuat dadanya sesak.Airin hendak menarik tangannya untuk mengelap keringat di dahi, tapi baru sadar bahwa telapak kirinya dipegang erat oleh Raihan yang tidur m
“Did I do something wrong last night?” Tanya Raihan melihat Airin sudah sibuk di dapur sejak pagi dengan mata yang membengkak. Takut-takutnya, ada sesuatu yang dirinya lakukan dan menyinggung Airin tanpa sadar. Seingatnya, dia bukan peminum yang membuat dia mabuk dan berakhir melakukan hal yang salah. Seingatnya juga, hubungan mereka baik-baik saja kemarin sore bahkan sebelum tidur untuk mematikan lampu mereka masih berpelukan. “Maksudnya?” Airin memalingkan mata dari Raihan.Oh ayolah, hanya Raihan yang bisa mengelabui Airin dengan emosi palsunya, wanita itu tidak akan pernah bisa menyembunyikan apapun darinya. Apalagi terlihat jelas mata bengkaknya yang menonjol tak seper
Hari ini kacau, benar-benar kacau bagi Airin!Map tebal yang bertumpuk, kalkulator dengan baterai terlepas, kopi tumpah di berkas berwarna putih, hingga ponselnya yang mati, terjadi di waktu yang bersamaan. Wanita itu saat ini hanya memangku siku di pegangan kursi yang sedang ia duduki sembari memijat pelan pelipisnya.Projek bulan lalu berakhir gagal dan tak sampai hingga laporan pertanggungjawaban, memang bukan salah Airin ataupun perusahaannya, projek itu gagal karena anggaran yang diajukan tidak sesuai dengan anggaran yang sudah dirancang oleh tim Airin.Dari awal, sebenarnya dia sudah menolak mentah-mentah tawaran dari perusahaan tersebut, hal ini tak lain dan tak bukan, karena itu adalah perusahaan keluarga. Main team
Mppphh..Lagi.. Mimpi buruk lagi.. It'll just be a different night, with the same nightmareAirin melepas syal yang ia gunakan untuk membungkam mulutnya sendiri.Iya, dia sendiri yang memasangnya.Airin menoleh di sisi ranjang sebelah, ‘Aman, dia nggak bangun.’, dan itulah tujuannya.Iya, mimpi buruknya tidak hilang, bahkan tidak pernah hilang. Beberapa hari lalu, ia sempat berkonsultasi pada temannya, dr. Raya bahwa dia terus mengalami mimpi buruk yang disusul saki
Sepasang sahabat yang sudah saling mengenal selama 20 tahun, yang tanpa diduga dalam suatu hari, diiringi kejadian klise dan sangat tak bisa diterima logika kebenarannya, hanya berdiri mematung, saling berpandangan dalam diam. Tak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka walau pandangan mata mereka saling berebut dan mencoba untuk mengatakan banyak hal dari sana.Airin tak pernah memandang Raihan selama ini. Sejak dahulu, gadis itu enggan untuk menatap mata siapapun terlalu lama, kemalangan yang sering ia terima di sepanjang hidupnya membuat dia memiliki rasa empati berlebihan yang menganggap bahwa semua orang punya banyak masalah dan tak seharusnya menjadi penopang masalahnya. Tapi pada orang lain, dia melakukan kebalikannya.Kepada Raihan contohnya.Airin menjadi orang yang tahu betul bagaimana Raihan struggling menjalani hidupnya sendiri, yang baginya nampak lebih berat daripada apa yang ia rasakan. Menjadi korban perundungan hanya karena kondisi lahiriyah manusia, sungguh tida
“Harus banget, ‘mas yang nganterin?” Tanya Raihan kala sedari tadi pagi, Tito yang sejak kembali ke rumah seminggu lalu itu hanya mendiamkan dan sesekali mendengus sinis padanya, memaksa untuk mengikuti dirinya entah kemana.Pertanyaan Raihan tentang tujuan kemana sang adik hendak membawanya pergi sama sekali tak digubris. Pria muda yang gerak geriknya sangat jelas masih menaruh kesal pada sang kakak itu hanya mengatakan satu kalimat ‘hari ini ikut adek.’yang bagi Raihan terasa seperti perintah.Ia tak mampu menolak maupun mengabaikan permintaan sang adik, karena jujur, di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah karena membiarkan hal yang tak normal terus terjadi seolah tak ada apa-apa di sana. Melihat sang adik mau untuk setidaknya meminta suatu hal, walau tak jelas maksudnya, membuat Raihan sedikit bisa bernafas lega.“Aku nggak pernah minta apa-apa sebelumnya, ‘kan? Setelah ini, semuanya aku pasrahin ke mas, gimanapun mau mas Raihan.” Tito sedikit menambahkan clue setelah mereka s
Entah keberuntungan atau kemalangan yang menimpa Tito saat ini. Dia mendapat kesempatan untuk berdinas di pelabuhan di dekat rumahnya selama 2 bulan ke depan, harusnya dia bahagia karena tak lagi jauh dengan keluarga, tapi di sisi lain, dia harus terus menerus menghadapi fakta bahwa di hadapannya, kebingungannya tentang kepulangan Zahra dan kepergian Airin masih belum terjawab.Seperti hari ini contohnya. Walau Tito tahu pasti Zahra lagi yang akan menyambut kepulangannya, dia tetap saja masih terkejut dan terheran-heran, ditambah lagi dengan kelakuan sang kakak yang entah dia benar tidak peka atau pura-pura tidak tahu akan sikap risih yang jelas ditunjukkan di tengah keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.“Mas.” Sapa Tito tegas, saat ini secara kebetulan mereka datang bersama dari tempat kerja, dan hanya ada mereka berdua di tambah Zahra yang menyambut seperti biasa di daun pintu.Kali ini dengan berdalih melepas tali sepatu, Raihan masih seperti hari kemarin, selalu menghindar
Sepulang dari mengantarkan Airin kembali ke rumah 2 bulan yang lalu, Tito yang disambut dengan kabar mengejutkan akan kembalinya Zahra, sama sekali tak dapat hidup tenang di tengah penugasannya.Tito tak sempat meminta penjelasan apapun saat itu, karena ia harus buru-buru kembali ke pelabuhan sebelum kapal tempat ia bertugas kembali berlayar. Alhasil, dua bulan belakangan, pikirannya tak bisa fokus pada penugasan, karena dipenuhi akan banyak pertanyaan yang ingin ia segera temukan jawabannya. Apalagi saat itu, dia kembali ke penugasan dengan keputusan sang kakak ipar yang bersikukuh ingin berpisah, segera saat ia melihat Zahra berdiri di rumahnya.Tito yang mengetahui bahwa sang kakak kesayangannya itu tengah berbadan dua, tak tenang kala membayangkan bagaimana ia harus hamil sendirian karena bercerai, dan calon keponakannya lahir dengan kedua orang tua yang sudah berpisah.Pertanyaan itu yang paling menghantui kepalanya hingga sekarang.Tetapi, di luar dugaannya, dimana dia berharap
Kembalinya Zahra (dari sisi Raihan)Dengan kembalinya Zahra di tengah kehidupan kami, tak mengartikan bahwa keadaan akan kembali seperti semula, seperti hari-hari sebelum pernikahan.Tidak sama sekali. Jika ditanya apakah saya bahagia? Tentu, sangat bahagia. Gadis yang sangat saya cintai di lima tahun belakangan itu, yang sama sekali masih belum saya terima kepergiannya. Ketika ia kembali, dalam keadaan bugar, di hadapan saya, belum mati, tentu saja saya sangat bahagia.Hal itu seolah mengembalikan semua kebahagiaan yang menyingkir dari hidup saya sejak 3 bulan ke terakhir. Tak ada yang mampu saya katakan selain bersyukur dan merangkul dia dalam pelukan hangat, menenangkan Zahra yang sedang menceritakan keadaan pilu, yang berhasil ia lewati selama 3 bulan pasca kecelakaan tragis itu.Bagaimana saya tega dan tak terharu tentang bagaimana Zahra mungkin ketakutan, sendiri melewati masa kritis di tempat dimana tak satu orang pun mengenalnya.Zahra adalah anak tunggal kesayangan orang tu
Airin, (masih) dari sisi Raihan (II)Sudah saya bilang kan, bahwa saya yang bodoh disini. Saya yang menjadi saksi Airin tumbuh bersama luka, saya juga yang menabur garam di atas lukanya.Membuat panas dan perih luka lama, serta menimbulkan luka baru yang menganga basah.Airin mencoba untuk tetap membuat saya nyaman sebagai suaminya, saya sadar itu. Walau mimpi buruk masih dialaminya tiap malam, dia masih bisa tersenyum di pagi hari sembari menyiapkan sarapan, padahal saya tahu, Airin benci menyiapkan makanan untuk orang lain sebelum dia sendiri makan dan buru-buru berangkat bekerja pula.Dia juga yang menyadarkan saya akan eksistensinya, kala dengan bangsatnya saya memikirkan orang lain saat kami berada dalam peluh di atas ranjang, padahal itu adalah sarana pelampiasan segala emosi saya.Bodoh, ‘kan? Memang.Dosa? Jangan ditanya. Mungkin karma untuk saya sedang dibuat list nya sekarang.Tapi bodohnya lagi, saya tak menyesal. Hanya setelah berhubungan badan itu lah, saya bisa memeluk A
Airin, dari sisi Raihan Saya dan Airin bersahabat sejak lama. Lama sekali, 20 tahunan mungkin. Dahulu, Papa saya, seorang pamong di desa kami. Alasannya klasik, karena kami dari keluarga berada katanya. Saya waktu itu masih berumur 5 tahun, tidak paham apa yang mereka maksud dengan berada, mengapa mereka kekeh menjadikan papa saya pamong desa. Sampai akhirnya saya sadar, ada efek dari ‘ketergantungan’ disana. Fakta sosial yang baru saya pelajari saat menginjak remaja. Saya tau, bahwa sejak dahulu, papa membayar orang yang membantunya memetik pucuk teh, mencabut rumput yang menghalangi jalan, penyapu latar rumah menuju gerbang depan, juga kepada sopir mobil pick up yang membawa puluhan, hingga ratusan karung daun teh menuju ke distributor lain atau pabrik yang sudah mengontrak salah satu hasil tanah di kebun teh, bapak bahkan membayar orang yang membantu menimbang sebelumnya. Dari situ saya tahu, ada suatu bentuk ‘ketergantungan’ para warga kampung terhadap papa saya. Airin meru
Airin seolah hilang harapan kala percobaan keduanya untuk datang menemui Raihan dan menanyakan kejelasan hubungan mereka berdua kembali terhalang, saat pria itu bahkan tak muncul sama sekali di rumahnya. Wanita itu berusaha untuk menemui Raihan yang ia rasa selalu menghindarinya akhir-akhir ini. Hampir sebulan, sejak Airin terang-terangan meminta cerai dari dirinya, mereka sama sekali tak berbicara. Airin pikir mungkin karena dirinyalah yang meminta, jadi ia sendiri yang pergi untuk mendapatan surat pengajuan perceraian. Tapi setelah itu, tak ada lagi tindakan lanjut dari pihak Raihan. Sebulan lalu, saat dia mengangkut sedikit demi sedikit barang-barang pribadinya, baik dari rumah Raihan maupun dari rumah orang tuanya, pria itu masih membantu Airin, bahkan membantu menata barang di apartemen pribadi wanita itu. Namun lama kelamaan, Raihan seolah menghindari Airin. Dia mulai memotong pembicaraan Airin, tak lagi mengantar jemputnya bekerja seperti perjanjian awal mereka saat akan b
Airin benar-benar menganggap serius perkataannya pada Raihan hari itu. She’s exactly ready to take the worst risk that might happen in her future. Keputusannya sudah bulat untuk memutus hubungan dengan sang sahabat dari status suami dan istri mereka.Airin bahkan sudah memikirkan skenario bagaimana hidupnya akan sepenuhnya berubah setelah ini. Ia tak lagi dapat mengandalkan Raihan dan keluarganya, di antara kerapuhan internal keluarga Airin sendiri, dia juga tak dapat lagi menjadikan Raihan sebagai sahabat yang sama, hubungan mereka akan berbeda, bahkan jauh lebih berbeda sebelum pernikahan dadakan mereka.Sebagai langkah pertama, wanita itu beranjak keluar dari rumah keluarga Raihan, barang-barang pribadi yang ada di kamarnya di rumah Raihan –dimana kamar itu memang dikhususkan untuknya– mulai dipindahkan ke apartemen pribadinya.Barang-barangnya yang ia bawa dari rumah Raihan ke apartemen pribadinya juga tak dikembalikan, membuat rumah Raihan kian sepi dari suasana Airin. Mengenai