“HAAHH!”
Pukul 2 dini hari, di kamar utama rumah Cempaka, nama komplek perumahan Raihan, Airin terbangun secara tiba-tiba. Nafasnya terengah-engah dan keringatnya deras melewati dahi hingga turun menetes di dagunya.
Ia bermimpi buruk.
Ada seseorang menangis dalam mimpinya, mengejarnya dengan penuh permohonan. Sementara dirinya berusaha menghindar. Anehnya adalah dalam mimpi itu, dia tidak takut dengan sosok yang mengejarnya, melainkan takut dengan orang-orang yang melihatnya. Melihat orang-orang melihatnya dengan tatapan penuh tanda tanya dan berusaha menghentikan langkah kakinya, membuat dadanya sesak.
Airin hendak menarik tangannya untuk mengelap keringat di dahi, tapi baru sadar bahwa telapak kirinya dipegang erat oleh Raihan yang tidur m
“Did I do something wrong last night?” Tanya Raihan melihat Airin sudah sibuk di dapur sejak pagi dengan mata yang membengkak. Takut-takutnya, ada sesuatu yang dirinya lakukan dan menyinggung Airin tanpa sadar. Seingatnya, dia bukan peminum yang membuat dia mabuk dan berakhir melakukan hal yang salah. Seingatnya juga, hubungan mereka baik-baik saja kemarin sore bahkan sebelum tidur untuk mematikan lampu mereka masih berpelukan. “Maksudnya?” Airin memalingkan mata dari Raihan.Oh ayolah, hanya Raihan yang bisa mengelabui Airin dengan emosi palsunya, wanita itu tidak akan pernah bisa menyembunyikan apapun darinya. Apalagi terlihat jelas mata bengkaknya yang menonjol tak seper
Hari ini kacau, benar-benar kacau bagi Airin!Map tebal yang bertumpuk, kalkulator dengan baterai terlepas, kopi tumpah di berkas berwarna putih, hingga ponselnya yang mati, terjadi di waktu yang bersamaan. Wanita itu saat ini hanya memangku siku di pegangan kursi yang sedang ia duduki sembari memijat pelan pelipisnya.Projek bulan lalu berakhir gagal dan tak sampai hingga laporan pertanggungjawaban, memang bukan salah Airin ataupun perusahaannya, projek itu gagal karena anggaran yang diajukan tidak sesuai dengan anggaran yang sudah dirancang oleh tim Airin.Dari awal, sebenarnya dia sudah menolak mentah-mentah tawaran dari perusahaan tersebut, hal ini tak lain dan tak bukan, karena itu adalah perusahaan keluarga. Main team
Mppphh..Lagi.. Mimpi buruk lagi.. It'll just be a different night, with the same nightmareAirin melepas syal yang ia gunakan untuk membungkam mulutnya sendiri.Iya, dia sendiri yang memasangnya.Airin menoleh di sisi ranjang sebelah, ‘Aman, dia nggak bangun.’, dan itulah tujuannya.Iya, mimpi buruknya tidak hilang, bahkan tidak pernah hilang. Beberapa hari lalu, ia sempat berkonsultasi pada temannya, dr. Raya bahwa dia terus mengalami mimpi buruk yang disusul saki
Suasana mencekam sudah menyelimuti Raihan dan Airin di pagi hari. Wanita itu duduk di meja makan dengan tangannya yang tidak bisa diam, sementara Raihan memutuskan dia yang membuat sarapan untuk mereka pagi ini.Semenjak Airin mengatakan bahwa Farhan menghubunginya tadi pagi, ia melihat wanita itu tidak bisa fokus. Pagi ini saja, dia sudah memecahkan dua gelas dan melukai tangannya saat menyalakan kompor. “Do you still love him?” Raihan membuka pembicaraan sembari menyajikan piring berisi roti panggang beserta telur mata sapi di meja makan. “Lo tau
“Airin melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Farhan, tentara muda dengan karir cemerlang, tertunduk, berada pada titik terendah hidupnya, menangis sendirian.”..Airin pulang dalam keadaan tidak menentu. Dia bingung bahkan untuk menentukan bagaimana dia harus bersikap kali ini. Perasaannya buruk, tapi tidak ada hasrat kesedihan, dia ingin bahagia tapi dia juga ingin menangis.Melihat Farhan tanpa senyum dan penjelasan panjang lebar membuat dia kalang kabut. Airin dihantui rasa bersalah dan pertanyaan berkepanjangan. Entah sengaja atau tidak, Farhan sangat tahu Airin dengan benar. Pria itu juga jelas tahu benar bahwa membuat Airin merasa bersalah adalah jalan paling ampuh membuat hidup wanita itu tidak tenang.
Raihan baru saja pulang dari rumah orang tuanya. Saat ini, dia berada di ruang tamu rumahnya. Menyusuri penjuru rumah dengan matanya, mencari seseorang yang memenuhi kepalanya seharian.Airin.Hari ini, seharusnya dia menemani wanita itu menemui Farhan, yang mungkin menjadi satu di antara orang yang paling berkorban atas pernikahan ini. Bedanya, Raihan yang tidak jadi kehilangan istri, Airin mendapatkan suami, sementara Farhan tidak mendapatkan apapun kecuali dipaksa untuk sabar dan terima.Namun mamanya, tiba-tiba memanggilnya pulang dan memaksa dirinya menginap, semakin terkejut lagi saat sang mama berkata bahwa Ia melihat Airin bersama seorang pria kemarin.Raihan dengan jelas tahu bahwa pria yang dimaksud mungkin adalah Farhan, tapi dia tidak bisa menjelaskan siapa F
"Saya pikir mungkin hanya firasat buruk saya. Lalu saat saya ingat saya tidak take action untuk firasat buruk saya sebelumnya, saya jadi takut ada sesuatu yang terjadi saat tidak ada saya di sana." -Airin POV Airin Punya kepribadian yang sering disalahpahami orang, membuat saya terus berpikir apakah diri sudah capable untuk tetap berdiri di tempat saya sekarang. Orang banyak mengira saya humble dan dermawan, terus seperti itu hingga tiba saat saya butuh waktu sendiri untuk recharge, saya akan dikira orang yang tidak butuh orang lain. Saya akan dikira orang yang sombong, yang bisa berjalan tanpa bantuan yang lain. Lalu saat saya kembali ke tempat dimana saya menjalani kehidupan, semuanya tidak lagi sama. Pandangan orang pada saya pun ikut berubah, respon mereka tentang apa yang saya katakan atau lakukan akan berbeda dari sebelum saya pergi sejenak dari sekitar mereka. Sejak sadar tentang kepribadian aneh itu, saya memutuskan untuk punya topeng tebal yang akan selalu saya gunakan ket
Raihan PovSemenjak ayahanda dari Zahra sadarkan diri dari masa kritis 2 bulannya, saya lebih sering berada di rumah sakit daripada di rumah saya sendiri. Bahkan projek kantor semuanya saya relakan kepada rekan-rekan saya dan saya mengambil kontrak ringan yang analisanya bisa dilakukan di mana saja.Tidak hanya saya, orang tua saya juga sering mengunjungi rumah sakit menjenguk Pak Bakar, ayahanda Zahra, mengingat dia tinggal sendirian sejak kecelakaan yang menewaskan istri dan putri satu-satunya itu.Rumah saya? Rumah dengan Airin maksudnya. Sudah 3 hari saya tidak menginjakkan diri disana. Semenjak Airin pergi untuk mengambil jeda hari itu, saya lebih sering di kantor dan banyak mengambil lembur, bagaimana tidak, jika diteruskan berdiam di rumah, tentu saja ada pikiran dan berbagai bentuk penyesalan yang ada dalam diri saya.
Sepasang sahabat yang sudah saling mengenal selama 20 tahun, yang tanpa diduga dalam suatu hari, diiringi kejadian klise dan sangat tak bisa diterima logika kebenarannya, hanya berdiri mematung, saling berpandangan dalam diam. Tak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka walau pandangan mata mereka saling berebut dan mencoba untuk mengatakan banyak hal dari sana.Airin tak pernah memandang Raihan selama ini. Sejak dahulu, gadis itu enggan untuk menatap mata siapapun terlalu lama, kemalangan yang sering ia terima di sepanjang hidupnya membuat dia memiliki rasa empati berlebihan yang menganggap bahwa semua orang punya banyak masalah dan tak seharusnya menjadi penopang masalahnya. Tapi pada orang lain, dia melakukan kebalikannya.Kepada Raihan contohnya.Airin menjadi orang yang tahu betul bagaimana Raihan struggling menjalani hidupnya sendiri, yang baginya nampak lebih berat daripada apa yang ia rasakan. Menjadi korban perundungan hanya karena kondisi lahiriyah manusia, sungguh tida
“Harus banget, ‘mas yang nganterin?” Tanya Raihan kala sedari tadi pagi, Tito yang sejak kembali ke rumah seminggu lalu itu hanya mendiamkan dan sesekali mendengus sinis padanya, memaksa untuk mengikuti dirinya entah kemana.Pertanyaan Raihan tentang tujuan kemana sang adik hendak membawanya pergi sama sekali tak digubris. Pria muda yang gerak geriknya sangat jelas masih menaruh kesal pada sang kakak itu hanya mengatakan satu kalimat ‘hari ini ikut adek.’yang bagi Raihan terasa seperti perintah.Ia tak mampu menolak maupun mengabaikan permintaan sang adik, karena jujur, di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah karena membiarkan hal yang tak normal terus terjadi seolah tak ada apa-apa di sana. Melihat sang adik mau untuk setidaknya meminta suatu hal, walau tak jelas maksudnya, membuat Raihan sedikit bisa bernafas lega.“Aku nggak pernah minta apa-apa sebelumnya, ‘kan? Setelah ini, semuanya aku pasrahin ke mas, gimanapun mau mas Raihan.” Tito sedikit menambahkan clue setelah mereka s
Entah keberuntungan atau kemalangan yang menimpa Tito saat ini. Dia mendapat kesempatan untuk berdinas di pelabuhan di dekat rumahnya selama 2 bulan ke depan, harusnya dia bahagia karena tak lagi jauh dengan keluarga, tapi di sisi lain, dia harus terus menerus menghadapi fakta bahwa di hadapannya, kebingungannya tentang kepulangan Zahra dan kepergian Airin masih belum terjawab.Seperti hari ini contohnya. Walau Tito tahu pasti Zahra lagi yang akan menyambut kepulangannya, dia tetap saja masih terkejut dan terheran-heran, ditambah lagi dengan kelakuan sang kakak yang entah dia benar tidak peka atau pura-pura tidak tahu akan sikap risih yang jelas ditunjukkan di tengah keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.“Mas.” Sapa Tito tegas, saat ini secara kebetulan mereka datang bersama dari tempat kerja, dan hanya ada mereka berdua di tambah Zahra yang menyambut seperti biasa di daun pintu.Kali ini dengan berdalih melepas tali sepatu, Raihan masih seperti hari kemarin, selalu menghindar
Sepulang dari mengantarkan Airin kembali ke rumah 2 bulan yang lalu, Tito yang disambut dengan kabar mengejutkan akan kembalinya Zahra, sama sekali tak dapat hidup tenang di tengah penugasannya.Tito tak sempat meminta penjelasan apapun saat itu, karena ia harus buru-buru kembali ke pelabuhan sebelum kapal tempat ia bertugas kembali berlayar. Alhasil, dua bulan belakangan, pikirannya tak bisa fokus pada penugasan, karena dipenuhi akan banyak pertanyaan yang ingin ia segera temukan jawabannya. Apalagi saat itu, dia kembali ke penugasan dengan keputusan sang kakak ipar yang bersikukuh ingin berpisah, segera saat ia melihat Zahra berdiri di rumahnya.Tito yang mengetahui bahwa sang kakak kesayangannya itu tengah berbadan dua, tak tenang kala membayangkan bagaimana ia harus hamil sendirian karena bercerai, dan calon keponakannya lahir dengan kedua orang tua yang sudah berpisah.Pertanyaan itu yang paling menghantui kepalanya hingga sekarang.Tetapi, di luar dugaannya, dimana dia berharap
Kembalinya Zahra (dari sisi Raihan)Dengan kembalinya Zahra di tengah kehidupan kami, tak mengartikan bahwa keadaan akan kembali seperti semula, seperti hari-hari sebelum pernikahan.Tidak sama sekali. Jika ditanya apakah saya bahagia? Tentu, sangat bahagia. Gadis yang sangat saya cintai di lima tahun belakangan itu, yang sama sekali masih belum saya terima kepergiannya. Ketika ia kembali, dalam keadaan bugar, di hadapan saya, belum mati, tentu saja saya sangat bahagia.Hal itu seolah mengembalikan semua kebahagiaan yang menyingkir dari hidup saya sejak 3 bulan ke terakhir. Tak ada yang mampu saya katakan selain bersyukur dan merangkul dia dalam pelukan hangat, menenangkan Zahra yang sedang menceritakan keadaan pilu, yang berhasil ia lewati selama 3 bulan pasca kecelakaan tragis itu.Bagaimana saya tega dan tak terharu tentang bagaimana Zahra mungkin ketakutan, sendiri melewati masa kritis di tempat dimana tak satu orang pun mengenalnya.Zahra adalah anak tunggal kesayangan orang tu
Airin, (masih) dari sisi Raihan (II)Sudah saya bilang kan, bahwa saya yang bodoh disini. Saya yang menjadi saksi Airin tumbuh bersama luka, saya juga yang menabur garam di atas lukanya.Membuat panas dan perih luka lama, serta menimbulkan luka baru yang menganga basah.Airin mencoba untuk tetap membuat saya nyaman sebagai suaminya, saya sadar itu. Walau mimpi buruk masih dialaminya tiap malam, dia masih bisa tersenyum di pagi hari sembari menyiapkan sarapan, padahal saya tahu, Airin benci menyiapkan makanan untuk orang lain sebelum dia sendiri makan dan buru-buru berangkat bekerja pula.Dia juga yang menyadarkan saya akan eksistensinya, kala dengan bangsatnya saya memikirkan orang lain saat kami berada dalam peluh di atas ranjang, padahal itu adalah sarana pelampiasan segala emosi saya.Bodoh, ‘kan? Memang.Dosa? Jangan ditanya. Mungkin karma untuk saya sedang dibuat list nya sekarang.Tapi bodohnya lagi, saya tak menyesal. Hanya setelah berhubungan badan itu lah, saya bisa memeluk A
Airin, dari sisi Raihan Saya dan Airin bersahabat sejak lama. Lama sekali, 20 tahunan mungkin. Dahulu, Papa saya, seorang pamong di desa kami. Alasannya klasik, karena kami dari keluarga berada katanya. Saya waktu itu masih berumur 5 tahun, tidak paham apa yang mereka maksud dengan berada, mengapa mereka kekeh menjadikan papa saya pamong desa. Sampai akhirnya saya sadar, ada efek dari ‘ketergantungan’ disana. Fakta sosial yang baru saya pelajari saat menginjak remaja. Saya tau, bahwa sejak dahulu, papa membayar orang yang membantunya memetik pucuk teh, mencabut rumput yang menghalangi jalan, penyapu latar rumah menuju gerbang depan, juga kepada sopir mobil pick up yang membawa puluhan, hingga ratusan karung daun teh menuju ke distributor lain atau pabrik yang sudah mengontrak salah satu hasil tanah di kebun teh, bapak bahkan membayar orang yang membantu menimbang sebelumnya. Dari situ saya tahu, ada suatu bentuk ‘ketergantungan’ para warga kampung terhadap papa saya. Airin meru
Airin seolah hilang harapan kala percobaan keduanya untuk datang menemui Raihan dan menanyakan kejelasan hubungan mereka berdua kembali terhalang, saat pria itu bahkan tak muncul sama sekali di rumahnya. Wanita itu berusaha untuk menemui Raihan yang ia rasa selalu menghindarinya akhir-akhir ini. Hampir sebulan, sejak Airin terang-terangan meminta cerai dari dirinya, mereka sama sekali tak berbicara. Airin pikir mungkin karena dirinyalah yang meminta, jadi ia sendiri yang pergi untuk mendapatan surat pengajuan perceraian. Tapi setelah itu, tak ada lagi tindakan lanjut dari pihak Raihan. Sebulan lalu, saat dia mengangkut sedikit demi sedikit barang-barang pribadinya, baik dari rumah Raihan maupun dari rumah orang tuanya, pria itu masih membantu Airin, bahkan membantu menata barang di apartemen pribadi wanita itu. Namun lama kelamaan, Raihan seolah menghindari Airin. Dia mulai memotong pembicaraan Airin, tak lagi mengantar jemputnya bekerja seperti perjanjian awal mereka saat akan b
Airin benar-benar menganggap serius perkataannya pada Raihan hari itu. She’s exactly ready to take the worst risk that might happen in her future. Keputusannya sudah bulat untuk memutus hubungan dengan sang sahabat dari status suami dan istri mereka.Airin bahkan sudah memikirkan skenario bagaimana hidupnya akan sepenuhnya berubah setelah ini. Ia tak lagi dapat mengandalkan Raihan dan keluarganya, di antara kerapuhan internal keluarga Airin sendiri, dia juga tak dapat lagi menjadikan Raihan sebagai sahabat yang sama, hubungan mereka akan berbeda, bahkan jauh lebih berbeda sebelum pernikahan dadakan mereka.Sebagai langkah pertama, wanita itu beranjak keluar dari rumah keluarga Raihan, barang-barang pribadi yang ada di kamarnya di rumah Raihan –dimana kamar itu memang dikhususkan untuknya– mulai dipindahkan ke apartemen pribadinya.Barang-barangnya yang ia bawa dari rumah Raihan ke apartemen pribadinya juga tak dikembalikan, membuat rumah Raihan kian sepi dari suasana Airin. Mengenai