Malam itu, langit tertutup awan kelabu yang tebal, memadamkan cahaya bulan dan bintang. Hutan di sekitar istana terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya sesekali terdengar suara angin berdesir di antara dedaunan kering. Udara dingin membawa aroma belerang yang menusuk hidung, menciptakan atmosfer mencekam yang membuat setiap langkah terasa lebih berat. Arya Kertajaya bergerak diam-diam melewati pepohonan lebat, tubuhnya tertutup jubah hitam untuk menyamarkan keberadaannya. Ia tahu bahwa misi ini adalah salah satu yang paling berbahaya dalam hidupnya—tetapi ia juga tahu bahwa informasi tentang rencana Ki Jagabaya bisa menjadi kunci untuk menyelamatkan kerajaan.Setelah meninggalkan tim Raka dan Dyah Sulastri, Arya memutuskan untuk bertindak sendiri. Ia tidak ingin membahayakan orang lain, terutama Dyah Sulastri, yang masih menjadi target utama Ki Jagabaya. Dengan pedangnya tersembunyi di balik jubah, ia melangkah menuju lokasi markas pasukan bayangan yang telah ia selidiki sebelumnya.Ma
Malam itu, angin dingin berdesir pelan melewati halaman istana. Di bawah cahaya rembulan yang redup, Dyah Sulastri duduk sendirian di tepi kolam suci, airnya yang tenang memantulkan bayangan wajahnya yang penuh kegelisahan. Ia memandangi permukaan air dengan tatapan kosong, seolah-olah mencoba menemukan jawaban dari kedalaman kolam itu. Hatinya dipenuhi oleh ketakutan yang tak terungkapkan—ketakutan bahwa ia adalah penyebab utama lenyapnya kerajaan Gilingwesi.Sejak Naga Niskala memberikan petunjuk tentang siklus alam yang tidak bisa dihindari, Dyah merasa beban itu semakin berat. Ia tahu bahwa dirinya adalah calon ratu suci yang harus dikorbankan dalam ritual untuk menjaga kestabilan kerajaan. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam—sebuah rahasia besar yang selama ini ia simpan di dalam hati. Ia mulai menyadari bahwa keberadaannya mungkin bukan hanya bagian dari ritual, tetapi juga bagian dari rencana Ki Jagabaya untuk membuka portal waktu permanen.Angin malam membawa aroma belerang yan
Matahari pagi belum sepenuhnya terbit ketika Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya tiba di kaki gunung suci. Udara dingin menusuk tulang, membawa aroma tanah basah dan rerumputan yang masih berembun. Kabut tebal menyelimuti puncak gunung, menciptakan ilusi bahwa mereka sedang memasuki dunia lain—sebuah tempat antara nyata dan gaib.Raka menatap ke arah lereng gunung yang tertutup kabut, merasakan getaran aneh di udara. Ia tidak bisa mengabaikan firasat bahwa sesuatu yang besar menanti di sana. Dyah berjalan di sampingnya dengan langkah pelan namun teguh, matanya tampak waspada sekaligus penuh harapan. Arya Kertajaya mengikuti di belakang, tangannya selalu siap di gagang pedangnya."Kita sudah dekat," kata Dyah pelan, suaranya hampir tersapu angin pagi. "Resi Agung Darmaja biasanya tinggal di sebuah padepokan di balik air terjun suci."Raka mengangguk, tetapi pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Apakah Resi Agung Darmaja benar-benar akan membantu mereka? A
Matahari pagi mulai memuncak ketika Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya memulai perjalanan mereka menuju kuil tersembunyi di gunung suci. Udara pegunungan yang dingin menyelimuti tubuh mereka, membawa aroma tanah basah dan rerumputan hijau yang masih berembun. Jalan setapak yang mereka lalui semakin sempit dan curam, dikelilingi oleh pepohonan rimbun yang seolah-olah menjaga rahasia alam.Raka melangkah dengan hati-hati, matanya terus mengamati sekeliling. Ia merasakan getaran aneh di udara—energi spiritual yang kuat, seperti bisikan gaib yang tak terdengar oleh telinga manusia biasa. Dyah berjalan di sampingnya dengan langkah teguh, namun wajahnya tampak penuh kekhawatiran. Arya Kertajaya mengikuti di belakang, tangannya selalu siap di gagang pedangnya."Kuil ini adalah tempat suci bagi para leluhur kerajaan," kata Dyah pelan, suaranya hampir tersapu angin pegunungan. "Hanya sedikit orang yang pernah sampai di sana. Bahkan prajurit pun enggan mendekat karena legenda tentang Gender
Setelah meninggalkan kuil tersembunyi, Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak gunung suci. Jalan yang mereka tempuh semakin curam dan berbahaya, dengan tebing-tebing tinggi di satu sisi dan jurang dalam di sisi lainnya. Kabut tebal menyelimuti jalur setapak, membuat pandangan mereka terbatas hanya pada beberapa langkah ke depan.Udara dingin membawa aroma tanah basah dan rerumputan hijau yang masih berembun, menciptakan atmosfer yang damai namun menegangkan. Di sepanjang jalan, suara alam—gemerisik daun, desiran angin, dan gemericik air dari sungai kecil di bawah tebing—mengiringi langkah mereka. Namun, di balik ketenangan itu, ada getaran aneh yang mengalir di udara, seolah-olah alam sedang memperingatkan akan bahaya besar yang mendekat.Raka berjalan di depan, matanya terus mengamati sekeliling dengan waspada. Ia merasakan beban berat di pundaknya—bukan hanya karena artefak penting yang harus mereka selamatkan, tetapi juga karena hubungann
Setelah meninggalkan tempat peristirahatan di dataran kecil, Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak gunung suci. Jalan setapak yang mereka lalui semakin curam dan berbahaya, dengan tebing-tebing tinggi di satu sisi dan jurang dalam di sisi lainnya. Kabut tebal menyelimuti jalur mereka, menciptakan atmosfer misterius yang memperkuat ketegangan dalam hati masing-masing tokoh.Angin dingin berhembus kencang, membawa aroma tanah basah dan rerumputan hijau yang masih berembun. Suara alam—gemerisik daun, desiran angin, dan gemericik air dari sungai kecil di bawah tebing—mengiringi langkah mereka. Namun, di balik ketenangan itu, ada getaran aneh yang mengalir di udara, seolah-olah alam sedang memperingatkan akan bahaya besar yang mendekat.Raka berjalan di depan, matanya terus mengamati sekeliling dengan waspada. Ia merasakan beban berat di pundaknya—bukan hanya karena artefak penting yang harus mereka selamatkan, tetapi juga karena hubungan rumit
Setelah pengungkapan rahasia Arya Kertajaya di dataran kecil, perjalanan menuju puncak gunung suci terasa lebih berat. Udara dingin semakin menusuk tulang, kabut tebal menyelimuti jalur setapak, dan angin malam membawa aroma belerang yang samar. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya melanjutkan perjalanan mereka dengan hati-hati, namun ketegangan di antara mereka mulai terasa lebih nyata.Di tengah perjalanan, langit malam semakin gelap, tanpa secercah cahaya bulan yang menerangi jalan mereka. Hanya suara alam yang menemani—gemerisik daun, desiran angin, dan gemericik air dari sungai kecil di bawah tebing. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam suasana itu, seolah-olah alam sedang memperingatkan akan bahaya besar yang mendekat.Raka merasakan beban berat di pundaknya, bukan hanya karena artefak penting yang harus mereka selamatkan, tetapi juga karena hubungan rumit antara dirinya, Dyah, dan Arya. Ia tahu bahwa waktu mereka semakin sempit, dan setiap langkah yang mereka ambil bisa menjadi
Setelah perjalanan panjang dan penuh ketegangan menuju puncak gunung suci, Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya tiba di kuil kuno yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun. Kuil ini tampak megah namun misterius, dengan dinding-dindingnya yang ditumbuhi lumut hijau tua dan ukiran-ukiran relief kuno yang menggambarkan cerita-cerita gaib dari masa lalu.Dyah Sulastri, sebagai putri kerajaan yang memiliki hubungan mendalam dengan dunia spiritual, memimpin persiapan ritual. Ia berdiri di tengah halaman kuil, di bawah sinar bulan purnama yang temaram, dengan wajah penuh tekad. Di sekitarnya, para pendeta kerajaan mulai menyalakan api unggun kecil dalam lingkaran, menciptakan pola simbolis yang melambangkan perlindungan bagi kerajaan.Raka dan Arya Kertajaya berdiri agak jauh, mengamati prosesi dengan campuran rasa hormat dan ketegangan. Udara dingin malam itu membawa aroma kayu bakar, rempah-rempah, dan sedikit belerang yang samar, menciptakan atmosfer mistis yang sulit dilupakan."Kita
Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan
Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh
Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l
Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang
Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka
Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu
Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe
Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek
Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti