Danang terbangun dengan terkejut saat sinar mentari yang terang langsung menerpa wajahnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangan yang masih buram. Pandangannya segera tertuju ke jam dinding, dan matanya melebar saat melihat angkanya.
"Sudah siang!" serunya dengan nada panik, hampir melompat dari tempat tidur. "Jam setengah delapan!"
Ia bangkit dengan tergesa-gesa, satu tangannya menyisir rambut yang acak-acakan, dan wajahnya terlihat tegang. Sambil menghela napas frustrasi, ia berseru dengan nada sedikit meninggi, "Dina! Kenapa aku tidak dibangunkan?"
Di dapur, Dina mendengar suara teriakan Danang. Ia menghentikan sejenak gerakannya yang sedang mengaduk secangkir kopi. Dengan ekspresi datar, ia mengedikkan bahunya santai, seolah tak peduli. "Emang aku pengasuh," gumamnya pelan, bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang tampak sinis. Tanpa mengubah langkahnya, ia kembali melanjutkan kegi
Emosinya semakin memuncak. Dalam hati, Danang menyalahkan Dina atas keterlambatannya, meskipun ia tahu bahwa sebenarnya dirinya yang terlambat bangun. Namun, rasa frustrasi tidak memberinya ruang untuk berpikir jernih."Aku harus cepat! Aku tidak boleh terlambat. Ah... ada rapat pagi ini!" pikir Danang tiba-tiba, ingatannya muncul seperti kilatan yang semakin memperparah kekhawatirannya. Ia menambah kecepatan motornya, berharap waktu berpihak kepadanya."Dina, kau benar-benar membuatku kesal!" gumam Danang, suaranya menggeram penuh emosi. Meski jauh di lubuk hati, ia tahu bahwa kesalahannya sendiri yang membuatnya terlambat, bukan sepenuhnya salah Dina.Gas motor ditarik semakin kuat, Danang melaju dengan kecepatan tinggi, membelah keramaian jalan kota yang sibuk. Suara klakson kendaraan lain menyatu dengan deru mesin motornya, namun Danang tak peduli. Fokusnya hanya satu—mencapai kantor secepat mungk
Dina dan Alma duduk berhadapan dengan Bu Linda, seorang wanita paruh baya dengan kacamata berbingkai emas yang senantiasa menempel di hidungnya. Di atas meja, terletak sebuah dokumen kontrak sewa toko, siap ditandatangani."Baiklah, Dina dan Alma," ucap Bu Linda dengan suara halus dan senyum ramah, memandang keduanya bergantian. "Setelah kita menyepakati semua syarat dan ketentuan sewa ruko ini, kita bisa melanjutkan ke penandatanganan kontrak."Dina dan Alma saling bertukar pandang, lalu mengangguk bersamaan. Di wajah mereka terpancar ekspresi lega, seolah satu langkah besar telah berhasil dilalui. Dina merapikan posisi duduknya, napasnya dihela pelan untuk menenangkan diri.Bu Linda meraih pena dari meja dan mengulurkannya ke Dina. "Selamat ya, Dina. Semoga usahanya lancar dan sukses," katanya dengan nada penuh kehangatan.Dina menerima pena itu dengan antusias. Tangannya sedikit gemetar karena gug
Melihat raut wajah Dina yang tampak berubah, Alma mengernyitkan alisnya. Ia menatap Dina tajam, rasa cemas terlihat jelas di wajahnya. "Kenapa? Kau terlihat tidak bersemangat begitu. Apa kau memutuskan untuk tidak bercerai?" tanyanya, nada suaranya mengandung kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.Dina menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alma. "Aku... aku masih mikir-mikir, Al," ucap Dina pelan, suaranya terdengar ragu. Kepalanya sedikit tertunduk, menghindari tatapan Alma."Mikir-mikir? Apa lagi yang kamu pikirkan?" tanya Alma, suaranya mulai menunjukkan nada penasaran, meskipun matanya menyiratkan sedikit ketidaksabaran.Alma menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada kesal, "Dina, apa kau mau di rendahkan terus ?" Ekspresinya tegas, alisnya berkerut, menunjukkan rasa kesal.Dina membuka mulut, mencoba merespon, tetapi hanya suara pelan yang keluar
"Di rumah mertuamu, Din? Bisa saja dia menyimpannya di sana," kata Alma, matanya menatap Dina serius."Aku juga berpikir begitu, mungkin di rumah mertuaku atau di kantornya," jawab Dina sambil menghela napas panjang, terlihat lelah dengan situasi yang rumit ini."Di kantor? Kalau dokumen itu memang ada di sana, bagaimana cara kita mengambilnya?" tanya Alma, alisnya terangkat, jelas menunjukkan rasa ingin tahu dan keprihatinan terhadap kesulitan yang dihadapi sahabatnya."Itu yang masih aku bingungkan," kata Dina dengan nada frustrasi, dan raut wajahnya penuh kebingungan."Coba minta seseorang untuk mencarinya di ruang kerjanya," usul Alma dengan nada yakin, matanya menatap Dina penuh harapan."Siapa yang bisa dimintai tolong? Aku bahkan tidak kenal satu pun teman kerja Mas Danang," ucap Dina, suaranya terdengar lemah, menyiratkan keputusasaan yang mendalam."Serius? Kamu tidak kenal satu orang pun?" tanya Alma sambil mena
Danang langsung menuju rumah mamanya begitu ia pulang. Sesampainya di sana, ia mendapati mamanya di beranda dan menatapnya dengan tatapan mata memicing."Wajahmu lusuh sekali. Apa Dina tidak memberimu makan?" tanyanya, nada suaranya terdengar cemas.Danang tidak menjawab. Ia hanya terdiam dan melemparkan tubuh lelahnya ke ke kursi, matanya menatap halaman, seolah mencari ketenangan dengan menatap bunga."Ada apa, Ma, sampai Mama menyuruh Danang datang?" tanyanya akhirnya, suaranya datar, menunjukkan kelelahan yang mendalam."Mama tadi sudah kirim uang ke rekeningmu untuk membuka usahamu. Apa kau tidak lihat?" kata mamanya, nada suaranya terdengar tenang namun penuh perhatian."Uang?" Danang segera meraih ponselnya. Ia memeriksa pesan masuk dan menemukan notifikasi SMS banking dari bank."Terima kasih, Ma," ucapnya dengan gembira, s
Dina dan Alma berdiri puas, menatap ruko yang sudah tertata rapi dengan barang-barang seperti mesin jahit dan mesin obras, serta dua lemari besar yang akan digunakan untuk menyimpan bahan kain dan pakaian. Cahaya matahari sore menembus pintu ruko yang terbuka, menyoroti senyum lebar yang terukir di wajah mereka."Akhirnya!" seru Dina dengan wajah ceria, senyumnya merekah saat ia menatap mesin jahit yang baru saja tiba. Tangannya perlahan mengelus mesin itu dengan lembut, seolah sedang menyentuh permata berharga. Matanya berkilau, mencerminkan rasa syukur dan kebahagiaan yang mendalam. "Aku tidak mengira momen ini terjadi, Al. Ini bukan mimpikan?" katanya dengan suara yang penuh haru."Ini nyata, Din. Bukan mimpi!" kata Alma dengan semangat, menatap Dina sambil tersenyum lebar.Tanpa menunggu respons, Alma tiba-tiba mencubit lengan Dina. "Aduh!" seru Dina sambil meringis kesakitan, tangannya langsung mengusap bekas cubitan itu."Sakit, kan? Nah, itu tandanya nyata!" kata Alma sambil te
Setelah membersihkan diri, Dina dengan cepat menuju dapur untuk memasak makan malam. Dina berdiri di dapur, menatap bahan-bahan masakan di meja. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang tak hanya bersumber dari tubuhnya, tapi juga dari hatinya."Kenapa aku masih melakukan ini? Masak untuk orang yang bahkan tidak peduli..." gumamnya pelan, tangannya mulai memotong bawang dengan gerakan cepat. Ia menggeleng kecil, seolah sedang menertawakan dirinya sendiri. "Rutinitas, ya. Mungkin cuma itu alasannya."Saat aroma tumisan mulai menyebar, Dina berhenti sejenak dan memegang pinggiran meja dapur, matanya terpaku pada wajan. "Aroma ini... dulu aku senang melihat dia tersenyum saat mencium bau masakanku." Dina tersenyum masam, lalu kembali mengaduk bahan di wajan. "Sekarang? Bahkan senyum itu seperti kenangan yang jauh."Selesai menumis, Dina memindahkan masakan ke dalam piring. "Terserah, mau makan atau nggak," katanya pelan, berbicara pada udara kosong, nadanya penuh dingi
Dina mengambil ponselnya yang bergetar di atas meja. Saat melihat nama yang tertera di layar, ia tersenyum kecil. "Deni," ucapnya pelan, menyebut nama sang adik dengan nada hangat. Lalu, ia segera menjawab panggilan itu. "Halo, Deni," katanya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Halo, Kak. Kakak sehat?" suara Deni terdengar ceria di seberang sana, membawa suasana hangat meskipun melalui telepon."Alhamdulillah, sehat. Bagaimana di sana? Bunda sehat-sehat, kan?" tanya Dina dengan penuh perhatian, menunjukkan kekhawatirannya sebagai kakak."Alhamdulillah, kami semua sehat di sini, Kak," jawab Deni dengan cepat, suaranya terdengar melegakan.Deni kemudian menambahkan dengan nada riang, "Kak, aku rencana mau ke kota Sabtu ini.""Bersama Bunda juga?" tanya Dina, suaranya penuh rasa bahagia mendengar kabar dari adiknya. Matanya berbinar, berharap ada berita baik yang membuatnya sem
Di dalam kamar, Deni duduk di kursi dengan mata yang terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya sesekali bergerak, tetapi tidak untuk mengetik—hanya untuk menggulir layar, memperhatikan gambar yang terpampang di sana. Foto Danang bersama seorang wanita membuat pikirannya berputar liar, jauh lebih cepat daripada kemampuan tangannya untuk mengambil keputusan.Di ranjang sebelahnya, Johnny sudah terlelap, dengkurannya terdengar pelan, menandakan betapa nyamannya ia tertidur. Tidak seperti Deni, yang justru semakin sulit memejamkan mata."Sepertinya, pernikahan Kak Dina tidak baik-baik saja." Suara hati Deni.Deni menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga kakaknya, tetapi situasi sekarang tidak bisa diabaikan begitu saja.Deni kembali menatap layar ponselnya, matanya tak bisa lepas dar
Orang tersebut tertawa kecil, lalu melangkah mendekat. Begitu wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya lampu, Danang langsung terperanjat."Deni! Kapan kau datang?" seru Danang, matanya melebar karena terkejut melihat keberadaan adik iparnya tersebut di rumahnya."Pagi tadi," jawab Deni santai, seolah tidak melihat kegelisahan Danang.Danang masih mencoba mencerna situasi. "Kenapa Dina nggak bilang apa-apa? Bukannya biasanya dia selalu memberitahu kalau Deni datang." Dalam pikiran Danang."Dina tahu kau mau datang?" tanyanya dengan nada heran."Tahu," sahut Deni tanpa ragu.Danang mengerutkan kening. "Tahu? Kenapa dia tidak bilang padaku?"Deni hanya mengangkat bahu ringan. "Ternyata kak Dina tidak memberitahukan kedatanganku kepada Mas Danang. Pasti ada sesuatu yang membuat kak D
"Kita tidak menunggu Mas Danang, Kak?" tanya Deni dengan nada ragu, matanya melirik ke arah meja makan yang masih tertata rapi.Dina menghela napas ringan sambil merapikan piring di hadapannya. "Mas Danang pulangnya tidak bisa dipastikan jam berapa, Den. Kita nggak bisa terus menunggu tanpa tahu pasti. Panggil Johnny, biar kita makan duluan," katanya dengan nada tenang, tetapi ada sedikit kebimbangan tersirat dalam suaranya.Deni masih belum bergerak, seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kakak baik-baik saja dengan Mas Danang, Kak?" tanyanya pelan, seolah mencoba membaca ekspresi sang kakak.Dina menoleh, matanya menatap Deni dengan lembut. "Baik, Deni," jawabnya, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih lebar, mencoba meyakinkan adiknya."Betul?" Deni masih belum sepenuhnya yakin, alisnya sedikit mengernyit
Danang menghela napas kasar, matanya terus mengamati setiap orang yang keluar dari gedung kantor. Namun, tidak ada tanda-tanda Sinta.Ia merogoh ponselnya lagi, ibu jarinya bergerak cepat menekan nomor yang sudah berulang kali ia coba hubungi sejak tadi. Lagi-lagi, tidak ada jawaban.“Sial!” gumamnya, menekan tombol panggil sekali lagi. Matanya bergerak gelisah, berharap kali ini Sinta menjawab. Tapi harapan itu tetap kosong.Danang menutup ponselnya dengan gerakan kasar, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. Kepulan asap keluar dari bibirnya, tetapi tidak mampu meredakan kekacauan yang berkecamuk di kepalanya."Kenapa dia nggak angkat?" pikirnya dengan frustrasi.Ia melirik pintu utama gedung, memperhatikan setiap orang yang keluar, mencoba menangkap sosok yang ia cari. Tapi tetap tidak ada.
"Ayo, Johnny, Deni, makan," kata Dina sambil meletakkan dua bungkus nasi lemak di atas karpet untuk tempat mereka duduk, karena Dina belum membeli meja untuk tempat makan..Deni dan Johnny langsung duduk, aroma nasi lemak yang hangat menggoda selera mereka. Dina tersenyum melihat antusiasme keduanya."Kalian pasti sudah lapar, kan?" tanyanya sambil membuka plastik pembungkus. "Jam berapa tadi kalian berangkat dari sana?""Jam enam, Kak, bus trip pertama," sahut Johnny sambil mengusap perutnya. "Lama banget di jalan, aku udah hampir pingsan kelaparan."Deni terkekeh, membuka bungkus nasi lemaknya dengan cepat. "Enak nih," katanya setelah melihat isiannya yang lengkap—nasi wangi, sambal pedas, irisan telur, dan ikan bilis renyah.Dina tersenyum kecil. "Di dekat sini cuma ada ini. Kalau ke pasar, ada p
°°Dina membawa Deni dan Johny dari stasiun bus menuju tempat usahanya. Langkahnya terasa gugup, meskipun dalam hati ia ingin sekali menunjukkan hasil kerja kerasnya kepada adiknya.Begitu mereka sampai di depan sebuah toko kecil yang sederhana namun rapi, Deni mengerutkan kening dan menatap sekeliling dengan bingung. "Ini apa, Kak?" tanyanya sambil melirik papan nama yang terpajang di depan pintu.Dina tersenyum kecil, ada sedikit rasa malu yang muncul dalam dirinya. "Ini tempat usaha Kakak," jawabnya pelan.Deni menatapnya lebih lama, masih berusaha memahami maksud dari kata-kata Dina. "Maksudnya?"Dina menarik napas, mencoba meredakan kegugupannya sebelum akhirnya menjelaskan. "Kakak buka usaha menerima jahitan," katanya, kini dengan suara yang lebih mantap.Mata Deni terbuka leb
Dina berdiri di dapur, kedua tangannya sibuk mencuci buah di bawah aliran air. Setelah berhasil menghindari Danang beberapa saat lalu, ia mencoba menenangkan diri dengan aktivitas sederhana—sesuatu yang membuatnya merasa tetap memiliki kendali atas dirinya sendiri, meskipun pikirannya masih dipenuhi kekacauan.Namun, ketenangannya seketika buyar.Tanpa peringatan, dua tangan kokoh melingkar di pinggangnya dari belakang. Dina tersentak, tubuhnya menegang. Ia bahkan sempat menahan napas saat merasakan kehangatan yang begitu familiar."Sayang, Mas rindu," gumam Danang, suaranya terdengar lembut di dekat telinga Dina sebelum ia melabuhkan kecupan ringan di pundaknya.Dina seketika menggigit bibirnya, menahan rasa muak yang tiba-tiba muncul. Jantungnya berdetak lebih cepat—bukan karena kegugupan, tapi karena emosi yang
Dina baru saja mengakhiri pembicaraan dengan Bundanya ketika tiba-tiba suara pintu rumah menghempas terbuka, membuatnya tersentak.Ia menoleh, dan di sana, di ambang pintu, berdiri Danang dengan wajah yang kusam dan tanpa ekspresi. Tatapan matanya kosong, langkahnya berat, seolah ada sesuatu yang menghantam pikirannya. Ia bahkan tidak menyapa Dina, tidak ada anggukan atau sekadar lirikan. Hanya diam, dingin, dan langsung melangkah menuju kamar.Dina memandang punggung Danang yang perlahan menghilang di balik pintu kamar dengan dahi berkerut. Ada sesuatu yang tidak beres."Kenapa dia? Raut wajahnya kusut. Apa dia bertengkar dengan wanita simpanannya? Pasti. Itulah kalau hubungan terjadi dalam kebohongan, pasti tidak akan direstui Allah. Lihat saja, Mas, kau tidak akan bisa bahagia!"*Dina mengepalkan jemarinya, dadanya terasa
Sampai di rumah, suasana di antara mereka masih dipenuhi keheningan. Sinta tetap bungkam sejak meninggalkan pantai, dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan yang tak bisa disembunyikan. Danang sudah berusaha mengajaknya bicara selama perjalanan, tetapi Sinta tetap menutup rapat mulutnya.Setelah Sinta turun dari motor, Danang segera memanggilnya dengan suara penuh rasa bersalah. "Maaf, Sayang," ucapnya pelan, tetapi Sinta tidak merespons dan langsung berjalan menuju pintu gerbang rumahnya."Sinta!!" Danang menarik tangan Sinta dengan cepat, membuat langkahnya terhenti di depan pagar. Sinta menoleh dengan tatapan marah, menghentakkan tangannya dari genggaman Danang."Mas! Aku malu! Kenapa Mas melakukan itu di tempat umum?!" serunya dengan nada penuh emosi, air mata mulai menggenang di matanya.Danang menundukkan kepala, merasa bersalah. "Maaf, aku salah. Aku nggak kepikira