Dina dan Alma duduk berhadapan dengan Bu Linda, seorang wanita paruh baya dengan kacamata berbingkai emas yang senantiasa menempel di hidungnya. Di atas meja, terletak sebuah dokumen kontrak sewa toko, siap ditandatangani.
"Baiklah, Dina dan Alma," ucap Bu Linda dengan suara halus dan senyum ramah, memandang keduanya bergantian. "Setelah kita menyepakati semua syarat dan ketentuan sewa ruko ini, kita bisa melanjutkan ke penandatanganan kontrak."
Dina dan Alma saling bertukar pandang, lalu mengangguk bersamaan. Di wajah mereka terpancar ekspresi lega, seolah satu langkah besar telah berhasil dilalui. Dina merapikan posisi duduknya, napasnya dihela pelan untuk menenangkan diri.
Bu Linda meraih pena dari meja dan mengulurkannya ke Dina. "Selamat ya, Dina. Semoga usahanya lancar dan sukses," katanya dengan nada penuh kehangatan.
Dina menerima pena itu dengan antusias. Tangannya sedikit gemetar karena gug
Melihat raut wajah Dina yang tampak berubah, Alma mengernyitkan alisnya. Ia menatap Dina tajam, rasa cemas terlihat jelas di wajahnya. "Kenapa? Kau terlihat tidak bersemangat begitu. Apa kau memutuskan untuk tidak bercerai?" tanyanya, nada suaranya mengandung kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.Dina menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alma. "Aku... aku masih mikir-mikir, Al," ucap Dina pelan, suaranya terdengar ragu. Kepalanya sedikit tertunduk, menghindari tatapan Alma."Mikir-mikir? Apa lagi yang kamu pikirkan?" tanya Alma, suaranya mulai menunjukkan nada penasaran, meskipun matanya menyiratkan sedikit ketidaksabaran.Alma menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada kesal, "Dina, apa kau mau di rendahkan terus ?" Ekspresinya tegas, alisnya berkerut, menunjukkan rasa kesal.Dina membuka mulut, mencoba merespon, tetapi hanya suara pelan yang keluar
"Di rumah mertuamu, Din? Bisa saja dia menyimpannya di sana," kata Alma, matanya menatap Dina serius."Aku juga berpikir begitu, mungkin di rumah mertuaku atau di kantornya," jawab Dina sambil menghela napas panjang, terlihat lelah dengan situasi yang rumit ini."Di kantor? Kalau dokumen itu memang ada di sana, bagaimana cara kita mengambilnya?" tanya Alma, alisnya terangkat, jelas menunjukkan rasa ingin tahu dan keprihatinan terhadap kesulitan yang dihadapi sahabatnya."Itu yang masih aku bingungkan," kata Dina dengan nada frustrasi, dan raut wajahnya penuh kebingungan."Coba minta seseorang untuk mencarinya di ruang kerjanya," usul Alma dengan nada yakin, matanya menatap Dina penuh harapan."Siapa yang bisa dimintai tolong? Aku bahkan tidak kenal satu pun teman kerja Mas Danang," ucap Dina, suaranya terdengar lemah, menyiratkan keputusasaan yang mendalam."Serius? Kamu tidak kenal satu orang pun?" tanya Alma sambil mena
Danang langsung menuju rumah mamanya begitu ia pulang. Sesampainya di sana, ia mendapati mamanya di beranda dan menatapnya dengan tatapan mata memicing."Wajahmu lusuh sekali. Apa Dina tidak memberimu makan?" tanyanya, nada suaranya terdengar cemas.Danang tidak menjawab. Ia hanya terdiam dan melemparkan tubuh lelahnya ke ke kursi, matanya menatap halaman, seolah mencari ketenangan dengan menatap bunga."Ada apa, Ma, sampai Mama menyuruh Danang datang?" tanyanya akhirnya, suaranya datar, menunjukkan kelelahan yang mendalam."Mama tadi sudah kirim uang ke rekeningmu untuk membuka usahamu. Apa kau tidak lihat?" kata mamanya, nada suaranya terdengar tenang namun penuh perhatian."Uang?" Danang segera meraih ponselnya. Ia memeriksa pesan masuk dan menemukan notifikasi SMS banking dari bank."Terima kasih, Ma," ucapnya dengan gembira, s
Dina dan Alma berdiri puas, menatap ruko yang sudah tertata rapi dengan barang-barang seperti mesin jahit dan mesin obras, serta dua lemari besar yang akan digunakan untuk menyimpan bahan kain dan pakaian. Cahaya matahari sore menembus pintu ruko yang terbuka, menyoroti senyum lebar yang terukir di wajah mereka."Akhirnya!" seru Dina dengan wajah ceria, senyumnya merekah saat ia menatap mesin jahit yang baru saja tiba. Tangannya perlahan mengelus mesin itu dengan lembut, seolah sedang menyentuh permata berharga. Matanya berkilau, mencerminkan rasa syukur dan kebahagiaan yang mendalam. "Aku tidak mengira momen ini terjadi, Al. Ini bukan mimpikan?" katanya dengan suara yang penuh haru."Ini nyata, Din. Bukan mimpi!" kata Alma dengan semangat, menatap Dina sambil tersenyum lebar.Tanpa menunggu respons, Alma tiba-tiba mencubit lengan Dina. "Aduh!" seru Dina sambil meringis kesakitan, tangannya langsung mengusap bekas cubitan itu."Sakit, kan? Nah, itu tandanya nyata!" kata Alma sambil te
Setelah membersihkan diri, Dina dengan cepat menuju dapur untuk memasak makan malam. Dina berdiri di dapur, menatap bahan-bahan masakan di meja. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang tak hanya bersumber dari tubuhnya, tapi juga dari hatinya."Kenapa aku masih melakukan ini? Masak untuk orang yang bahkan tidak peduli..." gumamnya pelan, tangannya mulai memotong bawang dengan gerakan cepat. Ia menggeleng kecil, seolah sedang menertawakan dirinya sendiri. "Rutinitas, ya. Mungkin cuma itu alasannya."Saat aroma tumisan mulai menyebar, Dina berhenti sejenak dan memegang pinggiran meja dapur, matanya terpaku pada wajan. "Aroma ini... dulu aku senang melihat dia tersenyum saat mencium bau masakanku." Dina tersenyum masam, lalu kembali mengaduk bahan di wajan. "Sekarang? Bahkan senyum itu seperti kenangan yang jauh."Selesai menumis, Dina memindahkan masakan ke dalam piring. "Terserah, mau makan atau nggak," katanya pelan, berbicara pada udara kosong, nadanya penuh dingi
Dina mengambil ponselnya yang bergetar di atas meja. Saat melihat nama yang tertera di layar, ia tersenyum kecil. "Deni," ucapnya pelan, menyebut nama sang adik dengan nada hangat. Lalu, ia segera menjawab panggilan itu. "Halo, Deni," katanya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Halo, Kak. Kakak sehat?" suara Deni terdengar ceria di seberang sana, membawa suasana hangat meskipun melalui telepon."Alhamdulillah, sehat. Bagaimana di sana? Bunda sehat-sehat, kan?" tanya Dina dengan penuh perhatian, menunjukkan kekhawatirannya sebagai kakak."Alhamdulillah, kami semua sehat di sini, Kak," jawab Deni dengan cepat, suaranya terdengar melegakan.Deni kemudian menambahkan dengan nada riang, "Kak, aku rencana mau ke kota Sabtu ini.""Bersama Bunda juga?" tanya Dina, suaranya penuh rasa bahagia mendengar kabar dari adiknya. Matanya berbinar, berharap ada berita baik yang membuatnya sem
Danang tersentak dari lamunannya. Matanya berbinar saat menatap Sinta, sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya. Ia menggaruk pipinya yang mulai berkeringat, lalu berkata dengan nada jujur, meski suaranya terdengar sedikit serak, "Aku suka menatap wajah cantikmu, Sinta."Sinta langsung tersipu mendengar kata-kata Danang. Pipinya memerah seperti buah delima yang ranum. Dengan gerakan pelan, ia mengelus pipinya menggunakan jari-jari lentiknya. "Mas ini bisa saja. Siapa bilang aku cantik? Itu kan cuma Mas yang bilang," balasnya dengan suara lembut sambil menundukkan pandangan, jelas tergambar rasa malunya.Danang tersenyum simpul, pandangannya tetap tertuju pada Sinta. "Ya, aku bilang kamu cantik," ucapnya tegas, meski ia menundukkan kepala sedikit, menyembunyikan kegugupannya. Tangannya perlahan menyentuh gelas di depannya, memainkan ujung-ujungnya, seolah mencari sesuatu untuk menenangkan dirinya.Sinta tertawa kecil, sua
Danang menggeleng dengan senyum yang lebih lebar. Ia menatap Sinta dengan mata yang penuh perasaan, seolah kata-katanya keluar dari lubuk hatinya. "Cuma ada satu, Sin. Kamu. Kamu satu-satunya yang bisa bikin hati ini berdebar kayak gini," ucapnya dengan nada tulus, tatapannya tak berpaling dari wajah Sinta.Sinta tertawa kecil, suaranya terdengar bercampur rasa kaget dan bahagia. "Mas ini bisa aja. Awas ya, jangan bohong!" katanya sambil menunjuk Danang dengan ekspresi menggemaskan. Ia menatap pria di depannya dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. "Mas ngomongnya sweet banget, sih. Tapi aku masih penasaran. Serius, Mas suka sama aku se-segitu dalamnya?" tanyanya dengan nada bercanda, meski matanya terlihat menunggu jawaban yang tulus.Danang tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Aku serius, Sin. Aku nggak main-main," katanya dengan nada tenang tapi penuh arti. Ia menarik napas sebelum melanjutkan. "Kamu adalah satu-satunya
°°Deni dan Johnny masih memantau dari kejauhan, bersembunyi di balik pohon besar yang tumbuh di sisi jalan. Motor mereka diparkir agak jauh, agar suara mesin tidak menarik perhatian. Mata Deni terus memperhatikan rumah di depannya, sementara Johnny duduk di tanah dengan pandangan resah."Deni, apa kita harus terus begini? Dari tadi Mas Danang nggak ngapa-ngapain," bisik Johnny sambil mengusap tengkuknya, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman.Deni tidak menjawab. Tatapannya tetap fokus pada Danang yang terlihat duduk di teras rumah Sinta, tubuhnya tegak tetapi ekspresinya jelas menunjukkan ada beban yang berat.Johnny akhirnya berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke arah Deni. "Den, dia cuma duduk. Kelihatannya kayak orang lagi mikir berat. Apa yang sebenarnya kamu cari?"Deni menoleh seben
"Waalaikumsalam," sahut Dina ramah sambil tersenyum, melangkah mendekati seorang ibu yang berdiri di depan tokonya bersama anak kecil yang menggandeng tangannya. Wajah Dina memancarkan keramahan yang langsung membuat ibu itu merasa nyaman. "Mbak, mau jahit baju anak-anak, bisa?" tanya ibu itu dengan nada sopan, sesekali melirik ke arah anaknya yang tampak sedikit malu-malu. "Bisa, Bu. Untuk adek ini, ya?" tanya Dina dengan nada lembut sambil menunduk sedikit agar sejajar dengan mata anak itu. Ia tersenyum hangat, mencoba membuat si anak merasa lebih tenang. "Iya, Mbak," jawab ibu tersebut sambil mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Masuk, Bu," ajak Dina sambil membuka pintu tokonya lebih lebar. Tangannya mengisyaratkan agar ibu dan anak itu melangkah masuk. "Mari, silakan duduk, Bu." Setelah mereka masuk, Dina mengambil sebuah kursi dan memberikannya kepada sang ibu, lalu menuntun anak itu untuk duduk di sampingnya. "Adek, sini duduk dulu, ya," ujarnya sambil menunjuk kur
Motor Danang melaju dengan cepat, menerobos jalanan yang masih sedikit sibuk. Bunyi klakson terdengar samar di telinganya, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk memperhatikan apa pun selain gejolak di dalam dirinya. Tangannya mencengkeram stang motor lebih erat, seolah-olah itu bisa membantu menahan emosi yang terus mendidih di dadanya."Dina nggak mau bicara. Aku nggak ngerti apa yang salah. Dia hanya diam, pura-pura nggak peduli..." pikirnya dengan kesal, bibirnya terkatup rapat.Ia menatap jalan di depannya dengan pandangan kosong, tetapi hatinya terasa begitu sesak. "Aku mencoba bicara, mencoba memperbaiki semuanya, tapi dia hanya membisu. Seolah-olah aku ini nggak berarti lagi buat dia..."Danang menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu, tetapi hal itu malah semakin memperburuk suasana hatinya."Dan Sinta... dia menghilang begitu saja. Aku ng
Suasana di meja makan terasa begitu hidup, penuh dengan percakapan ringan dan tawa kecil. Dina dan Danang tampak seperti pasangan sempurna, menghadirkan kesan bahwa semuanya berjalan baik-baik saja. Namun, di balik senyum dan kata-kata mereka, Deni dapat merasakan sesuatu yang berbeda. Ada keheningan tak terlihat di antara mereka, sebuah ketegangan yang tersembunyi di balik gerak tubuh dan nada suara.Deni melirik kakaknya sesekali, mencoba menangkap petunjuk dari cara mereka bicara atau saling memandang, tetapi semuanya terlihat terlalu rapi, terlalu terkendali. Johnny di sampingnya sibuk menghabiskan makanannya tanpa memperhatikan apa pun yang terjadi.Setelah beberapa saat, Danang akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan yang terasa tak nyaman baginya. "Hari ini kalian mau kemana?" tanyanya sambil menatap Deni.Deni meletakkan sendoknya sejenak,
Di dalam kamar, Deni duduk di kursi dengan mata yang terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya sesekali bergerak, tetapi tidak untuk mengetik—hanya untuk menggulir layar, memperhatikan gambar yang terpampang di sana. Foto Danang bersama seorang wanita membuat pikirannya berputar liar, jauh lebih cepat daripada kemampuan tangannya untuk mengambil keputusan.Di ranjang sebelahnya, Johnny sudah terlelap, dengkurannya terdengar pelan, menandakan betapa nyamannya ia tertidur. Tidak seperti Deni, yang justru semakin sulit memejamkan mata."Sepertinya, pernikahan Kak Dina tidak baik-baik saja." Suara hati Deni.Deni menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga kakaknya, tetapi situasi sekarang tidak bisa diabaikan begitu saja.Deni kembali menatap layar ponselnya, matanya tak bisa lepas dar
Orang tersebut tertawa kecil, lalu melangkah mendekat. Begitu wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya lampu, Danang langsung terperanjat."Deni! Kapan kau datang?" seru Danang, matanya melebar karena terkejut melihat keberadaan adik iparnya tersebut di rumahnya."Pagi tadi," jawab Deni santai, seolah tidak melihat kegelisahan Danang.Danang masih mencoba mencerna situasi. "Kenapa Dina nggak bilang apa-apa? Bukannya biasanya dia selalu memberitahu kalau Deni datang." Dalam pikiran Danang."Dina tahu kau mau datang?" tanyanya dengan nada heran."Tahu," sahut Deni tanpa ragu.Danang mengerutkan kening. "Tahu? Kenapa dia tidak bilang padaku?"Deni hanya mengangkat bahu ringan. "Ternyata kak Dina tidak memberitahukan kedatanganku kepada Mas Danang. Pasti ada sesuatu yang membuat kak D
"Kita tidak menunggu Mas Danang, Kak?" tanya Deni dengan nada ragu, matanya melirik ke arah meja makan yang masih tertata rapi.Dina menghela napas ringan sambil merapikan piring di hadapannya. "Mas Danang pulangnya tidak bisa dipastikan jam berapa, Den. Kita nggak bisa terus menunggu tanpa tahu pasti. Panggil Johnny, biar kita makan duluan," katanya dengan nada tenang, tetapi ada sedikit kebimbangan tersirat dalam suaranya.Deni masih belum bergerak, seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kakak baik-baik saja dengan Mas Danang, Kak?" tanyanya pelan, seolah mencoba membaca ekspresi sang kakak.Dina menoleh, matanya menatap Deni dengan lembut. "Baik, Deni," jawabnya, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih lebar, mencoba meyakinkan adiknya."Betul?" Deni masih belum sepenuhnya yakin, alisnya sedikit mengernyit
Danang menghela napas kasar, matanya terus mengamati setiap orang yang keluar dari gedung kantor. Namun, tidak ada tanda-tanda Sinta.Ia merogoh ponselnya lagi, ibu jarinya bergerak cepat menekan nomor yang sudah berulang kali ia coba hubungi sejak tadi. Lagi-lagi, tidak ada jawaban.“Sial!” gumamnya, menekan tombol panggil sekali lagi. Matanya bergerak gelisah, berharap kali ini Sinta menjawab. Tapi harapan itu tetap kosong.Danang menutup ponselnya dengan gerakan kasar, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. Kepulan asap keluar dari bibirnya, tetapi tidak mampu meredakan kekacauan yang berkecamuk di kepalanya."Kenapa dia nggak angkat?" pikirnya dengan frustrasi.Ia melirik pintu utama gedung, memperhatikan setiap orang yang keluar, mencoba menangkap sosok yang ia cari. Tapi tetap tidak ada.
"Ayo, Johnny, Deni, makan," kata Dina sambil meletakkan dua bungkus nasi lemak di atas karpet untuk tempat mereka duduk, karena Dina belum membeli meja untuk tempat makan..Deni dan Johnny langsung duduk, aroma nasi lemak yang hangat menggoda selera mereka. Dina tersenyum melihat antusiasme keduanya."Kalian pasti sudah lapar, kan?" tanyanya sambil membuka plastik pembungkus. "Jam berapa tadi kalian berangkat dari sana?""Jam enam, Kak, bus trip pertama," sahut Johnny sambil mengusap perutnya. "Lama banget di jalan, aku udah hampir pingsan kelaparan."Deni terkekeh, membuka bungkus nasi lemaknya dengan cepat. "Enak nih," katanya setelah melihat isiannya yang lengkap—nasi wangi, sambal pedas, irisan telur, dan ikan bilis renyah.Dina tersenyum kecil. "Di dekat sini cuma ada ini. Kalau ke pasar, ada p