“Mbak, minta tolong bantu sebentar, ya.” Tiba-tiba salah satu pengurus panti memanggil Nayra.Sontak Nayra menoleh dan langsung ganti haluan menuju meja di mana mereka meletakkan makanan tadi. “Mbak bagikan seperti tadi, ya. Saya mau membuka kresek yang ini dulu.” Wanita tersebut berjongkok. Tangannya gesit menguraikan talian pada kresek besar tersebut. Setelah itu perlahan menyusun beberapa box sekalian di atas meja.Aldo mendes4h lega. Sekarang ia menyaksikan Nayra tengah membagi makanan lagi sambil sesekali melirik anak-anak yang sempat dibimbing tadi. Aldo kemudian melangkah dan bergabung di tengah mereka. Ia memilih di dekat Nayra sembari berdeham lirih.“Kamu kelihatannya ingin punya anak,” tandas Aldo mula-mula. Nayra yang berada di sisinya sedikit terjingkat, lantas tertawa saat menyadari bahwa itu Aldo.“Ya… pengenlah, Ko. Aku dari dulu pengen anak laki-laki,” akunya.Aldo mengerutkan kening. “Kenapa? Bukannya sama saja?”Nayra menghentikan gerakan tangannya. “Hmm, mungkin l
"Oh, sudah pulang, ya?" celetuk Guna santai. Sekilas ia melirik jam yang bertengger di dinding, lantas memandangi Nayra dengan senyum miring.Mata Nayra sudah mendelik tajam. Tapi pria di depannya justru tenang tanpa beban. Sejumlah bekas luka yang mulai tersamarkan masih menghiasi wajahnya. Nayra mungkin hanya salah lihat jika Guna ini semakin kurus, matanya cekung, dan sedikit pucat. Cuma sekilas, dan ia tentu memilih tak peduli.Sebelum Nayra melempar kata-kata kesal lagi, Ida datang sambil membawa segelas kopi hangat. Wanita itu hendak meletakkan di permukaan meja, tapi dicegah oleh Guna."Langsung aku minum aja." Guna meraih gelas tersebut. Sebelumnya ia sempat melirik tatapan tak suka yang dilayangkan Nayra padanya.Senyum tipis kemudian menyembul lagi dari bibir Guna. Bukannya langsung mengambil alih gelas berlengan dari Ida, pria tersebut justru membelai lembut tangan Ida.Nayra terkesiap. Ia tidak sedang berhalusinasi kan? Apa yang barusan dirinya lihat benar-benar di depan m
Aldo masih terpaku pada pesan dari nomor asing itu. Kernyitan halus tercetak jelas pada dahinya menggambarkan ia semakin penasaran dengan siapa yang mengiriminya pesan misterius tersebut. Apalagi, Aldo hanya memberikan nomor ponsel pribadinya kepada orang-orang tertentu selama ini. Jadi, tak sembarang orang dapat mengetahui nomornya.Aldo kemudian memutuskan untuk membuka salah satu aplikasi, lantas mengetikkan kombinasi nomor itu di sana. Kedua netranya lincah membaca nama-nama kontak yang ditulis oleh orang lain bagi nomor tersebut.“Nino Setya, Nino Toko, Nino Langganan, Karyawan Toko Makmur, Nino Lampung.” Aldo bergumam membaca satu per satu penamaan kontak pada nomor asing itu.“Siapa Nino?” Aldo mencoba berpikir. Tapi, semakin ia mencoba mengingat, ia yakin tidak pernah mengenal atau berhubungan dengan orang bernama Nino. Apalagi pria ini sepertinya berdomisili di Lampung. Aldo rasa ini adalah nomor lama yang tidak aktif, namun digunakan kembali.Selain itu, Aldo berpendapat bah
Beberapa bulan setelah Nayra dan Guna menikah, mereka memutuskan untuk tinggal di rumah orangtuanya dulu. Alasannya, Budi ingin rumah besar berlantai dua ini ramai. Selain itu, Budi berharap baik Nayra maupun Guna memiliki waktu yang cukup untuk menyisihkan uang demi mengurus KPR atau dana untuk persiapan anak mereka nantinya.“Betul itu, kalian tinggal di sini saja,” dukung Ida dengan wajah berseri-seri. Budi dapat menangkap bahwa Ida sangat senang dan menyetujui keputusan Budi.Bagus! Hal tersebut dipandang Budi sebagai sikap yang positif. Ida ternyata tak keberatan jika gajinya harus dibagi juga untuk keperluan rumah tangga Nayra.Namun, semakin lama ada keganjalan yang ditangkap oleh Budi. Secara tidak langsung, Ida bersikap perhatian yang berlebihan mengenai menantu mereka. Seperti membuatkan kopi hangat tiap pagi sebelum berangkat bekerja. Ida memang menyeduhkan untuk Budi juga, bahkan sudah menjadi kebiasaan. Tapi, membuatkan kopi hangat tiap pagi untuk Guna bukankah sudah buka
Setiba di kantor, ponsel Aldo berdering panjang. Aldo melihatnya sekilas. Begitu ternyata Rianty yang meneleponnya, ia segera menjawab panggilan tersebut.“Halo, Ma?”“Do, Mama dan Papa sudah sampai di Jepang.” Rianty mengabari.Aldo mendes4h lega. “Ok, Ma. Syukurlah.”“Urus perusahaan baik-baik ya, Do. Aku dan Papa di sini selama tiga hari. Kamu jangan bertingkah macam-macam!”Aldo memutar bola matanya. Bukanlah selama ini ia memang sudah menjalankan perusahaan dengan baik?“Baik, Ma,” sahutnya.“Eh, jangan ditutup dulu teleponnya. Besok teman Mama yang aku ceritakan itu ke sana. Dia akan bantu kamu, sekalian pendekatan. Kamu jangan kecewakan Mama lagi, Do!”Dengan samar, Aldo tersenyum getir. Bukankah selama ini apa pun sikap Aldo pasti selalu salah di depannya?“Mau bantu apa, Ma? Tenaga di sini sudah cukup.” Aldo memijat hidungnya. Ia tak mengerti lagi apa yang akan Rianty lakukan.“Ish! Dia itu pintar mengatur apa pun di perusahaannya sana. Kalau kalian bersatu, bakal lebih banya
“Ngapain kamu ke sini?” Aldo berdiri dan mengerjapkan mata begitu bertemu dengannya lagi. Bahkan kejadian ini tak terpikirkan olehnya sama sekali.Baik Nayra maupun Arvin sama-sama terpegun. Bukan hanya mereka saja, tetapi sebagian besar karyawan yang tengah makan juga ikut bertanya-tanya. Wanita yang ada di hadapan mereka kini sangat cantik, juga punya tubuh ramping seperti model. Ia memiliki wajah khas oriental dengan kedua mata bulat yang menyenangkan.Arvin tentu mengingat siapa gadis itu. Namun, ia sama herannya kenapa perempuan ini bisa masuk ke area perusahaan secara bebas.“Stefanny, aku tanya kamu. Kenapa kamu bisa ada di sini?” Rahang muka Aldo mengeras. Ia tak ingin kembali ke masa lalu, apalagi wanita ini pernah berselingkuh di belakangnya.Nayra di depannya kebingungan. Ia sedang menerka bahwa Aldo dan si wanita bernama Stefanny punya hubungan khusus. Apalagi, ia harus mengakui bahwa wanita itu sangat cantik, bahkan nyaris sempurna. Kulitnya cerah dan terlihat sehat. Nayr
Aldo menautkan kedua alis tebalnya. "Ide? Ide untuk apa?"Melihat tanggapan Aldo, Arvin jadi tidak sabaran. Ia mengibaskan sebelah tangan dan mendes4h kasar. "Aduh, Anda ini! Ya untuk memeriksa apakah Mbak Nayra punya perasaan ke Pak Aldo juga lah, Anda ini bagaimana!"Bibir Aldo langsung bungkam. Ia kemudian manggut-manggut mengerti. "Oh iya, memang apa idemu?""Kita gunakan saja Mbak Stefanny. Maksudnya, coba kita tes apakah Mbak Nayra cemburu saat Anda dekat dengan wanita lain. Bagaimana, Pak?" Arvin menaik-turunkan kedua alisnya. Merasa cetusan idenya sangat brilian.Aldo menimbang-nimbang sebentar. Jadi… ia akan berakting menyukai Stefanny, kan?Sementara itu, Marsella kembali ke toko sepatu di mana dirinya pernah bertemu dengan Nayra dan lainnya. Ia tengah memperhatikan sejumlah model sepatu pria dan langsung berbinar ketika melihat salah satunya.Tangannya cekatan mengambil sepatu tersebut dari tempat display. "Mbak, kalau yang ini gimana, ya?""Pilihan yang bagus, Mbak. Itu mo
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar