Aldo masih terpaku pada pesan dari nomor asing itu. Kernyitan halus tercetak jelas pada dahinya menggambarkan ia semakin penasaran dengan siapa yang mengiriminya pesan misterius tersebut. Apalagi, Aldo hanya memberikan nomor ponsel pribadinya kepada orang-orang tertentu selama ini. Jadi, tak sembarang orang dapat mengetahui nomornya.Aldo kemudian memutuskan untuk membuka salah satu aplikasi, lantas mengetikkan kombinasi nomor itu di sana. Kedua netranya lincah membaca nama-nama kontak yang ditulis oleh orang lain bagi nomor tersebut.“Nino Setya, Nino Toko, Nino Langganan, Karyawan Toko Makmur, Nino Lampung.” Aldo bergumam membaca satu per satu penamaan kontak pada nomor asing itu.“Siapa Nino?” Aldo mencoba berpikir. Tapi, semakin ia mencoba mengingat, ia yakin tidak pernah mengenal atau berhubungan dengan orang bernama Nino. Apalagi pria ini sepertinya berdomisili di Lampung. Aldo rasa ini adalah nomor lama yang tidak aktif, namun digunakan kembali.Selain itu, Aldo berpendapat bah
Beberapa bulan setelah Nayra dan Guna menikah, mereka memutuskan untuk tinggal di rumah orangtuanya dulu. Alasannya, Budi ingin rumah besar berlantai dua ini ramai. Selain itu, Budi berharap baik Nayra maupun Guna memiliki waktu yang cukup untuk menyisihkan uang demi mengurus KPR atau dana untuk persiapan anak mereka nantinya.“Betul itu, kalian tinggal di sini saja,” dukung Ida dengan wajah berseri-seri. Budi dapat menangkap bahwa Ida sangat senang dan menyetujui keputusan Budi.Bagus! Hal tersebut dipandang Budi sebagai sikap yang positif. Ida ternyata tak keberatan jika gajinya harus dibagi juga untuk keperluan rumah tangga Nayra.Namun, semakin lama ada keganjalan yang ditangkap oleh Budi. Secara tidak langsung, Ida bersikap perhatian yang berlebihan mengenai menantu mereka. Seperti membuatkan kopi hangat tiap pagi sebelum berangkat bekerja. Ida memang menyeduhkan untuk Budi juga, bahkan sudah menjadi kebiasaan. Tapi, membuatkan kopi hangat tiap pagi untuk Guna bukankah sudah buka
Setiba di kantor, ponsel Aldo berdering panjang. Aldo melihatnya sekilas. Begitu ternyata Rianty yang meneleponnya, ia segera menjawab panggilan tersebut.“Halo, Ma?”“Do, Mama dan Papa sudah sampai di Jepang.” Rianty mengabari.Aldo mendes4h lega. “Ok, Ma. Syukurlah.”“Urus perusahaan baik-baik ya, Do. Aku dan Papa di sini selama tiga hari. Kamu jangan bertingkah macam-macam!”Aldo memutar bola matanya. Bukanlah selama ini ia memang sudah menjalankan perusahaan dengan baik?“Baik, Ma,” sahutnya.“Eh, jangan ditutup dulu teleponnya. Besok teman Mama yang aku ceritakan itu ke sana. Dia akan bantu kamu, sekalian pendekatan. Kamu jangan kecewakan Mama lagi, Do!”Dengan samar, Aldo tersenyum getir. Bukankah selama ini apa pun sikap Aldo pasti selalu salah di depannya?“Mau bantu apa, Ma? Tenaga di sini sudah cukup.” Aldo memijat hidungnya. Ia tak mengerti lagi apa yang akan Rianty lakukan.“Ish! Dia itu pintar mengatur apa pun di perusahaannya sana. Kalau kalian bersatu, bakal lebih banya
“Ngapain kamu ke sini?” Aldo berdiri dan mengerjapkan mata begitu bertemu dengannya lagi. Bahkan kejadian ini tak terpikirkan olehnya sama sekali.Baik Nayra maupun Arvin sama-sama terpegun. Bukan hanya mereka saja, tetapi sebagian besar karyawan yang tengah makan juga ikut bertanya-tanya. Wanita yang ada di hadapan mereka kini sangat cantik, juga punya tubuh ramping seperti model. Ia memiliki wajah khas oriental dengan kedua mata bulat yang menyenangkan.Arvin tentu mengingat siapa gadis itu. Namun, ia sama herannya kenapa perempuan ini bisa masuk ke area perusahaan secara bebas.“Stefanny, aku tanya kamu. Kenapa kamu bisa ada di sini?” Rahang muka Aldo mengeras. Ia tak ingin kembali ke masa lalu, apalagi wanita ini pernah berselingkuh di belakangnya.Nayra di depannya kebingungan. Ia sedang menerka bahwa Aldo dan si wanita bernama Stefanny punya hubungan khusus. Apalagi, ia harus mengakui bahwa wanita itu sangat cantik, bahkan nyaris sempurna. Kulitnya cerah dan terlihat sehat. Nayr
Aldo menautkan kedua alis tebalnya. "Ide? Ide untuk apa?"Melihat tanggapan Aldo, Arvin jadi tidak sabaran. Ia mengibaskan sebelah tangan dan mendes4h kasar. "Aduh, Anda ini! Ya untuk memeriksa apakah Mbak Nayra punya perasaan ke Pak Aldo juga lah, Anda ini bagaimana!"Bibir Aldo langsung bungkam. Ia kemudian manggut-manggut mengerti. "Oh iya, memang apa idemu?""Kita gunakan saja Mbak Stefanny. Maksudnya, coba kita tes apakah Mbak Nayra cemburu saat Anda dekat dengan wanita lain. Bagaimana, Pak?" Arvin menaik-turunkan kedua alisnya. Merasa cetusan idenya sangat brilian.Aldo menimbang-nimbang sebentar. Jadi… ia akan berakting menyukai Stefanny, kan?Sementara itu, Marsella kembali ke toko sepatu di mana dirinya pernah bertemu dengan Nayra dan lainnya. Ia tengah memperhatikan sejumlah model sepatu pria dan langsung berbinar ketika melihat salah satunya.Tangannya cekatan mengambil sepatu tersebut dari tempat display. "Mbak, kalau yang ini gimana, ya?""Pilihan yang bagus, Mbak. Itu mo
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia