Niels masih bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan oleh seniornya sore hari nanti? Dia tak tahu apa itu, tetapi Niels adalah pemuda yang percaya dengan insting dan perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres pada kasus ini."Niels, kau dipanggil Kapten Smith ke kantornya." Rebecca datang menghampiri Niels dan menyampaikan sesuatu yang membuat Niels terkejut. Jantungnya berdetak cepat, apa yang harus dia lakukan sekarang?"Thanks, Rebecca." Niels membalas sambil tersenyum tipis kepada wanita dengan payudara besar itu. Niels bukannya tidak sopan, dia hanya berbicara apa adanya dan karena Rebecca memiliki bentuk tubuh dan dada yang indah, sebab itulah Niels berani mengomentarinya dalam hati."Sama-sama," ucap Rebecca seraya berlalu meninggalkan Niels yang memandangi bagaimana Rebecca berjalan dengan bentuk tubuhnya yang indah.Sambil menarik napas perlahan dari hidung dan mengeluarkannya dari mulut, Niels berusaha menjaga sikap sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah pergi k
"Tunggu, George!"Anak laki-laki bernama lengkap George Owens yang dipanggil itu pun menoleh, kepada guru yang memanggil namanya ketika ia berjalan santai melewati ruang guru."Ya, Bu?"Guru perempuan dengan riasan wajah yang tipis namun bergaya modis itu tiba-tiba saja menarik George masuk ke dalam bilik ruangannya. "Ibu ada perlu denganmu!""Langsung saja," sang guru menyerahkan flashdisk berwarna hitam metalik kepada George, "tolong kauperiksa semua data dari teman-teman seangkatanmu. Buat keterangan tambahan di lembar berkas baru, dan simpan lagi di dalam flashdisk ini."Meskipun George sudah kelas tiga, dan sedang sibuk-sibuknya, tapi Ibu tetap mempercayakanmu hal ini. Anak baik seperti George tentu mudah saja melakukannya, bukan?"George tersenyum, "Tentu, Bu Rebecca. Percayakan saja kepada saya. Lagipula, jadwal saya hari ini sedang kosong. Saya akan mengurusnya di lab komputer sepulang dari ruang musik nanti.""Bagus, terima kasih, George." Bu Rebecca menepuk pundak George, ba
"Anak kami mati dengan cara yang tidak adil! Di mana letak keadilan di negara ini?!"Niels masih mengingat dengan jelas kalimat yang dilontarkan oleh orang tua dari Alyssa, gadis tak beruntung yang meninggal karena digigit laba-laba beracun beberapa bulan yang lalu.Kasus gadis tak beruntung itu memang telah ia selidiki selama tiga bulan lebih bersama Smith, rekan kerjanya. Seluruh pikiran dan tenaga mereka kerahkan demi menguak pelaku dan mencari bukti-bukti lainnya. Namun sejauh mereka mencari kebenaran, nyatanya hanya kesia-siaan saja yang mereka berdua peroleh.Bahkan Smith, yang terang-terangan berkata tidak akan menyerah begitu saja terhadap kasus ini, mengatakan dengan jelas bahwa kasus ini ditutup. Artinya mereka tidak akan menyelidiki kasus ini lagi kedepannya."Saya tak mau tahu! Kalian semua harus mengusut tuntas kasus ini hingga kalian menemukan sang pelaku!"Namun berkat ancaman dan tangisan pilu dari orang tua yang kehilangan anaknya dengan cara yang tragis, membuat Niel
George mempunyai cara unik tersendiri untuk menikmati akhir pekannya, yaitu dengan cara merawat kebun bunga mawar di pekarangan belakang rumahnya. Bagi George, aroma mawar adalah aroma kesukaannya yang kedua.Selesai membersihkan diri, George menghadap sang ibu yang beberapa saat yang lalu memanggilnya ke ruang baca."Anakku, apa kau sudah menentukan sekolah mana yang ingin kaumasuki selepas lulus ini, Sayang?"Belum lagi George menarik kursi untuk duduk, ia sudah disuguhi pertanyaan oleh wanita yang pernah melahirkannya itu. George tersenyum lebar, "Sudah, Ma.""Sekolah apa itu?""Benjamin Art High School. Sekolah khusus seni lukis, pahat dan musik, Ma." Jawab George dengan bangga. Namun senyumnya luntur seketika manakala ia melihat ekspresi tidak suka hadir di wajah ibunya."Mengapa kau memilih sekolah terbelakang seperti itu!" Joly mengebrak meja, membuat George menundukkan kepalanya dalam-dalam, tidak berani bertemu mata dengan sang ibu.Melihat anaknya yang ketakutan, Joly langsu
"Kita sudah sampai!"Mobil berwarna kuning milik George sekeluarga berhenti tepat di depan sebuah lumbung sekaligus peternakan tua milik keluarga mereka yang telah ada sejak beberapa generasi. Warna kuning mobil keluarga Owens itu begitu menyilaukan setiap mata yang memandang ke arahnya.Setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan, akhirnya mereka bertiga sukses melewati medan terjal yang sempat menyambut mereka sewaktu di awal tanjakan tadi, dan sampai dengan selamat di rumah nenek George yang berada di dataran yang cukup tinggi.George membanting pintu mobil keluaran terakhir dari Dodge, Challenger SRT Demon yang dibeli oleh ayahnya dua tahun yang lalu dengan keras. Selain diberi mesin yang hebat, mobil itu juga disertai dengan otot bodi yang khas, Challenger SRT Demon terlihat sangat cocok apabila dibawa off-road di jalanan yang sulit.Namun sangat tidak cocok untuk dibawa pulang ke kampung halaman! Itulah yang membuat George kesal setengah mati.Salahkan ibunya yang tega menabra
George tak dapat berkomentar, ia tengah sibuk memperhatikan 'cara' yang disebutkan oleh pamannya beberapa saat yang lalu agar menghasilkan daging ternak yang banyak, empuk dan enak.Ia tak pernah menduga bahwa tujuan paman Sam membawa sebuah tongkat bisbol ke kandang adalah cara yang dimaksudkan olehnya sebelumnya."George, perhatikan ini!"Sam mengayunkan pemukul yang terbuat dari besi itu ke salah satu babi berukuran besar yang telah diikat keempat kakinya, menimbulkan bunyi buk yang berasal dari tubuh babi yang dipukul kuat menggunakan tongkal bisbol berwarna hitam tersebut.Melihat sang paman yang terus memukul babi malang itu menggunakan tongkat miliknya, membuat aliran darah George ke dada mengalir dengan cepat. Membuat jantungnya berpacu penuh semangat.Deru napas George menderu, seiring dengan rintihan babi yang telah sekarat di tangan paman Sam-nya.Adrenalin George terus naik, memicu euforia bagi remaja berusia limabelas tahun itu.Rasa gembira yang dirasakan oleh George sek
George menyikat dinding kayu peternakan yang terkena cipratan darah dengan telaten. Suara berisik sikat lantai yang ia gunakan membuat para hewan terbangun. Beberapa ekor sapi melenguh dengan kerasnya."DIAM!" gertak George kesal.Berbicara kepada hewan adalah sesuatu yang salah. Hewan-hewan itu justru semakin gaduh, mengeluarkan suara-suara yang mengganggu dan memekikkan telinga. Berpura-pura seakan tak mendengarnya, George mengusap keringat yang mengalir turun di belakang telinganya dengan perlahan.Melakukan pekerjaan seperti ini sangat melelahkan, tapi sang antagonis haruslah bisa membereskan hal kecil semacam ini."Fuh, akhirnya selesai juga," gumamnya kepada diri sendiri.George menaruh ember besi yang biasa digunakan untuk menampung hasil memerah susu sapi di dekat pintu. Sebelumnya, ia memakai ember tersebut untuk mengambil air di sungai, guna menyiram genangan darah yang mengusik mata. Jelas ia tak ingin ada yang mengetahui perbuatannya, apalagi mengetahui jika George melakuk
Bibi Sean yang mendengar pintu kandang yang tidak dikunci, terang saja langsung memarahi suaminya. "Sudah berapa kali kukatakan padamu! Kunci dengan benar semua kandang ini!"Sam mendengus. "Aku juga sering mengatakan padamu! Aku selalu menguncinya!"Mendadak, sepasang suami istri itu beradu mulut, bertengkar mempermasalahkan kandang yang terbuka dan babi yang hilang, mengabaikan keberadaan keluarga Owens yang memandang mereka berdua dengan kikuk.Joly berjalan menghampiri dan menengahi perselisihan yang terjadi di antara suami istri tersebut. "Berhenti bertengkar!"Kalian berdua jangan bermusuhan hanya karena hilangnya seekor babi, kita masih bisa memotong ternak lain untuk malam nanti."Suami istri Winkler itu terdiam sesaat, kemudian menatap satu sama lain. "Maafkan kami.""Nah, bagaimana kalau kita kembali ke kebun?" Erick tersenyum, ia merangkul anaknya–George dan mengambil garu di sebelah tumpukan jerami yang tersusun rapi. "Tanaman-tanaman itu tidak bisa memberi pupuk mereka se
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak