Keesokan harinya, George menyambut pagi dengan senyum yang sempurna. Kebahagiaan terlihat jelas di wajah George yang terlihat polos. Setelah sebelumnya melakukan sesuatu yang penting untuk memusnahkan barang bukti, George merasa pikirannya lebih segar dibandingkan sebelumnya (saat Ken belum dikuburkan bersama surat-surat pemberian Alyssa). George merasa lebih bertenaga untuk melewati hari-hari yang membosankan di rumah besar tersebut."Selamat lagi, George." Erick menyapa putranya di meja makan. "Akhirnya aku bisa menyapamu dengan lancar hari ini."George tersenyum menanggapinya. Hal yang jarang dilakukan olehnya, mengingat dia jarang mempunyai waktu luang di rumah, bahkan untuk sekadar sarapan membalas sapaan keluarga kecilnya yang remeh itu .Joly juga demikian, dia jarang memasak untuk keluarganya, membuat George lebih senang memesan makanan melalui jasa pengantaran online dibandingkan menunggu ibunya memasak.George yang suasana hatinya baik pun membalas sapaan sang ayah. "Pagi,
"Alyssa! Harus berapa kali kukatakan padamu, jangan membuka tas orang lain sembarangan!"George ingat, sebelum dia melancarkan aksinya itu, dia sempat bertengkar dengan gadis yang namanya ia sebutkan dengan keras. Alyssa senang sekali membuka tas George, dan dia selalu memasukkan surat-surat tak jelas ke dalam tas anak laki-laki itu.Bukan hanya sekali dua kali saja, tapi sudah sering sekali Alyssa melakukannya. George tak pernah suka ada yang membuka tasnya tanpa sepengetahuannya. Ketika dia tahu Alyssa lah pelakunya, George tak bisa memaafkan perbuatan gadis itu, meski dia tahu Alyssa melakukannya karena ingin menarik perhatiannya.Di kemudian hari, George tahu jika kematian Alyssa menjadi peluang untuk seseorang yang juga menyukai dirinya."Aku tak suka kau membuka tasku, Alyssa!" George kembali berkata kepada sang gadis.Gadis berambut cokelat gelap yang perbuatannya diketahui oleh anak laki-laki itu hanya bisa tersipu malu. "Maafkan aku, George," ucapnya dengan wajah yang memerah
"Kapten Smith!"Mendengar teriakan seorang laki-laki yang memanggil namanya dengan begitu keras, memancing keingintahuan Smith yang sedang memeriksa sebuah komputer yang dibawanya dari laboratorium. Dia menebak-nebak pemilik suara itu, apa mungkin Niels?Mungkin saja, sebab dia masih belum hafal suara laki-laki muda itu.Smith memandangi komputer sekolah yang berisi tentang data-data lab. Barangkali, di sana ada petunjuk mengenai hewan-hewan peliharaan yang dikandang di tempat itu. Seperti percobaan apa yang dilakukan dan spesies apakah yang diteliti? Smith ingin mengetahuinya."Kapten! Jika ada mendengarku, tolong jawab!"Terdengar lagi suara teriakan.Smith pun membalas, "Niels, aku di sini! Di dekat tangga lantai tiga!" Suara Smith tak kalah nyaringnya.Niels menolehkan kepalanya ke kiri-kanan dengan cepat, mencari tahu sumber suara itu. Otaknya berusaha mencerna informasi yang didapat. Hingga akhirnya Niels memutuskan untuk mengitari lorong lantai dua."Kapten!" Niels berteriak la
Penemuan Niels bagaikan penyejuk pikiran mereka yang telah kelelahan mencari barang bukti di seluruh penjuru sekolah. Meski mungkin yang ditemukan Niels terlihat tak bermakna dan tak ada apa-apanya, tetapi Smith beranggapan sebaliknya. Itu adalah penemuan penentu, bisa saja sesuatu yang kecil adalah sumber masalah yang besar."Di mana kau menemukannya, Niels?" tanya Smith dengan cepat. "Tolong ceritakan secara detail.""Saya menemukan ini di toilet, Kapten. Tergeletak di dekat sepatu saya ketika saya sedang asyik bercermin di sekitar toilet laki-laki dan perempuan."Perasaan tak enak langsung dirasakan Smith begitu kulitnya menyentuh sesuatu yang ditemukan sang rekan. Saat berhadapan dengan Niels yang membawa sesuatu itu, dia tak merasa takut sama sekali. Sedangkan saat benda itu ada di tangannya dan terkena kulitnya secara langsung, rasanya sedikit gatal dan membuat tak nyaman. Smith tak tahu apakah tebakannya ini benar atau tidak, setidaknya dia akan memberitahunya dulu ke Niels. "
"Niels, bertahanlah. Sebentar lagi kita tiba di sana.""Baik, Kapten! Terima kasih." Niels mengangguk mantap, sepenuhnya menaruh kepercayaan kepada Kapten Smith-nya. Bagi Niels, Smith adalah sosok yang memberikannya semangat untuk tetap bertahan hidup demi menggapai cita-cita.Smith memang tak mengenalnya, atau mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya, tetapi Niels mengenal dan mengetahui siapa gerangan Smith Hegner. Dan dia adalah orang yang Niels hormati.Demi meraih impiannya, Niels bekerja keras dan belajar dengan giat. Walau dia bukan berasal dari keluarga kaya, tetapi dia akan membuktikan bahwa seseorang yang orang tuanya bekerja sebagai petani juga bisa menjadi seorang detektif terkenal dan sukses di negeri orang.Berbekal tekad dan doa dari adik-adik tersayangnya, Niels pun berangkat ke Portugal seorang diri, kemudian tinggal di kota yang kini menjadi tempat tinggalnya. Lalu yang terpenting dari semua itu adalah Niels bisa bertemu langsung dan menjadi partner sang idola. Betap
Dua minggu telah berlalu sejak hari di mana Niels keluar dari rumah sakit karena pemeriksaan racun pada tubuhnya berlangsung lebih cepat dari perkiraan. Kondisi terakhir Niels baik-baik saja, tidak ada satu pun yang kurang.Beruntung, tak ada efek fatal sama sekali pada tubuh Niels setelah terkena racun tersebut. Yang menusuk jari Niels itu ternyata hanyalah taring biasa yang tak lagi memiliki racun di dalamnya.Niels benar-benar beruntung. Jika racun tersebut tersisa banyak di taring sekecil itu, nyawanya akan terancam dan justru Niels lah yang akan menjadi korban menggantikan Alyssa.Pemuda itu kembali mengatupkan tangan dan mulai berdoa untuk keselamatan jiwa sang gadis. Kematian yang menyakitkan, semoga tidak menyisakan dendam. "Amen." Niels menghela napas dan menerawang jauh. Meski dia tak mengenal Alyssa secara langsung, tetapi Niels paham perasaan kehilangan itu.Karena dia sudah kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan. Niels pun merantau demi mengirimkan uang kepada adi
Niels masih bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan oleh seniornya sore hari nanti? Dia tak tahu apa itu, tetapi Niels adalah pemuda yang percaya dengan insting dan perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres pada kasus ini."Niels, kau dipanggil Kapten Smith ke kantornya." Rebecca datang menghampiri Niels dan menyampaikan sesuatu yang membuat Niels terkejut. Jantungnya berdetak cepat, apa yang harus dia lakukan sekarang?"Thanks, Rebecca." Niels membalas sambil tersenyum tipis kepada wanita dengan payudara besar itu. Niels bukannya tidak sopan, dia hanya berbicara apa adanya dan karena Rebecca memiliki bentuk tubuh dan dada yang indah, sebab itulah Niels berani mengomentarinya dalam hati."Sama-sama," ucap Rebecca seraya berlalu meninggalkan Niels yang memandangi bagaimana Rebecca berjalan dengan bentuk tubuhnya yang indah.Sambil menarik napas perlahan dari hidung dan mengeluarkannya dari mulut, Niels berusaha menjaga sikap sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah pergi k
"Tunggu, George!"Anak laki-laki bernama lengkap George Owens yang dipanggil itu pun menoleh, kepada guru yang memanggil namanya ketika ia berjalan santai melewati ruang guru."Ya, Bu?"Guru perempuan dengan riasan wajah yang tipis namun bergaya modis itu tiba-tiba saja menarik George masuk ke dalam bilik ruangannya. "Ibu ada perlu denganmu!""Langsung saja," sang guru menyerahkan flashdisk berwarna hitam metalik kepada George, "tolong kauperiksa semua data dari teman-teman seangkatanmu. Buat keterangan tambahan di lembar berkas baru, dan simpan lagi di dalam flashdisk ini."Meskipun George sudah kelas tiga, dan sedang sibuk-sibuknya, tapi Ibu tetap mempercayakanmu hal ini. Anak baik seperti George tentu mudah saja melakukannya, bukan?"George tersenyum, "Tentu, Bu Rebecca. Percayakan saja kepada saya. Lagipula, jadwal saya hari ini sedang kosong. Saya akan mengurusnya di lab komputer sepulang dari ruang musik nanti.""Bagus, terima kasih, George." Bu Rebecca menepuk pundak George, ba
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak