“Mas Juna , tolong buka pintunya dulu! Biarkan aku masuk ke dalam!” Tak ada sahutan dari dalam toilet hanya gemircik air yang terdengar mendominasi. Hal itu membuat Prily makin panik. Selama berbagi tempat tinggal dengan Arjuna, tak pernah sekali pun ia mendapati suaminya mimisan. Segala pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Ia ingin menepis, tapi lagi-lagi sepengetahuannya mimisan terjadi akibat penyakit dalam yang tentu tak bisa disepelekan.“Mas tolong buka, hiks? Aku sangat khawatir. Buka!” Prily terus berusaha menggedor daun pintu yang masih tertutup rapat itu, bersamaan dengan bulir bening yang mengalir tanpa permisi, membasahi wajahnya yang merona merah. Hari ini, ia sengaja memoles wajahnya dengan make up tipis-tipis. Hanya demi terlihat menarik bagi suaminya. Prily bahkan sanggup melakukan hal-hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Namun, kenapa Tuhan seakan selalu saja merenggut kebahagiaannya. Baru saja ia meneguknya sedikit, kebahagiaan itu sudah lebih dulu m
“Ka-kamu ke-kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?” Prily begitu gugup hingga ia terbata-bata. Belum lagi Arjuna yang terus saja mendekat ke arahnya. Membuat debaran di jantungnya kian melonjak naik. Nafas Prily memburu, seiring dengan Arjuna yang nyaris tanpa jarak. Ia ingin menghindar, sayangnya justru punggungnya membentur tembok, untung saja sempat ditahan oleh lengan suaminya. Prily langsung menarik lengan yang sempat menahan punggungnya itu,“Apakah sakit?” tanyanya.“Lebih sakit, melihat wajahmu,” kata Arjuna dengan suara beratnya. Dengan begitu polosnya Prily lantas menyentuh wajahnya dengan telapak tangan.“Kenapa dengan wajahku?” “Kamu menangis ‘kan, kenapa?”“Hmm itu, aku tidak menangis kok. Mas salah, ini wajahku begini, karena bangun tidur.”“Prily berhentilah menutupi semuanya. Aku bukan anak kecil yang tidak bisa membedakan kedua hal itu.” Prily tertunduk ia kalah berdebat.“Seperti Mas yang memilih menyembunyikan rasa sakit itu dariku. Maka apa hakku menunjukkan kesedih
“Iya aku akan membantumu mandi.” Prily tersenyum dengan begitu percaya diri.“Bagaimana kalau aku tidak mau?”“Aku akan memaksa.” Wanita itu menjadi tidak tahu diri hanya dalam semalam saja.“Prily, aku enggak bercanda. Aku enggak mengizinkanmu melakukannya.”“Terserah, aku tidak perlu izinmu,” ucap Prily enteng. Ia lantas berjalan keluar hendak mengambilkan pakaian untuk suaminya di lantai atas.“Tolong ambilkan aku hoodie dan celana jeans saja. Aku ingin berangkat dengan memakainya,” ucap Juna setelah Prily tinggal selangkah lagi menuju keluar kamarnya.“Oke.” Prily tersenyum begitu lebar. Arjuna yang merasa heran dengan perubahan sikap Prily yang dirasa terlalu mendadak. Lantas, ia mulai mempertanyakan tentang apa yang terjadi semalam. Sayangnya tak ada yang dia ingat selain hanya ia yang memaksa Prily tetap berada dalam pelukannya. Arjuna berusaha untuk bangun, tetapi begitu pandangannya ke lantai, ia mendapati kakinya yang sudah dipakaikan kaus kaki bunga-bunga.Bibirnya kembali
“Tapi, ki-kita mau ngapain Mas?” Prily memberanikan diri menatap suaminya. Ia benar-benar merutuki kebodohannya, menjatuhkan semua pakaiannya ke bawah. Hingga ia harus berakhir di gendongan suaminya dalam keadaan yang memalukan.“Buka saja dulu, Dek. Aku tidak sanggup menjangkaunya.”“Kalau begitu turunkan saja aku dulu, Mas!”Arjuna menggeleng.“Kenapa enggak mau,” ucapnya.“Kamu akan kabur jika aku turunkan.”‘Ah, tepat sekali. Aku memang berencana untuk melarikan diri secepat kilat, kalau perlu,’ batin Prily.“Aku tahu isi otakmu,” kata Arjuna. Akhirnya Prily hanya bisa pasrah, menuruti keinginan suaminya. Lengannya mulai bergerak menurunkan handle pintu. Sekarang Prily bahkan bisa merasakan jika jantung Arjuna berubah menjadi lebih kencang, setelah pintu kamar itu tertutup rapat. Ia menurunkan istrinya ke ranjang dengan sangat hati-hati. “Aduh Mas, kasurmu jadi basah gara-gara aku.”“Kalau takut basah, kenapa tidak melepaskan handukmu?”Prily langsung menelan ludah. Ia bermaksud
Prily masih menunggu suaminya, sampai ia tertidur di sofa ruang tamu semalaman. Saat bangun ia bahkan masih berharap jika suaminyalah yang akan membangunkannya. Sayang, kenyataannya tak ada satu orang pun di rumah itu, selain dirinya sendiri. Ia menatap jam dinding, sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Lantas, mulai menatap layar ponsel, membuka aplikasi what's app, namun semua masih sama hanya centang satu berwarna abu. Sekuat apa pun ia meyakinkan diri, dengan kemungkinan ponsel Arjuna yang rusak tetap saja rasa cemas itu tak sepenuhnya menghilang.Ia mulai menyesali, sikapnya yang terlalu abai pada Arjuna. Sejak menikah, ia sama sekali, tak pernah mau tahu dengan siapa suaminya kerap bergaul, siapa saja temannya, dan tempat mana saja yang biasa suaminya kunjungi. Sehingga di saat seperti ini, ia bingung harus pergi ke mana.Saat itu hanya terpikir satu tempat yaitu rumah orang tua Arjuna. Prily mengumpulkan keberanian untuk keluar rumah. Untuk pertama kalinya ia kembali mengendarai mo
“Enggak ada, saya hanya bertanya.” Dokter Nadia tampak gugup, ia tampak buru-buru menggunakan sepatunya.“Dari mana Dokter tahu kalau sejak tadi saya memang mencari Mas Juna?” tanya Prily, berusaha senormal mungkin.“Itu karena tadi pagi aku lewat depan rumah kalian, terus lihat kamu keluar pakai motor. Oh ya Prily, aku buru-buru, karena harus kembali ke rumah sakit. Sampai ketemu lagi, bye.” Nadia tampak berjalan tergesa-gesa. Terbesit keinginan untuk mengikuti Nadia diam-diam. Mengingat jarak tempat ini dan rumah sakit juga cukup dekat, jadi ia ingin memastikan dokter itu berkata jujur atau sebaliknya.Seharusnya Akbar juga sudah tak lagi mengikutinya. Sungguh mudah bagi Tuhan membolak-balikan hati seorang makluknya. Dulu ia mengejarnya begitu menggila, tetapi hanya dalam semalam rasa itu berubah menjadi trauma. Ketika mencintai seorang lebih dari rasa cinta pada Sang Pencipta, pada akhirnya hanya berakhir pada kecewa. Tuhan hanya sedang menutupi aibnya, hingga yang terlihat hanya s
Prily merasakan tubuhnya diangkat. Dia yakin ini bukan ilusi, melainkan kenyataan. Suara itu, wajah yang begitu dia rindukan kini nyaris tak berjarak.“Mas ….”“Enggak apa kita akan ke rumah sakit, tahan sebentar,” ucapnya dengan wajah yang basah. Berkali-kali ia mencumbu punggung tangan Prily yang gemetar menahan sakitnya pendarahan. Meski begitu dia berusaha tersenyum, menyambut orang yang sudah sejak sebulan ini begitu mengganggu pikirannya.“Kamu pulang?”“Maafin aku, karena enggak bisa jagain kamu. Please bertahanlah, Sayang. Semuanya akan baik-bak saja. Prily hanya mengangguk sembari berusaha menggapai wajah suaminya.“A-aku akan baik-baik saja, tenanglah.” Kali ini kening mereka saling menyentuh. Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lama. Rasa panik, khawatir juga takut bercampur menyelimuti hati Arjuna, apa lagi saat kesadaran Prily mulai menurun. Ia hanya bisa membawa tubuh yang tak berdaya itu dalam rengkuhannya.Arjuna menunggu di luar ruangan dengan cemas. Segala do
“Kamu ngomong apa sih, Prily? Memangnya aku terlihat seperti orang sakit?” tanya Arjuna sembari sedikit menjauhkan wajahnya. Memberi jarak agar keduanya tak terlalu menempel.“Jangan menyembunyikannya dariku lagi, Mas. Wajahmu terlihat pucat, juga tubuhmu terlihat kurus. Apa yang sebenarnya kamu lewati selama sebulan ini? Tolong jujurlah, aku baru saja kehilangan anak kita, tak bisakah jika kamu berkata dengan sejujur-jujurnya. Jangan terus membuatku khawatir! Hiks.” Pada akhirnya air mata yang berusaha ia tahan sejak tadi. Mengalir begitu saja tanpa bisa ia cegah.“Prily Sayang, jangan menangis.”“Kamu enggak sayang sama aku, Mas. Seharusnya orang yang benar-benar sayang tidak akan menyimpan semua masalahnya sendiri. Aku pikir setelah malam itu, hubungan kita selangkah lebih baik, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Kalau memang kamu belum siap punya anak denganku, tidak apa. Enggak perlu terlalu memaksakan diri.”“Prily, Mas benar-benar minta maaf. Enggak tahu kalau kejadiannya bak
“Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod
Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha
“Mulai besok biar Mas yang membersihkan rumah.”“Mana bisa begitu? Aku masih sehat, kalau sekedar mengurus rumah, itu bukanlah pekerjaan yang berat. Mas jangan terlalu berlebihan! Masa iya sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Itu sangat membosankan,” elaknya saat pasangan itu kembali ke rumah.“Ini perintah, tidak ada tapi.” Prily tampak menghembuskan nafas kasar. Seorang yang aktif sepertinya tentu saja tak akan setuju.“Mas hanya ingin menjagamu dan bayi kita. Menurutlah sekali, enggak akan lama kok.”“Tapi, aku rasa ini terlalu berlebihan.”“Rumah ini besar, kamu tidak akan sanggup membersihkannya sendirian setiap hari dengan keadaan yang seperti ini. Biar Mas, yang pikirkan bagaimana cara mengurusnya. Mungkin kita akan membayar pekerja part time sesekali.”“Keuangan kita belum stabil, bagaimana bisa kita mengeluarkan uang selagi kita bisa menghematnya?” Kali ini Arjuna yang semula berdiri mendadak menekuk lutut tepat di depan Prily. Tangannya perlahan mengusap lutut
Semula Arjuna berpikir semua akan kembali baik-baik saja, bahwa pernikahannya akan berjalan lancar. Tak ada lagi rasa sakit, khawatir atau pun ketakutan. Mereka akan punya banyak anak, menemani mereka sekolah, sampai tumbuh dewasa. Lalu, menyaksikan saat mereka menemukan pasangan hidup. Sungguh rencana yang bahagia, akan tetapi ia lupa bahkan terkadang rencana yang dirancang begitu sempurna pun bisa gagal hanya dalam sekejap mata.Sore itu dibantu Andika tetangga samping rumahnya. Mereka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal menuju rumah sakit. Pria itu langsung tanggap menawarkan bantuan, seolah mengerti di situasi panik, Arjuna akan kesulitan berkonsentrasi dalam menyetir.“Bisa lebih cepat enggak, Mas?” pinta Arjuna, sesekali ia mengusap peluh yang mulai menetes membasahi wajah lelahnya seusai bekerja itu. Prily yang kini berbaring di pangkuannya bahkan sesekali ikut terguncang, saat sesekali melintas pada jalanan yang berlubang. Andika memilih mengiyakan perintah itu, meski se
“Mas.” Prily buru-buru menutup kembali pakaiannya, lalu bangkit dan meraih lenganku.“Maafin aku, Mas. Aku enggak bilang sama kamu dulu. Aku tahu kamu pasti enggak akan setuju, tapi aku enggak bisa Mas, aku enggak akan sanggup melihat kamu meninggalkan aku lebih dahulu.”“Kenapa, Prily?”“Karena aku mencintai kamu.”“Kamu bodoh, untuk apa mempertaruhkan hidupmu demi orang sepertiku?”“Lalu, bagaimana caranya aku harus berterima kasih? Katakan.”“Tetaplah hidup bersamaku.”Sungguh aku sama sekali tidak senang, aku sering membaca artikel tentang orang yang hidup dengan satu ginjal, itu sangat tak mudah. Dia masih muda, seharusnya dia tak sekonyol ini mengorbankan hal paling vital bagi kelangsungan hidupnya. Malam itu aku benar-benar bingung, meski Prily terus meyakinkan dengan dalih jika dia akan menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan sebaik-baiknya tetap saja semua tak akan lagi sama. Ceroboh, bagaimana bisa aku sampai kecolongan memberi tanda tangan pada surat persetujuan itu.“Ka
Hari demi hari berlalu, tetapi tak tampak kehadiran Prily. Pergi ke mana dia sebenarnya, jika benar apa yang dikatakan Nadia jika selama aku tak sadarkan diri ia terus berada di dekatku kenapa begitu aku terjaga. Justru tak pernah sekali pun wajahnya tampak di dekatku. Bahkan sudah sepekan aku berbaring tapi, ia berbohong. Mengatakan jika akan selalu di sisiku, tapi hari ini kenapa pergi.“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari arah luar. Aku jelas mengenali suara itu. Namun, sungguh bukan aku tak mau bertemu dengan mereka. Hanya saja bukan mereka yang ingin kutemui.“Nak, ini kami Ibu sama Ayah,” lirih suara Ibu yang terdengar bergetar. Kedua matanya bahkan memerah seiring dengan tangannya yang mengusap pelan pergelanganku. Sementara Ayah pria yang selalu tegas dan penuh wibawa itu kini terlihat menyedihkan. Ia bahkan tak segan menitikkan air mata di hadapan sampah. Ya, aku sampah yang dia buang hanya, karena merasa malu pada karibnya.“Kenapa menangis? Saya masih hidup.” ucapku.“Ma
“Bukanlah, Adek tahu Mas pasti enggak akan kasih izin.”“Syukurlah, kalau memang bukan. Mas enggak mau kalau sampai kamu nekat melakukan sesuatu yang akan membahayakan keselamatanmu sendiri. Cukup Mas yang tanggung semuanya. Kau jangan melakukan apa pun.”“Siap komandan,” sahutnya dengan meletakkan telapak tangan di pelipis. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan jika ini semua tak mungkin berjalan begitu saja, semua terkesan terlalu mendadak.“Persiapkan fisik kamu Mas, operasi itu pasti butuh kondisi yang fit ‘kan?”“Selain itu uang juga tak kalah penting.”“Mas ini, Adek sudah katakan untuk menggadaikan sertifikat rumah.”“Kalau kita gadai rumah siapa yang akan membayar angsurannya? Setelah operasi masa pemulihannya pasti butuh waktu yang enggak sebentar.” Prily terlihat berpikir.“Kita jual mobil aja?” kata Prily.“Baru juga beberapa bulan kita pakai, masa udah mau dijual? Kita perlu loh Dek mobil untuk sehari-hari. Apa lagi pas kamu sakit kayak kemarin.”“Kita beli yang second
“Kamu kok pucat, Sayang?”“Aku? hmm ah, masa sih?” Ekspresi keterkejutan di wajahnya tak mampu lagi ia sembunyikan, meski begitu tetap saja, ia masih saja mengelak.“Aku baik-baik aja, kok. Mas aja yang berlebihan, ini cuma karena kepanasan aja,”elaknya. Lantas, ia langsung mengayun langkah menuju dapur untuk kembali memasukkan beberapa hidangan yang sebelumnya telah ia siapkan.“Kalau sakit istirahat, kenapa harus memaksakan diri buat masak?”“Enggak masak kok, cuma angetin yang tadi pagi.”“Sama aja, istirahat saja dulu. Mas serius loh, mukamu pucat banget.”“Perasaan Mas aja kali. Hm begini aja deh, aku mau mandi aja dulu.” Prily tampak mencium aroma pakaiannya. Lantas, bibirnya mengerucut.“Tuh, sudah bau kecut, ini nanti kalau udah bunyi. Minta tolong di keluarkan ya, Mas. Takutnya aku lama di kamar mandi,” tunjuknya pada benda kotak yang panas itu.“Siap, ”ucapku sambil mengacungkan ibu jari yang langsung disambut dengan satu senyuman manis dari istriku.‘Sayang seberapa pun kam
“Tolong jangan melakukan sesuatu yang nantinya malah membahayakan dirimu sendiri!” Sekali lagi Prily justru membingkai senyum.“Memangnya Mas pikir aku mau melakukan apa?”“Syukurlah kalau memang tidak.”“Ayo masuk. Aku siapkan makanan buat kamu,” katanya sambil menggandeng lenganku dengan lembut. Kau tahu, sejak aku mengatakan semuanya. Aku merasa sikap Prily terlalu berlebihan dalam menjagaku. Berkali-kali ingin memprotesnya, tetapi lagi-lagi dia berlindung di balik kalimat bahwa ia hanya ingin berada di dekatku sampai akhir.Seperti malam ini, dia memasak bahkan membuat jus nanas. Manis, tetapi aku paling tidak suka jika setiap malam setelah aku terlelap dia akan pergi diam-diam ke luar kamar hanya untuk pergi dan berdiam diri di tempat ibadah.Dia akan menumpahkan tangisnya di sana, sendirian di mana tak akan ada seorang pun yang akan mengetahui. Termasuk aku. Dia yang ketika pagi, siang dan sore hari selalu membingkai senyum, kenyataannya dia begitu rapuh saat sdang sendiri. Kala