Malam sudah mulai meninggalkan hari. Di pedesaan, saat ini ayam jantan pasti sedang berkokok. Tapi aku tinggal di kota, di apartemen yang berada puluhan meter di atas permukaan tanah. Di luar sana yang ada hanya kesunyian. Hampir semua orang pasti sedang terlelap saat ini. Hanya segelintir yang sedang terjaga, dan aku salah satunya.
Aku terbangun karena merasakan sakit di perutku. Hatiku bertanya, makan apa aku semalam. Sepertinya menu semalam biasa saja. Tiba-tiba aku sadar, mungkin ini saatnya. Aku segera membangunkan Galang yang masih terlelap di sampingku.
"Galang... bangun... perutku terasa mulas. Sepertinya aku akan segera melahirkan. Cepat antar aku ke rumah sakit."
Galang mengerjapkan mata lalu melirik ke jam dinding. Setelah itu dia memandangku dan bertanya.
Galang mengangguk setuju. Tiba-tiba aku merasakan mulas yang tak terkira. Aku langsung meminta Galang memanggil perawat. Kali ini dia datang bersama seorang dokter. Setelah memeriksaku, samar-samar aku mendengar perawat itu menggumamkan kata-kata 'sudah saatnya'. Dokter itu kemudian keluar lalu kembali bersama satu perawat lagi.Galang menggeser posisinya untuk memberikan ruang pada mereka. Setelah itu dia bertanya,"Apakah aku harus keluar?""Tidak." aku berkata setengah berteriak sambil menahan rasa sakit. "Kau harus menemaniku. Kau harus bertanggung-jawab atas semua perbuatanmu."Dokter hanya tersenyum mendengar celotehku. Dia dokter wanita yang sudah cukup berumur, sepertinya dia sudah pernah mengalami apa yang kurasa saat ini. Dia lalu mengatur posisi kami. Galang d
Ibu rumah tangga adalah profesi yang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya. Jika seorang wanita menempuh pendidikan sampai doktoral, orang-orang akan bertanya jika nanti dia ternyata 'hanya' menjadi ibu rumah tangga.Coba saja kalian datang ke acara reuni SMA, setiap wanita akan merasa bangga menceritakan apa jabatannya di perusahaan. Yang tidak bekerja dengan malu-malu akan menjawab bahwa saat ini, lagi-lagi menggunakan kata 'hanya', seorang ibu rumah tangga.Aku adalah anak seorang pengusaha. Aku pernah menjadi seorang mahasiswa sekaligus menjadi finalis None Jakarta. Puncaknya adalah saat aku menjadi istri sang CEO. Tapi kini derajatku turun drastis. Kini aku adalah seorang ibu rumah tangga.Tapi aku menjalani ini semua atas keinginanku. Aku bisa saja kembali menjadi dewan pengawas perus
Aku mulai memutar otak bagaimana caranya membuat perangkap untuk Galang. Dia adalah orang yang tenang dan tidak mudah terpancing emosi. Sangat sulit untuk membuatnya melakukan kekerasan padaku, baik dalam keadaan lupa atau tak sengaja. Aku bisa saja membuatnya mabuk, tapi sepertinya dia tidak akan tiba-tiba memukuliku dalam kondisi itu. Lebih mungkin dia hanya tertidur di sofa dengan wajah damai, dan kembali normal esok pagi.Cara satu-satunya adalah dengan berbohong. Tapi meski aku bisa mengatakan telah mendapat tindak kekerasan dari Galang, aku harus memiliki bukti. Beberapa lebam mungkin bisa mempengaruhi keputusan hakim. Yang aku harus pikirkan adalah bagaimana mendapat lebam dengan aman tanpa resiko terluka parah.Aku mencoba mengingat-ingat semua jenis lebam yang pernah kuderita. Ternyata hampir seluruh hidupku sehat dan aman. Luka terakhir yang kud
Kantor biro hukum terkenal tak pernah sepi. Mereka memiliki pengacara terbaik yang siap bekerja 24 jam dan 7 hari. Selain itu banyak mahasiswa-mahasiswa hukum yang magang di sana. Jadi meski jam kantor baru mulai, lobby gedung kantor ini sudah ramai. Gadis resepsionis itu menjadi panik setelah aku takut-takuti. Dia berpikir keras, apakah ingin melanggar prosedur atau tetap menjalankannya dengan resiko apa yang kutakutkan bisa terjadi. Akhirnya dia menelepon seseorang, mungkin pengacara yang dekat dengannya, untuk menanyakan kesediannya menemuiku. Tak lama aku pun diminta mengikuti petugas keamanan yang akan mengantarku. Ternyata ruang kantor yang kutuju tidak besar, sepertinya pengacara yang akan menangani kasusku masih tergolong pengacara muda. Benar saja, aku diperkenalkan pada pengacara yang mungkin usianya hanya beberapa tahun di atasku. Aku lalu memperkenalkan diri. Baru saja aku ingin menanyakan kasusku padanya, HP ku berbunyi. Galang yang menelepon. S
Pengacara yang menangani kasusku datang menjemput pagi sekali. Mungkin sudah jadi kebiasaan biro hukum tempatnya untuk datang lebih awal. Kebiasaan yang baik untuk menghindari kemungkinan macet dan sebab lain yang bisa membuat terlambat. Kami juga bisa menyiapkan fisik dan mental terlebih dahulu untuk menghadapi persidangan. Kami tiba di pengadilan setengah jam sebelum jadwal sidang. Galang belum datang, atau jangan-jangan dia tidak mau hadir. Tapi dia adalah orang yang sangat menghormati manusia, jika diundang dia pasti datang. Apalagi yang mengundang kali ini adalah hakim yang mulia dan kehadirannya diperlukan untuk memperlancar persidangan. Benar saja, 20 menit kemudian Galang tiba. Dia datang sendiri, tidak membawa Nana bahkan juga pengacara. Sepertinya dia meremehkan kasus ini. Dia belum tahu bahwa aku mengincar hartanya. Rasakan saja, kelak kau akan menyesal nanti. "Halo Sisca, apakah kau baik-baik saja?" tanya Galang saat menghampiri tempat aku menungg
Ruang sidang perceraian biasanya tidak ramai. Tidak ada yang terlalu peduli dengan keadaan rumah tangga dari pasangan suami istri, kecuali jika mereka keluarga dekat atau artis terkenal. Demikian juga sidang kasus perceraianku. Hanya ada aku, suamiku, hakim dan pengacara yang aku tunjuk untuk mewakili.Dalam keadaan hening itu, kata-kata Galang terdengar jelas. Maksudnya pun mudah dimengerti. Dia menuduhku rela menukar Nana dengan sebagian harta miliknya. Tuduhan itu sangat menyakitkan. Dan yang paling menyakitkan adalah karena tuduhan itu memang benar adanya. Meski aku berusaha sekuat hati, akhirnya aku tak bisa membendung air mata lagi.Walau Galang mengatakan itu untuk menjawab pertanyaan pengacara, dia melakukannya sambil menatap ke arahku. Pandangannya tajam, menusuk ke dalam hatiku yang tersakiti. Aku tak menyangka Galang tega mengutarakan kenyataan itu.
Setelah itu dia pergi, meninggalkan aku sendiri dengan perasaan campur aduk yang tak bisa dimengerti. Lama aku termenung memikirkannya. Aku baru sadar saat pengacara masuk dan menegurku."Selamat Nyonya, keinginan Anda terwujud. Ngomong-ngomong, berapa nilai kekayaan yang Anda dapat darinya?""Cukup besar." jawabku. "Bahkan komisi untukmu saja cukup untuk kau gunakan membeli mobil baru."Mendengar itu pengacaraku tersenyum sangat lebar. Dia berjanji akan mengurus segalanya. Aku hanya perlu duduk diam dan membubuhkan tanda tangan saat diperlukan.Pengacara itu menepati janjinya. Dia yang mengurus seluruh perlengkapan administrasi sampai surat keputusan perceraian diterbitkan. Setelah itu dia melakukan pemeriksaan terhadap harta kekayaan yang Galang miliki.
Matahari sudah semakin tinggi. Jalan di luar gedung kantor juga makin ramai. Aku bisa melihat kesibukan Jakarta dengan jangkauan yang luas karena aku berada di lantai paling atas. Aku kini bekerja di ruang direktur utama, karena kini aku lah sang CEO.Sudah dua hari Galang tidak lagi masuk kantor. Terakhir kali dia datang, tujuannya hanya untuk menyerahkan mobil dan kunci rumah dinas. Setelah itu dia pergi entah ke mana. Membawa semua barang-barang yang dimiliki. Membawa Nana, anakku.Setelah Galang pergi, aku langsung menempati rumah dinas yang disediakan untuk direktur utama. Selain untuk menguatkan posisiku di mata karyawan, aku juga ingin menghindari mama. Mama tidak suka aku bercerai. Katanya itu hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Meski mama percaya dengan kebohongan yang aku karang, dia tetap membela mantan suamiku. Pasti Galang menyesal dan tidak akan
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi
Hana, Jakarta.Kamar rias pengantin adalah tempat yang sakral bagi mempelai wanita. Jangankan orang lain, bahkan mempelai pria pun tidak boleh memasukinya. Dan sebab itu sebagian besar wanita belum pernah berada di dalamnya. Termasuk aku, baru kali ini aku berada di kamar itu. Karena memang akulah sang mempelai wanita.Di luar sana, semua orang sibuk menyiapkan acara. Dimulai dari akad nikah, makan bersama keluarga, sampai acara resepsi. Pagi ini belum terlalu ramai karena memang hanya keluarga dan beberapa relasi dekat yang hadir. Tapi siang nanti, dua ribu undangan telah disebar dan biasanya mereka hadir membawa pasangan.Karena ayah sudah tiada, yang menjadi waliku adalah paman. Ketiga orang itu telah duduk di satu meja. Paman, Galang dan penghulu. Sebelum akad nikah, penghulu menjelaskan teknis acara. Agar suasana menjadi cair, penghulu itu mencoba bergurau."Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Pak Galang sudah pernah menikah?"Galang berpik
Mila, Bandung.Suasana kafe di salah satu sudut kota Bandung masih sepi. Sebenarnya kafe ini cukup banyak pelanggannya, tapi hari ini bukan akhir pekan dan waktu juga masih sore. Jadi wajar saat ini hanya ada aku, Galang dan dua orang pengunjung lain.Galang mengajak aku ke sini bukan tanpa alasan. Biasanya kami ke sini jika dia ingin mengobrol agak serius. Benar saja, setelah kami duduk dan memesan makanan Galang langsung mengutarakan maksudnya."Mila pasti sudah pernah mendengar bahwa aku bekerja sambil kuliah. Dan saat ini aku sudah lulus. Orang tuaku sudah menanyakan kapan aku akan menikah. Karena itu beberapa pekan lalu aku melamar Sisca." kata Galang membuka percakapan."Jadi, kapan kalian akan menikah?" Aku bertanya dengan suara serak saking gemetar menahan penasaran."Dia menolak lamaranku. Jadi bisa dikatakan kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Dan aku bebas memilih siapa saja untuk menjadi pendamping.""Saya rasa tidak
Hana, Jogjakarta.Kesibukan santri di akhir semester memang luar biasa. Selain mengikuti ujian, para santri juga harus menyetor hafalan yang menjadi target kami. Tidak heran jam tidur kami jadi jauh berkurang. Sering kali kami tidur setelah larut malam dan bangun sebelum ayam jantan berkokok.Bagi santri yang berlatar belakang pendidikan umum, kami harus berusaha lebih giat lagi. Selain karena kami harus mempelajari bahasa arab terlebih dahulu, jumlah hafalan kami juga kalah jauh dibanding santri lain. Akibatnya selama seminggu ini aku hanya tidur tiga jam sehari.Untunglah masa itu sudah selesai. Kini adalah masa liburan. Kebanyakan santri daerah pulang ke kotanya masing-masing. Tapi aku memutuskan untuk tetap di pesantren. Bisnis yang diwariskan ayah bisa dibilang sudah autopilot, jadi ibu tidak terlalu repot mengurusnya. Karena itu, ibu bebas jika ingin ke mana saja dan jadi sering menginap di tempatku.Berbeda dengan santri lain, aku tidak pe