Selang beberapa menit, telepon kembali berdering. Kali ini pengacara papa yang ingin berbicara. Sepertinya dia ingin mengabarkan sesuatu, jadi dengan enggan kuterima panggilan telepon itu.
"Halo." kataku singkat.
"Selamat malam Nona Sisca. Kami ingin menginfokan bahwa penentuan lapas Tuan Sukoco sudah ditetapkan. Dia akan ditempatkan di Lapas Sukamiskin, di daerah Bandung."
"Baik, terima kasih informasinya. Kapan papa akan dipindahkan ke sana?" tanyaku.
"Rencananya beliau akan dipindahkan besok. Jika Anda ingin menjenguknya, Anda bisa datang lusa."
Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi. Bandung tidaklah terlalu jauh, bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga jam. Seingatku Galang dan keluarganya tiap pekan pergi ke
Ruang kunjungan di LAPAS Sukamiskin didesain dengan baik. Setiap pengunjung bisa berbicara dengan tahanan tanpa merasa terganggu. Privasi sangat dijaga, bahkan petugas Lapas pun tidak ada yang standby di ruang kunjungan. Mereka menunggu di luar agar tahanan dan keluarganya bisa bebas berbicara. Aku tidak terkejut mendengar permintaan papa. Setelah apa yang Galang lakukan, pasti papa jadi sakit hati padanya. Dan aku tentu saja membalasnya dengan hal yang setimpal, hanya saja aku tak tahu caranya. "Bagaimana Sisca bisa membalaskan sakit hati papa? Apa yang harus Sisca lakukan?" "Mudah saja." jawab papa. "Anak itu sekarang menguasai perusahaan. Kau cukup mencari sekutu yang setia padamu, setelah itu kau ambil alih perusahaan itu lalu menyingkirkannya. Jika kamu berhasil, papa sudah cukup puas melihatnya kehilangan s
Aku sebenarnya sudah sering diperlakukan seperti itu. Sang pria bersikap baik padaku, dan akibatnya aku dimusuhi oleh kekasih mereka. Biasanya aku tidak pernah menanggapi satu pun dari mereka. Tapi kali ini aku bersikap berbeda. Aku memberi harapan pada kekasih Ita. Aku ingin memberinya pelajaran. Salah sendiri, dia yang mulai duluan. Belum sampai satu semester aku kuliah di sana, Ita akhirnya putus dengan kekasihnya. Mereka sebenarnya pasangan yang serasi, sama-sama populer di kampus kami. Tapi kekasih Ita adalah playboy yang merasa bisa menaklukkan gadis mana saja. Mungkin dia sudah bosan dengan Ita dan ingin mencari tantangan baru. Setelah putus dengan Ita, dia semakin berani mendekatiku. Awalnya dia hanya rutin menelpon. Sesekali dia juga mentraktir di kantin. Sekarang, setelah dia menjomblo, dia sudah mulai menjemput ke rumahku bahkan mengajakku kencan.
Ruang keluarga di rumahku terasa sunyi. Meski kami bertiga ada di sana, tidak ada yang bersuara. Setelah papa mengatakan ingin menjodohkan aku, dia diam. Mama juga tidak bicara apa-apa. Semua menunggu jawabanku.Aku tidak marah karena papa ingin menjodohkanku. Bahkan aku tidak kesal padanya, aku hanya heran. Selama ini papa belum pernah mengatur hidupku. Dia selalu memberikan semua yang kuinginkan tanpa meminta sesuatu pun padaku."Siapa lelaki itu?" aku bertanya. "Apakah menurut papa dia pantas untukku?""Dia adalah anak dari teman bisnis papa. Kalian seusia dan sederajat, wajahnya juga cukup tampan." jawab papa."Itu tidak menjawab pertanyaanku. Aku ingin tahu alasan sebenarnya."Papa tersenyum mendengar kata-kataku.
Seperti yang aku khawatirkan, menari menjadi salah satu keterampilan yang wajib dimiliki oleh none Jakarta. Karenanya keterampilan ini yang paling rutin diajarkan. Kami harus mengikuti kursus menari setiap rabu malam di kantor dinas pariwisata Jakarta. Hasilnya, badan yang pegal serta otot yang terasa nyeri. Setiap aku bangun pada kamis pagi, aku memutuskan untuk berhenti. Tapi saat mantan kekasih Ita datang menjemput, aku kembali berubah pikiran. Aneh sekali, orang yang kita benci ternyata bisa menjadi penyemangat untuk selalu menjadi lebih baik. Materi yang paling kusuka diberikan setiap hari minggu kedua dan keempat. Materi peningkatan wawasan tentang kota Jakarta. Kami diajak ke museum, kota-kota tua dan kadang diputarkan video tentang Jakarta dari masa ke masa. Pada saat ujian materi inilah aku paling unggul. Lumayan, setidaknya bisa sedikit menutu
Suasana ruang keluarga di rumahku agak temaram. Papa sengaja memasang lampu yang redup agar suasana lebih santai. Meski demikian, perubahan ekspresi wajah orang di depan papa jelas terlihat. "Sebaiknya Anda tidak lagi berharap pada putri saya. Dia sudah saya jodohkan dengan lelaki yang pantas, anak pengusaha besar." Kata-kata papa bagaikan bom yang dijatuhkan ke jantung hati mantan kekasih Ita. Wajahnya langsung berubah pucat. Tidak ada lagi senyum yang sebelumnya selalu menghias di sana. Kupikir kejam juga aku mempermainkan hatinya, tapi biarlah semoga ini menjadi pelajaran untuk lebih menghargai wanita. Saat berbicara, kata-katanya tidak jelas karena suaranya tiba-tiba menjadi serak. Yang kutangkap hanyalah bahwa kami sudah saling mencintai dan aku pasti tidak setuju dijodohkan dengan lelaki lain. "Baik, mari kita tanyakan saja langsung pada putriku." papa berkata karena tidak ingin berdebat dengannya. Semua mata memandang ke arahku.
Sayangnya sang CEO tidak menganggap acara ini penting. Dia baru tiba pukul 1 kurang, 10 menit sebelum acara dimulai. "Halo Sisca, maaf telah membuatmu lama menunggu." katanya. "Sebaiknya kita bergegas," kataku. "Sebentar lagi acara dimulai. Sopirmu tahu lokasinya kan?" "Aku tidak memakai sopir, aku menyetir sendiri." Jawabnya. Aku mengernyitkan dahi karena heran, lalu berkata. "Aku belum pernah bertemu dengan direktur yang menyetir mobilnya sendiri." "Aku direktur berusia 20 tahun. Coba tanyakan papamu kenapa mengangkatku menjadi direktur di usia semuda ini." Dia mencoba menyindirku. "Mungkin karena kamu anak pemilik perusahaan, dan sudah melakukan rotasi manajerial di bulan pertamanya bekerja." Aku balas menyindirnya. Dia tak mau kalah, lalu mencoba menyindirku lagi. "Apakah kita akan sering berdebat seperti ini setelah menikah nanti?" "Kita belum tentu menikah," jawabku. "Apapun bisa terjadi."
Matahari sudah mulai tinggi. Tapi sejak pagi koperku sudah siap. Siang ini ada acara peresmian program CSR di kantor Papa. Lokasinya jauh dari Jakarta, yaitu di sekitar Jogja. Tepatnya aku tidak tahu, tapi katanya di lereng Gunung Merapi. Butuh sekitar tiga jam perjalanan darat dari kota Jogja untuk sampai kesana.Tidak lama menunggu, Pak Tanto datang memberitahu bahwa ada taksi yang menunggu di depan. Itu pasti Galang, dia memang berjanji akan menjemputku. Tunanganku tidak memiliki sopir pribadi, makanya dia naik taksi. Aku lalu keluar rumah membawa tas kecilku, sedang koperku dibawakan oleh Pak Tanto.Galang tidak turun dari taksi untuk menyambutku. Sopir taksilah yang membukakan pintu dan meletakkan koper di bagasi. Aku lalu masuk ke dalam taksi. Galang hanya tersenyum padaku lalu menjelaskan bahwa kami akan langsung ke bandara.
Udara malam di Gungung Merapi terasa menusuk sampai kulit. Di luar, kabut tebal masih menyelimuti. Aku terbangun saat dini hari karena kedinginan. Sayup-sayup terdengar suara santri mengaji. Ternyata kegiatan pesantren dimulai secepat ini. Karena tidak bisa kembali tidur, aku mengambil sweater lalu duduk di dekat jendela. Kulihat jejeran bintang di langit yang tampak jelas. Pemandangan seperti ini sangat sulit didapat dari jendela rumahku.Tak beberapa lama rasa kantuk datang lagi. Aku menuju tempat tidur lalu menarik selimut kembali. Baru saat ayam berkokok aku terbangun lalu bangkit dari tempat tidur. Aku lalu pergi mandi kemudian menyiapkan barang-barang agar sudah siap saat akan berangkat. Pesawat kami dijadwalkan pukul 11, mungkin Galang akan mengajak kami berangkat setelah sarapan.Saat sarapan, pengurus pesantren memasukkan barang yang kami bawa ke mobil
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi
Hana, Jakarta.Kamar rias pengantin adalah tempat yang sakral bagi mempelai wanita. Jangankan orang lain, bahkan mempelai pria pun tidak boleh memasukinya. Dan sebab itu sebagian besar wanita belum pernah berada di dalamnya. Termasuk aku, baru kali ini aku berada di kamar itu. Karena memang akulah sang mempelai wanita.Di luar sana, semua orang sibuk menyiapkan acara. Dimulai dari akad nikah, makan bersama keluarga, sampai acara resepsi. Pagi ini belum terlalu ramai karena memang hanya keluarga dan beberapa relasi dekat yang hadir. Tapi siang nanti, dua ribu undangan telah disebar dan biasanya mereka hadir membawa pasangan.Karena ayah sudah tiada, yang menjadi waliku adalah paman. Ketiga orang itu telah duduk di satu meja. Paman, Galang dan penghulu. Sebelum akad nikah, penghulu menjelaskan teknis acara. Agar suasana menjadi cair, penghulu itu mencoba bergurau."Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Pak Galang sudah pernah menikah?"Galang berpik
Mila, Bandung.Suasana kafe di salah satu sudut kota Bandung masih sepi. Sebenarnya kafe ini cukup banyak pelanggannya, tapi hari ini bukan akhir pekan dan waktu juga masih sore. Jadi wajar saat ini hanya ada aku, Galang dan dua orang pengunjung lain.Galang mengajak aku ke sini bukan tanpa alasan. Biasanya kami ke sini jika dia ingin mengobrol agak serius. Benar saja, setelah kami duduk dan memesan makanan Galang langsung mengutarakan maksudnya."Mila pasti sudah pernah mendengar bahwa aku bekerja sambil kuliah. Dan saat ini aku sudah lulus. Orang tuaku sudah menanyakan kapan aku akan menikah. Karena itu beberapa pekan lalu aku melamar Sisca." kata Galang membuka percakapan."Jadi, kapan kalian akan menikah?" Aku bertanya dengan suara serak saking gemetar menahan penasaran."Dia menolak lamaranku. Jadi bisa dikatakan kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Dan aku bebas memilih siapa saja untuk menjadi pendamping.""Saya rasa tidak
Hana, Jogjakarta.Kesibukan santri di akhir semester memang luar biasa. Selain mengikuti ujian, para santri juga harus menyetor hafalan yang menjadi target kami. Tidak heran jam tidur kami jadi jauh berkurang. Sering kali kami tidur setelah larut malam dan bangun sebelum ayam jantan berkokok.Bagi santri yang berlatar belakang pendidikan umum, kami harus berusaha lebih giat lagi. Selain karena kami harus mempelajari bahasa arab terlebih dahulu, jumlah hafalan kami juga kalah jauh dibanding santri lain. Akibatnya selama seminggu ini aku hanya tidur tiga jam sehari.Untunglah masa itu sudah selesai. Kini adalah masa liburan. Kebanyakan santri daerah pulang ke kotanya masing-masing. Tapi aku memutuskan untuk tetap di pesantren. Bisnis yang diwariskan ayah bisa dibilang sudah autopilot, jadi ibu tidak terlalu repot mengurusnya. Karena itu, ibu bebas jika ingin ke mana saja dan jadi sering menginap di tempatku.Berbeda dengan santri lain, aku tidak pe