Kuperhatikan tempat makan pria dan wanita terpisah, sehingga aku tidak mungkin berbicara dengannya sambil menyantap makanan. Satu-satunya cara adalah saat mengambil minuman. Aku menunggunya sebentar, lalu bergerak cepat menghampirinya saat dia menuju meja tempat minuman dihidangkan.
"Halo Hana, masih ingat denganku?"
Dia terkejut saat aku menyapanya dan hampir saja menjatuhkan minumannya saat melihatku.
"Kamu.... bagaimana kamu bisa berada di sini?" Hana bertanya dengan gugup seolah melihat hantu.
"Sebenarnya aku ingin jalan kaki ke sini, tapi karena jauh dan harus menyeberangi samudera akhirnya aku memilih naik pesawat." Aku menjawab sambil bercanda untuk mencairkan suasana.
Usahaku berhasil. Hana tersenyum, lalu melanjutkan
Cuaca siang hari di kampus Grogol terasa sangat panas. Berbeda dengan kampus Depok, di sini sudah banyak gedung bertingkat sehingga jarang ada pepohonan. Ditambah lalu lintas sekitar yang ramai dengan kendaraan, membuat suasana jadi bising.Aku melangkah cepat-cepat untuk memasuki gedung. Selain karena cuaca panas, aku juga tidak mau Sisca melihatku. Tapi sepertinya dia tadi melihat ke arahku, entahlah apakah dia mengenaliku atau tidak.Les bahasa arab dilaksanakan di gedung kelas ber-AC. Pesertanya tidak terlalu banyak sehingga ruang yang disediakan tidak besar. Karena materi yang disampaikan juga sedikit, aku bisa menyelesaikannya saat adzan ashar.Aku meninggalkan kampus Sisca setelah shalat. Kuperhatikan sekilas mobil yang diparkir, aku tidak melihat mobilnya. Mungkin dia parkir di tempat lain atau bahkan sudah
Hari sudah menjelang sore. Semua dokumen yang perlu ditandatangani sudah habis. Aku tidak tahu lagi pekerjaan apa yang bisa kulakukan. Jadi untuk mengisi kekosongan aku mulai mengerjakan tugas kuliahku. Tepat pukul lima sore baru aku kembali ke rumah. Saat itu suasana kantor masih ramai karena masih banyak karyawan yang belum pulang.Malam harinya, setelah makan malam dan shalat, praktis aku tidak memiliki kegiatan apapun. Tugas kuliah sudah kuselesaikan tadi di kantor. Akhirnya aku putuskan untuk membuka laptop, apalagi di kluster ini juga tersedia wifi. Aku terpikir untuk mendaftar ke facebook, sesuatu yang sudah lama aku inginkan tapi belum kulakukan karena keterbatasan akses. Aku tertarik memilikinya setelah temanku bercerita, dia bisa terhubung lagi dengan teman lamanya melalui facebook. Siapa tahu aku bisa terhubung lagi dengan teman-teman sekolahku.Aku
Suasana kantor yang tadinya gaduh sudah tenang. Petugas keamanan sudah membawa si pembuat onar. Karena belum waktu pulang kantor, karyawan yang lain kemudian melanjutkan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.Aku tertegun mendengar penjelasan sekretarisku. Ternyata aku sendiri yang memecat karyawan tersebut, tanpa diberikan uang pesangon. Aku berpikir sejenak untuk memperbaiki kesalahanku dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Jadi aku meminta sekretarisku mengundang karyawan tadi untuk datang besok siang serta membuat jadwal meeting dengan seluruh manajer sore harinya.Malam harinya aku mengirim pesan kepada Santi. Dia kuliah di kampus ternama, pasti banyak mengenal orang yang berpengalaman di bidang yang kuperlukan. Sayangnya dia sedang tidak online dan pesanku tidak dibalas. Aku putuskan untuk menuliskan nomor HP ku dan memintanya menelep
Suasana rapat langsung ramai. Ada yang berbicara perlahan dengan rekan sebelahnya, ada juga yang hanya semacam menggerutu tidak jelas. Aku biarkan situasi itu beberapa saat, sambil menunggu apakah akan ada yang berani memprotes. Tapi sampai suasana tenang kembali, tidak ada yang berani berbicara.“Baik, itu saja. Ada yang mau didiskusikan?” Aku bertanya setelah beberapa saat tidak ada suara di ruang rapat. Kutunggu beberapa saat, tapi memang tidak ada yang merasa perlu membantahku. Toh memang permintaanku wajar seperti halnya perintah pimpinan pada umumnya.“Baik. Jika tidak ada yang mau didiskusikan, kita bisa tutup agenda rapat kali ini. Saya harapkan kerjasama dari Bapak/Ibu agar perusahaan ini bisa semakin baik. Saya tak ingin mengecewakan papa dan Om Sukoco.” Aku sengaja menyebut nama mereka berdua di akhir perkataanku, untuk menega
Suasana kantor masih sepi saat aku tiba. Sebagian besar karyawan masih belum kembali ke meja kerjanya. Wajar saja, karena memang jam istirahat siang belum selesai. Aku tiba lebih awal dari biasanya. Kelas terakhir lebih cepat selesai karena dosenku ada urusan keluarga. Baru kali ini aku shalat dzuhur di masjid dekat kantor. Aku langsung ke meja sekretaris untuk mengambil makan siang. Aku sudah menghubunginya agar menyiapkan makan lebih cepat, tapi tidak perlu menunggu aku datang jika ingin istirahat. Kuambil makan siangku lalu masuk ke ruang kerja. Saat mau duduk, aku melihat sesuatu yang asing di meja kerjaku. Bentuknya hanya secarik kertas terlipat, tapi seharusnya tidak ada apa-apa di situ kecuali ada orang yang sengaja meletakkannya untuk meninggalkan pesan. Benar saja, itu pesan peringatan. "Sebaiknya Anda berhati-hati. Anda masih sangat muda."
Mobil di depanku sudah kembali berjalan karena lampu sudah hijau. Putri Kang Asep cukup jauh dari mobilku, jadi kuputuskan untuk tidak menghampirinya. Nanti saja dari Geger Kalong aku mampir ke rumahnya, pikirku. Setiba di Geger Kalong aku katakan pada papa bahwa aku tidak ikut kajian sore karena akan mengunjungi teman. Sudah beberapa kali ini papa ikut kajian sore tanpa kuminta. Aku rasa papa akan tetap pergi ke sini meski aku tidak ikut bersamanya. Aku pergi ke rumah Kang Asep menggunakan ojek. Jalanan Bandung di sore hari cukup ramai, dan aku ingin kembali lagi ke sini sebelum malam. Benar saja perkiraanku, motorku melewati jejeran mobil-mobil yang sedang menuju kota. Dengan demikian aku telah menghemat waktu berjam-jam. Bapak tukang ojek hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk mengantarku ke rumah Kang Asep. K
Malam sudah larut. Para jamaah sudah banyak yang kembali ke tempatnya masing-masing. Wajar saja, kajian malam sudah selesai lebih dari setengah jam yang lalu. Entah mengapa malam ini aku ingin berlama-lama di masjid. Papa dan mama pasti sudah kembali ke penginapan, jadi kurasa tak perlu aku mencari mereka.Pertemuan dengan Hana memang sudah menjadi takdir. Jika aku keluar lebih awal, mungkin sosoknya tertutup oleh jamaah. Setelah masjid agak sepi, aku bisa melihatnya dengan jelas. Itu memang Hana, dia sedang membereskan sisa buku yang ada.Aku menghampirinya dari arah samping sehingga dia tidak melihatku. Baru saat sudah dekat aku membuka suara."Masih menjual buku di kajian malam? Kan sudah tidak ada target lagi."Hana sepertinya terkejut mendengar suaraku. Buku yang di
Hari sudah berganti malam. Sebentar lagi waktu pertemuan dengan tim ahli, jadi aku segera pergi ke Cafe. Setelah kami berkumpul, aku ceritakan bahwa aku mendapat promosi sebagai direktur utama, jadi pekerjaan selanjutnya lebih banyak terkait laporan. Karena itu pertemuan seperti ini tidak perlu lagi rutin dilakukan. Laporan akan kuteruskan melalui email dan mereka bisa membacanya lalu mengirimkan saran untuk kebaikan perusahaan. Setelah mendengar penjelasanku, para juara itu lalu pergi. Kini hanya tinggal aku dan Santi."Bagaimana denganku?" Tanya Santi setelah hening beberapa saat. "Aku tak punya keahlian apa-apa yang kamu perlukan.""Kapan kamu lulus?" Aku balik bertanya. "Jika tidak terlalu mengganggu, kamu bisa bekerja di perusahaan. Kurasa menjadi staf PR cocok untukmu."Santi berpikir sejenak, lalu akhirnya se
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi
Hana, Jakarta.Kamar rias pengantin adalah tempat yang sakral bagi mempelai wanita. Jangankan orang lain, bahkan mempelai pria pun tidak boleh memasukinya. Dan sebab itu sebagian besar wanita belum pernah berada di dalamnya. Termasuk aku, baru kali ini aku berada di kamar itu. Karena memang akulah sang mempelai wanita.Di luar sana, semua orang sibuk menyiapkan acara. Dimulai dari akad nikah, makan bersama keluarga, sampai acara resepsi. Pagi ini belum terlalu ramai karena memang hanya keluarga dan beberapa relasi dekat yang hadir. Tapi siang nanti, dua ribu undangan telah disebar dan biasanya mereka hadir membawa pasangan.Karena ayah sudah tiada, yang menjadi waliku adalah paman. Ketiga orang itu telah duduk di satu meja. Paman, Galang dan penghulu. Sebelum akad nikah, penghulu menjelaskan teknis acara. Agar suasana menjadi cair, penghulu itu mencoba bergurau."Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Pak Galang sudah pernah menikah?"Galang berpik
Mila, Bandung.Suasana kafe di salah satu sudut kota Bandung masih sepi. Sebenarnya kafe ini cukup banyak pelanggannya, tapi hari ini bukan akhir pekan dan waktu juga masih sore. Jadi wajar saat ini hanya ada aku, Galang dan dua orang pengunjung lain.Galang mengajak aku ke sini bukan tanpa alasan. Biasanya kami ke sini jika dia ingin mengobrol agak serius. Benar saja, setelah kami duduk dan memesan makanan Galang langsung mengutarakan maksudnya."Mila pasti sudah pernah mendengar bahwa aku bekerja sambil kuliah. Dan saat ini aku sudah lulus. Orang tuaku sudah menanyakan kapan aku akan menikah. Karena itu beberapa pekan lalu aku melamar Sisca." kata Galang membuka percakapan."Jadi, kapan kalian akan menikah?" Aku bertanya dengan suara serak saking gemetar menahan penasaran."Dia menolak lamaranku. Jadi bisa dikatakan kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Dan aku bebas memilih siapa saja untuk menjadi pendamping.""Saya rasa tidak
Hana, Jogjakarta.Kesibukan santri di akhir semester memang luar biasa. Selain mengikuti ujian, para santri juga harus menyetor hafalan yang menjadi target kami. Tidak heran jam tidur kami jadi jauh berkurang. Sering kali kami tidur setelah larut malam dan bangun sebelum ayam jantan berkokok.Bagi santri yang berlatar belakang pendidikan umum, kami harus berusaha lebih giat lagi. Selain karena kami harus mempelajari bahasa arab terlebih dahulu, jumlah hafalan kami juga kalah jauh dibanding santri lain. Akibatnya selama seminggu ini aku hanya tidur tiga jam sehari.Untunglah masa itu sudah selesai. Kini adalah masa liburan. Kebanyakan santri daerah pulang ke kotanya masing-masing. Tapi aku memutuskan untuk tetap di pesantren. Bisnis yang diwariskan ayah bisa dibilang sudah autopilot, jadi ibu tidak terlalu repot mengurusnya. Karena itu, ibu bebas jika ingin ke mana saja dan jadi sering menginap di tempatku.Berbeda dengan santri lain, aku tidak pe